Oleh ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
Berbagai penelitian tentang mutasi SARS-CoV-2 dilakukan
untuk memantau karakteristik virus. Bagaimanapun mutasi akan terus berlangsung
karena merupakan proses adaptasi setiap organisme, termasuk virus dan manusia.
Mutasi diam-diam dari SARS-CoV-2 ditengarai menyebabkan
pandemi global. Perubahan pada kode genetik membuat virus penyebab Covid-19
tersebut mampu ”menyelipkan” molekul RNA-nya ke dalam sel manusia.
Penelitian Alejandro Berrio, Valerie Gartner, dan Gregory
Wray dari Universitas Duke, Durham, Amerika Serikat (AS), yang dimuat di jurnal
PeerJ, 16 Oktober 2020, mendapatkan, mutasi pada gen yang mengode protein
paku—bagian virus yang menempel pada sel manusia—menyebabkan virus makin mudah
menyebar.
Para peneliti menggunakan metode statistik untuk
mengidentifikasi perubahan adaptif yang muncul dalam genom SARS-CoV-2. Tim
mengidentifikasi Nsp4 dan Nsp16 sebagai wilayah genom SARS-CoV-2 yang mungkin
mengandung mutasi yang berkontribusi pada fitur biologis dan epidemiologis unik
dari virus.
Mutasi itu tidak mengubah protein yang disandi karena itu
disebut diam-diam. Namun, mutasi meningkatkan adaptasi virus, termasuk
stabilitas RNA dan kemampuan untuk menghindari sistem imun manusia.
Kemampuan ini diduga menyebabkan virus mudah bereplikasi
dalam tubuh, lantas menyebar mencari inang baru, bahkan sebelum orang yang
tertular mengalami gejala. Ini menyebabkan ada orang-orang pembawa virus tanpa
gejala sehingga membuat Covid-19 lebih sulit dikendalikan dibandingkan dengan
infeksi korona sebelumnya, sindrom pernapasan akut parah (SARS), dan sindrom
pernapasan Timur Tengah (MERS).
Penelitian serupa dilakukan Guo-Wei Wei dan kolega dari
Universitas Michigan, AS. Riset yang terbit secara daring di Journal of Molecular Biology, 23 Juli 2020, mengevaluasi secara kuantitatif perubahan
energi bebas dari pengikatan protein paku SARS-CoV-2 dengan reseptor enzim
pengubah angiotensin 2 (ACE2) pada sel manusia setelah terjadi mutasi virus.
Kesimpulannya, tiga dari enam subtipe SARS-CoV-2 menjadi sedikit
lebih menular, sedangkan tiga subtipe lain secara signifikan makin mudah
menular. SARS-CoV-2 juga disebut sedikit lebih menular daripada SARS-CoV
penyebab SARS. Berdasarkan evaluasi sistematis dari semua kemungkinan 3.686
mutasi pada protein paku virus pada masa depan, diprediksi SARS-CoV-2 bakal
lebih menular.
Tak selalu berbahaya
Peneliti senior dari University College London, Inggris,
Lucy van Dorp, di the Conversation, 22 September 2020, menulis, istilah mutasi
cenderung memunculkan gambaran virus baru yang berbahaya dengan peningkatan
kemampuan menyebar ke seluruh dunia.
”Padahal, mutasi menjadi bagian alami dari organisme apa
pun, termasuk virus. Sebagian besar mutasi tidak berdampak pada kemampuan virus
untuk menularkan atau menyebabkan penyakit,” papar Van Dorp.
Dalam hal SARS-CoV-2, mutasi merupakan perubahan dari
rangkaian 30.000 huruf (kode genetik G, A, T, C) yang menyandi Wuhan-1, urutan
genom SARS-C0V-2 pertama yang dirilis ilmuwan China, 5 Januari lalu. Saat ini
ada lebih dari 13.000 mutasi ditemukan dalam 100.000 contoh genom SARS-CoV-2
yang diambil dari penderita Covid-19 di seluruh dunia, di samping Wuhan-1.
Namun, perbedaan urutan genom virus itu rata-rata hanya pada 10 huruf. Jadi,
hanya sebagian kecil dari total jumlah huruf yang menyandi SARS-CoV-2.
Diakui, ada mutasi yang berpotensi memengaruhi penularan
SARS-CoV-2 pada manusia. Karena itu, banyak dilakukan penelitian untuk
menentukan mutasi mana yang dapat mengubah fungsi virus secara signifikan.
Salah satunya, diketahui perubahan tunggal pada genom D614G
bisa meningkatkan infektivitas virus dalam sel di laboratorium. Namun, belum
jelas pengaruhnya pada keparahan penyakit.
Tiga mutasi pada cangkang protein SARS-CoV-2 juga makin
banyak muncul, yakni pada sepertiga populasi virus korona baru. Sementara
perubahan pada posisi 57 dari protein Orf3a terlihat pada 25 persen jumlah
virus. Mutasi lain terjadi pada protein paku virus. Sejauh ini, belum ada kesepakatan
mutasi mana yang secara signifikan mengubah kemampuan penularan ataupun
keganasan virus.
Van Dorp bersama sejumlah peneliti dari Inggris dan Perancis
mendapatkan ada 198 mutasi berulang dari 7.666 urutan genom SARS-CoV-2 yang
diisolasi dari penderita Covid-19 di beberapa negara.
Dalam penelitian yang dimuat dalam jurnal Infection,
Genetics and Evolution, 5 Mei 2020, disebutkan, hampir 80 persen dari mutasi
berulang menghasilkan perubahan tak serupa di tingkat protein. Hal ini
menunjukkan adaptasi SARS-CoV-2. Perubahan tiga posisi di Orf1ab, wilayah yang
menyandi Nsp6, Nsp11, Nsp13, serta satu posisi pada protein paku virus,
terlihat pada sejumlah besar mutasi berulang. Hal ini perlu mendapat perhatian
dalam konteks adaptasi SARS-CoV-2 ke inang manusia.
Berbagai mutasi
Penelitian tentang mutasi virus juga dilakukan para peneliti
dari Universitas Bologna, Italia. Menurut Daniele Mercatelli dan Federico
Giorgi dalam jurnal Frontiers in Microbiology, 22 Juli 2020, dari analisis
terhadap 48.635 genom SARS-CoV-2 yang didapat dari berbagai pusat penelitian di
dunia, ditemukan setidaknya enam klad (strain) virus penyebab Covid-19.
Menurut peneliti, meski bermutasi, perubahan boleh dibilang
lambat. Variasi virus influenza disebut dua kali lebih banyak dibandingkan
dengan SARS-CoV-2.
Versi asli SARS-CoV-2 adalah strain L yang muncul di Wuhan,
Desember 2019. Mutasi pertama, strain S, tampak pada awal 2020. Sejak
pertengahan Januari 2020, timbul strain V dan G. Saat ini, strain G dengan
mutasi D614G pada protein paku paling luas penyebarannya. Strain ini bermutasi
menjadi strain GR dan GH pada akhir Februari. Kelompok ini mencakup 74 persen
urutan genom SARS-CoV-2 yang dianalisis.
Secara geografis, strain G, GR, dan GH banyak beredar di
Eropa. Strain GH lebih banyak di Amerika Utara, sedangkan di Amerika Selatan
lebih banyak GR. Strain S hanya ada di wilayah tertentu di AS dan Spanyol. Di
Asia, wilayah strain L pertama kali muncul, peredaran strain G, GH, dan GR
meningkat sejak Maret. Di tataran global, strain L dan V mulai menghilang.
”Di samping enam strain utama, ada sejumlah mutasi minor
yang belum mengkhawatirkan, tetapi tetap perlu dipantau,” kata peneliti.
Unggahan di laman Universitas Gadjah Mada (UGM), 1 September
2020, menyatakan, Kelompok Kerja Genetika Fakultas Kedokteran, Kesehatan
Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM mengidentifikasi empat hasil isolasi
SARS-CoV-2 dari Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tiga di antaranya mengandung mutasi
D614G. Itu merupakan bagian dari 9 sampel yang mengandung mutasi D614G dari 24
sampel dari Indonesia yang dipublikasi di laman Inisiatif Global Berbagi
Seluruh Data Influenza (GISAID).
Pesatnya penyebaran mutasi D614G pada protein paku juga
dilaporkan oleh para peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas New York,
AS, di BioRxiv, laman artikel terkait biologi yang belum ditinjau sejawat, 7
Juli 2020.
Sementara itu, analisis tim ilmuwan dari India, Korea
Selatan, dan Arab Saudi terhadap SARS-CoV-2 dari 13 negara mendapati ada mutasi
pada empat protein utama SARS-CoV-2, yakni pada replicase polyprotein (protein
yang terlibat dalam transkripsi dan replikasi virus), spike glycoprotein
(protein pada bagian paku virus), envelope protein (protein selubung virus),
dan nucleocapsid protein (protein cangkang yang melindungi inti virus).
Strain India memperlihatkan mutasi protein paku pada R408I
serta mutasi protein yang terlibat pada transkripsi dan replikasi virus pada
I671T, P2144S dan A2798V. Sementara protein paku dari Spanyol dan Korea Selatan
masing-masing membawa mutasi F797C dan S221W. Dari penelitian menggunakan
permodelan pada komputer terungkap bahwa mutasi menurunkan stabilitas protein.
Para peneliti berharap temuan dari berbagai penelitian
tersebut bisa dimanfaatkan dalam perancangan calon vaksin ataupun pengembangan
obat untuk melawan Covid-19.
Mutasi virus akan terus berlangsung, bisa jadi tidak mudah
mendapatkan vaksin yang efektif. Ada sejumlah penyakit yang sampai kini belum
ditemukan vaksinnya meski bertahun-tahun diteliti, termasuk demam berdarah.
Sebelum vaksin dan obat ditemukan, masyarakat harus
menerapkan protokol kesehatan, yakni menjaga jarak dan mengenakan masker di
tempat umum. Tujuannya, untuk memutus rantai penularan agar virus tidak
menyebar dan mendapat inang baru untuk berkembang.
"Mutasi Tak Selalu Lebih Berbahaya", Kompas, Kamis, 22 Oktober 2020, halaman 5
No comments:
Post a Comment