JAKARTA, KOMPAS — Peredaran obat ilegal dan palsu hanya bisa ditekan dengan pengawasan ketat jalur distribusi obat. Karena itu, pemerintah harus memulihkan dan menegakkan aturan pengawasan, mengakreditasi sarana kefarmasian dan fasilitas kesehatan, serta melibatkan apoteker dalam semua rantai pengawasan distribusi obat.
Terbongkarnya peredaran vaksin palsu menjadi bukti lemahnya pengawasan distribusi obat. Padahal, aturan pengawasan cukup lengkap.
"Ada kesenjangan regulasi pengawasan dengan realitas penerapannya di lapangan," kata Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan Widyaretna Buenastuti di Jakarta, Selasa (9/8).
Selama ini, pengawasan itu terbagi antara Kementerian Kesehatan melalui dinas kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Kepolisian Negara RI. Itu sebenarnya tak menjadi soal jika koordinasi di antara mereka berjalan baik.
Untuk deteksi dini beredarnya obat ilegal, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta mengingatkan BPOM agar rutin melaporkan logistik produksi obat dan distribusi obat tiap tiga bulan sekali.
Data itu perlu dibuka kepada publik sehingga warga bisa mengawasi. "Dari laporan itu bisa diketahui jumlah bahan baku yang dipakai dan banyaknya obat dibuat," katanya.
Mekanisme pengawasan lain yang bisa ditempuh, sesuai rekomendasi Rapat Koordinasi Nasional Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) 2016 awal Agustus ini di Surabaya, ialah mewajibkan pedagang besar farmasi menerapkan aturan cara distribusi obat yang baik. Selama ini, aturan itu bersifat sukarela.
"Untuk apotek, perlu dibuat dan diterapkan aturan cara pelayanan farmasi yang baik," kata Sekretaris Jenderal IAI Noffendri.
Akreditasi
Berbagai aturan itu bisa jadi alat mengakreditasi sarana farmasi yang terlibat distribusi obat. Akreditasi itu untuk memastikan apoteker ada di apotek dan asisten apoteker atau tenaga teknis kefarmasian mengawasi distribusi obat di toko obat. Dengan akreditasi rutin, penegakan aturan dan pengawasan sarana distribusi obat bisa berkelanjutan.
Selain sarana kefarmasian, akreditasi fasilitas layanan kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas, atau klinik, diperlukan.
"Akreditasi RS berkala, tiap tiga tahun sekali, jadi penangkal efektif masuknya obat ilegal dan palsu di RS," kata Ketua Eksekutif Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Sutoto.
Standar akreditasi KARS mewajibkan pemantauan dan penelusuran untuk melihat kesesuaian antara dokumen rumah sakit dan pelaksanaannya, tak bisa hanya pengecekan dokumen. Kini, dari 2.450 RS di Indonesia, baru 468 RS terakreditasi.
Becermin dari kasus pemalsuan vaksin, dari 14 RS yang diumumkan Badan Reserse Kriminal Polri, hanya 1 RS terakreditasi. Dari 2 RS yang diumumkan BPOM memakai vaksin palsu, 1 RS terakreditasi.
"Itu pun akreditasi tingkat perdana atau terendah, baru lulus 4 bab standar dari total 15 bab standar. Bab manajemen penggunaan obat belum lulus," ujarnya.
Pelibatan apoteker
Selain itu, sarana kefarmasian dan fasilitas layanan kesehatan wajib melibatkan apoteker dalam seluruh proses distribusi obat. Namun, demi mendapat obat murah, sebagian manajemen RS atau apotek tak melibatkan apoteker. Padahal, apoteker ialah orang yang punya kompetensi mengawasi standar dan keamanan produksi dan distribusi obat.
Dalam kasus vaksin palsu, banyak apoteker tak diikutkan dalam pembelian obat. Penjual obat umumnya berurusan dengan manajemen RS.
"Kalau apoteker dilibatkan, tak akan muncul alasan manajemen RS bahwa mereka tak tahu siapa pedagang besar farmasi resmi yang ditetapkan pemerintah," kata Noffendri.
Selain itu, sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit menyebut, RS tipe A wajib punya minimal 15 apoteker. Adapun RS tipe B harus punya 13 apoteker, RS tipe C 8 apoteker, dan RS tipe D minimal 3 apoteker. Sementara puskesmas harus memiliki minimal satu apoteker.
Nyatanya, banyak RS, puskesmas, dan klinik belum memiliki jumlah apoteker sesuai aturan. Padahal, jumlah apoteker yang ada diyakini cukup. Berdasarkan data Komite Farmasi Nasional, ada 54.921 apoteker yang terdaftar di Indonesia.
"Belum semua puskesmas memiliki apoteker," kata Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Maura Linda Sitanggang. Sebagai pengganti, urusan kefarmasian di puskesmas dipegang tenaga teknis kefarmasian, baik sarjana farmasi atau ahli madya farmasi.
(JOG/ADH/MZW)
Kompas, Rabu, 10 Agustus 2016
No comments:
Post a Comment