Wednesday, 28 October 2020

Peran Sie Kong Lian dan Pemuda Papua dalam Sumpah Pemuda

 Oleh IWAN SANTOSA

“Kalau tiba waktunya, hibahkan gedung ini untuk negara. Tolong sediakan ruangan untuk mengenang papi,” itulah pesan dokter Juliar Silman, putra Sie Kong Lian, pemilik rumah yang digunakan untuk Konggres Pemuda II, kepada keluarganya tentang rumah di Jalan Kramat Raya Nomor 106 yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda.

Gedung Jalan Kramat Raya 106, tempat terjadinya Sumpah Pemuda 1928, juga tempat para pemuda tergabung dalam Indonesisch Clubgebouw IC, menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia II tahun 1928. Gambar gedung sudah dipugar, dimuat Kompas, Minggu (28/10/1984). (KOMPAS/HASANUDDIN ASSEGAFF)

Setiap tahun, bangsa Indonesia mengenang peringatan Sumpah Pemuda yang disampaikan dalam Konggres Pemuda II yang digelar di sejumlah lokasi di Batavia tanggal 27-28 Oktober 1928. Selama ini, ingatan terhadap Konggres Pemuda II umumnya berkisar pada kesepakatan Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, yang sepakat tumpah darah satu, berbangsa satu, dan bahasa yang satu: Indonesia!

Pendiri Museum Benteng Heritage, Udaya Halim, dalam seminar ”Sumpah Pemuda, Tionghoa Ikut?”, Senin, 19 Oktober 2020, yang diadakan Rumah Bhinneka, Universitas Ciputra, Universitas Kristen Satya Wacana, Jaringan Gus Durian, dan beberapa lembaga terkait, mengatakan, konggres diadakan di kompleks Katedral Jakarta, sebuah gedung bioskop, dan ditutup di Gedung Indonesische Studie Club, yakni rumah kos para aktivis di Kramat Raya Nomor 106.

Udaya Halim, dalam penelusuran kearsipan dan keluarga ahli waris, mendapati rumah tersebut dibeli Sie Kong Lian tahun 1908. Selanjutnya, rumah itu dijadikan kos bagi para mahasiswa kedokteran di STOVIA (School Tot Opleiding van Indische Aartsen) atau Sekolah Dokter Bumiputera dalam kurun waktu 1927-1934.

Oleh karena terkesan dengan para anak semang mahasiswa kedokteran yang tinggal, Sie Kong Lian, menurut Udaya Halim, ingin agar anak-anaknya kelak menjadi dokter. Dalam keseharian, Sie Kong Lian memiliki toko yang berjualan ranjang dan perlengkapan kamar tidur di bilangan Pasar Senen Raya Nomor 95. Udaya Halim mencatat, Sie Kong Lian adalah ahli kungfu yang anak cucunya kini menjadi dokter.

Kompas tahun lalu sempat bertemu dokter Christian Silman, buyut langsung Sie Kong Lian yang membenarkan bahwa sebagian besar keluarganya bekerja di bidang medis sebagai dokter. ”Salah satu putra beliau dokter Juliar Silman (Sie Hok Liang) yang adalah kakek saya, adalah salah satu perintis Studi Akupunktur di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,” kata Christian Silman.

Selanjutnya dari enam anak, tiga putra dan tiga putri dari Sie Hok Liang, semuanya menggeluti profesi dokter. Bahkan, ada tempat praktik bersama bagi mereka anak-beranak keturunan dari Sie Hok Lian.

Menurut Christian Silman, kakek buyutnya memiliki beberapa rumah dan toko di bilangan Senen–Meester Cornelis. Daerah tersebut berada tidak jauh dari Kampus STOVIA dan Rumah Sakit seperti CBZ–RSCM–dan RSPAD Gatot Soebroto yang di masa silam merupakan rumah sakit penting di Kota Batavia.

Udaya Halim lebih lanjut menerangkan, harapan Sie Kong Lian terkabul ketika putranya, Sie Hok Liang alias Yuliar Silman, menjadi dokter dan lulus dari STOVIA. Selanjutnya dari generasi cucu Sie Kong Lian ada dokter Sie Tjian Sin atau dokter Indra Silman, dokter Sie Hwie Lian atau dokter Yanti Silman, dokter Sie Tjian Ho atau dokter Erwin Silman. Klinik keluarga mereka terdapat di Jalan Senen Raya Nomor 40 berseberangan dengan toko milik leluhur mereka di Jalan Senen Raya Nomor 95.

Konggres dalam tekanan penjajah

Situasi politik semasa Konggres Pemuda II tahun 1928 sangat mencekam. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di bawah gubernur baru saja menindak perlawanan komunis di Cilegon, Banten, dan Sumatera Barat yang bekerja sama dengan kelompok agama melawan Pemerintah Kolonial Belanda. Meski demikian, para pemuda tidak gentar, semisal WR Supratman, pengarang lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”, justru merekam lagu Indonesia (belum disebut sebagai ”Indonesia Raya”) di Toko Populaire, milik Yo Kim Tjan di Pasar Baru.

Pada 28 Oktober 1928 di halaman depan Gedung IC, Jalan Kramat 106, Jakarta. Tampak duduk dari kiri ke kanan antara lain Prof Mr. Sunario dan Dr Sumarsono. Berdiri dari kiri ke kanan antara lain Prof Mr Muh Yamin dan Suwondo. (REPRO IDAYU FOTO)

Terkait rekaman tersebut, Des Alwi (alm) memperkenalkan Kompas pada Ayung yang membeli Toko Populaire dari keluarga Yo Kim Tjan. Adapun Udaya Halim berhasil bertemu dengan keluarga besar Kartika Yo, putri Yo Kim Tjan, dan mendokumentasikan informasi tentang rekaman ”Indonesia Raya” tahun 1927, setahun sebelum Sumpah Pemuda. Udaya Halim juga sempat mengajak Kompas bertemu Kartika Yo di tahun 2014, setahun sebelum Kartika Yo wafat.

Ketika itu, rekaman dilakukan WR Supratman dan orkes Populaire milik Yo Kim Tjan dengan sembunyi-sembunyi karena ketatnya pengawasan penjajah Belanda. Sebelumnya, WR Supratman menawarkan kepada Firma Odeon milik seorang Belanda untuk merekam lagunya, tetapi ditolak. Pun upayanya mendekati Tio Tek Hong, pemilik perusahaan rekaman dan piringan hitam di Pasar Baru, juga ditolak karena gerakan kebangsaan saat itu dapat menyulitkan siapa pun yang dianggap membantu atau menyokong, termasuk di kalangan pengusaha.

Walhasil, rekaman dilakukan dengan bantuan Yo Kim Tjan di rumahnya di bilangan Gunung Sahari. Kemudian, WR Supratman yang bekerja di koran Melayu Tionghoa, Sin Po, memainkan lagu ”Indonesia” dalam penutupan Konggres Pemuda II di Jalan Kramat Raya Nomor 106.

Semasa itu, keberadaan para aktivis dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan aktivis Pemuda-pemudi Islam dalam organisasi Jong Sumatranen Bond, Jong Java, Jong Borneo, serta Jong Ambon selama ini sudah dikenal dan tercatat dalam sejarah Sumpah Pemuda.

Keberadaan pemuda Tionghoa dalam Konggres Pemuda II tersebut tidak pernah muncul dalam narasi sejarah, terutama zaman Orde Baru ketika hubungan antarsuku, agama, dan ras harus menjadi ”air dan minyak” yang terpisah. Padahal, ada sosok pemuda Kwee Tiam Hong, seorang Pandu yang ikut Jong Sumatranen Bond, Oey Kay Siang, Lauw Tjoan Hok, dan Tjo Djien Kwie, serta Johan Mohammad Tjai, anggota Jong Islamieten Bond.

Semasa Prakemerdekaan, hubungan antarras sejatinya akrab. Semisal Liem Koen Hian tokoh pers Melayu-Tionghoa adalah mentor dan sahabat dari AR Baswedan, tokoh peranakan Arab. Demikian pula di golongan Indo-Eropa ada Douwes Dekker hingga PF Dahler yang terlibat dalam BPUPK mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia. Sejatinya Indonesia dibidani dan dilahirkan dari semua golongan masyarakat!

Keterlibatan pemuda Papua

Ketua Barisan Merah Putih (BMP) Papua Ramses Ohee, putra dari Abner Poreu Ohee yang asli dari Danau Sentani, Provinsi Papua, dalam peringatan Sumpah Pemuda tahun 2019 di Jayapura, menceritakan keterlibatan ayahnya dalam Konggres Pemuda II tahun 1928. Pada zaman itu, pemuda Abner Ohee berangkat dari Papua ke Batavia menempuh perjalanan jauh dan berliku.

”Ayah saya datang diajak Sultan Tidore dan bergabung dalam delegasi Jong Ambon. Pemuda Papua juga terlibat dalam Sumpah Pemuda dan kesepakatan satu nusa, bangsa, dan bahasa yang satu, yakni Indonesia,” kata Ramses tahun lalu. Selain itu, Ramses Ohee mengingatkan, ada Aitai Karubaba asal Papua yang juga terlibat dalam Konggres Pemuda II. Nama keluarga Karubaba adalah marga asal Pulau Yapen di Kepulauan Yapen-Waropen, Papua.

Itulah semangat persatuan dari Sabang-Merauke. Di Museum Pangkalan Udara Merauke, Papua juga terdapat foto-foto tokoh pergerakan dan pemuda setempat yang bekerja sama di masa penjajahan Belanda. Beberapa kali gerakan mereka ditindak penjajah Belanda, tetapi keturunan dari aktivis yang dibuang Belanda ke Merauke dan warga asli Merauke, seperti suku Marind, terus bekerja sama dan berhubungan baik.

Karena kedekatan hubungan tersebut, tidak heran semasa perebutan Irian dari Belanda sejak kampanye Trikora dilancarkan, Merauke, Sorong, dan beberapa tempat di Papua menjadi sasaran pendaratan dan penyusupan infiltran relawan dan TNI ke wilayah Irian Barat.

Percampuran darah Nusantara

Arkeolog senior Harry Truman Simanjuntak, yang juga berbicara dalam seminar bersama Udaya Halim, menerangkan, Indonesia adalah surga karena memiliki sejarah puluhan ribu tahun dan menjadi pusat percampuran darah leluhur yang berdarah Melanesia yang datang lebih awal dan warga Mongoloid yang datang kemudian dari daratan China sebelah selatan.

”Diawali dengan migrasi ke Nusantara, beradaptasi, interaksi dengan alam, dan evolusi lokal. Berawal dari Homo erectus ke Homo sapiens atau manusia modern sekarang. Leluhur awal di Nusantara adalah Australo melanesid yang dominan di wilayah timur seperti di Papua. Selanjutnya masuk kelompok Mongoloid yang tergolong Austronesia datang dari daratan China selatan melalui Taiwan ke Nusantara, dan ada Mongoloid kelompok Austroasiatik yang migrasi dari China selatan melalui daratan Asia Tenggara. Wilayah asal mereka di China adalah kawasan yang kini kita kenal sebagai Yunnan-Guang Xi-Guang Dong. Bukti didapat secara arkeologi dan DNA,” kata Simanjuntak.

Selanjutnya pada era Masehi terjadi interaksi perdagangan China-India-Timur Tengah dan Eropa yang melibatkan leluhur di Kepulauan Nusantara. Pada zaman perdagangan Jalur Sutera, Nusantara pun terlibat dalam Jalur Rempah. Percampuran darah dan budaya sudah terjadi sekian lama di Nusantara.

Kearifan lokal dan kebesaran peradaban manusia Nusantara, menurut Simanjuntak, adalah warisan leluhur Nusantara yang harus dijaga. Indonesia adalah keluarga besar yang saling membutuhkan dan bersatu dalam Rumah Besar Indonesia. Satu Tumpah Darah, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Selamat Hari Sumpah Pemuda!


No comments:

Post a Comment