JAKARTA, KOMPAS — Gempa berkekuatan M 5,1 melanda wilayah selatan Jawa pada Jumat (15/7) pukul 01.28. Gempa itu tergolong langka karena pusatnya berada di lengan luar zona subduksi di Samudra Hindia pada jarak sekitar 330 kilometer selatan Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, analisis peta tingkat guncangan, dampak gempa menimbulkan guncangan I skala intensitas gempa bumi BMKG (SIG-BMKG) atau II skala intensitas modified mercalli intensity (MMI) di hampir seluruh wilayah Jawa bagian selatan, mulai dari Malingping, Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Cilacap, Kebumen, Yogyakarta, Pacitan, hingga Malang.
"Selain tercatat peralatan BMKG, beberapa orang di daerah-daerah itu juga melaporkan ada guncangan gempa meski tidak signifikan," kata Daryono.
Yayan Tahyan (59), warga Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, 17 km barat Kota Tasikmalaya, mengatakan, "Biasanya kalau terjadi gempa dini hari, paginya ramai dibicarakan warga. Namun, gempa kali ini tetangga kami tidak ada yang bereaksi."
Hal senada disampaikan Fatah Yasin (60), warga Desa Sukarame, Kecamatan, Singaparna, Tasikmalaya. Menurut dia, warga di desa itu tidak merasakan getaran gempa. "Mungkin karena pusatnya cukup jauh dan warga pada umumnya sedang tidur pulas sehingga tak merasakan apa-apa," ujar Fatah. Demikian pula Aam Amalia, warga Pantai Sindangkerta, Cipatujah, Tasikmalaya selatan, yang tak merasakan gempa.
Kepala Seksi Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat Budiman mengatakan, belum menerima laporan terkait dampak gempa. Menurut dia, kekuatan gempa yang tidak terlalu besar membuat dampaknya juga tidak signifikan. "Biasanya dua jam pasca gempa, kalau ada kerusakan, sudah ada laporan. Namun, ini sudah lebih dari 10 jam juga belum ada laporan kerusakan," ujarnya.
Pihaknya akan terus memantau perkembangan pasca gempa, termasuk jika terjadi gempa susulan. Namun, ia mengimbau masyarakat tidak terprovokasi informasi dari sumber yang tidak jelas soal terjadinya tsunami.
Di luar zona subduksi
Meskipun dampak guncangan tidak signifikan, gempa itu ditinjau dari zona seismogeniknya termasuk langka. Gempa yang terjadi tergolong bersumber dangkal di luar zona subduksi (outer rise) sehingga menarik dikaji lebih jauh.
Jika memperhatikan letak episenternya, kata Daryono, tampak bahwa pusat gempa berasosiasi dengan dinamika tektonik di zona outer rise selatan Jawa yang mengalami tarikan Lempeng Indo-Australia di luar zona subduksi. "Mengingat gaya yang bekerja berupa tarikan lempeng, relevan jika mekanisme sumber gempa bumi yang terjadi adalah penyesaran turun," ujarnya.
Peristiwa gempa di luar zona subsduksi, menurut Daryono, tergolong langka. Di selatan Jawa, gempa semacam itu pernah terjadi pada 11 September 1921 dengan kekuatan M 7,5. Laporan Visser (1922) menunjukkan, spektrum guncangan gempa saat itu mencapai jarak 1.500 kilometer.
Di barat, guncangan dirasakan hingga Krui, Lampung, dan di timur hingga Taliwang, Sumbawa. Di wilayah antara Cilacap dan Blitar dilaporkan banyak tembok bangunan retak dan roboh. Menurut Soloviev dan Go (1984), gempa outer rise Jawa pada 1921 memicu terjadinya tsunami kecil yang teramati di Parangtritis hingga Cilacap.
Adapun gempa M 8,3 di zona outer rise Samudra Hindia selatan Sumbawa pada 19 Agustus 1977 juga memicu tsunami setinggi 5-8 meter yang menerjang Pantai Lunyuk, Sumbawa, dan menewaskan lebih dari 198 orang. "Zona outer rise jarang dilanda gempa, tetapi rentan memicu tsunami," kata Daryono.
Meski demikian, gempa di zona outer rise kali ini dengan mekanisme sesar turun dan kekuatannya relatif kecil sehingga tidak menimbulkan tsunami. "Kekuatan gempa tidak mendukung perubahan dasar laut yang signifikan," ujarnya. (AIK/TAM)
Kompas, Sabtu, 16 Juli 2016
No comments:
Post a Comment