Di tengah godaan perayaan yang berlebihan, Natal menemukan aktualitasnya di kalangan orang-orang pinggiran. Mereka merayakannya dengan sederhana, merefleksikan kehidupan yang mereka alami sehari-hari.
Sumarni (73) bersama dua cucunya menyantap makanan seusai pulang dari kebaktian Natal di pinggir rel kereta api di kawasan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, yang digelar pada Kamis (17/12), lebih cepat sepekan dari libur Natal. (Kompas/Adrian Fajriansyah)
Seperti tahun-tahun sebelumnya, warga Stasi Totoran, Paroki Indramayu, Jawa Barat, memiliki tradisi sederhana untuk merayakan Natal. Setelah mengikuti misa Natal, mereka makan nasi kuning bersama.
Stefanus Miska (45), Ketua Stasi Totoran, menuturkan, makan nasi kuning bersama itu merupakan bentuk syukur dan cara umat merayakan Natal. "Namun, kalaupun tak bisa menyiapkan nasi kuning, kami tetap bersyukur dengan berkumpul di gereja. ini adalah bentuk syukur kami," ujarnya.
Umat Stasi Totoran berjumlah sekitar 30 orang. Seperti umat lain, Miska bekerja serabutan. Saat musim hajatan-biasanya menjelang perayaan Idul Adha-Miska punya pekerjaan sampingan sebagai pembawa acara orkes atau musik organ tunggal yang menampilkan dangdut pantura.
Kesederhanaan perayaan Natal juga terlihat di kawasan pinggir rel kereta api kawasan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat. Kamis sore pekan lalu, anggota Persekutuan Doa Miracle menggelar ibadah Natal menggunakan rumah milik Eduard Palite (47). Di rumah berukuran 5 meter x 10 meter, jemaat merayakan Natal yang dipimpin Pendeta Tony Yesayas dari Gereja Bethel Indonesia Gadjah Mada, Jakarta Pusat.
Eduard menyediakan rumahnya untuk ibadah supaya para tetangganya yang umumnya pemulung itu tetap dapat beribadah. Kursi-kursi yang disediakan untuk ibadah pun sangat sederhana, diletakan di antara balok kusam dan material bangunan. Sementara Eduard tergabung dengan jemaat di dalam Jemaat Gereja Utusan Kristus Kenari, Jakarta Pusat.
Suasana
Untuk menghadirkan suasana Natal, anggota persekutuan menghias rumah itu dengan ornamen khas Natal berupa lonceng dan bola yang dilapisi kertas merah dan perak. Benda-benda itu digantung. Pohon Natal setinggi 1,5 meter diletakkan di samping mimbar yang dipakai pendeta.
Dari 70 orang umat yang hadir, hampir 80 persen perempuan yang berumur lebih dari 45 tahun. Salah seorang anggota persekutuan itu adalah Sumarni (73) bersama dua cucunya. Selepas kebaktian, Sumarni harus melalui celah antartembok sempit selebar 1 meter menuju tempat tinggalnya. Ini adalah akses ilegal karena dia tinggal di pinggir rel kereta api.
Tempat yang ditinggali Sumarni pun tidak pakai dinding, hanya dilengkapi terpal untuk sekadar menahan panas dan hujan. Atap darurat itu pun sudah banyak berlubang, seirama dengan kayu penopangnya yang sudah rapuh. Walaupun demikian, Sumarni tetap bersyukur bisa merayakan Natal tahun ini.
(RINI KUSTIASIH/VIDELIS JEMALI/ADRIAN FAJRIANSYAH)
Kompas, Sabtu, 26 Desember 2015
No comments:
Post a Comment