Oleh IWAN SANTOSA
“Kalau tiba waktunya, hibahkan gedung ini untuk negara.
Tolong sediakan ruangan untuk mengenang papi,” itulah pesan dokter Juliar
Silman, putra Sie Kong Lian, pemilik rumah yang digunakan untuk Konggres Pemuda
II, kepada keluarganya tentang rumah di Jalan Kramat Raya Nomor 106 yang kini
menjadi Museum Sumpah Pemuda.
Setiap tahun, bangsa Indonesia mengenang peringatan Sumpah Pemuda yang disampaikan dalam Konggres Pemuda II yang digelar di sejumlah lokasi di Batavia tanggal 27-28 Oktober 1928. Selama ini, ingatan terhadap Konggres Pemuda II umumnya berkisar pada kesepakatan Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, yang sepakat tumpah darah satu, berbangsa satu, dan bahasa yang satu: Indonesia!
Pendiri Museum Benteng Heritage, Udaya Halim, dalam seminar
”Sumpah Pemuda, Tionghoa Ikut?”, Senin, 19 Oktober 2020, yang diadakan Rumah
Bhinneka, Universitas Ciputra, Universitas Kristen Satya Wacana, Jaringan Gus
Durian, dan beberapa lembaga terkait, mengatakan, konggres diadakan di kompleks
Katedral Jakarta, sebuah gedung bioskop, dan ditutup di Gedung Indonesische
Studie Club, yakni rumah kos para aktivis di Kramat Raya Nomor 106.
Udaya Halim, dalam penelusuran kearsipan dan keluarga ahli
waris, mendapati rumah tersebut dibeli Sie Kong Lian tahun 1908. Selanjutnya,
rumah itu dijadikan kos bagi para mahasiswa kedokteran di STOVIA (School Tot
Opleiding van Indische Aartsen) atau Sekolah Dokter Bumiputera dalam kurun
waktu 1927-1934.
Oleh karena terkesan dengan para anak semang mahasiswa
kedokteran yang tinggal, Sie Kong Lian, menurut Udaya Halim, ingin agar
anak-anaknya kelak menjadi dokter. Dalam keseharian, Sie Kong Lian memiliki
toko yang berjualan ranjang dan perlengkapan kamar tidur di bilangan Pasar
Senen Raya Nomor 95. Udaya Halim mencatat, Sie Kong Lian adalah ahli kungfu
yang anak cucunya kini menjadi dokter.
Kompas tahun lalu
sempat bertemu dokter Christian Silman, buyut langsung Sie Kong Lian yang
membenarkan bahwa sebagian besar keluarganya bekerja di bidang medis sebagai
dokter. ”Salah satu putra beliau dokter Juliar Silman (Sie Hok Liang) yang
adalah kakek saya, adalah salah satu perintis Studi Akupunktur di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia,” kata Christian Silman.
Selanjutnya dari enam anak, tiga putra dan tiga putri dari
Sie Hok Liang, semuanya menggeluti profesi dokter. Bahkan, ada tempat praktik
bersama bagi mereka anak-beranak keturunan dari Sie Hok Lian.
Menurut Christian Silman, kakek buyutnya memiliki beberapa
rumah dan toko di bilangan Senen–Meester Cornelis. Daerah tersebut berada tidak
jauh dari Kampus STOVIA dan Rumah Sakit seperti CBZ–RSCM–dan RSPAD Gatot
Soebroto yang di masa silam merupakan rumah sakit penting di Kota Batavia.
Udaya Halim lebih lanjut menerangkan, harapan Sie Kong Lian
terkabul ketika putranya, Sie Hok Liang alias Yuliar Silman, menjadi dokter dan
lulus dari STOVIA. Selanjutnya dari generasi cucu Sie Kong Lian ada dokter Sie
Tjian Sin atau dokter Indra Silman, dokter Sie Hwie Lian atau dokter Yanti
Silman, dokter Sie Tjian Ho atau dokter Erwin Silman. Klinik keluarga mereka
terdapat di Jalan Senen Raya Nomor 40 berseberangan dengan toko milik leluhur
mereka di Jalan Senen Raya Nomor 95.
Konggres dalam tekanan penjajah
Situasi politik semasa Konggres Pemuda II tahun 1928 sangat
mencekam. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di bawah gubernur baru saja
menindak perlawanan komunis di Cilegon, Banten, dan Sumatera Barat yang bekerja
sama dengan kelompok agama melawan Pemerintah Kolonial Belanda. Meski demikian,
para pemuda tidak gentar, semisal WR Supratman, pengarang lagu kebangsaan
”Indonesia Raya”, justru merekam lagu Indonesia (belum disebut sebagai
”Indonesia Raya”) di Toko Populaire, milik Yo Kim Tjan di Pasar Baru.
Terkait rekaman tersebut, Des Alwi (alm) memperkenalkan Kompas pada Ayung yang membeli Toko Populaire dari keluarga Yo Kim Tjan. Adapun Udaya Halim berhasil bertemu dengan keluarga besar Kartika Yo, putri Yo Kim Tjan, dan mendokumentasikan informasi tentang rekaman ”Indonesia Raya” tahun 1927, setahun sebelum Sumpah Pemuda. Udaya Halim juga sempat mengajak Kompas bertemu Kartika Yo di tahun 2014, setahun sebelum Kartika Yo wafat.
Ketika itu, rekaman dilakukan WR Supratman dan orkes
Populaire milik Yo Kim Tjan dengan sembunyi-sembunyi karena ketatnya pengawasan
penjajah Belanda. Sebelumnya, WR Supratman menawarkan kepada Firma Odeon milik
seorang Belanda untuk merekam lagunya, tetapi ditolak. Pun upayanya mendekati
Tio Tek Hong, pemilik perusahaan rekaman dan piringan hitam di Pasar Baru, juga
ditolak karena gerakan kebangsaan saat itu dapat menyulitkan siapa pun yang
dianggap membantu atau menyokong, termasuk di kalangan pengusaha.
Walhasil, rekaman dilakukan dengan bantuan Yo Kim Tjan di
rumahnya di bilangan Gunung Sahari. Kemudian, WR Supratman yang bekerja di
koran Melayu Tionghoa, Sin Po,
memainkan lagu ”Indonesia” dalam penutupan Konggres Pemuda II di Jalan Kramat
Raya Nomor 106.
Semasa itu, keberadaan para aktivis dari Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan aktivis Pemuda-pemudi Islam dalam organisasi
Jong Sumatranen Bond, Jong Java, Jong Borneo, serta Jong Ambon selama ini sudah
dikenal dan tercatat dalam sejarah Sumpah Pemuda.
Keberadaan pemuda Tionghoa dalam Konggres Pemuda II tersebut
tidak pernah muncul dalam narasi sejarah, terutama zaman Orde Baru ketika
hubungan antarsuku, agama, dan ras harus menjadi ”air dan minyak” yang
terpisah. Padahal, ada sosok pemuda Kwee Tiam Hong, seorang Pandu yang ikut
Jong Sumatranen Bond, Oey Kay Siang, Lauw Tjoan Hok, dan Tjo Djien Kwie, serta
Johan Mohammad Tjai, anggota Jong Islamieten Bond.
Semasa Prakemerdekaan, hubungan antarras sejatinya akrab.
Semisal Liem Koen Hian tokoh pers Melayu-Tionghoa adalah mentor dan sahabat
dari AR Baswedan, tokoh peranakan Arab. Demikian pula di golongan Indo-Eropa
ada Douwes Dekker hingga PF Dahler yang terlibat dalam BPUPK mempersiapkan
kemerdekaan Republik Indonesia. Sejatinya Indonesia dibidani dan dilahirkan
dari semua golongan masyarakat!
Keterlibatan pemuda Papua
Ketua Barisan Merah Putih (BMP) Papua Ramses Ohee, putra
dari Abner Poreu Ohee yang asli dari Danau Sentani, Provinsi Papua, dalam
peringatan Sumpah Pemuda tahun 2019 di Jayapura, menceritakan keterlibatan ayahnya
dalam Konggres Pemuda II tahun 1928. Pada zaman itu, pemuda Abner Ohee
berangkat dari Papua ke Batavia menempuh perjalanan jauh dan berliku.
”Ayah saya datang diajak Sultan Tidore dan bergabung dalam
delegasi Jong Ambon. Pemuda Papua juga terlibat dalam Sumpah Pemuda dan
kesepakatan satu nusa, bangsa, dan bahasa yang satu, yakni Indonesia,” kata
Ramses tahun lalu. Selain itu, Ramses Ohee mengingatkan, ada Aitai Karubaba
asal Papua yang juga terlibat dalam Konggres Pemuda II. Nama keluarga Karubaba
adalah marga asal Pulau Yapen di Kepulauan Yapen-Waropen, Papua.
Itulah semangat persatuan dari Sabang-Merauke. Di Museum
Pangkalan Udara Merauke, Papua juga terdapat foto-foto tokoh pergerakan dan
pemuda setempat yang bekerja sama di masa penjajahan Belanda. Beberapa kali
gerakan mereka ditindak penjajah Belanda, tetapi keturunan dari aktivis yang
dibuang Belanda ke Merauke dan warga asli Merauke, seperti suku Marind, terus
bekerja sama dan berhubungan baik.
Karena kedekatan hubungan tersebut, tidak heran semasa
perebutan Irian dari Belanda sejak kampanye Trikora dilancarkan, Merauke,
Sorong, dan beberapa tempat di Papua menjadi sasaran pendaratan dan penyusupan
infiltran relawan dan TNI ke wilayah Irian Barat.
Percampuran darah Nusantara
Arkeolog senior Harry Truman Simanjuntak, yang juga
berbicara dalam seminar bersama Udaya Halim, menerangkan, Indonesia adalah
surga karena memiliki sejarah puluhan ribu tahun dan menjadi pusat percampuran
darah leluhur yang berdarah Melanesia yang datang lebih awal dan warga
Mongoloid yang datang kemudian dari daratan China sebelah selatan.
”Diawali dengan migrasi ke Nusantara, beradaptasi, interaksi
dengan alam, dan evolusi lokal. Berawal dari Homo erectus ke Homo sapiens atau
manusia modern sekarang. Leluhur awal di Nusantara adalah Australo melanesid
yang dominan di wilayah timur seperti di Papua. Selanjutnya masuk kelompok
Mongoloid yang tergolong Austronesia datang dari daratan China selatan melalui
Taiwan ke Nusantara, dan ada Mongoloid kelompok Austroasiatik yang migrasi dari
China selatan melalui daratan Asia Tenggara. Wilayah asal mereka di China
adalah kawasan yang kini kita kenal sebagai Yunnan-Guang Xi-Guang Dong. Bukti
didapat secara arkeologi dan DNA,” kata Simanjuntak.
Selanjutnya pada era Masehi terjadi interaksi perdagangan
China-India-Timur Tengah dan Eropa yang melibatkan leluhur di Kepulauan
Nusantara. Pada zaman perdagangan Jalur Sutera, Nusantara pun terlibat dalam
Jalur Rempah. Percampuran darah dan budaya sudah terjadi sekian lama di
Nusantara.
Kearifan lokal dan kebesaran peradaban manusia Nusantara,
menurut Simanjuntak, adalah warisan leluhur Nusantara yang harus dijaga.
Indonesia adalah keluarga besar yang saling membutuhkan dan bersatu dalam Rumah
Besar Indonesia. Satu Tumpah Darah, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Selamat Hari
Sumpah Pemuda!
No comments:
Post a Comment