Wednesday 27 April 2016

Sesar di Utara Bali hingga Jawa Aktif

Data Baru untuk Revisi Peta Gempa Nasional
JAKARTA, KOMPAS — Penelitian terbaru membuktikan, sesar yang memanjang di bagian utara laut Pulau Bali hingga daratan Jawa bagian utara aktif. Temuan itu membawa konsekuensi ada potensi gempa baru di kawasan yang selama ini dinilai aman, termasuk Kota Surabaya.
content
"Kami akan membawa temuan baru ini dalam revisi peta gempa nasional," kata Irwan Meilano, ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dihubungi dari Jakarta, Rabu (27/4).
Fokus riset ini awalnya untuk mengamati zona gempa di busur belakang (back arch) kawasan utara Flores hingga utara Bali dan Jawa bagian timur. Jalur kegempaan itu telah diketahui yang menyebabkan gempa diikuti tsunami Flores pada 1992.
"Untuk gempa di utara Bali datanya minim meski bukti kegempaannya cukup banyak. Riset kami mengonfirmasi keaktifan zona gempa ini," kata Irwan. Riset yang dilakukan dengan memantau pergerakan global positioning system (GPS) menerus sejak 2008 menemukan, sesar di utara Pulau Bali amat aktif.
"Temuan baru lain, patahan di utara Bali itu dideteksi menerus ke arah barat hingga di daratan Jawa bagian utara atau dikenal sebagai Sesar Kendeng," ujar Irwan, anggota tim peneliti. Riset itu juga melibatkan peneliti Badan Informasi Geospasial (BIG), S Susilo, yang juga mahasiswa doktoral di ITB serta para peneliti dari Australian National University. Hasil riset baru-baru ini dipublikasikan di jurnal internasional American Geophysical Union (AGU).
Dugaan ada sesar di kawasan Kendeng Utara itu sudah dikenal di kalangan peneliti. "Namun, bukti sesar itu aktif baru dari riset kami. Kecepatan gerakannya mencapai 5 milimeter per tahun. Adanya mud volcanoes (gunung api lumpur) di sekitar Porong kemungkinan juga terkait keaktifan sesar ini. Gempa yang melanda Bojonegoro beberapa waktu lalu diduga masih terkait," ucap Irwan.
Konsekuensi mitigasi
Temuan tentang keaktifan Sesar Kendeng ini, menurut Irwan, akan diusulkan dalam perubahan peta gempa nasional. "Temuan ini membawa konsekuensi peta rawan bencana gempa di Jawa perlu diubah, terutama bagi Surabaya dan kota-kota lain di jalur ini yang selama ini dikira aman ternyata punya potensi gempa. Apalagi, kawasan ini ada cukup banyak industri," ujarnya.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengapresiasi temuan baru tersebut. Itu akan menambah khazanah sumber gempa sehingga membantu perbaikan dalam mitigasi.
Zona sesar di utara Bali, menurut riset Daryono, terbukti beberapa kali menimbulkan gempa besar diikuti tsunami. Menurut data Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), setidaknya delapan gempa besar pernah terjadi di Bali sejak abad ke-19, dua di antaranya pada 22 November 1815 dan 21 Januari 1917.
Dalam katalog gempa bumi Arthur Wichman (1919) disebutkan secara rinci bahwa gempa pada 1815 terjadi sekitar pukul 23.00. Gempa mengguncang kawasan pantai utara Bali dan menghancurkan banyak bangunan. Gempa yang sama juga memicu tsunami besar yang menewaskan setidaknya 1.200 warga Kerajaan Buleleng.
Namun, riset itu membutuhkan kajian lanjutan, terutama dugaan kemenerusan sesar itu dari busur belakang Sesar Flores dan utara Bali hingga Kendeng. "Jika Sesar Kendeng disebutkan terkait Sesar Flores, perlu studi seismisitas, termasuk plot hiposenter dan analisis mekanisme sumbernya," katanya.
Daryono cenderung meyakini, Sesar Kendeng merupakan sistem terpisah dan pembentukannya didominasi adanya penekanan busur gunung api di zona Jawa Tengah hingga Jawa Timur pada masa lalu. Namun, temuan bahwa Sesar Kendeng itu aktif perlu mendapat perhatian terkait strategi mitigasi bangunan-bangunan di zona ini. (AIK)
Kompas, Kamis, 28 April 2016

Tuesday 26 April 2016

Rokok dan Nawacita

Oleh HASBULLAH THABRANY
Kementerian Perindustrian mengganjal Nawacita. Semua orang tahu rokok membahayakan kesehatan serta membunuh diri sendiri dan orang lain secara perlahan. Fakta bahaya rokok di dunia sudah tak terbilang. Oleh karena itu, Mufti Mesir telah mengharamkan konsumsi, produksi, dan berjualan rokok sejak lebih 30 tahun lalu. Selain itu, merokok adalah konsumsi mubazir.
Seberapa mubazir bangsa ini? Jumlah cukai rokok yang diterima pemerintah tahun 2015 Rp 139 triliun. Itu adalah denda perokok, bukan kontribusi industri rokok. Rata-rata porsi cukai rokok 42 persen harga jual. Karena itu, dapat ditaksir bahwa jumlah uang yang dibakar mencapai Rp 331 triliun.
Jika uang sebanyak itu digunakan untuk menyekolahkan putra bangsa, uang itu cukup untuk mengirim 250.000 orang kuliah di Eropa. Jika digunakan untuk menghajikan Muslim, uang sebanyak itu cukup untuk membayari 200.000 orang pergi haji selama 50 tahun. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2015 menunjukkan, prevalensi perokok Indonesia (64 persen pria dewasa) adalah yang tertinggi di dunia.
Politik tembakau
Rakyat jadi begitu boros dan makin keracunan asap rokok karena percaturan politik tembakau. Politik tidak bisa lepas dari uang. Uang dari rokok sangat besar dan dikuasai beberapa perusahaan saja.
Simak penjualan bersih PT HM Sampoerna, hingga September 2015 mencapai Rp 65,5 triliun, naik dibandingkan periode yang sama 2014 sebesar Rp 59,6 triliun. Penjualan domestik Gudang Garam naik dari Rp 33,7 triliun pada 2005 menjadi 62,3 triliun di 2014.
Penjualan Sampoerna dan Gudang Garam-masing-masing- jauh melebihi anggaran Kementerian Kesehatan yang hanya Rp 47,4 triliun pada 2015. Bisa dipahami jika ada pihak-pihak yang mempertahankan dan menginginkan industri rokok terus berkembang, meskipun rokok telah memakan nyawa lebih dari 200.000 rakyat setahun.
Upaya mengendalikan konsumsi rokok, yang paling efektif dengan harga mahal, belum pernah berhasil. Fakta di dunia menunjukkan, harga rokok yang mahal menahan laju konsumsi. Untuk membuat rokok mahal itulah dipungut cukai rokok. Cukai rokok bukan kontribusi industri rokok. Pemerintah negara- negara berbudaya menetapkan harga dan cukai rokok tinggi untuk mengendalikan konsumsi.
Di Indonesia, penerapan cukai rokok yang dipatok maksimum 57 persen dari harga rokok belum pernah tercapai. Konsumsi rokok terus naik. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, porsi belanja rumah tangga untuk rokok pada 1999 sebesar 5,33 persen dari total belanja rumah tangga. Pada 2014 porsi itu naik menjadi 6,33 persen. Jumlah rokok yang diisap rakyat naik dari 204 miliar batang (2004) menjadi 344 miliar batang (2015). Cukai rokok belum mencapai tujuannya: mengendalikan konsumsi rokok.
Angin segar diembuskan ketika Presiden Joko Widodo dalam kampanyenya menjanjikan program Nawacita. Dalam Nawacita 5, Jokowi berjanji akan meningkatkan kualitas hidup bangsa ini, antara lain, melalui pendidikan (target 1) dan kesehatan (target 2). Dalam target 2 nomor 20 dari Nawacita 5, ia menjanjikan 100 persen area publik bebas asap rokok di 100 persen kabupaten/ kota pada 2019. Dalam target nomor 21, ia berjanji meningkatkan cukai rokok 200 persen dari nilai pada 2013, mulai 2015.  
Janji Presiden memang merupakan amanat UUD 1945 tentang hak lingkungan hidup bersih dan sehat. Sejatinya, para pembantu Presiden, yaitu para menteri dan pejabat tinggi negara beserta jajarannya harus memastikan bahwa janji-janji Presiden tersebut dilaksanakan.
Namun, pelaksanaan Nawacita terkait kualitas hidup bangsa dapat terganjal kepentingan dagang yang merusak kualitas hidup bangsa. Sampai awal 2016, belum tampak upaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan target tersebut. Sebaliknya, di akhir 2015 terjadi kebijakan yang berlawanan dengan Nawacita melalui pemberian izin perusahaan rokok asing menambah investasi sampai Rp 25 triliun.
Mungkin, kehausan akan dana investasi menyebabkan pemerintah lupa pada janjinya. Jika tambahan produksi rokok dari investasi baru itu ditujukan untuk ekspor, dampak negatif rokok tak menggerogoti dividen demografis. Pertanyaannya, ke negara mana rokok tersebut akan diekspor? Pemimpin negara-negara maju dan negara besar secara konsisten terus melindungi rakyatnya dari racun asap rokok dengan cukai yang sangat tinggi.
Sebelumnya, seorang petinggi tentara pernah mengeluarkan pernyataan salah bahwa kendali konsumsi rokok adalah ulah industri farmasi yang akan menjual obat anti tembakau. Salah besar! Seorang menteri yang belum lama dilantik sudah sesumbar menyatakan Indonesia tidak akan menandatangani FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Prejudice mewarnai pemikiran sebagian pejabat. Esensi janji Presiden dalam pengendalian konsumsi rokok melalui kawasan tanpa rokok dan kenaikan cukai bertabrakan dengan kepentingan sebagian penggede.
Musuh dalam selimut
Yang paling menonjol benturan kepentingan Nawacita 5 (20-21) terjadi dengan keluarnya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63 Tahun 2015 tentang Peta Jalan Produksi Rokok.  Di sana disebutkan, target produksi rokok ditingkatkan jadi 524 miliar batang pada 2020. Dengan target tersebut, di setiap mulut rakyat Indonesia akan dijejalkan 2.000 batang rokok. Akankah kebijakan ini sesuai moto "kerja, kerja, kerja"? Sebaliknya: "rokok, rokok, dan rokok". Inilah "musuh dalam selimut" Nawacita. Kita tahu, seorang pegawai perokok akan keluar dari ruang kerjanya paling tidak 10 menit untuk tiap batang rokok. Berapa miliar jam kerja akan hilang untuk mendukung peta jalan tersebut.
Lebih menyakitkan wong cilik adalah bahwa peta jalan tersebut menurunkan peran industri kecil, pembuat sigaret kretek tangan yang diturunkan dari 19 persen pada 2015 menjadi 15 persen pada 2020. Sementara porsi sigaret kretek mesin mild akan digenjot naik 111 persen dari 161 miliar batang menjadi 306 miliar batang. Jadi, tahan penderitaanmu, wong cilik!
HASBULLAH THABRANY
Guru Besar UI

Kompas, Rabu, 27 April 2016

Monday 25 April 2016

Pemimpin Bermartabat

Oleh HERRY TJAHJONO
Sejak ungkapan Amin Rais akan jalan kaki Yogyakarta-Jakarta jika ada yang bisa membuktikan pernyataannya tentang Prabowo harus dimahmilkan, yang akhirnya bisa dibuktikan, tetapi janji jalan kaki itu sendiri tak pernah dibuktikan-bermunculanlah nazar-nazar politik  sejenis yang juga mengalami nasib serupa.
Ada yang mau gantung diri di Monas, potong salah satu organ tubuh, terjun dari Monas, dan seterusnya sampai mau potong kuping. Semua dengan bunyi nazarnya masing-masing. Namun, tak satu pun yang dipenuhi. Belum lagi penggunaan berbagai macam cara,  termasuk yang memalukan sekalipun, hanya untuk mengalahkan lawan politik. Tanpa perlu merinci lagi, semua fenomena itu bermuara pada yang namanya "patologi (kepemimpinan) politik".
Patologi kepemimpinan politik itu bersinggungan langsung dengan kemiskinan martabat pada para pelakunya, yang saat ini jadi fenomena politik di Indonesia. Saya ingin mengutip tulisan F Budi Hardiman ("Politik yang Bermartabat") berikut:  Izinkanlah saya mengutip nasihat seseorang dari lima abad silam yang paling banyak dihujat sekaligus diikuti dalam politik, Niccolo Machiavelli. "Membunuh sesama warga, mengkhianati kawan, curang, keji, tak peduli agama," tulisnya, "tidak dapat disebut kegagahan. Cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan, tetapi bukan kemuliaan."
Miskin integritas
Gloria, itulah martabat dalam politik. Politik yang bermartabat tak digerakkan semata-mata oleh nafsu pencarian kekuasaan. Martabat memancar dari tindakan otentik yang penuh kedaulatan dari pemimpin berkarakter. Itulah kemuliaan yang membuat dirinya dihormati rakyatnya. Sisi gagasan tentang martabat ini jarang dicermati para pembaca yang telanjur menilai Machiavelli sebagai guru kelicikan politis.
Patut disesalkan, dalam masyarakat kita tersedia banyak contoh hilangnya martabat politik di berbagai lini, entah itu di pemerintahan, DPR, atau peradilan.  Dari politik uang para kandidat selama pemilu dan pilkada sampai praktik jual-beli keputusan pemimpin, seperti dalam jaringan para calo anggaran, menunjukkan kenyataan vulgar bahwa politik itu sendiri tak lagi tindakan otentik yang berdaulat, tetapi merosot menjadi barang dagang dalam pasar kuasa.
Begitulah, dunia (kepemimpinan) politik kita kehilangan martabatnya. Secara psikologi kepemimpinan, martabat kepemimpinan (politik) itu disebabkan tidak ada atau tak berfungsinya nilai integritas dalam diri seorang pemimpin. Integritas adalah landasan dari martabat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), integritas diartikan sebagai "mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran". Ada banyak definisi lain, tetapi yang jelas ada tiga  elemen utama integritas, yaitu: pikiran; perasaan; serta tindakan yang utuh dan selaras, bahkan pada titik ekstrem-sempurna. Sering dikatakan hidup yang berintegritas adalah hidup yang tanpa cacat atau cela. Tak ada kompromi dalam integritas. Dan, dari sana, martabat seorang manusia terbentuk.
Spencer Johnson mengartikan integritas dalam kaitannya dengan kebenaran.Integrity is telling myself the truth. And honesty in telling the truth to other people. Sementara menurut Stephen Covey,  integritas diartikan sebagai melakukan sesuatu karena benar atau kebenaran, bukan karena tuntutan lingkungan atau karena kebiasaan. Dan, sesuai pengertian integritas dalam KBBI serta kontekstualitas kondisi patologi kepemimpinan politik Tanah Air, integritas memang berhubungan erat dengan kebenaran, yang bukan hanya berlaku bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain.  
Jadi, dalam integritas terkandung juga kejujuran. Adapun  keselarasan muncul pada satunya kata dan perbuatan. Sekarang menjadi jelas kenapa sebagian besar para pemimpin politik (termasuk calon) kita miskin martabat, yang ternyata disebabkan miskinnya nilai integritas dalam dirinya. Kebenaran-bagi mereka-bukanlah sesuatu yang penting atau utama, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Pagi bilang "tempe", sore bilang "tahu", juga bukan masalah bagi mereka. Tanpa kepemimpinan bermartabat, jangan harapkan organisasi menjadi bermartabat.
Semua ikhtiar kepemimpinan Presiden Joko Widodo-termasuk konsep revolusi mentalnya, secara implisit maupun eksplisit-sesungguhnya mengarah kepada pengembalian dan pembangunan martabat bangsa, baik ke dalam maupun ke luar. Salah satu isyarat adalah ungkapannya dalam sebuah kesempatan: "Bangsa Indonesia tidak ingin menjadi macan, melainkan menaklukkan macan. Karena bangsa Indonesia tidak ingin ditakuti melainkan disegani." Ungkapan itu bicara tentang martabat bangsa, yang tentu harus dimulai dari martabat para pemimpinnya di semua lini dan dimensi.
Kendalanya, sekali lagi, masih dominannya para pemimpin tanpa martabat yang disebabkan miskinnya integritas kepemimpinan mereka. Karena itu, upaya Jokowi akan menjadi sangat berat, sebab kepemimpinan miskin integritas itu bukan hanya dalam jajaran kabinet dan aparatusnya, tetapi juga bertebaran di berbagai dimensi lain, baik legislatif maupun yudikatif. Tanpa pemimpin bermartabat, mustahil organisasi (Indonesia) bisa bermartabat. Dan, tidak mungkin gerbong besar organisasi menuju bangsa bermartabat itu hanya ditarik oleh presiden seorang diri.
Bermartabat adalah pilihan
Maka, seleksi dan rekrutmen kepemimpinan menjadi hal paling krusial saat ini, mulai dari anggota kabinet (termasuk reshuffle), pemilu, dan pilkada. Syarat integritas kepemimpinan menjadi utama dan wajib. Kalau perlu berbagai mekanisme asesmen kepribadian pemimpin sampai sistem pelaksanaan seleksi kepemimpinan berbagai level  dan dimensi ditata ulang agar faktor integritas bisa dideteksi secara dini.
Ungkapan Dwight Eisenhower berikut kiranya bisa menegaskan kebutuhan itu: "Untuk menjadi pemimpin, seseorang harus memiliki pengikut. Dan, untuk memiliki pengikut, seseorang harus memiliki rasa percaya. Namun, syarat terutama bagi seorang pemimpin adalah integritas."
Bagi para pemimpin, baik yang sedang berkuasa, calon pemimpin maupun yang mantan, perlu disadari: buah dari kepemimpinan Anda bukan hanya diukur dari output kepemimpinan selama Anda berkuasa, melainkan juga ketika Anda sudah lengser. Pada saat itu, ukuran satu-satunya adalah apakah Anda dikenang dan diingat sebagai pemimpin bermartabat atau sebaliknya.
Sebagai ilustrasi, seandainya ditanya mana  yang  lebih bermartabat antara Bung Karno, Bung Hatta, Gus Dur , atau bapak-bapak bangsa lainnya dengan para pemimpin masa sekarang yang mengingkari nazar politik-atau mereka yang menggunakan berbagai cara memalukan demi kekuasaan, seperti diuraikan pada awal tulisan ini- masyarakat akan dengan mudah menjawabnya.
Sebagai rakyat saya mau sampaikan, ketika Anda menjadi pemimpin perlu dipahami: "berkuasa itu pasti, bermartabat itu pilihan."
HERRY TJAHJONO
Terapis Budaya Perusahaan

Kompas, Selasa, 26 April 2016

Sunday 24 April 2016

"Si Pemalu" dari Padang Lamun

Oleh J GALUH BIMANTARA
Mamalia laut yang satu ini tergolong amat sulit ditemui para penyelam dan peneliti. Ia dianggap pemalu karena umumnya menghindari kontak dengan manusia. Bahkan, mamalia laut itu akan menjauh jika dalam radius 500 meter hingga 1 kilometer mendeteksi adanya potensi gangguan melalui pendengarannya yang sensitif.

Tuesday 19 April 2016

Kekalahan Sultan Agung Memudarkan Kebaharian

Oleh NAWA TUNGGAL
Pada April 1628 atau 388 tahun silam, Bupati Tegal Kiai Rangga datang ke Batavia mewakili rajanya, Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593-1645), untuk menawarkan kerja sama dengan kantor Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) menaklukkan Kerajaan Banten. Tawaran ditolak. Dari sinilah perang melawan VOC berawal hingga peristiwa kekalahan Sultan Agung yang membuat raja itu menutup kota-kota pelabuhan dan memudarkan kebaharian wilayah-wilayah pesisir yang ditaklukkannya sebelumnya.
Setelah tawaran Bupati Tegal ditolak oleh VOC, Sultan Agung memerintahkan Bupati Kendal Tumenggung Bahurekso pada 27 Agustus 1628 untuk menyerang benteng pertahanan VOC di Batavia. Pasukan gelombang kedua yang dipimpin pangeran Mataram, Mandureja, menyusul pada Oktober. Penyerangan ini bisa dipatahkan.
Setahun kemudian, Sultan Agung memerintahkan Adipati Ukur menyerang Batavia pada bulan Mei. Pasukan gelombang kedua menyusul pada Juni. Dengan menghancurkan lumbung-lumbung pangan pasukan Mataram, VOC kembali mematahkan serangan Mataram.
Strategi Sultan Agung membendung Sungai Ciliwung dan mengotori alirannya menimbulkan wabah penyakit kolera di Batavia. Akibatnya, Gubernur Jenderal VOC JP Coen terserang kolera dan meninggal dunia. Namun, VOC tetap tidak bisa dikalahkan.
Kekuasaan Mataram pada masa itu meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga beberapa wilayah di Jawa Barat. Kota-kota pelabuhan penting di pesisir pantai utara Jawa, dari Pasuruan hingga Cirebon, juga dikuasai Mataram.
Namun, sejak kegagalan Sultan Agung menyerang VOC di Batavia, kota-kota pelabuhan yang dikuasai oleh Mataram ditutup. Pelabuhan Jepara merupakan satu-satunya pelabuhan yang masih dibuka untuk melayani perdagangan komoditas utama, beras.
Kebaharian Mataram sejak itu memudar. Mataram kian meneguhkan diri sebagai kerajaan pedalaman, sebagai kerajaan agraris.
Kalau saja waktu itu Sultan Agung berhasil menundukkan VOC, mungkin saja Mataram Islam akan tumbuh sebagai kerajaan dengan kekuatan maritim yang andal. Nelayan dari negara-negara lain akan takut untuk mencuri ikan di wilayah Nusantara. Bangsa kita kemudian berkembang menjadi bangsa yang sangat gemar mengonsumsi ikan laut.
Sayangnya, kenyataan berbicara lain. Sultan Agung telah membawa peradaban agromaritimnya menjadi peradaban agraris. Sejak Sultan Agung gagal menghancurkan markas VOC di Batavia, kota-kota bahari di pesisir pantai utara Pulau Jawa menjadi lumpuh.
Pada masa sekarang, keinginan untuk kembali menjadi bangsa bahari kembali menguat. Pemerintah mengajak rakyat untuk kembali menghidupkan budaya bahari. Pemerintah mendorong rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan dari laut.
Kapal-kapal pencuri ikan dari negara asing ditangkap. Kapal-kapal tersebut tak hanya ditangkap, tetapi juga diledakkan guna memastikan agar tidak bisa dipakai lagi untuk menguras kekayaan laut Indonesia. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, hampir 200 kapal asing pencuri ikan di wilayah lautan Indonesia sudah diledakkan dan ditenggelamkan.
Diklaim, ikan sekarang lebih mudah diperoleh oleh nelayan. Jumlah pencurian hasil laut yang dilakukan kapal asing juga diklaim sudah jauh berkurang. Semoga Indonesia benar-benar bisa kembali memiliki budaya bahari yang kuat, sama seperti berabad-abad silam.

Kompas, Rabu, 20 April 2016

Monday 18 April 2016

Legenda Menak Jingga Terasa seperti Nyata

Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU dan NAWA TUNGGAL
Rintik hujan turun pada Rabu (13/4) sore di Situs Umpak Songo, Desa Tembokrejo, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur. Soimin (80) mengulurkan selembar kertas bertuliskan Cerita Kerajaan Blambangan yang diketik rapi bertanggalkan 16 Desember 1989. Juru pelihara Situs Umpak Songo ini berupaya sekuat daya meneguhkan kembali legenda Prabu Menak Jingga, Raja Blambangan.
Hartono (kiri) dan Soimin, Rabu (13/4), berdiri di Situs Umpak Songo di Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Mereka mengaku sebagai keturunan Mbah Nadi Gede, penemu Situs Umpak Songo, yang diyakini sebagai sisa bangunan dari peninggalan Kerajaan Blambangan di wilayah paling timur Pulau Jawa itu. Dari situs ini, legenda Menak Jingga
Hartono (kiri) dan Soimin, Rabu (13/4), berdiri di Situs Umpak Songo di Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Mereka mengaku sebagai keturunan Mbah Nadi Gede, penemu Situs Umpak Songo, yang diyakini sebagai sisa bangunan dari peninggalan Kerajaan Blambangan di wilayah paling timur Pulau Jawa itu. Dari situs ini, legenda Menak Jingga "terawat" sampai sekarang. (Kompas/Nawa Tunggal)
”Leluhur kami, Mbah Nadi Gede, yang pertama kali menemukan situs ini ketika masih menjadi hutan pada 1916,” kata Soimin.
Soimin bersama adiknya, Hartono (55), sore itu menyambut kami. Mereka antusias menceritakan Situs Umpak Songo dulunya sebagai bangunan Kerajaan Blambangan. Prabu Menak Jingga sebagai salah satu rajanya diyakini sebetulnya berhak menduduki takhta Majapahit. Namun, Menak Jinggo dikalahkan tokoh Damar Wulan.
Arkeolog Hasan Djafar dari Universitas Indonesia, di Jakarta, mengatakan, Menak Jingga dan Kerajaan Blambangan hanya legenda yang terinspirasi dari pertikaian keluarga Kerajaan Majapahit. Pertikaian ini bersumber pada perebutan kekuasaan antara Bhre Wirabhumi (anak kandung Raja Majapahit Hayam Wuruk dari perkawinannya dengan istri selir) dan Bhra Hyan Wisesa atau Wikramawardhana (keponakan Hayam Wuruk).
Wikramawardhana waktu itu menikah dengan Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk dari istri permaisuri. ”Dari pertikaian itu muncul peperangan paregreg atau perang saudara hingga berakhirnya Kerajaan Majapahit,” kata Hasan.
Saat itu, Bhre Wirabhumi diberi kekuasaan di kedhaton wetan atau kerajaan wilayah timur yang membentang dari Lumajang sampai Blambangan. Menurut Hasan, sosok Bhre Wirabhumi menjadi inspirasi kemunculan legenda Prabu Menak Jingga dari Blambangan.
Prabu Menak Jingga tidak pernah menjadi raja Majapahit. Dalam buku yang ditulis Hasan, Masa Akhir Majapahit (2012), kronologi raja-raja Majapahit berawal dari Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) yang berkuasa pada 1293-1309. Rajasanagara atau Hayam Wuruk menjadi Raja Majapahit keempat pada 1350-1389.
Wikramawardhana menjadi raja kelima pada 1389-1429. Ia digantikan Raja Suhita, 1429-1447. Majapahit bertahan hingga raja ke-12, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, 1474-1519. ”Penyebab runtuhnya Majapahit adalah perpecahan keluarga kerajaan,” kata Hasan.
Cerita leluhur Soimin
Situs Umpak Songo berada tidak jauh dari pelabuhan nelayan tradisional terbesar kedua di Indonesia, yaitu Pelabuhan Muncar. Situs ini berupa susunan tiga kali tiga umpak yang sedikit janggal karena berjarak terlalu rapat, yakni sekitar 2 meter. Umpak di situs itu berupa batu besar dengan lubang kotak di bagian atasnya.
Umpak biasanya digunakan sebagai fondasi tiang bangunan pada bangunan tradisional masyarakat Jawa yang berupa joglo. Umpak yang banyak ditemui di Jawa Tengah dan Jawa Timur biasanya dibentuk rapi menyerupai piramida.
Berbeda dengan umpak yang banyak ditemui sekarang, bentuk umpak di Situs Umpak Songo tidak beraturan. Umpak-umpak itu sepertinya masih alami, belum dibentuk.
Catatan tentang Kerajaan Blambangan yang diberikan Soimin menyebutkan, kerajaan itu berdiri pada tahun 700 dan bubar pada tahun 1400. Lokasinya ditinggalkan orang dan menjadi hutan selama 516 tahun. Baru pada 1916, lokasi itu ditemukan oleh Mbah Nadi Gede.
Dikisahkan pula, berawal dari kunjungan seorang raja dari Solo, Mangku Bumi IX, diketahui Kerajaan Blambangan mengalami pergantian raja sebanyak lima kali. Mereka antara lain Raja Siung Manoro yang berasal dari Kediri. Ada pula Raja Kebo Mancuet dari Bali yang memiliki tanduk.
Kebo Mancuet adalah anak Raja Kelungkung di Bali. Karena memiliki tanduk, ia dibuang oleh ayahnya ke Alas Purwo di Banyuwangi dan dirawat oleh Ki Ayah Pamengger, eyang dari Menak Jingga, yang dikenal pada masa mudanya sebagai Joko Umbaran.
Pada masa Kebo Mancuet berkuasa, disebutkan bahwa ratu dari Majapahit, Kencana Wungu, membuat sayembara, ”Barangsiapa membunuh Kebo Mancuet, ia akan diberi Tanah Blambangan dan menikah dengan Kencana Wungu.”
Banyak peserta sayembara gugur, tetapi Joko Umbaran berhasil membunuh Kebo Mancuet. Sayangnya, dalam pertarungan itu, wajah Joko Umbaran menjadi rusak. Joko Umbaran pun akhirnya naik menjadi Raja Blambangan dan mendapat gelar Menak Jingga.
Hikayat Blambangan Setelah Menak Jingga Tidak Berkuasa
Setelah Joko Umbaran atau Menak Jingga tidak berkuasa, Raja Blambangan berikutnya-menurut penjaga Situs Umpak Songo, Soimin-ialah Siung Laut. Namun, Siung Laut kemudian pergi ke Bali dan menyerahkan takhta Blambangan kepada patihnya, Joto Suro.
Siung Laut memiliki putri bernama Sedah Merah. Siung Laut ingin menikahkan sang putri dengan patihnya, Joto Suro. Namun, Sedah Merah malah memilih seorang pangeran bernama Pangeran Julang untuk menjadi suaminya dan pergi ke Mataram.
Setelah menjadi Raja Blambangan, Joto Suro menyerang Mataram dan membawa kembali Sedah Merah. Pangeran Julang kalah dan pergi mengungsi.
Di Blambangan, Sedah Merah menolak Joto Suro. Sedah Merah akhirnya bunuh diri.Dikisahkan pula, Joto Suro mengangkat patih yang bernama Ario Bendung. Joto Suro pada suatu ketika memerintahkan Ario Bendung pergi untuk menyerang Mataram. Waktu itu, Pangeran Julang, suami Sedah Merah, masih berada di Mataram.
Di Mataram, Ario Bendung diberi tahu bahwa dirinya hanya ditipu Joto Suro. Hal yang terjadi sesungguhnya adalah Joto Suro menginginkan istrinya.
Maka, Ario Bendung pulang dari Mataram dan menemukan istrinya sudah terbunuh karena menolak Joto Suro. Terjadilah kemudian pertempuran Ario Bendung melawan Joto Suro.
Joto Suro terkalahkan. Ario Bendung kemudian kembali ke Mataram untuk mengabarkan keadaan Blambangan kepada Pangeran Julang.
Ada kutipan yang unik dalam Catatan Kerajaan Blambangan yang disodorkan Soimin, penjaga Situs Umpak Songo. Dikisahkan bahwa Ario Bendung mengabarkan hanya rakyat Blambangan yang masih hidup. Pangeran Julang lalu menyatakan, masih ada satu orang yang hidup.
Ario Bendung pun menanyakan nama orang yang hidup tersebut.
"Pikir sendiri," kata Pangeran Julang.
Ario Bendung mengetahui yang dimaksudkan Pangeran Julang, lalu ia bunuh diri.
Di dalam baris kalimat terakhir cerita itu, dikisahkan bahwa ketika Ario Bendung ke Mataram, Blambangan dilanda lahar. Yang hidup tersisa hanya 10 orang, kemudian lima orang pergi ke Mataram dan lima orang lain menetap di Blambangan. (NAW)

Kompas, Senin, 18 April 2016

Thursday 14 April 2016

Ancaman Narkoba, Rokok, dan Alkohol

Oleh EMIL SALIM
Bung Karno berusia 44 tahun dan Bung Hatta 43 tahun ketika masing-masing sebagai presiden dan wakil presiden menjadi Bapak Pendiri Republik Indonesia (1945).
Mereka berkualitas pendidikan tinggi, tidak korup, dan tak tergoda oleh gemerincing uang pengusaha besar. Mereka terkenal bersih dan menempuh pola hidup sehat, bebas dari rokok dan ancaman drugs zat adiktif.
Generasi baru telah lahir dan berkat program Keluarga Berencana, tahun 2012-2040 menikmati bonus demografi sebagai hasil penurunan lebih dari 50 persen rasio ketergantungan penduduk usia di bawah 15 tahun ditambah penduduk usia 65+ tahun. Ini mengurangi beban tanggungan bagi penduduk usia 15-64 tahun yang lebih produktif.
Menurut perhitungan Professor Sri Moertiningsih Adioetomo, bonus demografi ini menukik ke titik terendah dalam periode 2020-2030 sebelum rasio ketergantungannya naik. Sehingga, terbuka peluang besar bagi penduduk usia produktif ini memacu laju pembangunan ke tahapan ”lepas landas” tahun 2045 kelak. Jumlah generasi muda usia 15-29 tahun naik dari 62 juta (2010) ke 70 juta jiwa (2035). Generasi ini memiliki potensi menjadi pemimpin bangsa menujuIndonesia maju tahun 2045. Sehingga sangat penting menggariskan kebijakan pembangunan yang secara eksplisit mengembangkan kualitas generasi ”bonus demografi” sebagai kader pemimpin bangsa masa depan.
Ancaman terbesar yang menjerumuskan generasi muda ini adalah drugs adiktif dalam narkoba, rokok, dan alkohol. Drugs adiktif bisa menjerat korban usia muda untuk terpikat kecanduan, selamanya menjadi ”konsumen abadi”. Korban narkoba di kalangan generasi muda kini kian meningkat. Badan Narkotika Nasional kewalahan memberantas wabah narkotika. Jumlah korban narkoba bisa meningkat di masa datang karena didorong pertumbuhan perokok muda yang sudah kecanduan zat adiktif nikotin menjadi pecandu narkoba.
Menurut data Kementerian Kesehatan (2013), generasi muda kita mulai merokok pada usia 5-9 tahun dan mencapai puncaknya sebagai perokok pada kelompok usia 15-19 tahun, terdiri dari laki-laki 57,3 persen dan perempuan 29,2 persen. Lalu menurun sampai usia 30+ tahun. Jumlah perokok laki-laki mencapai puncak tertinggi (57,3 persen) pada usia 15-19 tahun dan jumlah perokok perempuan tertinggi pada usia 30+ tahun (31,5 persen).
Industri rokok menjadikan usia muda sebagai sasaran utama pemasaran rokok, dengan memanfaatkan ketidakmatangan jiwa muda yang mudah terpesona oleh sikap serba macho kejantanan dengan semangat petualang. Dengan ikon periklanan industri rokok seperti ini mereka menjeratnya masuk perangkap kecanduan pada zat adiktif nikotin, terutama melalui tipe mild cigarettes yang enteng diisap.
Namun, serentak dengan masuknya zat adiktif nikotin rokok ke tubuh anak muda, menurut Dr Sheraf Karam dari McGill University, terjadi kerusakan pada korteks otak tipis sang perokok sehingga menimbulkan kesulitan berpikir dan mengingat. Industri rokok paham adaptasi otak terhadap nikotin pada remaja lebih cepat dibandingkan orang dewasa karena selaput otaknya belum tumbuh sempurna.
Karena itu, generasi muda lebih mudah adiktif terhadap zat nikotin dalam rokok dibandingkan usia tua. Lambat laun rokok menumbuhkan kecanduan pada jenis drugs berzat adiktif yang lebih keras, sehingga rokok menjadi ”pintu gerbang bagi drugs lain” (gateway drugs), seperti kokain, mariyuana, dan narkoba. Sebanyak 90 persen pecandu kokain dan narkotik terbukti adalah perokok usia dini.
Kontradiktif
Menyadari hal ini, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015, 8 Januari 2015, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, yang dalam Buku 1 Agenda Pembangunan Nasional mencantumkan sebagai salah satu “Sasaran Pembangunan Kesehatan”: menurunkan prevalensi penduduk usia 18 tahun ke bawah dari 7,2 (2013) ke sasaran 5,4 (2019), suatu penurunan 25 persen dalam waktu lima tahun.
Langkah Presiden Jokowi ini didukung Peraturan Mendikbud No 64/2015, 22 Desember 2015, tentang Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan sekolah, untuk menciptakan lingkungan sekolah yang bersih, sehat, dan bebas rokok. Sekolah wajib memasukkan larangan terkait rokok dalam aturan tata tertib sekolah, menolak penawaran iklan, promosi,perusahaan rokok, dan lain-lain dan memasang tanda kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pun sudah menetapkan larangan pemasangan iklan rokok di ruang terbuka atas pertimbangan bahwa biaya kesehatan yang ditimbulkan rokok lebih besar dari hasil perolehan pemasangan iklan rokok. Surat kabar Suara Pembaruan dan majalah Tempo juga sudah menolak memasang iklan atas pertimbangan moral dan kesehatan.
Di tengah-tengah pelaksanaan kebijakan Presiden Jokowi seperti ini kita dikejutkan oleh terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 63/M-IND/PER/8/2015, 10 Agustus 2015 tentang Peta Jalan (Roadmap) Produksi Industri Hasil Tembakau tahun 2015-2020, dengan sasaran kenaikan produksi rokok pada kisaran 5-7,4 persen per tahun dari 398,6 miliar batang (2015) menjadi 524,2 miliar batang (2020). Angka ini didominasi produksi rokok SKM mild dari 161,8 miliar batang (2015) menjadi 306,2 miliar batang (2020). Rokok SKM mild ini andalan industri rokok, yang digemari perokok remaja.
Yang menarik, lampiran permenperin ini senapas dengan RUU Pertembakauan yang masuk Prolegnas DPR untuk dibahas 2016. Sama-sama bicara tentang ”rokok kretek sebagai produk warisan budaya bangsa.” Kedua produk hukum ini sama-sama tidak menyinggung dampak negatif rokok bagi kesehatan manusia. Karena itu, gugatan pada isi permenperin ini juga tertuju pada pengusul isi RUU Pertembakauan.
Dari begitu banyak sumber bahan industri, mengapa menteri perindustrian dan DPR memilih tembakau yang hanya ditanam di lima provinsi, yakni Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Mengapa tidak diprioritaskan pada ”perikanan” sebagai sumber bahan industri yang terdapat di dua pertiga kawasan Indonesia? Mengapa mengutamakan bahan baku industri rokok yang 90 persen dikuasai modal asing yang meraih keuntungan dengan merusak kesehatan masyarakat Indonesia lebih besar, terutama generasi muda?
Karena motivasi permenperin dan RUU Pertembakauan ini berlawanan dengan semangat perpres dalam meningkatkan kesehatan rakyat dan menurunkan prevalensi perokok generasi muda, sudah sepatutnya presiden membatalkan permenperin ini dan meminta pertanggungjawaban sang menteri serta menolak dibahasnya RUU Pertembakauan. Jangan sampai industri rokok yang dikuasai modal asing mengeruk keuntungan di atas pundak derita generasi muda yang terjerat perangkap drugs adiktif narkoba, rokok, dan alkohol.
EMIL SALIM
Dosen Pascasarjana UI; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Kompas, Jumat, 15 April 2016

Wednesday 13 April 2016

Menyapa Kala di Candi Pringapus

Oleh NAWA TUNGGAL
Sastrawan dan filsuf terkenal dari India, Rabindranath Tagore (1861-1941), mendatangi Jawa pada 1930 untuk melihat sendiri jejak masa lampau ekspansi India. Di Jawa, Tagore memang merasakan "India" hadir di mana-mana, tetapi sudah tak dalam bentuk aslinya. Penduduk Jawa telah mengubahnya, memodifikasinya sesuai dengan penafsiran mereka.
Sebuah prosesi ruwatan berlangsung di Candi Pringapus, Temanggung, Jawa Tengah, Maret  lalu.
Sebuah prosesi ruwatan berlangsung di Candi Pringapus, Temanggung, Jawa Tengah, Maret lalu. (Kompas/Nawa Tunggal)
Hal itu juga terasa pada suatu senja, pertengahan bulan lalu, di Candi Pringapus di lereng Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah. Di depan relief Kala (tokoh raksasa dalam cerita yang berasal dari India) yang berada di candi itu, Bambang Nursinggih dari Lembaga Kebudayaan Jawa Sekar Pangawikan Yogyakarta melangsungkan prosesi ruwatan. Dalam suasana yang khidmat ini, terasa kehadiran "India", tetapi bukan "India" yang sesungguhnya.
Tokoh Rahu
Relief Kala yang terletak di ambang pintu masuk ruang candi merupakan salah satu relief yang cukup menonjol di Candi Pringapus. Adapun Candi Pringapus diketahui dibangun pada masa Mataram Kuno, yakni pada 772 Saka atau 850 Masehi, lebih dari 1.100 tahun yang lalu. Pemerintah kolonial Hindia Belanda merestorasi candi ini pada 1932.
"Kala adalah Batara Kala. Asal cerita ini dari India dan Kala juga dikenal sebagai Rahu," kata kurator Museum Nasional Jakarta, Trigangga, pekan lalu, di Jakarta. Trigangga merupakan ahli epigrafi yang meneliti benda-benda bertulis. Tidak hanya aksara yang ditelitinya, tetapi juga lambang-lambang yang terdapat pada benda-benda hasil peradaban masa silam.
Menurut Trigangga, Rahu dikisahkan sebagai raksasa yang menyaru sebagai dewa agar bisa meminum air suci amerta sehingga dirinya dapat hidup abadi seperti dewa-dewi. Tipu muslihat Rahu diketahui Dewa Surya dan Dewi Candra.
Mereka lantas memberitahukan perilaku Rahu itu kepada Dewa Wisnu. Alhasil, Dewa Wisnu mengeluarkan senjata cakra dan menebas leher Rahu yang sudah menelan air amerta hingga tenggorokannya. Berkat kesaktian air amerta, bagian tubuh Rahu dari kepala hingga tenggorokan tetap hidup abadi dan melayang-layang di angkasa.
Pada kemudian hari, Rahu menelan matahari (Dewa Surya) dan bulan (Dewi Candra) karena dendam. Peristiwa ini dikenal sebagai gerhana matahari dan bulan.
Cerita tentang sosok Rahu yang memiliki wujud hanya berupa kepala raksasa dan hidup abadi melayang-layang di angkasa mengalami perubahan di tanah Jawa. Perubahan itu tampak di Candi Pringapus: relief Kala tidak hanya memiliki kepala, tetapi juga memiliki jari-jari berkuku lancip yang terletak di samping pipinya.
Relief Kala semacam itu ditemui bukan hanya di Candi Pringapus, melainkan di hampir semua candi Hindu pada era Mataram Kuno. "Kala di tanah Jawa sudah berubah, antara lain sebagai penjaga tempat suci. Kala adalah penghalau niat jahat sehingga selalu dipasang di ambang pintu untuk menghalau berbagai niat jahat sebelum memasuki candi," tutur Trigangga.
Arkeolog Universitas Indonesia Hasan Djafar menjelaskan, Kala memiliki pengembangan yang unik. Dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, relief Kala juga berubah. Dari semula tanpa dagu, relief Kala beralih memiliki dagu.
Jawa Timur
Di candi-candi peninggalan Kerajaan Singasari dan Majapahit di Jawa Timur, Kala bahkan diwujudkan sebagai patung berbadan utuh. Fungsinya tetap sebagai penjaga pintu masuk sebuah tempat penting atau tempat yang disucikan. Patung Dwarapala merupakan salah satu wujud patung Kala yang berukuran paling besar di kompleks percandian Singasari di Malang, Jawa Timur.
"Kala di Jawa bahkan juga dikisahkan sebagai jelmaan Dewa Siwa. Karena itu, Kala menjadi suami Durga atau Dewi Uma," kata Trigangga. Kala, menurut dia, juga menjadi penguasa waktu.
Tampak jelas, apa yang berasal dari India telah diubah begitu rupa oleh masyarakat Jawa. India hanya menjadi ilham bagi pengembangan-pengembangan tradisi di Jawa. Denys Lombard dalam bukunya, Nusa Jawa: Silang Budaya (PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), menuliskan, selama 2.000 tahun, Jawa menjadi persilangan budaya terpenting dunia, yaitu India, Tiongkok, Islam, dan Eropa. Namun, masyarakat Jawa menerima, mengolah, mengembangkan, dan memperbaruinya.
Karena itu, Lombard menulis bahwa Tagore sewaktu mengunjungi Jawa pada 1930 merasakan India hadir di mana-mana, tetapi tidak sungguh-sungguh menemukannya kembali.
Dari hal ini, terlihat bahwa menerima hasil atau produk kebudayaan bangsa lain adalah sesuatu yang tak terelakkan sepanjang zaman. Namun, nenek moyang kita mengajarkan untuk kemudian mengolah, mengembangkan, dan memperbaruinya. Mereka dulu tak mau menerima mentah-mentah begitu saja pengaruh budaya asing.

Kompas, Kamis, 14 April 2016