Oleh IWAN SANTOSA
Keberadaan
sosok Presiden pertama Singapura, Yusof Ishak, dan warisan Minangkabau di
Singapura jadi perekat hubungan Indonesia-Singapura.
Presiden
Joko Widodo baru saja melantik mantan wartawan senior Kompas, Suryopratomo,
menjadi Duta Besar RI untuk Republik Singapura. Hubungan Indonesia-Singapura
sangat erat. Bahkan Presiden pertama Singapura, Yusof Ishak (1965-1970), adalah
orang Minangkabau dan juga mantan wartawan.
Penulis
buku 101 Orang Minang di Pentas Sejarah, Hasril Chaniago, yang dihubungi,
mengatakan, Presiden Singapura Yusof Ishak leluhurnya berasal dari Minangkabau
yang masuk ke Semenanjung Malaya di Pulau Penang awal 1700-an. ”Perantau Minang
adalah perintis Pulau Penang. Selama ini, disebut Penang dibuka Sir Francis
Light. Padahal, orang-orang Minang yang sejatinya membuka hunian dan
pembangunan Penang lebih awal,” kata Hasril, yang tinggal di Kota Padang,
Sumatera Barat.
Mereka
menyeberang dari wilayah Batubara, Sumatera Utara, ke Penang. Dari Penang, di
Batu Uban dan Bayan Lepas, para pemukim Minang kemudian menyebar dan membawa
berbagai pengaruh sosial-budaya di seantero Semenanjung Malaya hingga
Singapura.
Menurut
Hasril, Yusof Ishak dan dua adiknya aktif menjadi wartawan dan merintis Surat
Kabar Utusan Melayu yang berbahasa Melayu dan menjadi panduan bagi masyarakat
penutur Melayu di masa penjajahan Inggris dan pendudukan Jepang di
Malaya-Singapura.
Akar
leluhur perantau Minang yang merantau ke Penang, Negeri Sembilan, hingga
Singapura, umumnya berasal dari Pagaruyung. Para perantau Minang yang
mendominasi Negara Bagian Negeri Sembilan ini lalu menyebar ke seantero
Malaysia dan Singapura, biasanya menyebut idenditas diri dengan nama kampung
halaman leluhur. Tradisi itu berbeda dengan sebutan Marga atau Suku semisal
Sikumbang, Piliang, Chaniago, dan lain-lain yang lazim di Sumatera Barat.
Hasril
Chaniago menceritakan, Yusof Ishak lahir di Padang Gajah, Trong, 18 mil dari
Kota Taiping, Negara Bagian Perak 12 Agustus tahun 1910. Ayahnya bernama Ishak
bin Ahmad dan ibunya berasal dari Langkat, Sumatera Utara. Ishak bin Ahmad
menjadi pejabat Pengarah Perikanan Negeri-Negeri Selat dan Negeri-Negeri Melayu
Bersekutu. Yusof Ishak adalah sulung dari sembilan bersaudara.
Keluarga
besar ini mulanya merantau ke Pulau Penang, lalu hijrah ke Negara Bagian Perak,
dan terakhir bermukim di Singapura. Yusof Ishak mengawali pendidikan di sebuah
Sekolah Melayu di Kurau, Perak. Berselang dua tahun, dia pindah ke Malay School
di Kota Taiping dan pada tahun 1921 mengikuti pendidikan bahasa Inggris di
Sekolah King Edward VII di Taiping. Selepas dua tahun, Ishak bin Ahmad
dipindahkan ke Singapura.
Yusof Ishak
dan saudara-saudara mengikuti orangtua boyongan ke Singapura dan melanjutkan
sekolah di Victoria Bridge School hingga lulus akhir tahun 1923. Yusof Ishak
melanjutkan pendidikan di sekolah elite kaum bangsawan dan hartawan masa itu,
yakni Raffles Institution tahun 1924 dan lulus Sijil Sekolah
Cambridge-Cambridge School Certificate tahun 1927 dengan nilai baik. Dia pun
melanjutkan sekolah dalam kelas Queen’s Scholarship setingkat SMA.
Saat
bersekolah di Raffles Institution, Yusof Ishak aktif dalam olah raga hoki,
kriket, angkat berat, dan tinju. Bahkan di tahun 1933 dia memenangi kejuaraan
tinju kelas berat ringan.
Yusof Ishak
juga aktif dalam Korps Kadet Sekolah dengan pangkat letnan dua. Dia adalah
siswa pertama di Singapura yang mencapai pangkat tersebut. Dia juga menjadi
Ketua Murid—seperti Ketua OSIS di Indonesia—dan menjadi editor majalah sekolah
Rafflesian.
Pengalaman mengelola
majalah sekolah membuat Yusof Ishak terjun ke dunia media massa. Pada tahun
1929, dia menerbitkan majalah Sportsman—majalah dwimingguan yang menyiarkan
berita olahraga. Lalu di tahun 1932, dia menjadi anggota redaksi Warta Malaya
yang merupakan surat kabar terkemuka masa itu. Keahliannya sebagai wartawan
membuat kariernya berkembang menjadi Pemangku Penyunting—semacam pemimpin
redaksi di harian tersebut.
Yusof Ishak
terus mengembangkan karier. Di tahun 1938, dalam usia 28 tahun dia mengundurkan
diri dari Warta Malaya dan mendirikan usaha penerbitan Utusan Melayu Press Ltd.
Mereka menerbitkan surat kabar Utusan Melayu sejak tahun 1939 yang merupakan
harian berbahasa Melayu terbesar di Malaysia hingga berakhirnya penerbitan
tahun silam. Yusof Ishak menjadi Pemimpin Redaksi Utusan Melayu.
Semasa
pendudukan Jepang (1942-1945), Yusof Ishak jeda dari dunia kewartawanan dan
menetap di Malaya. Sesudah Jepang dikalahkan Sekutu, dia kembali ke Singapura
tanggal 3 September 1945 dan melanjutkan penerbitan surat kabar Utusan Melayu.
Utusan Melayu aktif mewartakan semangat kemerdekaan Malaya dari Inggris di
zaman itu.
Pada dekade
terakhir penjajahan Inggris di Malaya dan Singapura, Yusof Ishak tetap
menggeluti dunia media dan surat kabarnya semakin maju. Di tahun 1948, dia
melawat ke Inggris sebagai bagian delegasi First Press. Lalu di tahun 1957, dia
melawat ke Jepang sebagia wartawan dan juga meninjau mesin cetak terbaru yang
dipesan Utusan Melayu.
Pada tahun
1957 juga, dia melebarkan usaha penerbitan koran ke Kuala Lumpur. Pada Mei
1957—beberapa bulan sebelum kemerdekaan Malaysia akhir Agustus—Yusof Ishak
tinggal di Kuala Lumpur untuk menyelia pembangunan Utusan Melayu di sana.
Semasa itu, dia terpilih menjadi Presiden Press Club of Malaya (Ketua Persatuan
Wartawan Malaya).
Hasril
Chaniago menjelaskan, selain menggeluti dunia pers, Yusof Ishak juga aktif
dalam beragam jabatan publik di Singapura. Pada kurun 1948-1950 dia aktif dalam
Jawatankuasa Permohonan Filem (Film Appeal Commitee) Singapura, anggota Nature
Reserve Commitee, dan anggota Malayan Organisation Commission.
Ketika
Malaysia merdeka dari Inggris pada 31 Agustus 1957 sebagai Federasi mencakup
Singapura, Yusof Ishak mendapat jabatan penting. Pada Juli 1959, dia menjadi
Pengurus Suruhanjaya Perkhidmatan Awam dan tanggal 3 Desember 1959, dia menjadi
Yang Dipertuan (Raja) Negeri Singapura. Kedudukan tersebut menjadikannnya
setara dengan para Raja dan Sultan di Federasi Malaya. Sebelumnya, Singapura
berada di bawah kekuasaan Sultan Johor.
Sebagai
Yang Dipertuan Singapura, Yusof Ishak dan istri Puan Noor Aishah melawat ke
Kamboja (April 1963) dan ke Sri Lanka (Mei 1963). Di tahun sama, mereka
menunaikan ibadah Haji ke Mekah dan disambut sebagai Tamu Kerajaan Arab Saudi.
Dalam
kedudukan Yang Dipertuan Singapura, Yusof Ishak pada bulan Juli 1965 diangkat
menjadi Rektor Universitas Nasional Singapura—kini ada gedung utama diberi nama
Gedung Yusof Ishak di kompleks kampus.
Sebagai
Raja dalam Persekutuan Malaysia, Yusof Ishak menerima tanda kehormatan, di
antaranya Darjah Kerabat Yang Amat Dihormati Kelas Pertama dari Sultan Brunei
(1960) dan dari Yang Dipertuan Agong Malaysia (1963). Semasa itu kondisi
politik Asia Tenggara memanas dengan konflik di Vietnam dan tekanan Indonesia
dan Filipina terhadap pembentukan negara Malaysia. Hingga kini Filipina masih
mengklaim negara bagian Sabah.
Pisah dari Malaysia
Ketika
Singapura dipaksa pisah dari Federasi Malaysia—di tengah konfrontasi Indonesia
terhadap Malaysia, Singapura, dan Brunei—Yusof Ishak dilantik menjadi presiden
Republik Singapura yang pertama. Gagasan kebangsaan di Singapura waktu itu
adalah menjadikan negara yang mengutamakan kesetaraan. ”Singapore for
Singaporeans” gagal mencapai semangat Malaysia untuk seluruh etnis yang ada di
negara baru Federasi Malaysia.
Yushof
Ishak masa itu bersahabat dengan Perdana Menteri Lee Kwan Yew. Mereka sama-sama
aktif di Partai Aksi Rakyat (PAP). Tantangan besar mereka hadapi di masa
konfrontasi dan ketika harus keluar dari Malaysia.
Kerusuhan
rasial terjadi antara etnis Melayu dan etnis Tionghoa di Singapura di tahun
1964 bulan Juli dan September. Yushof Ishak, Lee Kwan Yew, dan para tokoh
pendiri Singapura beramai-ramai menyerukan upaya damai, menjaga semangat
multikultur Malaysia yang sebagian besar penduduk merupakan komposisi Tionghoa,
Melayu, India, dan kelompok lain seperti peranakan Eropa.
Atas upaya memajukan
kesetaraan dan hubungan harmonis masyarakat itu, nama Yusof Ishak diabadikan
sebagai Pusat Studi Asia Tenggara (ISEAS)
yang buku-bukunya banyak beredar di Indonesia. Wajah Yusof Ishak juga
menghiasi lembaran uang kertas dollar Singapura yang beredar.
Yusof Ishak
kemudian dilantik jabatan Presiden Singapura kedua kalinya tahun 1967. Dia
wafat karena serangan jantung ketika menjabat Presiden Singapura tahun 1970 dan
dimakamkan di Taman Makam Negara di Kranji, dekat perbatasan Singapura.
Hingga
kini, masyarakat Minangkabau Singapura yang salah satu pusat komunitasnya
berada di Kampung Glam masih memberi warna kehidupan di Singapura. Abdul Azis
seorang warga Singapura mengatakan, keluarga besar Yusof Ishak sangat sederhana
dan dihormati masyarakat.
”Kalau
pengaruh Minangkabau yang akrab di Singapura tentu saja nasi padang. Kini nasi
padang juga tersedia online di Singapura,” kata Abdul Azis.
Marina
Rahim, keponakan Yusof Ishak yang diwawancara The Straits Times dalam artikel
tentang Minangkabau di Singapura tanggal 11 Mei 2017 memperkenalkan kekayaan
budaya Minang. Marina, keturunan keenam dari Datuk Jenaton Raja Labu
mengisahkan betapa masyarakat Minang masih akrab dengan lagu ”Ayam Den Lapeh”,
”Rasa Sayang”, aneka hidangan seperti sayur pakis, sate minang, rendang, dan
lain-lain jadi menu kesukaannya.
Keberadaan
Warung Nasi Padang Pariaman di North Bridge Road dan Rumah Makan Minang di
Kandahar Street menjadi bagian dari kekayaan budaya Singapura. Masyarakat
Minang Singapura tergabung dalam Singapore Minangkabau Association (SMA) yang
didirikan tahun 1994.
Masyarakat
Minang Singapura masih memegang falsafah adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah—tradisi berbasis agama, dan agama berbasis Al Quran. Keberadaan
sosok Presiden Yusof Ishak dan warisan Minangkabau di Singapura jadi perekat
hubungan jiran Indonesia-Singapura.
No comments:
Post a Comment