Oleh ADRIAN FAJRIANSYAH
Masa lalu selalu mengawali masa kini. Di Nusantara, hampir semua wilayah memiliki peninggalan peradaban masa lampau yang maju dan berkembang pada zamannya. Namun, banyak dari peradaban itu hanya dikenang dan ditinggalkan. Padahal, kiranya peradaban itu menjadi bahan pembelajaran berharga bangsa untuk berkembang menjadi lebih baik.
Suasana penggalian di situs manusia purba di Loyang (Goa) Ujung Karang, Takengon, Aceh Tengah, Senin (14/7/2014). Manusia purba tersebut dari ras Mongoloid dengan budaya Austronesia, berusia 4.000-5.000 tahun, dan diyakini sebagai manusia purba ras Mongoloid tertua yang ditemukan di Indonesia.(Kompas/Adrian Fajriansyah)
Di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, terdapat Museum Negeri Gayo. Museum itu baru. Cat di dinding masih ada yang basah dan aromanya merebak ke seluruh ruangan. Lampu di dalam museum pun banyak yang belum terpasang. Sebagian ruangan pun remang-remang. ”Museum ini baru selesai dibangun sebulan lalu,” ujar Kepala Unit Pelaksana Teknis Museum Negeri Gayo Sukmawati, Juli lalu.
Kendati baru selesai dibangun, beberapa koleksi benda arkeologi mulai terpajang di sejumlah lemari kaca. Di museum itulah benda peninggalan peradaban prasejarah di Aceh Tengah, seperti kapak batu, manik-manik, dan tembikar, tersimpan. ”Museum ini dijadikan sebagai tempat menyimpan hasil penggalian situs prasejarah di Loyang/Goa Mendale dan Loyang Ujung Karang,” ujar Sukmawati.
Ketua Tim Peneliti di Takengon dari Balai Arkeologi Medan, Ketut Wiradnyana, mengatakan, Sumatera bagian utara, terutama wilayah tengah Aceh, adalah kawasan yang amat penting dalam perkembangan budaya prasejarah di Nusantara.
Dari situs prasejarah Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang sejak 2009 hingga sekarang, Tim Balai Arkeologi Medan menemukan 13 kerangka manusia prasejarah ras Mongoloid dengan budaya Austronesia. Situs manusia prasejarah itu, adalah salah satu yang tertua di Indonesia, berusia sekitar 5.000 tahun lalu.
Bersamaan dengan penemuan kerangka manusia prasejarah, ditemukan pula sejumlah benda arkeologi. ”Manusia purba bersama kebudayaannya itu tergolong maju dan paling berkembang di masanya,” katanya. Contohnya, sejak 5.000 tahun yang lalu di Takengon, manusia Mongoloid telah menggunakan peralatan berburu berupa kapak batu yang terbuat dari batu kali.
Kapak batu itu berbentuk persegi atau lonjong. Kapak itu dibuat tajam pada salah satu atau kedua sisinya. Kapak batu itu pun dibuat halus sehingga mudah dipegang. Bahkan, ada kapak batu yang dibuat sedemikian rupa sehingga bisa digunakan dengan pegangan sebatang kayu, serupa kapak modern sekarang. Kapak itu digunakan untuk berburu dan memotong daging buruan.
Kapak batu yang mereka buat diperkirakan pengembangan kapak genggam dari masa sebelumnya, yakni masa manusia Austromelanesoid berbudaya Hoabinh yang hidup lebih dari 6.000 tahun lalu. ”Ini menunjukkan manusia Mongoloid di sini berpikir maju, mengembangkan teknologi yang telah ada,” tutur Ketut.
Contoh lainnya, sejak 5.000 tahun lalu di Takengon, manusia Mongoloid mengenal manik-manik yang terbuat dari biji-bijian. Mereka melubangi biji-bijian. Lalu memasukkannya satu per satu dalam akar yang dijadikan seperti benang atau tali. Biji-bijian yang tertata rapi itu dibuat seukuran lengan dan leher. Benda itu dibuat serupa gelang atau kalung. ”Itu adalah bentuk kecerdasan ilmu dan teknologi yang dimiliki manusia prasejarah. Mereka mengenal estetika berupa benda perhiasan untuk mempercantik diri,” ujar Ketut.
Contoh lain lagi, sejak 4.000 tahun lalu di Takengon, manusia Mongoloid mengenal cara pembuatan tembikar. Mereka membuat tembikar dari lumpur atau bahan baku di sekitar tempat tinggalnya. Tembikar dibuat dengan diameter sekitar 30 sentimeter dan tinggi sekitar 60 cm. Tembikar itu tak dibuat begitu saja, tetapi diberi corak horizontal-vertikal. Umumnya, tembikar itu digunakan sebagai tempat bekal kubur.
Pembuatan tembikar ini menunjukkan manusia prasejarah di Takengon sudah memanfaatkan secara optimal lingkungan di sekitarnya. Mereka juga memahami fungsi setiap benda yang dibuatnya. ”Mereka juga membuat benda dengan ketelitian yang tergolong sangat baik di zamannya,” kata Ketut. Peradaban Autronesia dari Takengon ini tidak berhenti di zamannya. Peradaban itu terus dibawa hingga sekarang.
Mulai terlupakan
Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Aceh Tengah Amir Hamzah menuturkan, hasil penelitian di situs prasejarah Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang membuka cakrawala ilmu pengetahuan bagi masyarakat Aceh Tengah. ”Muncul kebanggaan dalam diri kami, peradaban kami telah maju dan berkembang sejak dahulu,” tuturnya.
Namun, ujar Amir, ada keprihatinan yang muncul di masyarakat. Banyak kearifan lokal yang dibawa dari peradaban masa lalu yang mulai terlupakan saat ini. ”Anak muda zaman sekarang banyak terlena dengan budaya asing, terutama yang kebarat-baratan,” ujarnya.
Salah satu contoh adalah sudah jarang terlihat perajin tembikar bercorak horizontal-vertikal di Aceh Tengah. Tembikar sudah berganti dengan tembikar impor dari Tiongkok. ”Padahal, tembikar itu melambangkan kesakralan budaya nenek moyang orang Gayo,” kata Amir.
Hasil kebudayaan masa lalu lain yang juga rawan yakni tak banyak lagi rumah adat Gayo yang disebut Umah Edet Pitu Tujuh Ruang (Rumah Adat Pintu Tujuh Ruang) di dataran tinggi Gayo. Rumah itu sudah berganti dengan rumah modern berbahan beton.
Padahal, rumah adat Gayo mengandung kearifan lokal, yakni berteknologi anti gempa. Rumah seperti itu sangat aman di dataran tinggi Gayo.
Kompas, Sabtu, 23 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment