Bisnis Obat Menggiurkan, tapi Lemah Pengawasan
JAKARTA, KOMPAS - Tidak terkendalinya peredaran obat di Indonesia membuka peluang masuknya obat palsu, kedaluwarsa, dan obat yang diproduksi tak benar di masyarakat. Akibatnya, kesehatan bangsa tergadaikan dan kelanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional terancam. Namun, koordinasi dan penegakan aturan yang ada sangat lemah.
Obat adalah komoditas khusus sehingga pengaturannya tak bisa disamakan dengan barang konsumsi lain. Dengan pengaturan produksi dan distribusi yang ketat, masuknya obat ilegal, termasuk di dalamnya obat palsu, di masyarakat bisa dicegah.
”Obat ilegal berpotensi tidak aman, juga palsu, karena tak ada penilaian obyektif dan ilmiah dari ahli atau lembaga kompeten. Kemanjuran dan keamanannya pun tak terjamin,” kata Guru Besar Ilmu Farmakologi dan Farmasi Klinis Universitas Gadjah Mada Zullies Ikawati yang dihubungi dari Jakarta, Senin (8/8).
Obat ilegal adalah obat yang tak terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), termasuk obat palsu. Adapun obat palsu ialah obat yang diproduksi atau dikemas orang atau badan usaha yang tak berhak.
Dampak obat ilegal bagi kesehatan beragam. Itu tergantung kandungan, komposisi dan kondisi obat, serta penyakit yang diderita konsumen.
Bagi pasien yang perlu pengobatan segera atau penderita penyakit kronis, seperti penyakit jantung, mengonsumsi obat palsu yang tak ada zat aktifnya, misal berisi tepung saja, sama dengan tak minum obat. Itu bisa membuat penyakit yang diderita kian parah, menimbulkan komplikasi, hingga memicu kematian.
”Pasien rugi karena membeli obat yang tak berkhasiat dan justru menambah keparahan penyakit hingga meningkatkan biaya perawatan,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Ikatan Apoteker Indonesia Noffendri menambahkan, apa pun jenis obatnya, ilegal atau palsu, konsumen yang mendapat obat tak sesuai kebutuhan dan ketentuan mengalami gangguan fungsi hati dan ginjal. Dua organ itu berfungsi mengolah obat di tubuh.
Hati akan mengubah zat yang bersifat racun agar menjadi tak beracun bagi tubuh. Jika hati rusak, sifat racun zat itu tak bisa dinetralkan. Sementara ginjal bekerja layaknya penyaring. Jika kerja ginjal terganggu dan menyebabkan gagal berfungsi, kotoran tak akan tersaring dan menyebar ke sirkulasi darah hingga butuh cuci darah secara rutin.
”Jika kesemrawutan distribusi obat dibiarkan, beban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang mengelola Jaminan Kesehatan Nasional akan bengkak,” ujarnya.
Berbagai kondisi itu membuat derajat kesehatan warga yang diinginkan pemerintah sulit tercapai. ”Bahkan, derajat kesehatan masyarakat bisa turun karena terpapar obat ilegal dan palsu terus-menerus,” kata Zullies.
Bisnis menggiurkan
Maraknya peredaran obat ilegal dan palsu tak lepas dari besarnya pangsa pasar industri farmasi di dunia, termasuk Indonesia. Di negara-negara maju, peluang beredarnya obat ilegal dan palsu ditekan dengan menjaga alur produksi dan distribusi.
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia menyebut pasar produk farmasi Indonesia pada 2016 Rp 69,07 triliun dan akan jadi Rp 102,05 triliun pada 2020. Namun, tak ada data pasti nilai obat ilegal atau obat palsu di Indonesia.
”BPOM memperkirakan peredaran obat palsu 1-2 persen dari total obat yang beredar,” kata Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik, Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid.
Namun, riset Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan peredaran obat palsu di negara-negara berkembang 10-20 persen. Sementara di negara-negara maju sekitar 1 persen yang umumnya masuk melalui penjualan daring dan 40-50 persen di negara-negara Afrika.
”Semakin lemah pengawasan peredaran obat di suatu negara, makin tinggi potensi peredaran obat palsu,” kata Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturer Group Parulian Simanjuntak. Karena itu, potensi peredaran obat ilegal dan palsu di Indonesia jauh lebih besar dari yang diperkirakan BPOM.
Dari nilai ekonomi pemalsuan obat, Center for Medicine in the Public Interest di Amerika Serikat memperkirakan penjualan obat palsu di seluruh dunia mencapai 75 miliar dollar AS pada 2010 atau Rp 975 triliun dengan kurs Rp 13.000 per dollar AS. Pada 2014, jumlahnya diperkirakan naik hingga 200 miliar dollar AS atau Rp 2.600 triliun.
Di Indonesia, tak ada data pasti jumlah obat yang dipalsukan. Namun, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia dalam Dampak Pemalsuan Ekonomi di Indonesia 2014 menyebut nilai pemalsuan obat dan kosmetik di Indonesia tahun itu Rp 442 miliar. Kerugiannya terhadap produk domestik bruto Rp 6,4 triliun.
Lemah penindakan
Meski kerugian kesehatan dan ekonomi akibat obat ilegal dan palsu amat besar, upaya penindakannya sangat lemah. Dinas kesehatan di daerah yang mendapat kewenangan dari Kementerian Kesehatan untuk memberikan izin dan mengawasi sarana kefarmasian banyak yang tak menjalankan pengawasan karena tak memiliki sumber daya.
Lemahnya pengawasan itu membuat banyak warung, pedagang kaki lima, minimarket, toko obat, dan apotek yang tak berizin bisa memperjualbelikan obat. Itu membuka peluang masuknya tenaga pemasaran obat lepas yang tak berafiliasi dengan pedagang besar farmasi tertentu untuk memasarkan obat ilegal dan palsu ke sarana farmasi.
Sementara itu, pengawasan BPOM tak membuahkan hasil maksimal karena ringannya vonis pengadilan pada pelaku pengedar obat ilegal dan palsu. Akibatnya, tak ada efek jera dari penegakan hukum.
”Pelaku kejahatan farmasi yang ditangkap pun umumnya bukan aktor atau produsen utama,” kata Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan BPOM Hendri Siswadi.
Data BPOM menyebut vonis tertinggi pengadilan pada mereka hanya pidana penjara 2 bulan dan denda Rp 4 juta. Padahal, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebut ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda terbanyak Rp 1,5 miliar bagi pengedar obat ilegal dan palsu. (JOG/ADH/MZW)
Kompas, Selasa, 9 Agustus 2016
No comments:
Post a Comment