Oleh ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
Sejumlah penderita Covid-19 yang telah sembuh masih
mengeluhkan berbagai sequelae (gejala sisa). Antara lain, sesak napas, sakit
kepala, batuk, mudah lelah, diare, mual, sakit perut, nyeri sendi, nyeri dada,
pelupa, serta linglung.
Aryati, Guru Besar Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga salah satu yang mengalami. Ia terkena Covid-19 pada akhir Mei dan baru negatif pertengahan Juli. Namun sampai kini, ia masih sering mengalami nyeri dada seperti kena serangan jantung. Hasil pemeriksaan dokter, itu adalah miokarditis atau radang otot jantung. Ia juga merasa cepat letih dan menjadi pelupa.
“Penyakit ini tidak bisa diremehkan. Reseptor SARS-CoV-2 ada
hampir di seluruh tubuh. Gejala Covid-19 bisa macam-macam, demikian juga gejala
sisanya,” tutur Aryati, akhir September lalu.
Angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2), reseptor atau tempat
menempel dan masuknya virus korona baru, ada di berbagai sel jaringan tubuh
seperti di paru, jantung, pembuluh darah, ginjal, usus, sistem saraf. Di
berbagai organ itu, termasuk otak yang dilalui pembuluh darah, virus memicu
peradangan hebat. Kalaupun penderita selamat, sering kali gejala Covid-19 masih
tetap terasa, jauh setelah virus hilang dari tubuh.
Menurut laman Mayo Clinic, organ yang terdampak Covid-19
antara lain jantung. Hasil pencitraan menunjukkan kerusakan pada otot jantung,
meski penderita hanya mengalami gejala ringan. Hal ini bisa meningkatkan risiko
gangguan jantung di waktu mendatang.
Seperti halnya pneumonia, Covid-19 juga menyebabkan
kerusakan pada alveoli (kantung udara) paru. Jaringan parut yang terjadi
menimbulkan masalah pernapasan dalam jangka panjang.
Dampak Covid-19 pada otak bisa menyebabkan stroke, kejang,
ataupun sindrom Guillain-Barre, suatu kondisi kelumpuhan sementara, tak hanya
pada orang lanjut usia, tapi juga pada orang muda. Covid-19 juga meningkatkan
risiko terkena penyakit Parkinson dan Alzheimer.
Selain itu, Covid-19 memicu penggumpalan darah. Gumpalan
besar bisa menyebabkan serangan jantung atau stroke. Di luar jantung, gumpalan
darah juga bisa mengganggu paru, ginjal, hati, serta pembuluh darah kaki.
Survei dan penelitian
Gejala sisa Covid-19 banyak dikeluhkan, bahkan ada penderita
yang harus masuk keluar unit gawat darurat. Hal ini mendorong dilakukan
sejumlah survei dan penelitian.
Survei yang dilakukan Patient Led Research for COVID-19,
kelompok independen para mantan penderita Covid-19, pada 21 April-2 Mei, lewat
berbagai media sosial mendapat 640 respons dari berbagai negara, yakni Amerika
Serikat, Inggris, Belanda, Kanada, Belgia, Perancis, sejumlah negara di Eropa,
Afrika Selatan, dan India.
Hasilnya menunjukkan, setelah dua minggu atau lebih
terjangkit Covid-19, para penderita merasakan penurunan aktivitas fisik sangat
besar. Jika sebelum sakit 67 persen responden sangat aktif secara fisik, saat
survei dilakukan, 65 persen menyatakan tidak bisa lagi banyak bergerak.
Hasil serupa didapat survei CDC Covid-19 Response Team yang
dimuat di Morbidity and Mortality Weekly Report dari Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit (CDC) AS, 31 Juli 2020. Survei dilakukan 15 April-25 Juni
pada 292 penduduk usia 18 tahun atau lebih yang hasil tes reaksi rantai
polimerase (PCR) untuk SARS-CoV-2 positif. Hasilnya, 47 persen penderita usia
50 tahun ke atas mengaku belum sehat pada 2-3 minggu setelah tes dinyatakan
positif.
Bahkan, 26 persen orang muda, 18–34 tahun, kondisinya tak
kunjung pulih. Padahal, sebelumnya mereka sangat sehat, dan tidak memiliki
penyakit penyerta.
Gejala yang masih dirasakan antara lain batuk, letih atau
sesak napas. Peneliti menduga infeksi virus korona memicu perubahan jangka
panjang pada sistem imun meski virus sudah tidak aktif.
Penelitian Angelo Carfi dan kolega dari Fondazione
Policlinico Universitario Agostino Gemelli IRCCS, Roma, Italia, yang dimuat di
JAMA, menunjukkan, 125 dari 143 pasien usia 19-84 tahun yang dipantau
kesehatannya setelah keluar dari rumah sakit, rata-rata masih merasakan gejala
Covid-19 setelah dua bulan. Gejala terutama rasa letih, nyeri sendi, nyeri
dada, dan sesak napas.
Direktur Lembaga Penyakit Menular dan Alergi Nasional
(NIAID) AS Anthony Fauci, seperti dikutip JAMA, 23 September 2020, meyakini ada
cukup banyak orang yang mengalami sindrom pascainfeksi yang bisa “melumpuhkan”
selama berminggu-minggu setelah virus tidak ada lagi dalam tubuh.
Gejala sisa tidak hanya terjadi pada Covid-19. Infeksi virus
lain, seperti virus Epstein-Barr, dapat merusak pembuluh darah dan otot
jantung. Infeksi virus korona pada sindrom pernapasan akut parah (SARS) dan
sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), juga menyebabkan gangguan fungsi paru.
Penelitian Zhancheng Gao dan kolega dari Rumah Sakit Rakyat
Universitas Peking, Beijing, China, yang memantau kondisi kesehatan mantan
penderita SARS selama 15 tahun (2003-2018), mendapatkan, gejala sisa yang
paling parah setelah sembuh dari SARS adalah nekrosis tulang paha dan fibrosis
paru.
Jaringan parut dan penurunan fungsi paru itu sebagian besar
pulih dalam waktu dua tahun. Demikian juga nekrosis tulang paha akibat terapi
steroid dosis tinggi. Penelitian dimuat secara daring di jurnal Bone Research,
14 Februari 2020.
Hal serupa muncul di jurnal Respirology, 29 Maret 2010.
Penelitian David Hui dan kolega dari Rumah Sakit Prince of Wales, Universitas
Hongkong, terhadap 55 orang yang pernah dirawat akibat SARS mendapatkan, fungsi
dan kapasitas paru mereka masih terganggu selama 24 bulan pemantauan.
Meski umumnya penderita Covid-19 bisa sembuh dengan cepat,
Covid-19 dapat menyebabkan gangguan kesehatan berkepanjangan. Tidak hanya pada
orang lanjut usia, juga pada orang muda yang sebelumnya sehat. Parut pada paru
dan pembuluh darah bisa meningkatkan risiko gangguan kesehatan di masa depan.
Karena itu penting untuk mengurangi penyebaran penyakit
dengan mengikuti protokol kesehatan seperti mengenakan masker di tempat umum,
menjaga jarak, serta menjaga kebersihan tangan.
No comments:
Post a Comment