Oleh BUDI SANTOSA
Dikisahkan dalam novel Max Havelaar, rakyat Lebak, Banten, pada pertengahan abad ke-19 hidup miskin, sementara tanah dan sawah sekelilingnya sangat subur, di bawah pemerintah kolonial yang memungut pajak yang memberatkan bagi mereka.
Hal ini diperparah dengan sikap Bupati Lebak sebagai penguasa langsung yang ikut memperberat penderitaan rakyat. Bupati Lebak bernama Adipati Karta bertahun-tahun menambah penderitaan dengan pungutan yang lain dan memaksa rakyat Lebak harus bekerja untuknya tanpa upah. Tanah ditanami padi, tetapi hasil diambil oleh bupati dan juga untuk Pemerintah Hindia Belanda. Kerbau milik penduduk yang menjadi modal dasar mengolah sawah pun bisa diambil sesuka hati oleh bupati.
Bupati Adipati Karta adalah pribumi yang licik. Yang akhirnya membela rakyat Banten adalah Douwes Dekker. Asisten Residen Lebak ini ingin mengungkap kesengsaraan hidup rakyat Lebak akibat perilaku pejabat yang korup. Bupati Adipati Karta berkolaborasi dengan Residen Lebak – orang Belanda – melanggengkan pemerasan pada rakyat.
Sebelum itu, Asisten Residen Lebak, Slottering, yang beristri orang pribumi juga ingin mengungkap praktik kejam ini. Sayang dia keburu dibunuh secara keji dengan cara diracun saat diundang jamuan makan di rumah bupati. Nyatalah bahwa penderitaan rakyat Lebak terjadi karena peran aktif sang bupati, orang yang sebangsa dengan kita. Cerita sejenis mungkin banyak terjadi di daerah lain saat itu.
Yang mengungkap kisah di atas justru orang berkulit putih, yang pada awal abad ke-20 menjadi penggerak utama perjuangan modern bangsa kita melawan penjajahan, yang dilakukan bangsanya lewat Indische Partij.
160 tahun kemudian
Kisah pada abad kolonial pada kira-kira tahun 1855 itu terjadi lagi di bumi Indonesia kini. Kisah di mana orang pribumi berkolaborasi dengan asing untuk melanggengkan kekuasaan asing atas bangsa ini untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Gaduh transkrip rekaman pembicaraan tentang Freeport yang dilakukan Ketua DPR Setya Novanto (SN), pengusaha Muhammad Reza Chalid (MR), dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin (MS), membuktikan itu. Sungguh menyedihkan bahwa dari transkrip pembicaraan antara SN, MR, dan MS yang sedang membicarakan perpanjangan kontrak itu tidak sekalipun terdengar kata “rakyat”. Pelaku yang merupakan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat sudah lupa akan posisinya. Kepentingan rakyat jauh dari orbit pemikirannya. Yang menjadi topic justru dugaan bagi-bagi saham ke beberapa pihak tanpa menyertakan rakyat.
Ini menyedihkan karena yang sedang dibicarakan dalam transkrip tersebut adalah soal kekayaan alam besar di perut bumi Indonesia. Membicarakan kekayaan alam tanpa menyebut rakyat jelas mengingkari amanat konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 tegas menyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Jelaslah bahwa rakyat menjadi tujuan utama pengelolaan kekayaan alam. Bukan untuk para elite partai atau negara.
Sejak awal perjanjian kontrak, manfaat Freeport memang jauh dari kepentingan rakyat. Memang benar bahwa pajak dan royalty yang dibayarkan Freeport sebagian untuk kepentingan rakyat. Namun, ketika pembicaraan sampai pada persoalan divestasi (pelepasan) saham Freeport yang menjadi bagian Pemerintah Indonesia, maka kepentingan rakyat diabaikan. Sebagai contoh pada divestasi 9,36 persen saham Freeport 1991 ketika kontrak kerja diperpanjang untuk 20 tahun ke depan, pemilik sahamnya justru bukan pemerintah atau BUMN, tetapi PT Indocopper milik Bakrie Brothers. Bagaimana bisa kepemilikan sahan pemerintah begitu mudah dikuasai swasta? Bagaimana Ginandjar Kartasasmita waktu itu bisa memberikan kepada Bakrie?
Aburizal Bakrie (dua kanan) berbincang dengan Ginandjar Kartasasmita (dua kiri), sebelum membuka acara Rapat Pimpinan Nasional di Jakarta Convention Center, Minggu (18/5/2014). (Tribunnews/Dany Permana)
Sisa kepemilikan saham hingga 20 persen yang mestinya dikuasai Pemerintah Indonesia, kemudian tidak diberikan. Pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 yang membolehkan kepemilikan saham oleh penanaman modal asing hingga 100 persen. Jika dilogika, aturan ini sangat aneh: membiarkan asing menguasai saham 100 persen. Tidak sedikit pun dari aturan itu memihak kepentingan rakyat.
Pelecehan lembaga negara
Peran Ketua DPR dalam pembicaraan tersebut seperti peran makelar. Barangkali peran sejenis makelar masih akan dihargai orang seandainya kata rakyat menjadi bagian dari pembicaraan itu. Namun, yang terjadi sungguh sangat tidak pantas. Tindakan Ketua DPR membawa pengusaha swasta dalam pertemuan itu sudah sangat merendahkan martabat lembaga DPR dan sekaligus bangsa ini. Jabatan Ketua Dewan yang begitu mulia direduksi perannya hanya sebagai makelar. Selanjutnya peran sebagai makelar pun tak ada niat untuk membela rakyat. Lengkaplah sudah pelecehan terhadap jabatan mulia ketua dan lembaga tinggi DPR dan pengabaian kepentingan rakyat.
Dari transkrip itu juga bisa diketahui tidak ada upaya sedikitpun dari Ketua Dewan untuk mengusahakan pembagian keuntungan atau royalti atau kepemilikan saham Freeport yang lebih menguntungkan bagi kepentingan bangsa. Seakan justru Ketua Dewan ingin memelihara keadaan yang sekian lama merugikan kepentingan rakyat atau bangsa. Urusan kekayaan alam ternyata memang hanya milik para elite politk dan penguasa. Rakyat hanya dibicarakan saat pemilu atau pilkada. Setelah itu, tidak ada kata rakyat di kamus sebagian besar anggota DOR dan juga para elite politik.
Sangat disayangkan bahwa para elite yang membicarakan kekayaan itu lebih berpihak pada kepentingan asing dan kelompoknya daripada mengusahakan kemakmuran untuk bangsanya. Mungkin Freeport hanya salah satu. Bagaimana dengan kekayaan bumi Indonesia yang lain, misalnya Newmont?
Kini Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) melengkapi kebusukan itu dengan menutupi apa yang disampaikan Ketua Dewan dari pantauan publik. MKD secara tidak langsung telah mendukung tindakan Ketua Dewan yang lebih mementingkan pribadi dan kelompok serta asing daripada memikirkan rakyatnya.
Kita masih berharap bahwa Freeport akan memberikan saham ke pemerintah hingga 20 persen. Mestinya sudah diwujudkan pada Oktober 2015. Namun, belum terwujud hingga kini. Pemerintah merencanakan kali ini saham tidak akan dikuasai swasta, seperti masa lalu, melainkan akan diberikan kepada BUMN, seperti PT Aneka Tambang atau Inalum. Ini baru keputusan yang tepat. Walaupun belum tentu juga penguasaan oleh BUMN akan menjamin kemakmuran rakyat, tetapi dari sisi keadilan itu sudah suatu kemajuan. Kita tunggu hasilnya. Setidaknya sudah ada usaha perbaikan dari sisi eksekutif.
Kisah Ketua Dewan dalam hal Freeport ini mungkin hanya satu dari sekian banyak kasus di mana rakyat tidak menjadi tujuan utama dari sepak terjang para elite politik yang sedang menjalankan amanat rakyat pemilihnya. Kita berhadap perilaku para elite politik bisa berubah. Kalau tidak, bangsa ini akan semakin terjerumus dalam kangkangan pihak-pihak yang hanya memikirkan kepentingan sempit pribadi dan kelompoknya, bisa asing bisa bangsa sendiri. Jangan kisah rakyat Lebak diisap bupatinya sendiri berlangsung terus.
BUDI SANTOSA
Guru Besar Teknik Industri ITS
Kompas, Sabtu, 12 Desember 2015
No comments:
Post a Comment