Lebih dari 80 Persen Sarana Kefarmasian Menyalahi Aturan
JAKARTA, KOMPAS — Terkuaknya peredaran vaksin palsu sejatinya merupakan bagian dari masalah lebih besar, yakni tak terkendalinya distribusi obat. Banyak obat, termasuk obat keras, diperjualbelikan bebas oleh orang ataupun badan usaha yang tak berhak atau menyalahi aturan. Meski berlangsung puluhan tahun, upaya serius pemerintah menegakkan aturan distribusi obat belum nyata.
Deretan toko yang menjual obat dan alat-alat kesehatan di Pasar Pramuka, Jakarta, Minggu (7/8). (Kompas/Heru Sri Kumoro)
Penelusuran Kompas hingga Minggu (7/8) di sejumlah pasar, warung, minimarket, pedagang kaki lima, toko obat, toko daring, dan apotek di Jakarta, Bogor, dan Tangerang Selatan menunjukkan mudahnya memperoleh obat. Kemudahan itu membuka peluang besar peredaran obat palsu, obat kedaluwarsa, obat tanpa izin edar, hingga obat-obatan yang mengandung bahan berbahaya.
Salah satu jenis obat yang mudah diperoleh ialah penggugur kandungan. Obat itu dijual pedagang minuman di Pasar Pramuka, Jakarta Timur. Meski dijual agak tersembunyi, banyak pedagang makanan dan minuman menawarkan jasa untuk mendapatkan obat itu.
“Sebetulnya, ini obat lambung, tetapi jika diminum sampai dua pil langsung, bisa menggugurkan kandungan,” kata Deden, penjual obat. Obat produksi pabrik ternama itu sebenarnya terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), tetapi penjualannya harus dengan resep dokter dan penggunaannya diawasi.
Berbagai jenis obat bebas pun mudah didapat. Meski obat bebas, sesuai aturan, badan usaha yang boleh menjualnya adalah toko obat atau apotek. Nyatanya, banyak warung dan minimarket bebas menjualnya meski tanpa izin dari dinas kesehatan.
“Saya mendapat obat ini dari agen penjual rokok,” kata Yanti, pemilik warung kelontong di Jalan Siliwangi, Pamulang, Tangerang Selatan. Beberapa bungkus obat yang dijual berdebu dan lapisan aluminium sobek.
Salah satu obat yang dijual Yanti memiliki masa kedaluwarsa Juni 2015. Pola penjualan obat per biji atau satuan, bukan per strip atau blister, membuat tanggal kedaluwarsa obat tak terdeteksi. Penjualan obat per satuan itu tak diperbolehkan, tetapi banyak dijumpai di masyarakat.
Di tempat lain, obat dijual dalam bungkusan plastik tanpa merek yang dikenal dengan sebutan “setelan”. Setiap bungkusan setelan berisi beberapa pil, tablet, atau kapsul, yang umumnya untuk mengobati penyakit tertentu, seperti rematik dan asam urat.
Meski penjualan setelan itu juga dilarang, obat model itu mudah ditemukan di warung, pedagang kaki lima, dan toko obat di Cariu, Kabupaten Bogor. Obat itu juga dijual pedagang obat keliling di Jatinegara, Jakarta Timur, dan depan Gelanggang Remaja, Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Meski tidak mengetahui jenis obat yang diminum dan keasliannya tak terjamin, banyak warga meminatinya. Harganya pun amat murah, Rp 5.000-Rp 10.000 per bungkus. “Obatnya manjur. Cukup dua kali minum, sakit di kaki hilang,” kata Tisna (70) yang biasa mengonsumsi setelan.
Di sarana farmasi pun dijumpai pelanggaran aturan penjualan obat. Obat dengan resep dokter, yang seharusnya hanya bisa dibeli di apotek, nyatanya dapat dibeli bebas di toko obat, toko daring, dan apotek meski tanpa resep dokter. Padahal, keterangan di kemasan obat menyebut harus dengan resep dokter.
Selain itu, banyak klinik dokter bisa memberi obat meski mereka tak punya sarana kefarmasian. Itu membuat konsumsi obat resep selama pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional tak meningkat signifikan. Padahal, tingginya kunjungan peserta JKN ke fasilitas kesehatan seharusnya menaikkan penjualan obat resep.
Regulasi ketat
Pola penjualan dan distribusi obat yang serampangan serta perilaku masyarakat yang mau mudah mendapat obat dan sembuh dengan cepat membuat maraknya peredaran obat yang menyalahi aturan. Itu membuka peluang masuknya obat palsu, obat dengan zat aktif tak sesuai, dan mengancam nyawa konsumen.
Obat sejatinya diatur amat ketat, mulai dari produksi, distribusi, sampai pemberian ke konsumen. Sebab, obat ialah bahan kimia yang punya reaksi farmakologi, bisa menguntungkan atau merugikan. Karena itu, peredaran obat diatur ketat di tiap aspek untuk menghindari peluang masuknya obat ilegal yang membahayakan. “Apoteker saja tak bisa membedakan obat asli atau palsu,” kata Sekjen Ikatan Apoteker Indonesia Noffendri.
Berbagai masalah yang muncul di lapangan menunjukkan buruknya manajemen kefarmasian di Indonesia. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid mengakui, terlalu banyak masalah dalam distribusi kefarmasian di Indonesia saat ini. “Pengawasan oleh sejumlah pihak terputus-putus, tak berada dalam satu komando,” katanya.
Pengawasan BPOM terbatas pada produknya dan pengawasan di sarana kefarmasian oleh Kementerian Kesehatan lewat dinas kesehatan di daerah. Dinas kesehatan umumnya tak punya sumber daya pengawasan.
Data BPOM tahun 2014 menyebut, 84,16 persen dari 8.510 sarana kefarmasian seperti apotek, toko obat, instalasi farmasi rumah sakit, klinik atau balai pengobatan, dan puskesmas melanggar ketentuan distribusi obat. Pada 2015, jumlahnya turun jadi 81,89 persen dari 7.516 sarana.
Pelanggaran yang dilakukan sarana kefarmasian itu antara lain tak memiliki izin, tak punya tenaga kefarmasian, dan penyimpanan obat tidak baik. Ada pula yang menjual obat tanpa izin edar, tidak memusnahkan obat kedaluwarsa, atau menjual obat keras tanpa resep dokter.
Lemahnya pengawasan itu menjadi ironi mengingat Indonesia memiliki sangat banyak aturan kefarmasian. Bahkan, menurut Noffendri, banyak negara mengagumi kelengkapan aturan kefarmasian di Indonesia. Kondisi itu membuat penjualan obat di sarana farmasi resmi banyak masalah. “Regulasi lengkap, tinggal implementasinya,” ujarnya.
(UTI/MDN/JOG/ADH/MZW)
Kompas, Senin, 8 Agustus 2016
No comments:
Post a Comment