Oleh SUHARDI SURYADI
Ketika terjadi bencana tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara, 13 Desember 2014, dengan korban jiwa 70 orang, majalah Asian Scientist dalam edisi 29 Januari 2015 mengatakan, ”Longsor akan menjadi mimpi buruk bagi penduduk Indonesia.” Bahkan, sejumlah media internasional menyebut ”longsor adalah jalan tol menuju kematian”.
Lokasi bencana longsor yang menimpa puluhan rumah di Dusun Jemblung Desa Sampang Kecamatan Karangkobar, Sabtu (13/12/2014). (Tribun Jateng/Fajar Eko Nugroho)
Penyebutan media luar tersebut ada benarnya jika melihat peristiwa bencana longsor dalam lima tahun terakhir yang semakin meluas lokasi dan meningkat jumlah korbannya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa dari 95 persen dari 376 kasus bencana di Indonesia bersifat hidrometeorologi dan di antaranya karena banjir dan longsor.
Faktor utama tingginya kejadian bencana dan longsor adalah deforestasi. Dalam lima dekade terakhir, kerusakan daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa semakin kritis karena vegetasinya di bawah 20 persen, jauh di bawah ketentuan yang dipersyaratkan dalam UU No 26/2009 tentang Penataan Ruang.Dari 141 DAS, ada 116 yang terkategori kritis dan 16 sangat kritis dengan luas lahan kritis mencapai 2,5 juta hektar serta 762 titik longsor (Sudharto P Hadi, Undip 2010).
Karena itu,dalam peringatan Hari Menanam Pohon di Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri (2014), Presiden Joko Widodo meminta agar pola penanganan waduk diubah dari pengerukan sedimen menjadi penanaman pohon di wilayah DAS bagian hulu. Hal ini diharapkan sebagai solusi atas semakin meningkatnya sedimentasi di waduk-waduk dan sungai akibat dari laju deforestasi. Yang menjadi pertanyaan, apakah hal ini akan efektif menjawab kerusakan DAS yang setiap tahun membuat banjir, longsor, dan kekeringan?
Jati lapuk
Gerakan rehabilitasi lahan melalui penanaman pohon mulai dari 1 juta hingga 1 miliar dan program lain yang sejenis nyaris tidak ada cerita sukses. Ada anekdot, jika penanaman pohon yang selama ini dilakukan berhasil, tidak ada tempat lagi untuk menanam mengingat seluruh daratan dan pegunungan sudah dipenuhi dengan pohon. Faktanya justru berbeda, kerusakan DAS meningkat dari tahun ke tahun.
Kerusakan kawasan hulu, jika ditelusuri, bukan akibat ketiadaan kemauan warga menanam pohon, melainkan faktor kemiskinan masyarakat di wilayah hulu dan sengketa atas tata guna lahan. Situasi ini sudah lama ditengarai sebab terdapat jutaan penduduk miskin tinggal di sepanjang kawasan hutan dan di bawah kontrol pemerintah yang mencakup seperempat wilayah Pulau Jawa.
Penanaman pohon selalu gagal karena terdesak oleh aktivitas mata pencarian penduduk dalam pertanian dan penebangan. Diperkirakan, perbandingan antara kegiatan penanaman pohon dan pembalakan kayu mencapai 1:20.Di DAS Bengawan Solo, kegiatan pertanian masyarakat sudah mencapai 70 persen. Kontrol pemerintah yang membatasi akses dan hak warga untuk mengelola hutan bukan saja menimbulkan ketidakberdayaan penduduk secara ekonomi, melainkan juga kerusakan hutan (DAS) itu sendiri.
Sebenarnya sejak era prakolonial, kolonial, hingga era Orde Baru, hutan di Jawa didominasi oleh tanaman jati. Namun, memasuki tahun 1990, era jati sebagai tambang pendapatan Perhutani mulai menurun. Kawasan hutan Jawa yang dikuasai negara seluas 2,565 juta hektar, sebagian telah ditanami dengan pinus, mahoni, dan lain-lain. Itu berarti, kondisi hutan Jawa dapat diibaratkan sebagai jati yang lapuk, dalam arti pengelolaan hutan yang sebagian besar untuk fungsi produksi sudah tidak lagi layak ditinjau dari dua alasan.
Pertama, menimbulkan konflik sosial antara Perhutani yang berkepentingan dengan pengusahaan kayu dan penduduk yang mempertahankan aktivitas pertanian dan perkebunannya. Konflik ini meninggalkan kerusakan nilai dan cacat atas sumber daya lahan yang sangat luas dan intensif berupa penggundulan hutan, erosi, dan tanah longsor serta kekeringan.
Kedua, rendahnya sumbangan ekonomi dari fungsi hutan produksi dibandingkan dengan posisi, peran, dan tanggung jawab hutan Jawa sebagai penyedia sumber daya air bagi kegiatan pertanian dan industri, air minum penduduk ataupun pembangkit listrik.
Di sektor pertanian saja, hampir seperempat produksi padi nasional berasal dari wilayah Jawa dengan jutaan tenaga kerja yang diserap. Banjir, erosi, dan tanah longsor serta kekeringan yang berlangsung rutin tiap tahun telah merugikan kegiatan ekonomi di wilayah hilir. Termasuk dampaknya atas peningkatan jumlah penduduk miskin yang tersebar di 6.172 desa. Ini memberi indikasi bahwa sistem pengelolaan hutan yang semata berorientasi pada kayu dan motif bisnis telah gagal mencegah degradasi lahan dan pengentasan orang miskin serta menunjang pembangunan nasional.
Tim Basarnas, Banser, Relawan dan TNI saat melakukan evakuasi di lokasi bencana longsor yang menimpa puluhan rumah di Dusun Jemblung Desa Sampang Kecamatan Karangkobar, Sabtu (13/12/2014).(Tribun Jateng/Fajar Eko Nugroho)
Area konservasi
Keberadaan hutan di Pulau Jawa jelas memiliki arti yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup penduduk dan pembangunan nasional di masa depan. Sulit dibayangkan jika kegiatan ekonomi di wilayah hilir Jawa ini akhirnya mati hanya karena kebijakan pengelolaan hutan Jawa yang salah dan membuat lebih buruk kondisinya.
Dengan demikian, solusinya bukan semata-mata seruan penanaman pohon, melainkan mengalihkan fungsi kawasan hutan produksi di Jawa dari eksploitasi kayu menjadi kawasan perlindungan, seperti taman nasional, cagar alam, dan kawasan konservasi lain.
Hutan di Pulau Jawa harus dikelola untuk kepentingan yang paling luas bagi kemakmuran banyak orang dalam jangka panjang. Bukan untuk kepentingan bisnis.
Tanpa peralihan ini dikhawatirkan bahwa hutan Jawa benar-benar menjadi mimpi buruk dan jalur cepat menuju kematian bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Tragis sekali.
SUHARDI SURYADI
Direktur LP3ES 2005-2010
Kompas, Senin, 25 Juli 2016
No comments:
Post a Comment