Saturday 19 October 2019

Alat dan Metode Uji Disolusi

Untuk dapat diserap, zat aktif obat harus dapat terlepas dari bentuk sediaannya. Proses perpindahan padatan aktif ke fase pelarut sehingga terbentuk larutan ini secara fisikokimia disebut disolusi. Dibandingkan disintegrasi, disolusi lebih sering menjadi penentu kecepatan obat untuk siap diserap. Disintegrasi lebih menggambarkan efek variabel formulasi dan proses manufaktur saja, sedangkan disolusi juga merefleksikan karakteristik zat aktif, seperti kelarutan dan ukuran partikel.
Seiring meningkatnya pemahaman tentang arti penting pemastian pelepasan obat, metode disolusi mulai banyak dikembangkan antara 1960-1980. Selain sebagai sarana untuk pemastian mutu dan membantu dalam pengembangan produk, peran penting uji disolusi terhadap bioavailabilitas obat mulai marak diteliti dalam periode tahun 1970-1980.
Metode disolusi yang didesain dengan baik akan menghasilkan data dengan variabilitas rendah dan, idealnya, bebas masalah stabilitas. Hasil dengan variabilitas tinggi menimbulkan kesulitan dalam mengidentifikasi tren atau efek perubahan formula. Variabilitas dinyatakan tinggi jika simpangan baku relatif (RSD) dari 12 unit uji lebih dari 20% pada titik waktu 10 menit atau kurang dan lebih dari 10% pada titik waktu yang lebih tinggi.
Selama pengembangan metode disolusi, sumber variabilitas harus dicari dan sedapat mungkin dikendalikan. Ada dua sumber utama variabilitas, yakni dari produk yang diuji atau dari pengujian disolusinya. Pengamatan visual selama proses pengujian akan membantu investigasi sumber variabilitas.
Variabilitas dari produk dapat disebabkan formula, proses manufaktur, atau stabilitas. Misalnya, keseragaman kandungan yang buruk, proses tidak konsisten, interaksi dengan bahan tambahan, atau perubahan kekerasan unit sediaan selama penyimpanan.
Variabilitas karena uji disolusi dapat terjadi umumnya jika unit sediaan tidak terdispersi merata dalam bejana. Misalnya, akibat pembentukan gundukan (coning), penempelan tablet pada dinding bejana, atau penempelan partikel pada dinding keranjang. Berdasarkan penyebabnya, solusi yang dapat digunakan dapat berupa penggantian tipe alat, kecepatan agitasi, tingkat deaerasi, tipe sinker, atau komposisi media.

Peralatan

Ada empat artikel dalam USP yang menjelaskan perangkat yang digunakan dalam uji pelepasan bahan aktif obat, yakni <711> Dissolution, <724> Drug Release, <1724> Semisolid Drug Products – Performance Test, dan <2040> Disintegration and Dissolution of Dietary Supplements.
Bab umum <711> membahas empat alat yang digunakan untuk uji disolusi sediaan oral padat, yakni:
  • Alat 1: Alat keranjang (rotating basket)
  • Alat 2: Alat dayung (paddle assembly)
  • Alat 3: Silinder bolak-balik (reciprocating cylinder)
  • Alat 4: Sel lintas-alir (flow-through cell)
Keempat alat tersebut sudah diharmonisasi di tiga farmakope.
Alat 1 dan Alat 2 merupakan yang paling umum digunakan untuk sediaan oral padat. Jika kedua alat tersebut tidak dapat digunakan, alat yang lain mulai dipertimbangkan penggunaannya. Alat 3 paling berguna untuk uji pelepasan dari tablet kunyah, kapsul lunak, sediaan lepas tunda, dan produk yang tidak terdisintegrasi seperti pellet bersalut. Alat 4 memberikan keuntungan untuk pengujian bentuk sediaan lepas termodifikasi dan lepas segera dengan bahan aktif memiliki kelarutan terbatas.
Bab umum <724> memuat tiga alat yang digunakan untuk mengevaluasi pelepasan obat dari sistem transdermal, yakni:
  • Alat 5: Dayung di atas piringan (paddle over disk)
  • Alat 6: Silinder
  • Alat 7: Pembawa bolak-balik (reciprocating holder)
Alat 7 memiliki lima macam pembawa atau pemegang unit sediaan. Dua di antaranya digunakan untuk tablet lepas lambat. Contoh produk obat yang menggunakan alat ini adalah Oxybutynin Chloride Tablet Lepas Lambat USP.
Informasi umum <1724> memuat dua alat uji pelepasan obat dari bentuk sediaan semipadat, yakni sel difusi vertikal dan sel imersi. Informasi umum ini juga menjelaskan adapter sediaan semipadat untuk digunakan pada sel lintas-alir.
Alat disolusi yang dibahas secara khusus dalam <2040> adalah keranjang stasioner. Meskipun dibahas dalam bab untuk suplemen makanan, alat ini juga digunakan untuk uji disolusi Felodipine Tablet Lepas Lambat dan Lamotrigine Tablet Lepas Lambat USP.
Selain empat alat yang digunakan dalam pengujian disolusi sediaan oral padat (2.9.3), Farmakope Eropa (Ph.Eur.) memiliki tiga bab prosedur teknis khusus untuk patch transdermal (2.9.4), permen karet mengandung obat (2.9.25), dan bentuk sediaan padat lipofilik (2.9.42).
Ada tiga metode yang bisa digunakan untuk patch transdermal, yakni metode perangkat piringan, metode sel ekstraksi, dan metode silinder berputar. Metode pertama dan kedua menyerupai Alat 5 USP, dengan menggunakan perangkat piringan baja tahan-karat (SDDA, stainless steel disk assembly) atau sel ekstraksi untuk memegang patch di dasar bejana, di bawah dayung. Metode silinder berputar menyerupai Alat 6 USP.
Ada dua macam alat uji disolusi untuk permen karet mengandung obat, dengan prinsip dasar pengulian mekanis lembaran permen karet yang ditempatkan pada ruang kecil, yang merupakan simulasi proses mengunyah. Sedangkan alat uji disolusi untuk sediaan padat lipofilik, seperti supositoria dan kapsul lunak, menyerupai sel lintas-alir.

Alat Keranjang

Alat keranjang disebut sebagai Alat 1 karena merupakan yang pertama kali diadopsi sebagai alat resmi pada tahun 1970. Tangkai dan keranjang terbuat dari baja tahan karat tipe 316, atau bahan inert lain, sesuai spesifikasi <711>. Keranjang dapat disalut emas dengan ketebalan 2,5 ยตm (0,0001 inci). Penyalutan ini ditujukan untuk mencegah korosi akibat media asam. PTFE juga dapat digunakan sebagai bahan penyalut.
Keranjang resmi menggunakan kawat anyaman 40-mesh. Artinya, terdapat 40 lubang per inci linear. Dengan menggunakan kawat berdiameter 0,010 inci, ukuran lubang adalah 0,381 mm2. Di luar itu, terdapat ukuran dari rentang 10-mesh hingga 150-mesh. Keranjang 10-mesh digunakan untuk pengujian disolusi Simvastatin dalam Niacin dan Simvastatin Tablet Lepas Lambat. Keranjang 20-mesh dapat ditemukan penggunaannya untuk Sirolimus Tablet, Quetiapine Fumarate Tablet Lepas Lambat, serta Dapaglifozin Propanediol dan Metformin HCl Tablet Lepas Lambat. Ukuran yang lebih rapat, 100-mesh, digunakan untuk Dexlansoprazole Tablet Lepas Tunda dan Montelukast Granul.
Diameter dalam keranjang resmi 20,2 ± 1,0 mm. Diameter yang lebih lebar, yakni 24,5 mm, digunakan untuk uji disolusi Dabigatran Etexilate Mesylate Kapsul 150 mg.
Tangkai pemegang keranjang resmi menggunakan tiga klip untuk mengikat keranjang. Tipe yang lain, bukan termasuk yang resmi, adalah tanpa klip pengikat. Keranjang dipasang pada tangkai menggunakan cincin-O. Penelitian perbandingan antara kedua pengikat dilakukan menggunakan lima macam tablet, yakni dua tablet kalibrator (asam salisilat, prednison) dan tiga tablet pengembangan. Hanya tablet kalibrator prednison yang menunjukkan perbedaan signifikan antara kedua desain. Keranjang dengan klip menunjukkan laju disolusi yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan tonjolan klip mengganggu aliran cairan dalam bejana (Gray et al, 2001).  
Uji disolusi supositoria dapat menggunakan keranjang khusus yang disebut keranjang Palmieri. Keranjang tipe ini digunakan untuk uji disolusi Prochlorperazin Supositoria Rektal dan Terconazole Supositoria Vaginal.

Alat Dayung

Alat kedua untuk uji disolusi adalah Alat Dayung. Spesifikasi dayung yang mulai diadopsi pada 1978 ini dapat dibaca dalam <711>.
Jarak antara sisi bawah bilah dayung dan dasar bejana dipersyaratkan 25 ± 2 mm. Namun, monografi beberapa produk dalam USP ada yang menggunakan jarak 45 ± 5 mm. Produk yang menggunakan jarak lebih lebar ini dalam USP 41 antara lain Alfuzosin HCl Tablet Lepas Lambat, Doxycycline Hyclate Tablet dan Kapsul, Ergoloid Mesylate Tablet, serta Tetracycline HCl Tablet dan Kapsul. Alasan penggunaan jarak lebih lebar ini adalah untuk mendapatkan cukup ruang bagi penempatan unit sediaan di bawah dayung (Brown dan Marques, 2018)

Sinker

Unit sediaan harus berada di bawah dayung selama pengujian disolusi. Namun, ada unit sediaan yang cenderung melayang, atau bahkan mengapung di permukaan media. Untuk kasus seperti ini, sinker diperlukan untuk membantu menenggelamkan unit sediaan dan menempatkannya di posisi yang seharusnya.
Unit sediaan seperti tablet salut selaput sering menempel pada dinding bejana. Setelah dijatuhkan dan mengenai dinding bejana, tablet lengket pada dinding bejana dan tidak bergerak turun lebih lanjut ke bawah dayung. Posisi yang tidak tepat ini dapat mempengaruhi hasil disolusi. Sinker dapat digunakan untuk mencegah masalah ini.
Ada dua jenis sinker yang disebutkan dalam <711> yaitu kawat spiral dan sinker keranjang. Sinker kawat spiral digambarkan lebih rinci dalam informasi umum <1092> The Dissolution Procedure: Development and Validation. Sinker ini dapat dibuat sendiri, dengan dokumentasi yang jelas mengenai ukuran, desain, dan jumlah gulungan.
Penggunaan sinker komersial, USP merekomendasikan pelaporan nomor katalog produk. Contoh sinker komersial yang digunakan USP antara lain:
  • CAPWST-31: sinker kapsul baja tahan karat dengan 10 gulungan, berkapasitas 31,0 x 11,0 mm. Sinker ini digunakan dalam uji disolusi Fexofenadine HCl dan Pseudoephedrine HCl Tablet Lepas Lambat USP.
  • CAPWHT-2S: sinker kapsul baja tahan karat dengan 6 gulungan, berkapasitas 21,3 x 9,4 mm. Sinker ini digunakan dalam uji disolusi Galantamine Kapsul Lepas Lambat, Oxybutynin Chloride Tablet Lepas Lambat, dan Tamsulosin HCl Kapsul USP.
  • CAPWHT-02: sinker kapsul salut PTFE dengan 6 gulungan, berkapasitas 21,3 x 9,4 mm. Sinker ini digunakan dalam uji disolusi Isotretinoin Kapsul dan Ramipril Kapsul USP.
Sinker keranjang yang dijelaskan melalui Gambar 2a dalam <711> merupakan harmonisasi dari sinker JP. Keuntungan sinker ini dibandingkan kawat spiral adalah dapat mencegah perlekatan sisa cangkang pada dinding bejana jika gelatin cangkang mengalami ikatan silang. Selain sinker JP, masih banyak ragam sinker keranjang yang tersedia komersial.
Sinker jenis lain dapat digunakan, misalnya sinker tiga-gigi (three-prong). Contoh produk obat yang menggunakan sinker tipe ini dalam uji disolusinya antara lain Nifedipine Tablet Lepas Lambat, Olanzapine dan Fluoxetine Kapsul, Atomoxetine Kapsul, Divalproex Na Tablet Lepas Lambat, Fenofibrate Kapsul, dan Itraconazole Kapsul.
Monografi USP untuk Alfuzosin HCl Tablet Lepas Lambat dan Ropinirole Tablet Lepas Lambat memuat sinker yang berupa silinder baja tahan karat dengan beberapa lubang pada semua sisinya. Keduanya hampir mirip, tetapi berbeda pada ukuran silinder dan lubang.
Sinker yang digunakan dalam monografi Metformin HCl Tablet Lepas Lambat USP berbentuk balok yang terbuka pada dua sisi terkecilnya, terbuat dari kawat anyaman.

Bejana

Bab <711> memberikan deskripsi ukuran tiga kapasitas bejana, yakni 1 L, 2 L, dan 4 L. Ukuran yang lebih kecil tidak disebutkan meskipun penggunaannya kadang diperlukan untuk unit sediaan yang mengandung zat aktif sangat rendah. Justifikasi untuk pemakaian bejana ukuran kecil ini utamanya berdasarkan kadar terkecil analit yang dapat terukur dengan presisi dan akurasi yang masih dapat diterima di bawah kondisi pengujian yang digunakan (Christ, 2007).
Di luar kompendial, ada bejana yang didesain dengan bentukan kerucut di bagian dasar. Bejana yang disebut bejana berpuncak (peak vessel) ini berguna untuk produk dengan eksipien yang cenderung tidak mudah menyebar dalam media, melainkan menggunung (mounding atau coning) di bawah alat (Beckett et al, 1996). Contoh produk yang menggunakan bejana tipe ini antara lain Atovaquone dan Proguanil HCl Tablet, Aprepitant Kapsul, Galantamine Tablet, dan Praziquantel Tablet.

Media disolusi

Media yang umum digunakan biasanya larutan HCl encer atau dapar, umumnya fosfat dan asetat, dalam rentang pH fisiologis, yakni antara 1,2 dan 7,5. Penggunaan pH di luar rentang tersebut harus dijustifikasi. Beberapa produk disetujui menggunakan media dengan pH lebih tinggi dari 7,5, misalnya Celecoxib Kapsul (pH 12), Glyburide Tablet (pH 9,5), Rabeprazole Sodium Tablet, Proguanil HCl Tablet (pH 8,0), Glimepiride Tablet, Azilsartan Kamedoxomil Tablet, Tretinoin dan Isotretinoin Kapsul (pH 7,8).
Formula dan prosedur pembuatan dapar dapat mengikuti yang ditetapkan USP. Namun, untuk pengembangan kondisi disolusi baru, kompatibilitas zat aktif terhadap jenis dan kadar dapar perlu dievaluasi.
Penggunaan air saja sebagai media disolusi dinilai kurang sesuai karena pH dan tegangan permukaan dapat bervariasi tergantung asal air, serta dapat berubah sepanjang pengujian karena pengaruh produk obat dan (re)absorpsi karbondioksida dari udara. Karena itu, air hanya digunakan sebagai media disolusi jika adanya variasi tersebut terbukti tidak mempengaruhi karakteristik disolusi (Friedel et al, 2018; FDA, 1997).  
Media disolusi yang terpilih ditargetkan memenuhi kondisi tunak (sink condition), yakni volume media (V) sekurang-kurangnya tiga kali volume yang diperlukan untuk membuat larutan jenuh (Vsat) zat aktif. Dengan kata lain, V/Vsat 3. Jika media dan volume dapat memenuhi kondisi tunak yang tepat, hasil disolusi dapat menggambarkan karakteristik produk dengan baik. Namun, jika rasio ini terlalu besar, uji disolusi dapat kehilangan kepekaan untuk mendeteksi perubahan kritis dalam formula dan proses produksi.  
Media yang tidak memenuhi kondisi tunak (V/Vsat < 3) ada kalanya masih dapat digunakan dengan justifikasi yang kuat. Misalnya, pada kasus kondisi tunak kurang menjamin korelasi in vivo-in vitro, sedangkan media yang tidak memenuhi kondisi tunak malah lebih dapat menggambarkan hasil yang relevan secara biofarmasetikal (Friedel et al, 2018).  

Surfaktan

Jika kondisi tunak tidak dapat tercapai hanya dengan mengandalkan larutan dapar pH tertentu, bahan aktif permukaan atau surfaktan dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan zat aktif. Jenis dan kadar surfaktan perlu ditentukan. Dari beragam jenis surfaktan, dipilih yang memerlukan kadar terkecil untuk mendapatkan kondisi tunak, biasanya di atas kadar misel kritis, dan dijustifikasi dengan data kelarutan pada 37° untuk menjaga kemampuan diskriminasi metode uji disolusi
Produk obat yang memiliki lebih dari satu kekuatan diuji menggunakan media disolusi yang sama. Karena itu, jumlah surfaktan yang ditambahkan dalam media disolusi harus memberikan kondisi tunak untuk obat yang memiliki kekuatan tertinggi (Friedel et al, 2018). 
Cairan saluran cerna manusia, terutama dalam usus, memiliki surfaktan alami berupa garam empedu. Cairan lambung, meskipun senyawa apa yang menjadi surfaktan tidak diketahui, mempunyai tegangan permukaan lebih rendah dibandingkan air (Efentakis dan Dressman, 1998).
Informasi umum <1094> Capsules – Dissolution Testing and Related Quality Attributes, mengingatkan, walaupun surfaktan dapat membantu meningkatkan kelarutan zat aktif, pemakaiannya harus hati-hati untuk produk yang menggunakan cangkang kapsul gelatin. Surfaktan dapat berinteraksi dengan gelatin sehingga menghambat proses disintegrasi dan disolusi. Selain itu, surfaktan juga dapat menghambat kerja enzim yang digunakan untuk memecah cangkang gelatin yang mengalami ikatan silang. SLS merupakan contoh surfaktan yang dapat menimbulkan kedua masalah tersebut, terutama dalam media asam. Lebih parah lagi, SLS dapat menimbulkan endapan jika ada ion kalium.
Surfaktan anionik dan kationik lainnya juga dapat mempengaruhi kelarutan gelatin. Surfaktan kationik harus dihindari untuk formulasi yang mengandung asam lemak karena interaksi keduanya dapat berpotensi menimbulkan endapan tidak larut.
USP <1092> mengingatkan pentingnya pengendalian kelas mutu dan tingkat kemurnian surfaktan yang digunakan. Kelas mutu yang berbeda, misalnya SDS kelas mutu teknis dan kemurnian tinggi, dapat mempengaruhi kelarutan obat. Selain itu, pengotor dalam surfaktan tersebut dapat mengganggu tahap kuantitasi dalam uji disolusi.
Dua faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan surfaktan dalam media disolusi. Pertama, sistem media mengandung surfaktan harus didapar untuk memastikan metode memiliki keterulangan tinggi. Surfaktan yang sama seperti SDS, dari produsen yang berbeda dapat memiliki pH yang berbeda saat pembuatan media. Kedua, pH dapar sebaiknya diatur sebelum penambahan surfaktan. Surfaktan dapat mengganggu lingkungan permukaan elektroda sehingga mengganggu pengukuran pH (Gupta, 2017).
Ada kalanya surfaktan tidak digunakan untuk meningkatkan kelarutan zat aktif. Beberapa zat aktif memiliki kelarutan tinggi dalam air, pada pH tertentu, yang seharusnya tidak memerlukan surfaktan untuk membantu pelarutannya. Namun, bahan obat seperti Fingolimod, Tacrolimus, dan Amiodarone memerlukan surfaktan dalam media disolusi untuk mencegah adsorpsi pada permukaan, termasuk dinding bejana disolusi. Penggunaan surfaktan meningkatkan perolehan kembali (rekoveri) zat aktif dalam media disolusi (Gupta, 2017).
Bagaimana dengan media disolusi untuk keperluan uji BE? Pedoman EMA (2010) dan WHO (2015) tentang uji BE menyebutkan, surfaktan tidak perlu digunakan dalam uji disolusi terbanding. Namun, BPOM (2015) masih memperbolehkan pemakaian surfaktan dengan jumlah relevan, maksimal 1%, untuk uji disolusi terbanding sebelum uji BE dilakukan.
Bahan lain dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan zat aktif, misalnya siklodekstrin. Sebagai contoh, media disolusi yang direkomendasikan FDA untuk Ethinyl Estradiol dan Norelgestromin Film Transdermal adalah larutan hidroksipropil-beta-siklodektrin 0,1%.
Antioksidan, misalnya asam askorbat, dapat ditambahkan untuk menjaga stabilitas bahan aktif selama pengujian disolusi. Jika bahan aktif terdegradasi membentuk hasil urai yang stabil, pemeriksaan kadar dapat berdasarkan hasil urai tersebut atau diukur bersama dengan bahan aktif yang tersisa.
Penggunaan campuran air dan pelarut organik tidak direkomendasikan, kecuali dengan justifikasi yang kuat, karena dinilai tidak menggambarkan kondisi dalam saluran cerna. Berbeda dengan surfaktan, yang dapat ditemukan dalam saluran cerna, seperti asam empedu dan surfaktan alami lainnya. Contoh produk yang menggunakan campuran air dan pelarut organik dalam USP: 
  • Oxandrolone Tablet – Uji 1: air dan isopropanol, dengan perbandingan 7:3.
  • Reserpine dan Chlorothiazide Tablet: dapar fosfat pH 8,0 dan n-propanol, dengan perbandingan 3:2.
  • Reserpine dan Hydrochlorothiazide Tablet: HCl 0,1 N dan n-propanol, dengan perbandingan 3:2.
  • Trioxsalen Tablet: awal pengujian menggunakan cairan usus buatan encer 225 mL selama 40 menit. Di akhir 40 menit, etanol absolut 675 mL ditambahkan segera dan pengujian dilanjutkan selama 20 menit.
Enzim proteolitik dapat digunakan dalam media. Jika bentjuk sediaan mengandung gelatin tidak memenuhi persyaratan uji disolusi dalam media tanpa enzim karena adanya ikatan silang, pengujian dapat diulang dengan menggunakan media mengandung enzim. Pengulangan ini berarti pengujian menggunakan media mengandung enzim tetap dihitung sebagai uji disolusi Tahap 1, bukan sebagai Tahap 2. 
Ikatan silang dalam gelatin melibatkan pembentukan ikatan kimia yang lebih kuat dari ikatan hidrogen dan ionik sederhana di antara rantainya. Ikatan ini bisa terjadi karena bahan di dalam isi kapsul yang bereaksi dengan molekul gelatin, menghasilkan pelikel pada permukaan dalam cangkang atau, yang lebih jarang terjadi, dengan bahan dari kemasan yang membentuk pelikel pada permukaan luar cangkang. Pelikel adalah lapisan membrane tipis, transparan, tidak larut air dari protein yang mengalami ikatan silang pada permukaan cangkang kapsul, yang menahan pelepasan isi kapsul.
Cara termudah untuk mengenali adanya ikatan silang adalah melalui pengamatan visual. Kapsul terhidrasi dan mengembang tetapi tidak pecah. Membran tipis atau massa bergelatin dapat terlihat di sekeliling kapsul. Gambar bentukan selama uji disolusi cangkang kapsul yang mengalami ikatan silang dapat dilihat dalam artikel Marques (2014). Masalah pada disolusi ini dapat diatasi dengan penggunaan enzim proteolitik dalam media.
Gelatin juga membentuk ikatan silang ionik (jembatan garam), antara rantai samping karboksilat (anionik) dan amonium (kationik) asam amino penyusun rantai polipeptida. Ikatan ini dapat menghambat disolusi gelatin, tetapi lebih lemah dibandingkan ikatan silang kovalen. Selain enzim, pengubahan kekuatan ion atau pH media dapat mengatasi masalah ikatan silang tipe ini.
Ada empat macam enzim yang dapat digunakan dalam media disolusi, yaitu:
  • Pepsin: digunakan untuk media dengan pH 4,0, dengan aktivitas tidak lebih dari 750.000 Unit/L media disolusi.
  • Papain: digunakan untuk media dengan pH >4,0 dan <6,8, dengan aktivitas tidak lebih dari 550.000 Unit/L media disolusi.
  • Bromelain: digunakan untuk media dengan pH >4,0 dan <6,8, dengan aktivitas tidak lebih dari 30 unit pencerna-gelatin (GDU)/L media disolusi. 
  • Pankreatin: digunakan untuk media dengan pH 6,8, dengan aktivitas protease tidak lebih dari 2.000 Unit/L media disolusi.
Jika media disolusi merusak atau tidak mendukung kerja enzim, misalnya mengandung atau pH di luar rentang kerja enzim, uji disolusi ulangan dapat menerapkan tahap praperlakuan. Tahap ini dilakukan dengan cara menjalankan uji disolusi awal dengan media tanpa surfaktan atau bahan lain yang menyebabkan denaturasi enzim, atau dalam pH yang lebih sesuai dengan kerja enzim, dengan volume media yang lebih rendah dibandingkan uji disolusi penuh. Setelah durasi waktu tertentu, biasanya tidak lebih dari 15 menit, media yang mengandung surfaktan dan bahan lainnya ditambahkan hingga mencapai volume dan pH yang ditetapkan untuk uji disolusi penuh. Durasi waktu yang digunakan dalam tahap praperlakuan tetap diperhitungkan dalam waktu total pengujian. Misalnya, waktu total pengujian 45 menit dan 15 menit digunakan untuk tahap praperlakuan, pengujian dilanjutkan 30 menit setelah penambahan surfaktan dan bahan lainnya.
Contoh produk dengan uji disolusi ulangan menggunakan langkah praperlakuan ini adalah Celecoxib Kapsul. Uji disolusi utama (Tier 1) produk ini menggunakan media berupa larutan trinatrium fosfat 0,04 M (pH 12) dengan SLS 1%. Jika Tier 1 tidak memenuhi syarat, uji disolusi ulang (Tier 2) dapat dilakukan dengan menambahkan enzim. Namun, ada dua masalah dalam penggunaan enzim dalam media tersebut. Pertama, pH di luar rentang kerja enzim. Pankreatin bekerja optimal pada pH 6-8 dan bromelain pada pH 3-9 (Grey et al, 2014). Kedua, SLS berpotensi menyebabkan denaturasi enzim.
Untuk mengatasi masalah tersebut, uji disolusi menggunakan langkah praperlakuan dengan pengadukan dalam media cairan lambung buatan (mengandung pepsin) 750 mL, selama 20 menit. Pada akhir waktu praperlakuan, dengan tetap disertai pengadukan, 180 mL larutan SLS (untuk mendapatkan kadar akhir SLS 1%) dan 70 mL larutan NaOH 1,2 N (untuk pengaturan ke pH 12) ditambahkan ke dalam media.
Selain Celecoxib Kapsul, contoh produk yang menerapkan langkah praperlakuan untuk uji disolusi ulang adalah Acitretin Kapsul, Dutasteride Kapsul (gelatin lunak), Sonidegib Phosphate Kapsul, dan Ziprasidone Kapsul.
Dalam pengembangan metode disolusi untuk produk yang menggunakan gelatin, kemungkinan terjadi ikatan silang selalu perlu dipertimbangkan. Karena itu, pengembangan metode disolusi dilakukan dengan dan tanpa enzim. Sampel untuk mengalami ikatan silang perlu digunakan dalam pengembangan dan validasi metode dengan enzim. Kondisi ikatan silang ini dapat dibuat dengan salah satu cara berikut ini: memapar cangkang gelatin pada uap formaldehid, memapar cangkang gelatin pada kelembapan tinggi dan suhu tinggi; atau mengisi cangkang gelatin dengan eksipien yang telah ditambahkan sejumlah tertentu formaldehid (Brown dan Marques, 2019).
Volume media disolusi yang direkomendasikan untuk digunakan 500-1000 mL, dengan 900 mL sebagai volume yang sering digunakan. Volume dapat saja ditingkatkan hingga antara 2-4 L, tergantung pada kadar dan kondisi tunak. Namun, peningkatan ini harus disertai justifikasi yang tepat.
Volume yang lebih rendah dapat digunakan, misalnya, FDA merekomendasikan pemakaian dapar 400 mL untuk Diclofenac Potassium Serbuk untuk Suspensi dan 60-200 mL untuk Fentanyl Citrate Tablet dan Selaput Bukal. Penurunan volume ini ditujukan untuk meningkatkan sensitivitas metode pengukuran kadar, khususnya untuk pengambilan profil disolusi produk dosis rendah.
Pengukuran volume media disolusi dilakukan pada suhu antara 20° dan 25°C. Toleransi volume dipersyaratkan dalam rentang ±1%. Media yang dituang ke dalam bejana kemudian dihangatkan hingga mencapai suhu 37 ± 0,5°C. Suhu yang ditentukan ini adalah suhu media, bukan suhu air dalam penangas. Untuk bisa menjaga suhu tidak berubah di luar rentang selama pengujian, ketinggian air dalam penangas harus di atas ketinggian media dalam bejana. Aliran air dalam penangas harus konstan dan mengalir tanpa menimbulkan getaran. Selain penangas air, penghangatan juga dapat menggunakan jaket pemanas.
Suhu yang berbeda dapat digunakan untuk bentuk sediaan tertentu. Berbeda dengan supositoria hidrofilik yang pelepasan obatnya berdasarkan pelarutan dalam cairan rektal, supositoria lipofilik berdasarkan peleburan dalam rongga rektal yang sangat dipengaruhi suhu rektal yang berkisar antara 36-37,5°C. Suhu sedikit lebih tinggi, misalnya pada 37-38,5°C, dapat digunakan dengan justifikasi penggunaan pada pasien yang demam (Siewert et al, 2003).
Sediaan transdermal dan topikal menggunakan suhu 32°C, sesuai suhu kulit meskipun dapat lebih tinggi jika kulit dalam kondisi tertutup (Brown, 2005). Untuk sediaan topikal, suhu lain dapat digunakan dengan justifikasi lokasi penggunaan spesifik, misalnya krim vaginal menggunakan suhu 37°C (Siewert et al, 2003).
Produk lepas lambat tertentu didesain untuk tetap ada pada titik aplikasinya selama jangka waktu tertentu, bahkan beberapa bulan. Untuk mempersingkat waktu pengujian disolusi, suhu yang digunakan lebih tinggi dari 37°C. Dalam kasus seperti ini, korelasi uji disolusi dalam waktu yang sebenarnya dan di bawah kondisi dipercepat harus ditunjukkan. Satu masalah penyebab korelasi menjadi tidak valid adalah mekanisme pelepasan mengalami perubahan pada suhu yang lebih tinggi. Contoh metode disolusi dengan suhu tinggi yang disetujui FDA adalah untuk Dexamethasone Implan Intravitreal. Uji disolusi produk ini menggunakan suhu 45 ± 0.5°C (Brown dan Marques, 2014).
Sebaliknya, uji disolusi untuk bentuk sediaan tablet dan suspensi oral Nitazoxanide disetujui menggunakan suhu 25°C. Alasan penggunaan suhu rendah ini adalah menurunkan degradasi zat aktif (Fiore, 2014).
Media yang ditambahkan di tengah proses uji disolusi, baik untuk penggantian media yang diambil tiap titik waktu profil disolusi atau pun untuk pemindahan ke tahap berikutnya (tahap asam ke tahap dapar untuk sediaan lepas tunda), disetimbangkan dulu pada suhu 37± 0,5°C sebelum dicampur ke dalam media yang sudah ada dalam bejana.
Deaerasi
Kelarutan gas dalam air menurun seiring peningkatan suhu. Akibatnya, proses pengukuran volume pada suhu 20-25°C dan kemudian dihangatkan hingga mencapai suhu pengujian berpotensi menimbulkan gelembung udara dalam media. Gelembung udara dapat meningkatkan laju disolusi karena partikel yang tertempeli menjadi terangkat dan melayang sehingga bergerak lebih cepat. Sebaliknya, gelembung dapat menurunkan laju disolusi jika menempel pada keranjang sehingga mengganggu aliran media di sekitar alat. Selain itu, penempelan gelembung pada unit sediaan dapat menurunkan permukaan kontak dengan media disolusi. Masalah-masalah tersebut bisa lebih terasa efeknya pada produk dengan zat aktif yang memiliki kelarutan rendah.
Salah satu cara deaerasi dapat ditemukan pada catatan kaki bab <711>. Metode tersebut mencakup penghangatan, filtrasi, dan penerapan vakum. Cara lain, misalnya pengaliran helium atau ultrasonikasi vakum, dapat digunakan. Parameter yang digunakan untuk menilai efektivitas proses deaerasi adalah melalui pengukuran tekanan gas terlarut total atau kadar oksigen terlarut. Sebagai contoh, oksigen terlarut menjadi penanda deaerasi telah memadai untuk Uji Kualifikasi Kinerja menggunakan Prednisone Tablet USP. Batas yang dipersyaratkan di bawah 6 mg/L.
Media yang mengandung surfaktan biasanya tidak dideaerasi karena dapat menimbulkan busa berlebihan. Selain itu, efek udara terlarut pada proses disolusi sudah termitigasi penurunan tegangan permukaan media. Jika deaerasi tetap diperlukan, langkah ini dilakukan sebelum surfaktan ditambahkan.
Penentuan perlu atau tidaknya deaerasi dilakukan dengan membandingkan hasil disolusi sampel menggunakan media yang dideaerasi dan media tanpa dearasi. Jika tidak ditemukan perbedaan, deaerasi media tidak diperlukan untuk pengujian selanjutnya. Namun, jika ada perbedaan, deaerasi menjadi tahap yang harus dilakukan sebelum pengujian dan tercatat dalam prosedur.
Kandungan gas terlarut dalam media yang telah dideaerasi di bawah tekanan atmosfer tidak stabil dan cenderung menarik kembali gas hingga titik jenuhnya. Perlakuan seperti pengadukan dan penuangan dapat meningkatkan laju pelarutan kembali gas dari atmosfer.

Agitasi

Untuk sediaan lepas segera, kecepatan perputaran atau agitasi Alat 1 (keranjang) umumnya antara 50-100 rpm. Pitavastatin Calcium Tablet dalam rekomendasi FDA menggunakan agitasi yang lebih lambat, yakni 35 rpm. Agitasi 40 rpm digunakan untuk Estradiol Tablet Vaginal. Agitasi lebih tinggi dari 100 rpm digunakan beberapa produk antara lain: 120 rpm untuk Thiethylperazine Maleate Tablet, Bromocriptine Mesylate Tablet, Digitoxin Tablet, Digoxin Tablet; 150 rpm untuk Cephalexin Tablet, Cyclosporin Kapsul, Diphenoxylate HCl dan Atropine Sulfate Tablet, Methoxasalen Kapsul; dan 200 rpm untuk Quetiapine Tablet Lepas Lambat.
Agitasi Alat 2 (dayung) yang biasa digunakan 50 atau 75 rpm. Dalam pengembangan, agitasi 50 rpm dipilih lebih dulu. Jika agregat produk membentuk gundukan di bawah dayung, agitasi ditingkatkan menjadi 75 rpm untuk dapat membuyarkannya. Kecepatan yang lebih rendah, hingga 25 rpm, digunakan untuk sediaan suspensi. Jika disertai justifikasi, agitasi 100 rpm dapat digunakan, terutama untuk sediaan lepas lambat. Monografi USP dan rekomendasi FDA mencatat penggunaan agitasi yang lebih tinggi dari 100 rpm, antara lain: 150 rpm untuk Paroxetine Tablet Lepas Lambat, Ferrous Gluconate Tablet; 175 rpm untuk Fentanyl Citrate Tablet Hisap; dan 200 rpm untuk Triptorelin Pamoate Suspensi Injeksi.
Pemutaran alat mulai dilakukan setelah unit sediaan berada posisi yang ditentukan.

Pengambilan Sampel

Dalam interval waktu yang dispesifikasikan, cairan sampel diambil dari zona tengah antara permukaan media disolusi dan sisi atas keranjang atau bilah dayung, tidak kurang 1 cm dari dinding bejana. Sampel diambil dengan kondisi alat masih berputar.
Filtrasi merupakan langkah preparasi kritis untuk mendapatkan hasil uji yang akurat. Langkah ini ditujukan untuk mencegah partikel, terutama zat aktif, dari media dalam bejana disolusi ikut terambil dalam larutan sampel. Tanpa tahap filtrasi, atau jika filtrasi kurang memadai untuk menahan partikel, menimbulkan potensi pelarutan lebih lanjut dari partikel dalam larutan sampel sehingga kadar zat aktif lebih tinggi daripada seharusnya.
Ada tiga posisi filter, yakni di ujung kanula, antara kanula dan syringe, atau di luar kanula. Jika filter tidak terpasang pada kanula, larutan tidak tersaring langsung disalurkan melalui kanula ke syringe. Dalam kondisi ini, larutan harus segera difiltrasi.
Jenis dan ukuran pori filter dipilih berdasarkan kemampuan dalam menahan partikel serta interaksinya dengan cairan media dan analit.

Suspensi

Jumlah sampel yang digunakan dalam uji disolusi setara dengan satu unit dosis. Jika ada beragam dosis, misalnya berdasarkan berat badan atau usia pasien, jumlah sampel yang digunakan adalah yang tertinggi, yang dapat diberikan dalam sekali pemberian. Namun, penggunaan dosis parsial produk, ≥10-20%, dapat digunakan untuk menghindari pemakaian surfaktan untuk mendapatkan kondisi tunak (Siewert et al, 2003).
Alat uji disolusi yang biasa digunakan untuk suspensi adalah Alat 2. Kecepatan agitasi yang digunakan antara 25 dan 50 rpm. Kecepatan agitasi 25 rpm direkomendasikan untuk suspensi viskositas rendah. Sedangkan agitasi 50 rpm, bahkan bisa ditingkatkan hingga 75 rpm, digunakan untuk suspensi viskositas tinggi (Nickerson et al, 2017).
Preparasi suspensi dan cara memasukkan sampel merupakan langkah kritis. Pengocokan saat rekonstitusi atau pendispersian kembali partikel suspensi berpotensi menimbulkan gelembung udara yang terjebak, terutama pada suspensi berupa cairan kental. Adanya gelembung udara dapat menurunkan volume suspensi yang akan dituang ke dalam media.
Bab baru <1711> Oral Solid Dosage Forms – Dissolution Testing, yang diusulkan dalam USP PF 44(5) menyebutkan bahwa suspensi dimasukkan ke media dengan cara yang memungkinkan sampel terdispersi cepat. Titik lokasi dan durasi pemasukan cairan sampel harus dievaluasi dan ditentukan berdasarkan pendekatan kasus-per-kasus selama pengembangan metode.
Ada tiga lokasi untuk memasukkan sampel suspensi ke media disolusi, yakni di permukaan media, di tengah, atau di dasar bejana. Cairan suspensi dengan viskositas rendah direkomendasikan untuk dialirkan keluar di dasar bejana (Nickerson et al, 2017).
Kecepatan pemindahan suspensi ke dalam media melalui alat seperti siring atau pipet sebaiknya perlu ditetapkan. Pemindahan melalui alat tersebut harus dengan hati-hati untuk meminimalkan cairan teraduk di dalam siring atau pipet, dan mengalami disolusi sebelum pengujian dijalankan (Palmieri dan Gray, 2007, p. 237).
Berikut ini adalah contoh produk dengan cara memasukkan cairan sampel suspensi yang disertai catatan khusus dalam monografi USP:
  • Meloxicam Suspensi Oral: sampel dituang dari gelas beker pada permukaan di tengah-tengah bejana. Gelas beker dibilas dengan 20 mL media yang diambil dari bejana. Dayung diturunkan ke posisinya dan mulai diputar.
  • Mycophenolate Mofetil untuk Suspensi Oral: sampel dimasukkan melalui syringe pada permukaan media, pada posisi antara tangkai dayung dan dinding bejana. Alat sudah diputar pada saat sampel dimasukkan. Cairan sampel dikeluarkan dari syringe dalam waktu 5-10 detik.
  • Nevirapine Suspensi Oral: sampel dimasukkan melalui syringe yang ujungnya dicelup sekitar 1 cm di bawah meniskus, pada posisi antara tangkai dayung dan dinding bejana. Cairan sampel dikeluarkan dari syringe dalam waktu 1-2 detik.
  • Megestrol Acetate Suspensi Oral – Uji 1: cairan sampel dimasukkan melalui permukaan; Uji 2: dalam kondisi alat berjalan, cairan sampel dialirkan melalui dinding bejana pada ketinggian di tengah antara permukaan media dan dasar bejana.
  • Phenytoin Suspensi Oral: isi syringe dikeluarkan dengan hati-hati ke dasar bejana.
  • Oxcarbazepine Suspensi Oral: dengan menggunakan jarum panjang yang disambungkan pada syringe, cairan sampel dikeluarkan ke dasar bejana. Dayung segera dijalankan setelah sampel dimasukkan.
  • Ibuprofen Suspensi Oral: sampel dimasukkan menggunakan syringe yang terhubung selang. Ujung selang ditempatkan pada area antara permukaan media dan sisi atas bilah dayung. Alat sudah diputar pada saat sampel dimasukkan.
  • Felbamate Suspensi Oral: sampel dimasukkan dengan kondisi alat sudah diputar, secara hati-hati supaya tidak menempel pada tangkai atau bilah dayung.  
Apakah volume sampel diperhitungkan dalam volume akhir media disolusi? Keputusan untuk mengikutsertakan volume sampel dalam volume akhir media disolusi  dalam bejana diambil berdasarkan data eksperimen yang diperoleh dari sampel yang dievaluasi. Banyak contoh kasus produk yang disetujui tanpa memperhitungkan volume sampel, misalnya dalam monografi Megestrol Acetate Suspensi Oral USP. Contoh produk yang memperhitungkan volume sampel adalah Carbinoxamine Maleate Suspensi, dalam Basis Data Metode Disolusi FDA, yakni 895 mL media disolusi ditambah 5 mL cairan sampel, menghasilkan volume akhir 900 mL (Marques dan Brown, 2017).

Referensi

Badan POM (2015) Pedoman Uji Bioekivalensi. Jakarta: Badan POM
Beckett AH, Quach TT, Kurs GS (1996) Improved hydrodynamics for USP apparatus 2. Dissol. Technol. 8(4) doi: 10.14227/DT030296P7
Brown CK (2005) Dissolution Method Development: An Industry Perspective. Dalam: Dressman J, Krรคmer J (Editor) Pharmaceutical Dissolution Testing. Boca Raton: Taylor and Francis, pp. 351-372
Brown W, Marques M (2014) Questions and Answers. Dissol. Technol. 21(1) doi: 10.14227/DT210114P50
Brown W, Marques M (2017) Questions and Answers. Dissol. Technol. 24(2): 48-50
Brown W, Marques M (2018) Questions and Answers. Dissol. Technol. 25(4): 62-63
Brown W, Marques M (2019) Questions and Answers. Dissol. Technol. 26(4): 46-48
Christ GB (2007) Dissolution Equipment. Dalam: Palmieri A (Editor) Dissolution Theory, Methodology, and Testing.Hockessin: Dissolution Technologies, pp. 33-66
Efentakis M, Dressman JB (1998) Gastric juice as a dissolution medium: Surface tension and pH. Eur. J. Drug Metab. Pharmacokinet. 23(2): 97-102
FDA (1997) Guidance for Industry: Dissolution Testing of Immediate Release Solid Oral Dosage Forms. https://www.fda.gov/media/70936/download
Fiore EA (2014) European Patent Application No. EP2808019A1
Friedel HD, Brown CK, Baker AR, Buhse LF, Keitel S, Kraemer J, Morris JM, Reppas C, Sperry DC, Sakai-Kato K, Stickelmeyer MP, Shah VP (2018) FIP guidelines for dissolution testing of solid oral products. J. Pharm. Sci. 107(12): 2995-3002
Gray VA, Beggy M, Brockson R, Corrigan N, Mullen JA (2001) A comparison of dissolution results using O-ring versus clipped basket shafts. Dissol. Technol 8(4): doi 10.14227/DT080401P8
Gray VA, Cole E, Toma JMDR, Ghidorsi L, Guo JH, Han JH, Han F, Hosty CT, Kochling JD, Kraemer J, Langdon T, Leinbach SR, Martin GP, Meyerhoffer SM, Moreton RC, Raghavan KS, Shneyvas E, Suggetta JA, Tindal S, Vudathala M, Wang H, Anand O, Gao Z, Shah R, Xia L , Fotso J, Hussain MA, Schmidt VN, Ghosh T, Davydova N, Brown WE, Fringer JM, Stippler ES, Eranui T, Marques MRC (2014) Use of Enzymes in the Dissolution Testing of Gelatin Capsules and Gelatin-Coated Tablets— Revisions to Dissolution <711> and Disintegration and Dissolution of Dietary Supplements <2040>. Dissol. Technol. 21(4): 6-19
Gupta A (2017) Use of Surfactants in Dissolution Testing. Dalam: Webster GK, Jackson JD, Bell RG (Editor) Poorly Soluble Drugs: Dissolution and Drug Release. Singapore: Pan Stanford, pp. 85-103
Marques MRC (2014) Enzymes in the dissolution testing of gelatin capsules. AAPS PharmSciTech 15(6): 1410-1416
Nickerson B, Guo MX, Norris KJ, Zhang L (2017) Dissolution of Pharmaceutical Suspensions. Dalam: Webster GK, Jackson JD, Bell RG (Editor) Poorly Soluble Drugs: Dissolution and Drug Release. Singapore: Pan Stanford, pp. 419-454
Noory C, Tran N, Ouderkirk L, Shah V (2000) Steps for Development of a Dissolution Test for Sparingly Water-Soluble Drug Products. Dissol. Technol. 7(1): http://dissolutiontech.com/DTresour/200articles/200art3.html
Palmieri A, Gray VA (2007) Dissolution of Heterogeneous Dosage Forms. Dalam: Palmieri A (Editor) Dissolution Theory, Methodology, and Testing.Hockessin: Dissolution Technologies, pp. 232-241
Siewert M, Dressman J, Brown C, Shah V (2003) FIP/AAPS Guidelines for Dissolution/In Vitro Release Testing of Novel/Special Dosage Forms. Dissol. Technol. 10(1): 6-15
WHO (2015) Annex 7: Multisource (generic) pharmaceutical products: guidelines on registration requirements to establish interchangeability. Appendix 1: Recommendations for conducting and assessing comparative dissolution profiles. WHO Technical Report Series 992 https://www.who.int/medicines/areas/quality_safety/quality_assurance/Annex7-TRS992.pdf

2 comments:

  1. FIP Guidelines for Dissolution Testing of Solid Oral Products
    https://events.fip.org/previous-fip-digital-events?event=797

    ReplyDelete
  2. FIP Guidelines for Dissolution Testing of Solid Oral Products https://youtu.be/KrtImoSTg5w

    ReplyDelete