Wednesday, 7 October 2020

Budaya Berkomputer dan Kecakapan Bernalar

Oleh IWAN PRANOTO

Menurut beberapa ilmuwan penyintas zaman, manusia hari ini terlalu cepat percaya dan kurang skeptis terhadap hasil penghitungan komputer. Kecakapan bernalar, intuisi, sense, dan pengalaman dalam penghitungan kian surut.

Sejak awal abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-20, kata computer atau komputer ditujukan kepada pekerjaan atau orang yang bertugas menghitung suatu perhitungan. Bahkan, pada 1960-an, seorang wanita ahli geometri analitik, Katherine Johnson, merupakan salah satu human computer atau komputer manusia di NASA yang perannya amat berarti dalam sejarah penjelajahan umat manusia ke angkasa. Nona Johnson juga terlibat menghitung lintasan misi Apollo 11 yang berhasil menjelajah Bulan. Kisah suka-dukanya diabadikan dalam film Hidden Figures.

Namun, jika kata ”komputer” diucapkan seseorang sekarang, yang langsung tergambar di benak ialah sebuah perangkat elektronik, sebuah mesin, sama sekali bukan manusia. Keterlibatan benda komputer dalam kehidupan modern ini telah mengubah budaya. Khususnya, bagaimana manusia berpikir dan belajar hari ini telah mengalami lompatan besar berkat adanya komputer. Ketersediaan dan kelekatan perangkat komputer yang berkolaborasi dengan badan sekaligus benak manusia telah mengubah dan mempercepat cara memproduksi pengetahuan.

Produksi pengetahuan

Berkat komputer semakin berukuran kecil dan nirkabel sehingga mungkin dibawa ke mana-mana, manusia hari ini berpikir, belajar, dan menyelesaikan masalah kerap melibatkan komputer. Ini berbeda dari zaman sebelumnya. Yang tadinya mengandalkan kemampuan benaknya semata, sekarang manusia berdampingan dengan komputer memproduksi pengetahuan.

Sulit dibayangkan bagaimana rekayasawan pesawat terbang, ilmuwan perbintangan, ahli perminyakan, geologiwan, dan banyak pakar bidang lainnya di zaman prakomputer dapat menuntaskan pekerjaannya yang melibatkan data besar. Bahkan, kurang dari lima dekade lampau, masih dapat ditemui pakar pertambangan atau perminyakan di lapangan hanya bermodalkan gambar penampang tanah yang dilukis dengan pensil berwarna atau paling banter peta topografi untuk menentukan lokasi pengeboran. Mengagumkannya, desain serta prediksi para ahli itu banyak yang memiliki ketelitian tak berbeda secara signifikan dengan perhitungan zaman ini.

Dari hasil diskusi dengan para pakar yang mengalami zaman prakomputer, mereka umumnya menyebut bernalar, intuisi, sense (perasaan), dan pengalaman sebagai unsur yang membuatnya berhasil kala itu. Mereka juga dapat dengan mudah mengenali hasil penghitungan yang salah karena, sebelum berhitung, mereka sudah punya prakiraan hasil yang diharapkan. Kecakapan ini yang sekarang mulai surut, menurut beberapa ilmuwan penyintas zaman tersebut. Mereka mengritik bahwa manusia hari ini terlalu cepat percaya dan kurang skeptis atau meragui hasil penghitungan komputer.

Walau belum ada komputer digital, para pakar zaman prakomputer juga dibantu komputer manusia dan umumnya pasukan komputer manusia ini tak dikenal karena berada di belakang panggung. Pembuatan almanak perbintangan, tabel trigonometri, dan tabel logaritma semuanya mengandalkan kedigdayaan komputer manusia. Singkatnya, sampai pertengahan Abad ke-20, umat manusia memproduksi pengetahuan mengandalkan benaknya semata atau, paling banyak, dibantu slide rule (penggaris geser.)

Dunia keilmuan kemudian dalam sekejap berubah drastis, sesudah komputer elektronik tersedia luas. Manusia berkolaborasi dengan mesin untuk mengembangkan pengetahuannya. Ilmu pengetahuan empiris (alam ataupun sosial) utamanya sangat dipengaruhi sekaligus diuntungkan dengan gelombang komputer digital ini.

Prinsip produksi pengetahuan boleh saja masih tetap sama dengan zaman sebelumnya, tetapi komputer elektronik sudah menggantikan komputer manusia. Manusia mulai saat itu mendelegasikan sebagian pekerjaan kognitifnya ke komputer. Keuntungannya, data yang dipelajari dapat lebih besar serta hasil penghitungan lebih akurat, cepat, dan andal.

Satu pekerjaan pertama yang dialihkan ke komputer elektronik ialah berhitung, yakni sebuah kegiatan kognitif manusia yang sama persis dengan nama mesin itu, komputer atau penghitung. Maka, kemudian mulailah manusia menambah kecakapan barunya, yaitu keterampilan memerintah serta mengajar mesin untuk mengerjakan tugas-tugas berhitungnya.

Berkomputer

Istilah computational thinking (CT) dicetuskan pertama kali tahun 1980 oleh matematikawan cum ilmuwan cognitive science dan satu pendiri MIT Artificial Intelligence Laboratory, Seymour Papert, melalui bukunya Mindstorm: Children, Computers, and Powerful Ideas. Salinan lunak buku revolusioner ini sekarang dapat diunduh gratis berkat kemurahan hati keluarga mendiang Papert dan Media Lab di MIT.

Walau tak dijabarkan makna CT secara eksplisit di Mindstorm dan memang sampai sekarang pun belum ada pendefinisian yang memuaskan, Papert mengungkapkan bahwa pelibatan komputer akan menggagas ulang cara manusia belajar dan belajar berpikir. Maka, konsekuensinya, pengetahuan yang diproduksi melalui proses belajar bersama komputer itu akan mengubah perkembangan ilmu pengetahuan.

Namun, harus diakui, istilah CT dipopulerkan oleh Jeannette Wing melalui esainya Computational Thinking (Wing, 2006.) Di situ, Wing mengartikan CT sebagai kumpulan sikap dan keterampilan yang dapat dimanfaatkan, khususnya, untuk menyelesaikan masalah yang akan dikerjakan oleh manusia atau mesin. Dalam tulisan itu, singkatnya, Wing menyamakan CT dengan berpikir seperti seorang computer scientist. Pengertian CT ala Wing ini kemudian mendominasi narasi CT sampai sekarang.

Meski demikian, pengertian computational thinking, yang dihantarkan melalui narasi tersebut, telah menyusut dari gagasan besar yang diimajinasikan Papert semula (Barba, 2016). Mungkin berkat pengalaman belajar sebelumnya dengan pakar pendidikan Jean Piaget, Papert percaya bahwa penggunaan komputer di dunia pendidikan memungkinkan siswa untuk meningkatkan kecakapan belajar serta kemampuan berpikirnya.

Anak yang mengajar komputer bagaimana berpikir (bukan diajar komputer) akan memikirkan proses berpikirnya. Pengalaman layaknya seorang epistemologis (orang yang mempelajari bagaimana kita mengetahui sesuatu) seperti ini belum tentu telah dialami semua orang dewasa melalui pendidikan formal.

Di sini penyimpangannya, karena narasi CT sekarang telah susut menjadi sekadar keterampilan menggunakan komputer untuk menyelesaikan masalah yang dibutuhkan dunia kerja. Padahal, Papert mengangankan kegiatan berkomputer untuk memungkinkan setiap insan bertumbuh lebih cerdas. Ini merupakan dasar Constructionism Theory atau Teori Konstruksionisme, yang digagas Papert.

Beliau percaya bahwa komputer dapat digunakan sebagai sebuah model nyata yang kemudian menjadi model dalam pikiran dan ini digunakan untuk memahami dunia di sekelilingnya. Pengalaman berkomputer akan melenturkan batasan antara nyata dan abstrak. Hal ini amat bermanfaat bagi semua disiplin.

Sebagai catatan samping, teori belajar yang digagas Papert dan sekarang dikembangkan Media Lab MIT ini terkait, tetapi berbeda dengan Teori Konstruktivisme dari Piaget. Jika Piaget berbicara tentang bagaimana bangunan pemikiran terbentuk, Papert berkata bahwa kegiatan menciptakan/membuat sesuatu merupakan sebuah cara yang baik untuk mendirikan bangunan pemikiran (Guzdial, 2018.) Papert berbicara di tataran benda dalam membangun pengetahuan, sedangkan Piaget berbicara di tataran mental.

Dengan demikian, jika mau melanjutkan gagasan dahsyat Papert, tidak cukup berargumen bahwa keberadaan komputer di ruang pendidikan untuk membantu siswa siap bekerja di dunia kerja berteknologi tinggi. Justru yang lebih utama, pendidik harus berkreasi bagaimana memanfaatkan komputer agar siswa semakin cekatan dan bergairah dalam belajar serta bernalar. Barulah kemudian, sebagai konsekuensinya, mereka dapat berhasil di dunia kerja dan berperan aktif di masa depan.

No comments:

Post a Comment