Oleh ROY SPARRINGA
Penyalahgunaan bahan berbahaya, seperti formalin, boraks, dan pewarna tekstil, pada pangan sering kali diberitakan di media massa. Laporan rutin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menjelang hari raya terkait peningkatan penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan takjil juga tampaknya menjadi berita biasa dan nyaris tak berdampak pada perubahan. Padahal, keamanan pangan merupakan hak dasar warga masyarakat yang membutuhkan perhatian lebih serius dari pemerintah (Tajuk Rencana Kompas, 2/7).
Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), penambahan bahan berbahaya secara sengaja dalam pangan adalah tindakan kriminal luar biasa, tak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga ekonomi yang masuk dalam ranah food defense. Penambahan bahan berbahaya ini tidak lain adalah tindakan pemalsuan, penipuan, pengelabuan, dan apa pun namanya adalah kejahatan luar biasa. Food defense sebenarnya berbeda dengan food safety (keamanan pangan).
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang tidak disengaja terjadi secara alami akibat kontaminasi lingkungan atau kontaminasi silang karena ketidaktahuan, kelalaian, dan kecerobohan. Sementara food defense secara sengaja ditambahkan bahan pencemar sehingga pangan menjadi tidak aman. Food defense adalah pertahanan pangan yaitu bentuk kondisi dan upaya perlindungan pangan (food protection) dari unsur kesengajaan pencemaran pangan dengan menambahkan cemaran biologis, kimia, fisik, atau bahan lain, seperti bahan radioaktif, untuk tujuan tertentu.
Pada dasarnya ada tiga bentuk food defense berdasarkan tujuannya, yaitu penipuan untuk mendapatkan keuntungan (economically motivated adulteration), sabotase, dan terorisme. Ancaman ini nyata, misalnya kasus melamin pada pangan dan pakan, termasuk formula bayi tahun 2007-2008, adalah penipuan luar biasa untuk mendapatkan keuntungan.
Kasus ini telah membawa perubahan sistem keamanan pangan dan perkuatan lembaga BPOM di Tiongkok menjadi setingkat kementerian. Peristiwa penting lain yang pernah dilaporkan, misalnya, kasus Salmonella pada salad bars di Oregon (1978), jarum pada kukis di St Louis (1984), nikotin pada daging giling di Michigan (2003), racun tikus pada pangan di Tiongkok (2003), dan arsen pada kopi di AS (2010).
Kesengajaan penambahan ini juga ditujukan sebagai bentuk serangan terorisme, sabotase, persaingan dagang, ketidakpuasan pegawai atau mantan pegawai yang pernah bekerja di suatu perusahaan sehingga Otoritas Keamanan Nasional di AS (Homeland Security) ikut berperan menangani pertahanan pangan ini.
Pemerintah AS telah mengantisipasi dan mengatur food defense di dalam UU Pangan (Food Safety Modernization Act/ FSMA) yang resmi diberlakukan sejak 2011 dan terus memperoleh masukan dari sejumlah pihak dalam implementasinya. Dalam UU ini ditegaskan bahwa perlunya mengidentifikasi dan mengevaluasi bahan berbahaya yang mungkin secara sengaja ditambahkan dalam pangan, termasuk tindakan terorisme (FSMA Sec 103, 105, 106). Roh dari UU ini adalah pencegahan yang menjadi kewajiban sejumlah pihak, termasuk industri di luar negeri yang akan mengekspor pangan ke AS. Negara ini terus menggalang kemitraan, memperkuat inspeksi pangan impor dan menuntut kepatuhan tinggi, mengintegrasikan pengawasan, serta terus mengembangkan sejumlah aturan dan standar keamanan pangan yang berorientasi pada pencegahan.
Perhatian pemerintah
Ada tiga isu penting dalam sektor pangan, yaitu food security (ketahanan pangan), food safety (keamanan pangan), dan food defense (pertahanan pangan). Pemerintah saat ini mengutamakan program ketahanan pangan, khususnya untuk mewujudkan ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi masyarakat hingga tingkat individu. Sementara keamanan pangan yang sebenarnya bagian dari ketahanan pangan belum menjadi perhatian khusus. Peringkat ketahanan pangan Indonesia di tingkat global, menurut Global Food Security Index, belum menggembirakan, yaitu ke-74, sedangkan peringkat keamanan pangan lebih buruk, yaitu ke-88 dari 109 negara. Bahkan di tingkat ASEAN peringkat ke-7 dari delapan negara yang disurvei (The Economist Intelligence Unit, 2015).
Program pertahanan pangan jarang sekali dibicarakan di Indonesia. Tindakan kesengajaan penambahan bahan berbahaya pada pangan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dianggap tindak pidana ringan tecermin dari putusan pengadilan yang tergolong ringan sehingga tidak memberikan efek jera. Padahal, menurut UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012, tuntutan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda terbesar Rp 10 miliar.
Pangan sering dipandang sebagai komoditas ekonomi dan pemerintah berupaya memanfaatkan pangan dalam globalisasi perdagangan bebas untuk kepentingan nasional. Peningkatan kerja sama saling menguntungkan terus dijajaki melalui kerja sama internasional, khususnya bilateral, regional, dan plurilateral. Upaya pemenuhan persyaratan ekspor ke negara tujuan terus diperbaiki, misalnya terhadap produk unggulan kelautan dan perikanan Indonesia. Ironisnya pengawasan pangan segar untuk konsumsi domestik masih sangat lemah dan sering dijumpai kandungan bahan berbahaya di dalamnya.
Pangan adalah komoditas ekonomi penting bagi Indonesia karena persentase pengeluaran rata-rata masyarakat Indonesia per kapita sebulan 51 persen digunakan untuk kebutuhan pangan. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) melaporkan nilai penjualan produk makanan dan minuman tahun 2016 diperkirakan lebih dari Rp 1.000 triliun. Industri pangan berkontribusi terhadap 30 persen PDB sektor industri manufaktur nonmigas Indonesia.
Banyak pihak meyakini bahwa tingginya prevalensi penyakit kanker di Indonesia dipicu oleh pangan yang mengandung bahan berbahaya. Hal ini jelas membebani pengeluaran BPJS kesehatan. Paradigma kesehatan diupayakan berubah dari kuratif menjadi preventif dan promotif. Program keamanan pangan menjadi sangat strategis, tetapi anggaran BPOM sebagai lembaga pengawas keamanan pangan masih di bawah Rp 1 triliun untuk program pengawasan. Jika dikonversikan ke dalam nilai perlindungan penduduk untuk pengawasan pangan (termasuk obat), hanya sekitar Rp 3.200 atau sekitar 0,25 dollar AS/orang/tahun.
Tantangan pengawasan
BPOM sering kali melaporkan bahwa pangan yang dicurigai, seperti tahu, bakso, mi basah, produk perikanan, dan aneka jajanan, mengandung bahan berbahaya yang dijual di pasar tradisional di seluruh Indonesia, tak terkecuali di supermarket. Dari 77 pasar tradisional yang diintervensi BPOM, rata-rata penurunan pangan tak memenuhi syarat dari sekitar 16 persen sebelum diintervensi menjadi 10 persen (2014) dan 7 persen (2015).
Pangan tercemar yang didapat dari pasar sebagian besar menjadi bahan baku pangan dan produk jadinya diedarkan ke sekolah, rumah makan, pedagang keliling, termasuk pangan yang dikonsumsi di rumah tangga. Pengawasan BPOM tergolong tak efektif dan sering dipandang sebagai ”tukang sapu” dalam pengawasan pangan mengandung bahan berbahaya ini. BPOM tak punya kewenangan menindak peredaran bahan berbahaya yang sering disalahgunakan di sektor hulu, seperti importasi, produksi, distribusi, hingga tingkat pengecer.
Apakah pengadaan dan penyaluran bahan berbahaya tersebut diterima oleh mereka yang berhak? Kondisi ini terus berlangsung tak terkendali dan bocor ke rantai pasokan pangan. BPOM sering kali merekomendasikan kepada pemerintah daerah atas temuan bahan berbahaya pada pangan, termasuk masalah keamanan pangan lain, tetapi rekomendasi BPOM kurang dari 7 persen yang ditindaklanjuti dari 3.021 rekomendasi (2014) dan hanya 10,5 persen dari 4.145 rekomendasi (2015) yang ditindaklanjuti pemerintah kabupaten/kota. Rendahnya tindak lanjut pemda ini tak sepenuhnya kesalahan pemda.
Menurut analisis penulis, hal ini terjadi karena belum tersedianya regulasi di daerah, pedoman pelaksanaan, kelembagaan di daerah, ketersediaan dan kompetensi SDM, anggaran, perencanaan, prioritas program, sinergisme, serta belum tersedianya perangkat untuk evaluasi kinerja kepala daerah. Sementara pemerintah pusat di antara kementerian dan lembaga belum mengharmoniskan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai pedoman bagi pemda menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan pemenuhannya menjadi hak asasi yang harus dijamin oleh negara. Isu penipuan untuk mendapatkan keuntungan terus berlangsung. Penambahan bahan berbahaya dalam rantai pasokan pangan harus dihentikan. Kewaspadaan nasional terhadap sistem pertahanan pangan belum terbangun, padahal ancaman penipuan, sabotase, dan terorisme berdampak buruk bagi kesehatan dan ekonomi nasional dan dapat memicu kerawanan politik dan sosial. Sudah saatnya pemerintah bersama seluruh elemen bangsa memperkuat pertahanan pangan dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional.
ROY SPARRINGA
Alumnus Lembaga Pertahanan Nasional (PPRA XLIII 2009) dan Mantan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Kompas, Rabu, 20 Juli 2016
No comments:
Post a Comment