Sunday, 15 December 2013

Makanan di Dalam Sampah Kita

Oleh GABRIEL ANDARI KRISTANTO
Membicarakan makanan di dalam sampah seolah membicarakan sebuah ironi. Dengan mudah, kita melihat bahwa sementara sebagian di antara masyarakat kita masih dengan perjuangan berat berusaha memenuhi kebutuhan dasar akan pangan agar tidak kelaparan, di posisi yang lain kita temukan konsumsi makanan yang berlebihan bahkan akhrinya terbuang dan menjadi sampah. Hasil penelitian penulis tahun 2012 di perumahan kecil, menengah, dan atas di Jakarta menunjukkan sekitar 50 persen di antara sampah yang dihasilkan penduduk Jakarta adalah sampah makanan, di antaranya 65 persen total sampah organik yang dihasilkan. Jika dihitung berdasarkan produksi sampah penduduk Jakarta yang lebih kurang 1 kilogram/orang/hari, jumlah sampah makanan per hari ialah sekitar 0,5 kilogram/orang.
poorkid.jpg
Yang mengejutkan, makanan dalam sampah itu sebagian besar berupa makanan yang pada awalnya layak dikonsumsi, tetapi jumlahnya berlebih dan kemudian dibuang atau makanan yang kualitasnya baik, tetapi disimpan dan pada akhirnya dibuang karena tak dikonsumsi pada waktunya. Persentase makanan dalam sampah ini kian meningkat mendekati 70 persen di lokasi timbulan sampah lain, seperti apartemen kelas menengah dan atas serta kantin universitas di Jakarta.
Hasil penelitian 2013 bahkan menunjukkan, jumlah sampah makanan terbuang di kantin salah satu universitas besar di Jakarta mendekati 72 persen dari sampah yang ada. Sebuah angka luar biasa untuk negara seperti Indonesia dengan penduduk di bawah garis kemiskinan 11 persen. Sebagai pembanding, angka ini menyerupai jumlah yang dibuang mahasiswa di Universitas McGill Kanada yang 0,5 kg-0,7 kg/orang/hari (Morin, 2003).
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, sampah didefinisikan sebagai ‘barang atau benda yang tidak terpakai lagi atau juga berarti kotoran’, seperti kertas dan daun. Definisi lain yang disampaikan oleh Kamus Istilah Lingkungan juga memberikan arti yang tidak terlalu berbeda.
Bahkan United Nations Environment Programms (UNEP) mendefinisikan sampah sebagai suatu obyek yang tidak diinginkan, dibutuhkan, atau digunakan lagi oleh pemiliknya serta membutuhkan pengolahan dan pembuangan. Dari beberapa sumber tersebut, sangat jelas ditunjukkan bahwa secara umum sampah biasanya dianalogikan sebagai sesuatu yang sudah berkurang fungsi dan manfaatnya.
Ironi sampah makanan
Kosseva (2013) menyebutkan bahwa sampah makanan timbul karena sejumlah hal, dimulai dari saat panen, pemrosesan, penyimpanan, transportasi, dan pada tingkatan konsumen. Ia juga melaporkan bahwa secara global, memang terdapat kecenderungan peningkatan jumlah makanan yang menjadi sampah di banyak negara (terutama di negara maju). Sebagai gambaran, negara maju seperti Amerika Serikat menghasilkan sampah makanan lebih kurang 34 juta ton per tahun dan hanya 3 persen dari 34 juta sampah makanan ini yang dimanfaatkan kembali.
Bahkan ironisnya, makanan yang menjadi sampah di negara-negara maju 222 juta ton pada tahun 2012 adalah setara dengan total produksi makanan yang dihasilkan negara-negara di Sub-Sahara (230 juta ton). Ditinjau dari sisi teknis, data mengenai jumlah makanan di dalam sampah biasanya penting digunakan para ahli untuk menentukan proses lanjutan yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan sampah itu, seperti untuk makanan ternak dan pengomposan.
Sebuah pertanyaan besar muncul mengenai mengapa begitu banyak makanan dibuang oleh masyarakat Jakarta? Dengan kondisi ekonomi Indonesia yang secara umum masih relatif rendah, makanan yang terbuang jadi sampah persentasenya seharusnya kecil, bahkan mendekati nol. Namun, sejumlah penelitian menunjukkan gambaran tingginya komposisi makanan dalam sampah sebenarnya mencerminkan banyak hal, seperti pola konsumsi, tingkat ekonomi, dan juga perilaku masyarakat.
Di tengah kekhawatiran terkait ketahanan pangan bangsa yang amat rawan, banyaknya penduduk di bawah garis kemiskinan dengan gizi buruk di beberapa wilayah Indonesia, bahkan di sekitar Jakarta, besarnya jumlah makanan dalam sampah menceritakan sebuah ironi besar sebuah masyarakat. Untuk kondisi Jakarta, dalih banwa makanan itu menjadi sampah pada proses produksi dan lain-lain tidaklah tepat karena sampel penelitian diambil pada tingkatan konsumen. Kuat dugaan yang terjadi sebenarnya penyediaan makanan berlebih melampaui kebutuhan sehingga makanan itu tak dikonsumsi pada waktunya dan terbuang begitu saja.
Rantai pemanfaatan makanan kemudian berlanjut ke kelompok masyarakat bawah yang terpaksa memenuhi kebutuhan akan makanan dari sumber lain, yaitu dari tong sampah kelompok masyarakat lain yang lebih beruntung. Kisah dalam kitab suci agama Katolik tentang Lazarus yang memunguti remah sisa sang bangsawan berulang kembali dalam rentang waktu ribuan tahun kemudian. Besarnya jumlah makanan dalam sampah menjadi kenyataan yang sangat ironis ketika dikaitkan dengan beragam bentuk kebudayaan kita yang menempatkan makanan sebagai bagian yang suci dan harus dihormati. Bukankah agama apa pun mengajarkan kita berdoa sebelum makan sebagai tanda syukur dan penghormatan pada yang akan kita santap?
Paradigma 3R
Apakah persoalan banyaknya makanan dalam sampah kita tidak dapat dihindari? Dalam pengelolaan persampahan dikenal paradigm reduce, reuse, recycle (3R). Reduce berarti sampah harus benar-benar dikurangi dari sumber pembentukannya, kemudian diikuti reuse dan recycle yang berarti memanfaatkan dan mendaur ulang kembali sampah yang sudah terbentuk. Namun, dalam hal makanan dalam sampah, secara khusus yang harus dilakukan adalah mencegah sedapat mungkin terbuangnya makanan itu sendiri.
Tindakan ini tidak hanya secara etika dan budaya menempatkan makanan pada titik yang tepat, tetapi sesungguhnya juga menghemat berbagai sumber daya alam lain, seperti air, energy, dan pupuk, yang digunakan selama proses produksi makanan tersebut. Dalam sisi pemanfaatan makanan, nilai luhur para pendahulu kita menjadi sangat penting untuk diterapkan dan diajarkan kembali seperti puasa dan pantang, jangan menyisakan makanan apa pun di piring, berhenti makan sebelum kenyang, mengambil secukupnya saja, dan rajin berbagi. Jadi, kita bisa berharap satu hari bahwa Dewi Sri tidak menangis karena kita meninggalkan sebutir nasi di piring seusai makan.
kevin-carter-vulture-145C30B07202291FF0A.jpg
Anak kecil dan burung bangkai di tengah bencana kelaparan di Sudan, Maret 1993 (Kevin Carter)
GABRIEL ANDARI KRISTANTO
Program Studi Teknik Lingkungan, Departemen Teknik Sipil, Universitas Indonesia
Kompas, Sabtu, 14 Desember 2013

1 comment:

  1. Generasi 80’an pasti ingat salah satu episode Si Unyil, yang menayangkan nasi menangis. Dikisahkan ada anak bandel yang sulit dinasihati untuk tidak menyisakan makanan (nasi) di piringnya. Sampai suatu ketika si anak bermimpi nasi yang terbuang menangis sedih karena tidak ikut termakan bersama saudara-saudaranya, melainkan terbuang dan menjadi kotor di tempat sampah. Karena mimpi ini si anak pun sadar dan menghabiskan makanannya. Episode itu diakui banyak kalangan yang menonton sangat berkesan dan memberikan moral yang baik untuk tidak menyisakan makanan dari piring.
    Dalam doa pembuka makan kita mengucap syukur atas berkat yang diberikan Tuhan berupa makanan lezat yang terhidang. Jangan sampai kemudian doa tersebut hanya menjadi ucapan kosong karena ada makanan yang terbuang atau menggerutu terhadap kualitas makanan tersebut. Penilaian enak atau tidaknya suatu makanan bukannya dilarang, tetapi hendaknya hanya sebatas penilaian, tanpa mengabaikan bahwa makanan itu tetap suatu berkat yang patut disyukuri.

    ReplyDelete