Oleh IWAN PRANOTO
Menurut beberapa ilmuwan penyintas zaman, manusia hari ini terlalu cepat percaya dan kurang skeptis terhadap hasil penghitungan komputer. Kecakapan bernalar, intuisi, sense, dan pengalaman dalam penghitungan kian surut.
Sejak awal
abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-20, kata computer atau komputer ditujukan
kepada pekerjaan atau orang yang bertugas menghitung suatu perhitungan. Bahkan,
pada 1960-an, seorang wanita ahli geometri analitik, Katherine Johnson,
merupakan salah satu human computer atau komputer manusia di NASA yang perannya
amat berarti dalam sejarah penjelajahan umat manusia ke angkasa. Nona Johnson
juga terlibat menghitung lintasan misi Apollo 11 yang berhasil menjelajah
Bulan. Kisah suka-dukanya diabadikan dalam film Hidden Figures.
Namun, jika
kata ”komputer” diucapkan seseorang sekarang, yang langsung tergambar di benak
ialah sebuah perangkat elektronik, sebuah mesin, sama sekali bukan manusia.
Keterlibatan benda komputer dalam kehidupan modern ini telah mengubah budaya.
Khususnya, bagaimana manusia berpikir dan belajar hari ini telah mengalami
lompatan besar berkat adanya komputer. Ketersediaan dan kelekatan perangkat
komputer yang berkolaborasi dengan badan sekaligus benak manusia telah mengubah
dan mempercepat cara memproduksi pengetahuan.
Produksi pengetahuan
Berkat
komputer semakin berukuran kecil dan nirkabel sehingga mungkin dibawa ke mana-mana,
manusia hari ini berpikir, belajar, dan menyelesaikan masalah kerap melibatkan
komputer. Ini berbeda dari zaman sebelumnya. Yang tadinya mengandalkan
kemampuan benaknya semata, sekarang manusia berdampingan dengan komputer
memproduksi pengetahuan.
Sulit
dibayangkan bagaimana rekayasawan pesawat terbang, ilmuwan perbintangan, ahli
perminyakan, geologiwan, dan banyak pakar bidang lainnya di zaman prakomputer
dapat menuntaskan pekerjaannya yang melibatkan data besar. Bahkan, kurang dari
lima dekade lampau, masih dapat ditemui pakar pertambangan atau perminyakan di
lapangan hanya bermodalkan gambar penampang tanah yang dilukis dengan pensil
berwarna atau paling banter peta topografi untuk menentukan lokasi pengeboran.
Mengagumkannya, desain serta prediksi para ahli itu banyak yang memiliki
ketelitian tak berbeda secara signifikan dengan perhitungan zaman ini.
Dari hasil
diskusi dengan para pakar yang mengalami zaman prakomputer, mereka umumnya
menyebut bernalar, intuisi, sense
(perasaan), dan pengalaman sebagai unsur yang membuatnya berhasil kala itu.
Mereka juga dapat dengan mudah mengenali hasil penghitungan yang salah karena,
sebelum berhitung, mereka sudah punya prakiraan hasil yang diharapkan.
Kecakapan ini yang sekarang mulai surut, menurut beberapa ilmuwan penyintas
zaman tersebut. Mereka mengritik bahwa manusia hari ini terlalu cepat percaya dan
kurang skeptis atau meragui hasil penghitungan komputer.
Walau belum
ada komputer digital, para pakar zaman prakomputer juga dibantu komputer
manusia dan umumnya pasukan komputer manusia ini tak dikenal karena berada di
belakang panggung. Pembuatan almanak perbintangan, tabel trigonometri, dan
tabel logaritma semuanya mengandalkan kedigdayaan komputer manusia. Singkatnya,
sampai pertengahan Abad ke-20, umat manusia memproduksi pengetahuan
mengandalkan benaknya semata atau, paling banyak, dibantu slide rule (penggaris geser.)
Dunia
keilmuan kemudian dalam sekejap berubah drastis, sesudah komputer elektronik
tersedia luas. Manusia berkolaborasi dengan mesin untuk mengembangkan
pengetahuannya. Ilmu pengetahuan empiris (alam ataupun sosial) utamanya sangat
dipengaruhi sekaligus diuntungkan dengan gelombang komputer digital ini.
Prinsip produksi
pengetahuan boleh saja masih tetap sama dengan zaman sebelumnya, tetapi
komputer elektronik sudah menggantikan komputer manusia. Manusia mulai saat itu
mendelegasikan sebagian pekerjaan kognitifnya ke komputer. Keuntungannya, data
yang dipelajari dapat lebih besar serta hasil penghitungan lebih akurat, cepat,
dan andal.
Satu
pekerjaan pertama yang dialihkan ke komputer elektronik ialah berhitung, yakni
sebuah kegiatan kognitif manusia yang sama persis dengan nama mesin itu,
komputer atau penghitung. Maka, kemudian mulailah manusia menambah kecakapan
barunya, yaitu keterampilan memerintah serta mengajar mesin untuk mengerjakan
tugas-tugas berhitungnya.
Berkomputer
Istilah computational thinking (CT) dicetuskan pertama
kali tahun 1980 oleh matematikawan cum ilmuwan cognitive science dan satu pendiri MIT Artificial Intelligence
Laboratory, Seymour Papert, melalui bukunya Mindstorm:
Children, Computers, and Powerful Ideas. Salinan lunak buku revolusioner
ini sekarang dapat diunduh gratis berkat kemurahan hati keluarga mendiang
Papert dan Media Lab di MIT.
Walau tak
dijabarkan makna CT secara eksplisit di Mindstorm
dan memang sampai sekarang pun belum ada pendefinisian yang memuaskan, Papert
mengungkapkan bahwa pelibatan komputer akan menggagas ulang cara manusia
belajar dan belajar berpikir. Maka, konsekuensinya, pengetahuan yang diproduksi
melalui proses belajar bersama komputer itu akan mengubah perkembangan ilmu
pengetahuan.
Namun,
harus diakui, istilah CT dipopulerkan oleh Jeannette Wing melalui esainya Computational Thinking (Wing, 2006.) Di
situ, Wing mengartikan CT sebagai kumpulan sikap dan keterampilan yang dapat
dimanfaatkan, khususnya, untuk menyelesaikan masalah yang akan dikerjakan oleh
manusia atau mesin. Dalam tulisan itu, singkatnya, Wing menyamakan CT dengan
berpikir seperti seorang computer
scientist. Pengertian CT ala Wing ini kemudian mendominasi narasi CT sampai
sekarang.
Meski
demikian, pengertian computational
thinking, yang dihantarkan melalui narasi tersebut, telah menyusut dari
gagasan besar yang diimajinasikan Papert semula (Barba, 2016). Mungkin berkat
pengalaman belajar sebelumnya dengan pakar pendidikan Jean Piaget, Papert
percaya bahwa penggunaan komputer di dunia pendidikan memungkinkan siswa untuk
meningkatkan kecakapan belajar serta kemampuan berpikirnya.
Anak yang
mengajar komputer bagaimana berpikir (bukan diajar komputer) akan memikirkan
proses berpikirnya. Pengalaman layaknya seorang epistemologis (orang yang
mempelajari bagaimana kita mengetahui sesuatu) seperti ini belum tentu telah
dialami semua orang dewasa melalui pendidikan formal.
Di sini
penyimpangannya, karena narasi CT sekarang telah susut menjadi sekadar
keterampilan menggunakan komputer untuk menyelesaikan masalah yang dibutuhkan
dunia kerja. Padahal, Papert mengangankan kegiatan berkomputer untuk
memungkinkan setiap insan bertumbuh lebih cerdas. Ini merupakan dasar Constructionism Theory atau Teori
Konstruksionisme, yang digagas Papert.
Beliau
percaya bahwa komputer dapat digunakan sebagai sebuah model nyata yang kemudian
menjadi model dalam pikiran dan ini digunakan untuk memahami dunia di
sekelilingnya. Pengalaman berkomputer akan melenturkan batasan antara nyata dan
abstrak. Hal ini amat bermanfaat bagi semua disiplin.
Sebagai
catatan samping, teori belajar yang digagas Papert dan sekarang dikembangkan
Media Lab MIT ini terkait, tetapi berbeda dengan Teori Konstruktivisme dari
Piaget. Jika Piaget berbicara tentang bagaimana bangunan pemikiran terbentuk,
Papert berkata bahwa kegiatan menciptakan/membuat sesuatu merupakan sebuah cara
yang baik untuk mendirikan bangunan pemikiran (Guzdial, 2018.) Papert berbicara
di tataran benda dalam membangun pengetahuan, sedangkan Piaget berbicara di
tataran mental.
Dengan demikian,
jika mau melanjutkan gagasan dahsyat Papert, tidak cukup berargumen bahwa
keberadaan komputer di ruang pendidikan untuk membantu siswa siap bekerja di
dunia kerja berteknologi tinggi. Justru yang lebih utama, pendidik harus
berkreasi bagaimana memanfaatkan komputer agar siswa semakin cekatan dan
bergairah dalam belajar serta bernalar. Barulah kemudian, sebagai
konsekuensinya, mereka dapat berhasil di dunia kerja dan berperan aktif di masa
depan.
No comments:
Post a Comment