Thursday, 22 October 2020

Mutasi Virus Tak Selalu Lebih Berbahaya

Oleh ATIKA WALUJANI MOEDJIONO

Berbagai penelitian tentang mutasi SARS-CoV-2 dilakukan untuk memantau karakteristik virus. Bagaimanapun mutasi akan terus berlangsung karena merupakan proses adaptasi setiap organisme, termasuk virus dan manusia.

Mutasi diam-diam dari SARS-CoV-2 ditengarai menyebabkan pandemi global. Perubahan pada kode genetik membuat virus penyebab Covid-19 tersebut mampu ”menyelipkan” molekul RNA-nya ke dalam sel manusia.

Citra mikroskop elektron yang disiarkan Institut Kesehatan Nasional (NIH) Amerika Serikat, Februari 2020, memperlihatkan wujud SARS-CoV-2, yakni organisme berwarna kuning yang menyembul dari permukaan sel kultur di laboratorium berwarna biru dan merah muda.

Penelitian Alejandro Berrio, Valerie Gartner, dan Gregory Wray dari Universitas Duke, Durham, Amerika Serikat (AS), yang dimuat di jurnal PeerJ, 16 Oktober 2020, mendapatkan, mutasi pada gen yang mengode protein paku—bagian virus yang menempel pada sel manusia—menyebabkan virus makin mudah menyebar.

Para peneliti menggunakan metode statistik untuk mengidentifikasi perubahan adaptif yang muncul dalam genom SARS-CoV-2. Tim mengidentifikasi Nsp4 dan Nsp16 sebagai wilayah genom SARS-CoV-2 yang mungkin mengandung mutasi yang berkontribusi pada fitur biologis dan epidemiologis unik dari virus.

Mutasi itu tidak mengubah protein yang disandi karena itu disebut diam-diam. Namun, mutasi meningkatkan adaptasi virus, termasuk stabilitas RNA dan kemampuan untuk menghindari sistem imun manusia.

Kemampuan ini diduga menyebabkan virus mudah bereplikasi dalam tubuh, lantas menyebar mencari inang baru, bahkan sebelum orang yang tertular mengalami gejala. Ini menyebabkan ada orang-orang pembawa virus tanpa gejala sehingga membuat Covid-19 lebih sulit dikendalikan dibandingkan dengan infeksi korona sebelumnya, sindrom pernapasan akut parah (SARS), dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS).

Penelitian serupa dilakukan Guo-Wei Wei dan kolega dari Universitas Michigan, AS. Riset yang terbit secara daring di Journal of Molecular Biology, 23 Juli 2020, mengevaluasi secara kuantitatif perubahan energi bebas dari pengikatan protein paku SARS-CoV-2 dengan reseptor enzim pengubah angiotensin 2 (ACE2) pada sel manusia setelah terjadi mutasi virus.

Kesimpulannya, tiga dari enam subtipe SARS-CoV-2 menjadi sedikit lebih menular, sedangkan tiga subtipe lain secara signifikan makin mudah menular. SARS-CoV-2 juga disebut sedikit lebih menular daripada SARS-CoV penyebab SARS. Berdasarkan evaluasi sistematis dari semua kemungkinan 3.686 mutasi pada protein paku virus pada masa depan, diprediksi SARS-CoV-2 bakal lebih menular.

Tak selalu berbahaya

Peneliti senior dari University College London, Inggris, Lucy van Dorp, di the Conversation, 22 September 2020, menulis, istilah mutasi cenderung memunculkan gambaran virus baru yang berbahaya dengan peningkatan kemampuan menyebar ke seluruh dunia.

”Padahal, mutasi menjadi bagian alami dari organisme apa pun, termasuk virus. Sebagian besar mutasi tidak berdampak pada kemampuan virus untuk menularkan atau menyebabkan penyakit,” papar Van Dorp.

Dalam hal SARS-CoV-2, mutasi merupakan perubahan dari rangkaian 30.000 huruf (kode genetik G, A, T, C) yang menyandi Wuhan-1, urutan genom SARS-C0V-2 pertama yang dirilis ilmuwan China, 5 Januari lalu. Saat ini ada lebih dari 13.000 mutasi ditemukan dalam 100.000 contoh genom SARS-CoV-2 yang diambil dari penderita Covid-19 di seluruh dunia, di samping Wuhan-1. Namun, perbedaan urutan genom virus itu rata-rata hanya pada 10 huruf. Jadi, hanya sebagian kecil dari total jumlah huruf yang menyandi SARS-CoV-2.

Diakui, ada mutasi yang berpotensi memengaruhi penularan SARS-CoV-2 pada manusia. Karena itu, banyak dilakukan penelitian untuk menentukan mutasi mana yang dapat mengubah fungsi virus secara signifikan.

Salah satunya, diketahui perubahan tunggal pada genom D614G bisa meningkatkan infektivitas virus dalam sel di laboratorium. Namun, belum jelas pengaruhnya pada keparahan penyakit.

Tiga mutasi pada cangkang protein SARS-CoV-2 juga makin banyak muncul, yakni pada sepertiga populasi virus korona baru. Sementara perubahan pada posisi 57 dari protein Orf3a terlihat pada 25 persen jumlah virus. Mutasi lain terjadi pada protein paku virus. Sejauh ini, belum ada kesepakatan mutasi mana yang secara signifikan mengubah kemampuan penularan ataupun keganasan virus.

Van Dorp bersama sejumlah peneliti dari Inggris dan Perancis mendapatkan ada 198 mutasi berulang dari 7.666 urutan genom SARS-CoV-2 yang diisolasi dari penderita Covid-19 di beberapa negara.

Dalam penelitian yang dimuat dalam jurnal Infection, Genetics and Evolution, 5 Mei 2020, disebutkan, hampir 80 persen dari mutasi berulang menghasilkan perubahan tak serupa di tingkat protein. Hal ini menunjukkan adaptasi SARS-CoV-2. Perubahan tiga posisi di Orf1ab, wilayah yang menyandi Nsp6, Nsp11, Nsp13, serta satu posisi pada protein paku virus, terlihat pada sejumlah besar mutasi berulang. Hal ini perlu mendapat perhatian dalam konteks adaptasi SARS-CoV-2 ke inang manusia.

Berbagai mutasi

Penelitian tentang mutasi virus juga dilakukan para peneliti dari Universitas Bologna, Italia. Menurut Daniele Mercatelli dan Federico Giorgi dalam jurnal Frontiers in Microbiology, 22 Juli 2020, dari analisis terhadap 48.635 genom SARS-CoV-2 yang didapat dari berbagai pusat penelitian di dunia, ditemukan setidaknya enam klad (strain) virus penyebab Covid-19.

Menurut peneliti, meski bermutasi, perubahan boleh dibilang lambat. Variasi virus influenza disebut dua kali lebih banyak dibandingkan dengan SARS-CoV-2.

Versi asli SARS-CoV-2 adalah strain L yang muncul di Wuhan, Desember 2019. Mutasi pertama, strain S, tampak pada awal 2020. Sejak pertengahan Januari 2020, timbul strain V dan G. Saat ini, strain G dengan mutasi D614G pada protein paku paling luas penyebarannya. Strain ini bermutasi menjadi strain GR dan GH pada akhir Februari. Kelompok ini mencakup 74 persen urutan genom SARS-CoV-2 yang dianalisis.

Secara geografis, strain G, GR, dan GH banyak beredar di Eropa. Strain GH lebih banyak di Amerika Utara, sedangkan di Amerika Selatan lebih banyak GR. Strain S hanya ada di wilayah tertentu di AS dan Spanyol. Di Asia, wilayah strain L pertama kali muncul, peredaran strain G, GH, dan GR meningkat sejak Maret. Di tataran global, strain L dan V mulai menghilang.

”Di samping enam strain utama, ada sejumlah mutasi minor yang belum mengkhawatirkan, tetapi tetap perlu dipantau,” kata peneliti.

Unggahan di laman Universitas Gadjah Mada (UGM), 1 September 2020, menyatakan, Kelompok Kerja Genetika Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM mengidentifikasi empat hasil isolasi SARS-CoV-2 dari Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tiga di antaranya mengandung mutasi D614G. Itu merupakan bagian dari 9 sampel yang mengandung mutasi D614G dari 24 sampel dari Indonesia yang dipublikasi di laman Inisiatif Global Berbagi Seluruh Data Influenza (GISAID).

Pesatnya penyebaran mutasi D614G pada protein paku juga dilaporkan oleh para peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas New York, AS, di BioRxiv, laman artikel terkait biologi yang belum ditinjau sejawat, 7 Juli 2020.

Sementara itu, analisis tim ilmuwan dari India, Korea Selatan, dan Arab Saudi terhadap SARS-CoV-2 dari 13 negara mendapati ada mutasi pada empat protein utama SARS-CoV-2, yakni pada replicase polyprotein (protein yang terlibat dalam transkripsi dan replikasi virus), spike glycoprotein (protein pada bagian paku virus), envelope protein (protein selubung virus), dan nucleocapsid protein (protein cangkang yang melindungi inti virus).

Strain India memperlihatkan mutasi protein paku pada R408I serta mutasi protein yang terlibat pada transkripsi dan replikasi virus pada I671T, P2144S dan A2798V. Sementara protein paku dari Spanyol dan Korea Selatan masing-masing membawa mutasi F797C dan S221W. Dari penelitian menggunakan permodelan pada komputer terungkap bahwa mutasi menurunkan stabilitas protein.

Para peneliti berharap temuan dari berbagai penelitian tersebut bisa dimanfaatkan dalam perancangan calon vaksin ataupun pengembangan obat untuk melawan Covid-19.

Mutasi virus akan terus berlangsung, bisa jadi tidak mudah mendapatkan vaksin yang efektif. Ada sejumlah penyakit yang sampai kini belum ditemukan vaksinnya meski bertahun-tahun diteliti, termasuk demam berdarah.

Sebelum vaksin dan obat ditemukan, masyarakat harus menerapkan protokol kesehatan, yakni menjaga jarak dan mengenakan masker di tempat umum. Tujuannya, untuk memutus rantai penularan agar virus tidak menyebar dan mendapat inang baru untuk berkembang.

"Mutasi Tak Selalu Lebih Berbahaya", Kompas, Kamis, 22 Oktober 2020, halaman 5

No comments:

Post a Comment