Saturday, 26 September 2020

Yusof Ishak, Putra Minangkabau Presiden Pertama Singapura

 Oleh IWAN SANTOSA

Keberadaan sosok Presiden pertama Singapura, Yusof Ishak, dan warisan Minangkabau di Singapura jadi perekat hubungan Indonesia-Singapura.

Presiden Joko Widodo baru saja melantik mantan wartawan senior Kompas, Suryopratomo, menjadi Duta Besar RI untuk Republik Singapura. Hubungan Indonesia-Singapura sangat erat. Bahkan Presiden pertama Singapura, Yusof Ishak (1965-1970), adalah orang Minangkabau dan juga mantan wartawan.

Penulis buku 101 Orang Minang di Pentas Sejarah, Hasril Chaniago, yang dihubungi, mengatakan, Presiden Singapura Yusof Ishak leluhurnya berasal dari Minangkabau yang masuk ke Semenanjung Malaya di Pulau Penang awal 1700-an. ”Perantau Minang adalah perintis Pulau Penang. Selama ini, disebut Penang dibuka Sir Francis Light. Padahal, orang-orang Minang yang sejatinya membuka hunian dan pembangunan Penang lebih awal,” kata Hasril, yang tinggal di Kota Padang, Sumatera Barat.

Mereka menyeberang dari wilayah Batubara, Sumatera Utara, ke Penang. Dari Penang, di Batu Uban dan Bayan Lepas, para pemukim Minang kemudian menyebar dan membawa berbagai pengaruh sosial-budaya di seantero Semenanjung Malaya hingga Singapura.

Menurut Hasril, Yusof Ishak dan dua adiknya aktif menjadi wartawan dan merintis Surat Kabar Utusan Melayu yang berbahasa Melayu dan menjadi panduan bagi masyarakat penutur Melayu di masa penjajahan Inggris dan pendudukan Jepang di Malaya-Singapura.

Akar leluhur perantau Minang yang merantau ke Penang, Negeri Sembilan, hingga Singapura, umumnya berasal dari Pagaruyung. Para perantau Minang yang mendominasi Negara Bagian Negeri Sembilan ini lalu menyebar ke seantero Malaysia dan Singapura, biasanya menyebut idenditas diri dengan nama kampung halaman leluhur. Tradisi itu berbeda dengan sebutan Marga atau Suku semisal Sikumbang, Piliang, Chaniago, dan lain-lain yang lazim di Sumatera Barat.

Hasril Chaniago menceritakan, Yusof Ishak lahir di Padang Gajah, Trong, 18 mil dari Kota Taiping, Negara Bagian Perak 12 Agustus tahun 1910. Ayahnya bernama Ishak bin Ahmad dan ibunya berasal dari Langkat, Sumatera Utara. Ishak bin Ahmad menjadi pejabat Pengarah Perikanan Negeri-Negeri Selat dan Negeri-Negeri Melayu Bersekutu. Yusof Ishak adalah sulung dari sembilan bersaudara.

Keluarga besar ini mulanya merantau ke Pulau Penang, lalu hijrah ke Negara Bagian Perak, dan terakhir bermukim di Singapura. Yusof Ishak mengawali pendidikan di sebuah Sekolah Melayu di Kurau, Perak. Berselang dua tahun, dia pindah ke Malay School di Kota Taiping dan pada tahun 1921 mengikuti pendidikan bahasa Inggris di Sekolah King Edward VII di Taiping. Selepas dua tahun, Ishak bin Ahmad dipindahkan ke Singapura.

Yusof Ishak dan saudara-saudara mengikuti orangtua boyongan ke Singapura dan melanjutkan sekolah di Victoria Bridge School hingga lulus akhir tahun 1923. Yusof Ishak melanjutkan pendidikan di sekolah elite kaum bangsawan dan hartawan masa itu, yakni Raffles Institution tahun 1924 dan lulus Sijil Sekolah Cambridge-Cambridge School Certificate tahun 1927 dengan nilai baik. Dia pun melanjutkan sekolah dalam kelas Queen’s Scholarship setingkat SMA.

Saat bersekolah di Raffles Institution, Yusof Ishak aktif dalam olah raga hoki, kriket, angkat berat, dan tinju. Bahkan di tahun 1933 dia memenangi kejuaraan tinju kelas berat ringan.

Yusof Ishak juga aktif dalam Korps Kadet Sekolah dengan pangkat letnan dua. Dia adalah siswa pertama di Singapura yang mencapai pangkat tersebut. Dia juga menjadi Ketua Murid—seperti Ketua OSIS di Indonesia—dan menjadi editor majalah sekolah Rafflesian.

Pengalaman mengelola majalah sekolah membuat Yusof Ishak terjun ke dunia media massa. Pada tahun 1929, dia menerbitkan majalah Sportsman—majalah dwimingguan yang menyiarkan berita olahraga. Lalu di tahun 1932, dia menjadi anggota redaksi Warta Malaya yang merupakan surat kabar terkemuka masa itu. Keahliannya sebagai wartawan membuat kariernya berkembang menjadi Pemangku Penyunting—semacam pemimpin redaksi di harian tersebut.

Yusof Ishak terus mengembangkan karier. Di tahun 1938, dalam usia 28 tahun dia mengundurkan diri dari Warta Malaya dan mendirikan usaha penerbitan Utusan Melayu Press Ltd. Mereka menerbitkan surat kabar Utusan Melayu sejak tahun 1939 yang merupakan harian berbahasa Melayu terbesar di Malaysia hingga berakhirnya penerbitan tahun silam. Yusof Ishak menjadi Pemimpin Redaksi Utusan Melayu.

Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yusof Ishak jeda dari dunia kewartawanan dan menetap di Malaya. Sesudah Jepang dikalahkan Sekutu, dia kembali ke Singapura tanggal 3 September 1945 dan melanjutkan penerbitan surat kabar Utusan Melayu. Utusan Melayu aktif mewartakan semangat kemerdekaan Malaya dari Inggris di zaman itu.

Pada dekade terakhir penjajahan Inggris di Malaya dan Singapura, Yusof Ishak tetap menggeluti dunia media dan surat kabarnya semakin maju. Di tahun 1948, dia melawat ke Inggris sebagai bagian delegasi First Press. Lalu di tahun 1957, dia melawat ke Jepang sebagia wartawan dan juga meninjau mesin cetak terbaru yang dipesan Utusan Melayu.

Pada tahun 1957 juga, dia melebarkan usaha penerbitan koran ke Kuala Lumpur. Pada Mei 1957—beberapa bulan sebelum kemerdekaan Malaysia akhir Agustus—Yusof Ishak tinggal di Kuala Lumpur untuk menyelia pembangunan Utusan Melayu di sana. Semasa itu, dia terpilih menjadi Presiden Press Club of Malaya (Ketua Persatuan Wartawan Malaya).

Hasril Chaniago menjelaskan, selain menggeluti dunia pers, Yusof Ishak juga aktif dalam beragam jabatan publik di Singapura. Pada kurun 1948-1950 dia aktif dalam Jawatankuasa Permohonan Filem (Film Appeal Commitee) Singapura, anggota Nature Reserve Commitee, dan anggota Malayan Organisation Commission.

Ketika Malaysia merdeka dari Inggris pada 31 Agustus 1957 sebagai Federasi mencakup Singapura, Yusof Ishak mendapat jabatan penting. Pada Juli 1959, dia menjadi Pengurus Suruhanjaya Perkhidmatan Awam dan tanggal 3 Desember 1959, dia menjadi Yang Dipertuan (Raja) Negeri Singapura. Kedudukan tersebut menjadikannnya setara dengan para Raja dan Sultan di Federasi Malaya. Sebelumnya, Singapura berada di bawah kekuasaan Sultan Johor.

Sebagai Yang Dipertuan Singapura, Yusof Ishak dan istri Puan Noor Aishah melawat ke Kamboja (April 1963) dan ke Sri Lanka (Mei 1963). Di tahun sama, mereka menunaikan ibadah Haji ke Mekah dan disambut sebagai Tamu Kerajaan Arab Saudi.

Dalam kedudukan Yang Dipertuan Singapura, Yusof Ishak pada bulan Juli 1965 diangkat menjadi Rektor Universitas Nasional Singapura—kini ada gedung utama diberi nama Gedung Yusof Ishak di kompleks kampus.

Sebagai Raja dalam Persekutuan Malaysia, Yusof Ishak menerima tanda kehormatan, di antaranya Darjah Kerabat Yang Amat Dihormati Kelas Pertama dari Sultan Brunei (1960) dan dari Yang Dipertuan Agong Malaysia (1963). Semasa itu kondisi politik Asia Tenggara memanas dengan konflik di Vietnam dan tekanan Indonesia dan Filipina terhadap pembentukan negara Malaysia. Hingga kini Filipina masih mengklaim negara bagian Sabah.

Pisah dari Malaysia

Ketika Singapura dipaksa pisah dari Federasi Malaysia—di tengah konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia, Singapura, dan Brunei—Yusof Ishak dilantik menjadi presiden Republik Singapura yang pertama. Gagasan kebangsaan di Singapura waktu itu adalah menjadikan negara yang mengutamakan kesetaraan. ”Singapore for Singaporeans” gagal mencapai semangat Malaysia untuk seluruh etnis yang ada di negara baru Federasi Malaysia.

Yushof Ishak masa itu bersahabat dengan Perdana Menteri Lee Kwan Yew. Mereka sama-sama aktif di Partai Aksi Rakyat (PAP). Tantangan besar mereka hadapi di masa konfrontasi dan ketika harus keluar dari Malaysia.

Kerusuhan rasial terjadi antara etnis Melayu dan etnis Tionghoa di Singapura di tahun 1964 bulan Juli dan September. Yushof Ishak, Lee Kwan Yew, dan para tokoh pendiri Singapura beramai-ramai menyerukan upaya damai, menjaga semangat multikultur Malaysia yang sebagian besar penduduk merupakan komposisi Tionghoa, Melayu, India, dan kelompok lain seperti peranakan Eropa.

Atas upaya memajukan kesetaraan dan hubungan harmonis masyarakat itu, nama Yusof Ishak diabadikan sebagai Pusat Studi Asia Tenggara (ISEAS)  yang buku-bukunya banyak beredar di Indonesia. Wajah Yusof Ishak juga menghiasi lembaran uang kertas dollar Singapura yang beredar.

Yusof Ishak kemudian dilantik jabatan Presiden Singapura kedua kalinya tahun 1967. Dia wafat karena serangan jantung ketika menjabat Presiden Singapura tahun 1970 dan dimakamkan di Taman Makam Negara di Kranji, dekat perbatasan Singapura.

Hingga kini, masyarakat Minangkabau Singapura yang salah satu pusat komunitasnya berada di Kampung Glam masih memberi warna kehidupan di Singapura. Abdul Azis seorang warga Singapura mengatakan, keluarga besar Yusof Ishak sangat sederhana dan dihormati masyarakat.

”Kalau pengaruh Minangkabau yang akrab di Singapura tentu saja nasi padang. Kini nasi padang juga tersedia online di Singapura,” kata Abdul Azis.

Marina Rahim, keponakan Yusof Ishak yang diwawancara The Straits Times dalam artikel tentang Minangkabau di Singapura tanggal 11 Mei 2017 memperkenalkan kekayaan budaya Minang. Marina, keturunan keenam dari Datuk Jenaton Raja Labu mengisahkan betapa masyarakat Minang masih akrab dengan lagu ”Ayam Den Lapeh”, ”Rasa Sayang”, aneka hidangan seperti sayur pakis, sate minang, rendang, dan lain-lain jadi menu kesukaannya.

Keberadaan Warung Nasi Padang Pariaman di North Bridge Road dan Rumah Makan Minang di Kandahar Street menjadi bagian dari kekayaan budaya Singapura. Masyarakat Minang Singapura tergabung dalam Singapore Minangkabau Association (SMA) yang didirikan tahun 1994.

Masyarakat Minang Singapura masih memegang falsafah adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah—tradisi berbasis agama, dan agama berbasis Al Quran. Keberadaan sosok Presiden Yusof Ishak dan warisan Minangkabau di Singapura jadi perekat hubungan jiran Indonesia-Singapura.

No comments:

Post a Comment