Saturday 20 August 2016

Aleppo

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Alkisah, pada suatu ketika, dalam perjalanan dari Ur di wilayah Chaldea – sekarang Irak Selatan – untuk menuju ke Tanah Terjanji, Abram yang kemudian menjadi Abraham (Ibrahim), “bapa sejumlah bangsa besar”, “bapa yang agung”, singgah di sebuah kota bernama Haran (Harran). Kala itu, Haran adalah kota yang ramai dan menjadi salah satu mitra dagang utama dari Tirus. Haran adalah kota dagang penting pada zamannya.
Haran, yang dalam bahasa Asiria, “Harranu”, berarti ‘Jalan’ atau ‘Jalur Kafilah’. Hal itu menunjukkan bahwa kota Haran berada di rute dagang utama yang menghubungkan kota-kota besar di masa itu dan sering disinggahi para kafilah.
Kini, Haran, kota yang terletak sekitar 50 kilometer sebelah selatan Sanliurfa atau Urta – 150 kilometer sebelah timur Gaziantep dan 1.300 kilometer sebelah tenggara Istanbul, Turki – itu tidak seramai dahulu. Haran, menurut sejumlah laporan, kini hanyalah sekumpulan rumah beratap kubah. Di sekitarnya terdapat reruntuhan berbagai peradaban kuno.
Harran-adobe-domes.jpg
Rumah dengan kubah bata di Haran (Natural Building Blog)
Dari Haran, Abraham berjalan menuju Damaskus, yang terletak di Lembah Aram, kini Suriah. Dalam perjalanan itu, Abraham dan rombongannya melewati dan singgah di suatu tempat. Sambil istirahat, ia menyempatkan diri memerah susu sapi yang dibawanya dari Ur. Susu hasil perahan itu diberikan kepada siapa saja yang melintas di tempat dia beristirahat.
Tempat Abraham memerah susu itu kemudian diberi nama Halab, yang berarti ‘memerah susu’. Halab itulah yang kini disebut Aleppo. Dalam bahasa Amorit, halab berarti ‘besi’ atau ‘tembaga’. Namun, dalam bahasa Aramaik, halaba berarti ‘putih’. Ini sesuai dengan warna tanah di daerah itu. Kota ini juga disebut Khalpe, Khalibon. Orang-orang Yunani menyebut Beroea, dan orang-orang Turki menyebutnya Helep. Semasa Perang Salib dan semasa Mandat Perancis disebut Alep. Dari sinilah muncul nama “Aleppo”, mengikuti sebutannya dalam bahasa Italia.
Sapi-sapi Abraham, menurut cerita, berwarna abu-abu, yang dalam bahasa Arab adalah shaheb. Karena itu, tempat Abraham memerah susu juga disebut Halab ash-Shahba atau ia memerah susu sapi berwarna abu-abu. “Dalam bahasa Arab, shaheb juga berarti ‘sahabat’,” kata Zuhairi Mizrawi, intelektual muda NU, dalam suatu diskusi. “Karena itu, barangkali tempat itu juga berarti ‘tempat Abraham memberikan susu kepada para sahabatnya’,” lanjutnya.
Persahabatan menjadi roh kota ini meski tidak selamanya persahabatan di kota itu hidup. Namun, orang tetap mengenal Aleppo sebagai tempat Abraham memerah susu sapinya; tempat Aleksander Agung pernah berkemah; lokasi pasukan Salib mengakui kekalahan dari pasukan Muslim pimpinan Imd al-Dn Zang pada tahun 1129; dan tempat Raja Faisal memproklamasikan kemerdekaan Suriah. Aleppo juga merasakan cengkeraman kekuasaan orang-orang Amorit, Hittite, Mittania, Assiria, Babilonia, Persia, pasukan Aleksander Agung, Kesultanan Seleucid, Umayyad, Ayyubid, Mameluk, Mongol, Arab, Romawi, hingga kemudian Ottoman Turki.
Pada abad ke-13, Hulagu, anak Genghis Khan, menyerbu kota yang terletak di lembah subur antara Sungai Eufrat dan Tigris serta ujung Jalur Sutera setelah melewati Asia Tengah dan Mesopotamia ini. Tentara Mongol ini membunuh 50.000 penduduk Aleppo. Timurlane atau Timur Leng yang mengaku keturunan Genghis Khan pun menduduki Aleppo pada tahun 1400-an.
Wajarlah kalau jejak peninggalan bangsa-bangsa itu tertinggal di Aleppo, kota yang diyakini sudah dihuni orang sejak milenium ketiga sebelum Masehi. Kota lama Aleppo mengisahkan kekayaan dan keragaman budaya bangsa-bangsa yang pernah meninggalinya. Semua serba indah.
Coba simak puisi Nâbî, seorang diva penyair zaman Ottoman pada abad ke-18:
Hari itu akan datang ketika orang menjadi bagianmu, kota Aleppo/
Adalah sangat pantas kalau kemudian tidak ada kegembiraan/
Karena inilah yang sesungguhnya, keindahan ditemukan di sini/
Dalam keagunganmu yang dibangun dengan kokoh/
Segala macam barang dagangan ada/
Kekayaan dan barang-barang indah tak terbilang/
Tetapi, lebih dari ini, air dan udaranya menawan hati/
Karena sungai dan bangunan-bangunannya.
Dahulu, Aleppo adalah keindahan. Di sana ada Masjid Umayyad yang agung dan indah. Masjid itu dibangun pada tahun 715 oleh Kalifah Khalid ibn al-Walid Al-Walid dan diselesaikan oleh penerusnya, Kalifah Suleiman. Sama seperti Masjid Umayyad di Damaskus, yang dibangun 10 tahun sebelumnya, Masjid Umayyad di Aleppo, yang dalam bahasa Arab disebut Al-Jami al-Kabir, berdiri di atas kuil Romawi dan katedral Byzantium yang dibangun oleh St Helena. Tetapi, masjid yang indah itu hancur karena perang (BBC News, 24 April 2013).
Aleppo, dulu, juga memiliki Benteng (Citadel) Aleppo yang begitu megah dan masyhur. Benteng di puncak bukit yang dibangun pada abad ke-13 itu juga digunakan sebagai pusat pemerintahan dan istana Dinasti Ayyubid. Dari dinasti inilah Saladin berasal. Di sekitar benteng terdapat bangunan, misalnya masjid, madrasah, istana, dan hammam (tempat pemandian umum) yang bertarik abad ke-17 dan sebelumnya. Berdiri pula Katedral Armenia Empat Puluh Martir.
Umayyad-Mosque-in-Aleppo-2009.jpg
Masjid Ummayad di Aleppo, pada tahun 2009
citadel.jpeg
Foto udara Citadel di Aleppo pada tahun 1993 (The Guardian/Frederic Soltan)
armenian cathedral aleppo.jpg
Katedral Armenia Empat Puluh Martir di Aleppo, pada tahun 2011 (kiri) dan reruntuhan pada tahun 2015, akibat perang yang berlangsung di Suriah (kanan).
Yang indah-indah itu kini tinggallah kenangan. Perang yang pecah di Suriah sejak 2011, baru menyentuh Aleppo pada Juli 2012. Meski demikian, kota yang berada di jalur ke Damaskus dari utara itu kini demikian menderita. Aleppo terbelah: bagian barat dikuasai pasukan pemerintah dan bagian timur dikuasai pasukan oposisi. Tak kurang 300.000 penduduknya terjebak di tengah pertempuran (entah berapa ribu yang telah tewas). Gedung-gedung hancur, tidak ada makana dan minuman. Orang mati di mana-mana, dan tak ada lagi keindahan yang pernah dimiliki kota bersejarah itu.
Tidak ada yang tahu pasti kapan tragedi kemanusiaan itu akan berakhir. Selama nafsu kekuasaan, angkara murka, menguasai manusia-manusia di sana, tragedi kemanusiaan itu akan terus terjadi. Dan, cerita tentang kebaikan Abraham yang membagikan susu sapinya kepada para musafir yang dianggap saudara tak ada lagi. Yang ada justru kekejaman, kelaliman, dan permusuhan.
Umayyad-Mosque-in-Aleppo-001.jpg
Masjid Ummayad di Aleppo pada 2012 (atas) dan 2013 (bawah). (The Guardian/Alamy, Corbis)
Souk-Bab-Antakya-in-Alepp-001.jpg
Souq Bab Antakya, Aleppo, pada tahun 2009 (atas) dan setelah serangan 2012 (bawah). (The Guardian/Alamy, Reuters)
The-Old-Souk-in-Aleppo-001.jpg
Pasar tradisional tua di Aleppo, pada tahun 2007 (atas) dan setelah serangan 2013 (bawah). (The Guardian/Corbis, Stanley Green)
Kompas, Minggu, 21 Agustus 2016

Wednesday 10 August 2016

Tersisihnya Pejuang Nawacita dari Istana

PERNAK-PERNIK PASCA RESHUFFLE KABINET(1)
Oleh RATNA SUSILOWATI
Kawan saya, seorang pemimpin redaksi majalah nasional berkomentar pendek, tentang reshuffle kabinet kedua. "Pak Jonan diganti, itu tidak masuk di akal saya. Sama sekali nggak masuk akal. Kalau yang lain sih, agak dipahami," katanya, tepok jidat. Berulang-ulang dia ngomong begitu sambil geleng-geleng kepala.

Malam itu, sekitar tiga jam setelah pelantikan kabinet baru di Istana, sejumlah pemimpin redaksi media massa, menggelar halal bihalal di Wisma Penta, Jakarta. Acara ini sudah lama diagendakan. Tapi, kok ya kebetulan, bersamaan dengan hari pengumuman reshuffle.
Sejumlah menteri datang. Saya lihat ada Rini Soemarno. Menteri BUMN istimewa. Disebut begitu, karena tak ada yang meragukan kedekatannya dengan Presiden. Bahkan, ada media asing yang menyebutnya sebagai RI 1 ½. Sebutan yang menunjukkan kekuatan posisinya di atas RI-2 (baca: Wapres).
"Selamat ya, Bu," ucap saya. Rini tertawa. "Kok banyak orang malah selamatin saya ya," katanya.
Tapi yang menarik perhatian malam itu, kedatangan Puan Maharani. Orang-orang seperti ingin "membaca" apa sikap Megawati terhadap reshuffle kabinet melalui air mukanya. Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan yang juga putri kesayangan Mega itu, sempat disodori mic dan bicara 10 menitan. Saya perhatikan, sekitar dua menit setelah Puan mengakhiri sambutan, Rini pergi.
Presiden melantik kabinet baru, Rabu, 27 Juli lalu sekitar pukul 14.00 WIB. Megawati tidak hadir. Kemana? Tak banyak yang tahu, di jam bersamaan, Mega sedang menerima Ignasius Jonan. Salah satu menteri yang dicopot Presiden. Jonan ke Teuku Umar untuk pamitan dan mengucapkan terima kasih atas dukungan kepadanya selama ini.
Jonan lahir di Singapura, 21 Juni 1963, di bulan kelahiran Bung Karno. Tanggalnya, bahkan sama dengan Presiden Jokowi. Tapi, orang tidak mengenal Jonan sebagai pencinta Bung Karno. Orang juga tak pernah mendengar Jonan teriak-teriak memuji Bung Karno. Tapi, sebetulnya, Jonan memahami jalur politik dan jalan pikiran Bung Karno. Dia paham benar Nawacita, slogan yang sering digembar-gemborkan Jokowi saat kampanye pilpres.
Di kursi Menteri Perhubungan (Menhub), mantan Dirut PT Kereta Api Indonesia (KAI) itu mendahulukan pembangunan kawasan terpencil, pedalaman, hingga ujung timur Indonesia. Garis merah programnya jelas: Merangkai, Menyatukan Indonesia. Sejumlah wilayah, pulau terluar diperbaiki pelabuhan dan bandaranya. Hingga di Sorong, Wamena dan Merauke, kini ada pelabuhan dan bandara megah.
Di sisi lain, Jonan terlihat kurang sreg dengan rencana pembangunan kereta cepat. Proyek prestigious luxury, yang dianggap banyak orang tak sejalan dengan cita-cita Nawacita. Jonan tak datang saat groundbreaking KA Cepat, dan dia terima risiko, dicap melawan Presiden.
Sehari setelah reshuffle kabinet, saya bertemu Ignasius Jonan. Hari itu, dia mengenakan batik dengan tampilan formal. "Rapi benar, Pak. Masih ada acara resmi?" canda saya. Jonan cuma tersenyum. Informasi dari Hadi Djuraid, orang dekatnya, saat itu Jonan baru bertemu Yasuo Fukuda, mantan Perdana Menteri Jepang. Pertemuan itu, sebenarnya sudah lama diagendakan. Fukuda, sebagai Presiden Asosiasi Jepang-Indonesia, datang ke Indonesia bersama sejumlah pengusaha, antara lain bos Mitsubishi Corp, untuk menjajaki kerja sama bisnis. Mereka tak menyangka angin politik di Indonesia berubah begitu cepat.
"Atas nama pribadi, pemerintah dan rakyat Jepang, saya terkejut dan tak menyangka mendengar Anda di-reshuffle dari kabinet," katanya kepada Jonan, seperti diceritakan Hadi Djuraid. Selama di Indonesia, Fukuda juga menjadi tamu Jokowi. Pada 27 Juli lalu, dua jam sebelum pengumuman reshuffle kabinet, Fukuda diterima Presiden di Istana.
Bertemu siang itu, Jonan terlihat santai saja. Kami minum teh di sebuah sudut kedai kopi kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Humornya tak habis-habis. Kami ngakak-ngakak menanggapi celetukannya yang lucu. Dia seperti biasanya, ngomong apa adanya. Terus terang.
"Saya dipanggil Presiden, sekitar lima menit. Presiden mengucapkan terima kasih, lalu memberitahu kalau besok saya diganti," ucapnya, saat saya tanya menit-menit jelang pencopotan. Jonan pun meresponsnya dengan mengucapkan terima kasih kepada Presiden karena telah dipercaya ikut mengabdi untuk bangsa dan negara di kabinet. Saat pamitan, Presiden mengantar dia sampai ke depan pintu.
Rencana berikutnya apa? Tanya saya. Jonan merespons, "Selama 8 tahun terakhir, saya tidak pernah cuti. Dan nyaris tak memperhatikan anak-anak saya. Saya belum pernah...." Jonan tak meneruskan kalimatnya. Suaranya tercekat, lalu terdiam. Dia tertunduk. Matanya agak basah. Saya yang duduk di sampingnya, tertegun. Tak menyangka, orang sekeras dan setegas Jonan, bisa menangis saat bicara tentang anak.
Jonan tidak menangisi pencopotannya. Tapi, pertanyaan saya itu rupanya seperti alarm, ini waktunya Jonan untuk keluarga. Sudah sangat lama, dia tidak berkumpul atau liburan bersama istri dan kedua putrinya. Jonan memang dikenal workaholic. Terbiasa bekerja dan terima tamu sampai jelang pagi.
Di media sosial, penggantian Jonan dianggap mengejutkan. Apalagi, sehari sebelum reshuffle kabinet, portal online memberitakan hanya enam menteri yang dipanggil Jokowi ke Istana. Dan tak ada nama Ignasius Jonan. Jokowi ternyata menyediakan jalur pintu khusus untuk Jonan, sampai-sampai kedatangannya, tak terendus wartawan.
Mengapa Jonan dicopot? Muncul banyak sekali opini. Dari yang sederhana, sampai kontroversial. Dari insiden Gojek, kereta cepat, sampai tragedi tol Brexit. Dari dugaan transaksi politik, hingga kepentingan Pilpred 2019. Di Facebook Ignasius Jonan, foto-fotonya saat berpelukan dengan Budi Karya Sumadi, Menhub baru, mendapat lima ribuan komentar. Dan statusnya saat pamitan dikomentari 12 ribuan.
"Dia menteri yang berani berbeda, walau dengan Presiden sekalipun, karena dia memegang teguh regulasi. Bukan pada arahan kebijakan sesaat atau tekanan politik," kata Fary Djemi Francis, Ketua Komisi V DPR.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, di depan Forum Pemimpin Redaksi, dua bulan lalu, juga menyebut Jonan salah satu menteri terbaik. Berhasil melakukan efisiensi. "Bandara yang dibangun bagus-bagus dengan biaya cukup murah," kata Agus Marto.
Juga Bambang Brodjonegoro. Diwawancarai Rakyat Merdeka saat masih di pos Menteri Keuangan, Bambang menyebut, kerja Kementerian Perhubungan di tangan Jonan bagus, dan termasuk paling agresif menaikkan PNBP atau Pendapatan Negara Bukan Pajak. Anggota kabinet lainnya yang memuji kinerja dan kejujuran Jonan adalah Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Amran menyampaikan itu saat diwawancara Rakyat Merdeka, 6 Juni lalu, bertepatan dengan hari pertama bulan Ramadan.
Soal etos kerja, tak banyak yang meragukan Jonan. Tapi, bagi sebagian orang, mungkin pribadinya bikin tak tahan. Dia unik. Gaya bicaranya ceplas-ceplos, berani, lantang dan pedas. Sikapnya lantang dan apa adanya, khas Suroboyoan. Argumennya seringkali benar. Tapi dalam politik, kadang kebenaran perlu diucapkan tanpa terang-terangan.
Kini, palu telah diketok. Keputusan politik telah dijatuhkan. Namun bagi Jonan, lepas dari kabinet bukanlah sesuatu yang merisaukan. Saya pernah mendengar dia menjawab pertanyaan, tentang mengapa dia mau jadi menteri, padahal gajinya sebagai bankir internasional tentu berkali-kali lipat lebih tinggi.
"Kerja jadi menteri pasti nombok, kan Pak?" tanya seorang wartawan. Jonan tertawa, lalu menjawab, "Bukan nombok, tapi menguras...." Lalu, apa yang anda cari dengan jabatan menteri? Jonan yang dua bulan lalu baru berulang tahun ke 53, diam agak lama. Lalu, dia mengatakan, "Misalnya Tuhan memberi kita usia 75 tahun... Maka, pada 25 tahun pertama, hidup kita lebih banyak menerima. Dan 25 tahun berikutnya, hidup haruslah berimbang, menerima dan memberi. Nah, saya sudah di 25 tahun ketiga. Maka, harus lebih banyak memberi daripada menerima."
Ya inilah akhirnya. Dalam politik, kerja keras dan kerja cerdas saja rupanya tak cukup. Jonan disisihkan dari kabinet, saat perjalanan membangun Nawacita Perhubungan, baru ditempuh sepertiganya. Memang hak prerogatif Jokowi mencopot menteri yang bicara apa adanya. Tapi jangan sampai yang dipertahankan adalah menteri-menteri yang "ada apanya".
Harian Rakyat Merdeka, Kamis, 4 Agustus 2016

Tegakkan Sistem Pengawasan Farmasi

JAKARTA, KOMPAS — Peredaran obat ilegal dan palsu hanya bisa ditekan dengan pengawasan ketat jalur distribusi obat. Karena itu, pemerintah harus memulihkan dan menegakkan aturan pengawasan, mengakreditasi sarana kefarmasian dan fasilitas kesehatan, serta melibatkan apoteker dalam semua rantai pengawasan distribusi obat.

Monday 8 August 2016

Risiko Membeli Obat dari Media Online

  1. Obat yang dijual kemungkinan adalah obat ilegal atau palsu, karena:
    1. Pihak yang menjual obat tidak diketahui secara pasti alamat atau tempatnya (bukan seperti sarana resmi, dimana identitas sarana tercantum dengan jelas pada Izin Sarana)
    2. Obat berasal dari sumber yang tidak jelas, sehingga keamanannya tidak diketahui secara pasti.
    3. Tidak ada jaminan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
  2. Pasien tidak memperoleh informasi lengkap tentang obat antara lain mencakup cara pakai, dosis obat, termasuk efek samping yang mungkin timbul, sehingga:
    1. Obat dapat dikonsumsi secara berlebihan
    2. Timbul efek samping yang tidak diwaspadai
    3. Bisa mengakibatkan keracunan/kematian
Cara Mengenali Obat yang Aman:
  1. Diproduksi oleh Industri Farmasi yang resmi (alamat sarana jelas)
  2. Mempunyai Nomor Izin Edar, Expired Date, Nomor Bets dan identitas produk lainnya.
  3. Digunakan sesuai aturan yang tercantum dalam kemasan obat atau sesuai petunjuk tenaga kesehatan.
  4. Diperoleh dari sarana resmi yaitu Apotek, Toko Obat Berizin, Rumah Sakit/Puskesmas, sehingga pasien dapat berkonsultasi jika terjadi efek yang tidak diinginkan.
Direktorat Pengawasan Distribusi
Produk Terapetik dan PKRT
Badan POM RI, 31 Maret 2016

Ancaman Kesehatan Sedekat Ujung Jari

Teknologi gawai pintar nian memudahkan aktivitas manusia. Dengan sentuhan jari saja, kita bisa membeli barang yang kita inginkan. Namun, dalam membeli produk farmasi, kemudahan pembelian secara daring tanpa pemahaman risikonya justru bisa menjadi ancaman bagi kesehatan diri sendiri.
darknet-drugs-822x500.jpg
(https://www.darknet.news)
"Nanya dijawab, malah enggak percaya. Itu sudah teruji sesuai petunjuk pemakaian," ujar seseorang dengan nama akun Ferry Mustagfirin, dalam percakapan via layanan Blackberry Messenger (BBM), Sabtu (6/8) lalu. Ia menjawab pertanyaan Kompas seputar obat bermerek Cialis yang dijualnya secara daring, termasuk ada atau tidaknya efek samping obat.
Cialis merupakan obat keras berisi zat aktif tadalafil, yang dipakai untuk terapi pria dengan disfungsi ereksi. Para penjual dengan izin tak jelas mempromosikannya sebagai obat kuat bagi pria. "Artis banyak lho yang beli, ha-ha-ha..... Tapi (nama-nama artis itu) rahasia," kata Ferry, berupaya meyakinkan.
Ferry merekomendasikan Cialis dengan kandungan 80 miligram (mg) tadalafil per tablet, yang diklaim lebih ampuh dibandingkan Cialis 20 mg dan 50 mg. Ia menjualnya dengan harga Rp 250.000 sebotol, berisi 10 tablet. Cara mendapatkannya, pembeli mentransfer uang ke rekening bank milik Ferry dan obat akan dikirimkan melalui jasa pengiriman.
Nomor identifikasi pribadi (PIN) BBM Ferry tertera pada laman daring dengan alamat www.juraganobatkuat.net. Situs itu satu dari sejumlah situs penjualan obat yang beroperasi.
Padahal, laman itu menjadi bagian dari 129 laman yang tiga tahun lalu, lewat Operasi Pangea VI tahun 2013, diidentifikasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), memuat produk tanpa izin edar. BPOM merekomendasikan laman itu untuk ditutup Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak 2013.
Hal itu berarti, Ferry tergolong pedagang obat ilegal. Namun, tingginya permintaan membuat bisnis Ferry dan para pedagang obat "bawah tanah" lain terus berjalan lancar.
Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik, Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid mengungkapkan, BPOM hanya bisa merekomendasikan penutupan laman penjualan obat daring kepada Kementerian Kominfo.
Modus operandi
Melalui transaksi Cialis dengan Ferry, modus operandinya pun diketahui. Pengiriman produk memakai jasa perusahaan pengiriman barang jika jarak pembeli jauh. Jika di sekitar Jakarta, Ferry mengirim produk dengan jasa ojek berbasis aplikasi yang sampai dalam satu jam. Untuk menyamarkan, ia memberikan informasi bahwa kiriman berupa makanan, bukan obat. "Memang SOP (prosedur operasional standar)-nya begitu, menjaga klien," ujarnya.
Setelah Cialis 80 mg yang dipesan tiba, ilegalitas bisnis Ferry terbukti. Produk itu tak punya nomor izin edar dari BPOM. Di dalam kemasan, ada brosur berbahasa Inggris berisi penjelasan bagi Cialis 20 mg, bukan 80 mg.
Sekretaris Jenderal Ikatan Apoteker Indonesia Noffendri menjelaskan, produk tanpa izin edar berarti mutu, manfaat, dan keamanannya tak terjamin sehingga berpotensi merugikan kesehatan konsumen. "Organ yang terdampak ialah terkait kerja pemrosesan, yakni hati dan ginjal. Evaluasi oleh BPOM memperhitungkan dosis aman untuk hati dan ginjal," ujarnya saat dihubungi Minggu (7/8).
Pharmaceutical Security Institute (PSI) melaporkan, 3.002 kejadian obat palsu melibatkan 1.095 produk farmasi berbeda selama 2015. Pemalsuan terbanyak pada obat terkait masalah seksual, anti-infeksi, dan terapi sistem saraf pusat. Pertumbuhan di 2015 dibandingkan 2014 untuk jumlah obat palsu masalah seksual pun tertinggi, 65 persen, mengalahkan pemalsuan obat kulit yang naik 57 persen.
Di dunia, BPOM ikut dengan Interpol dalam Operasi Pangea sejak 2011 (Pangea IV) untuk menyasar laman penjualan obat daring. Hasilnya, BPOM mengidentifikasi 1.051 situs menjual obat tanpa izin edar, kurun 2011-2016. Namun, peredaran obat ilegal secara daring seperti dilakukan Ferry tak terbendung. Satu laman ditutup, tumbuh seribu laman lain.
Bukan jaminan
Ancaman kesehatan terkait pembelian obat secara daring tak hanya datang dari obat tanpa izin edar, tetapi juga dari yang memiliki nomor registrasi. Apalagi, jika lokasi apotek fisiknya tak diketahui. Kompas pada Jumat (5/8) mencoba membeli obat tekanan darah tinggi, Norvask, lewat sebuah perusahaan jasa penjualan daring.
MJ Pharmacy, salah satu penjual mitra perusahaan itu, menawarkan obat keras Norvask tablet 10 mg dengan harga Rp 100.000 per blister. Transaksi pun dilakukan, dan Norvask sampai di tangan setelah dikirim lewat jasa ojek berbasis aplikasi. Setelah dicek di situs cekbpom.pom.go.id, produk Norvask itu terdaftar.
Masalahnya, Norvask adalah obat keras yang penggunaannya harus dengan resep dokter. MJ Pharmacy tak mencantumkan informasi lokasi apotek fisiknya dan kontak yang bisa dihubungi. Prinsip ketertelusuran apotek tak terpenuhi. "Tidak ada yang bisa dimintai pertanggungjawaban jika tidak bisa ditelusuri seperti itu," kata Noffendri.
Catur Nugroho, karyawan sebuah bank, misalnya, membeli produk suplemen secara daring dari situs resmi milik perusahaan suplemen. "Membeli secaraonline tidak ribet. Tinggal bayar, kirim," katanya.
Di Amerika Serikat, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) meminta konsumen yang membeli obat secara daring untuk mencari laman berlogo Verified Internet Pharmacy Practice Sites (VIPPS), yang menandakan laman itu milik apotek atau toko obat dengan produk yang lolos pengecekan FDA. Namun, FDA tak menjamin keamanan dan khasiat obat yang dibeli lewat daring.
Pembelian lewat daring memudahkan warga. Namun, risikonya harus dipahami konsumen saat membeli produk farmasi secara daring. (JOG/ADH)
Kompas, Selasa, 9 Agustus 2016

Kesehatan Bangsa Tak Terlindungi

Bisnis Obat Menggiurkan, tapi Lemah Pengawasan
JAKARTA, KOMPAS - Tidak terkendalinya peredaran obat di Indonesia membuka peluang masuknya obat palsu, kedaluwarsa, dan obat yang diproduksi tak benar di masyarakat. Akibatnya, kesehatan bangsa tergadaikan dan kelanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional terancam. Namun, koordinasi dan penegakan aturan yang ada sangat lemah.
Obat adalah komoditas khusus sehingga pengaturannya tak bisa disamakan dengan barang konsumsi lain. Dengan pengaturan produksi dan distribusi yang ketat, masuknya obat ilegal, termasuk di dalamnya obat palsu, di masyarakat bisa dicegah.
”Obat ilegal berpotensi tidak aman, juga palsu, karena tak ada penilaian obyektif dan ilmiah dari ahli atau lembaga kompeten. Kemanjuran dan keamanannya pun tak terjamin,” kata Guru Besar Ilmu Farmakologi dan Farmasi Klinis Universitas Gadjah Mada Zullies Ikawati yang dihubungi dari Jakarta, Senin (8/8).
Obat ilegal adalah obat yang tak terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), termasuk obat palsu. Adapun obat palsu ialah obat yang diproduksi atau dikemas orang atau badan usaha yang tak berhak.
Dampak obat ilegal bagi kesehatan beragam. Itu tergantung kandungan, komposisi dan kondisi obat, serta penyakit yang diderita konsumen.
Bagi pasien yang perlu pengobatan segera atau penderita penyakit kronis, seperti penyakit jantung, mengonsumsi obat palsu yang tak ada zat aktifnya, misal berisi tepung saja, sama dengan tak minum obat. Itu bisa membuat penyakit yang diderita kian parah, menimbulkan komplikasi, hingga memicu kematian.
”Pasien rugi karena membeli obat yang tak berkhasiat dan justru menambah keparahan penyakit hingga meningkatkan biaya perawatan,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Ikatan Apoteker Indonesia Noffendri menambahkan, apa pun jenis obatnya, ilegal atau palsu, konsumen yang mendapat obat tak sesuai kebutuhan dan ketentuan mengalami gangguan fungsi hati dan ginjal. Dua organ itu berfungsi mengolah obat di tubuh.
Hati akan mengubah zat yang bersifat racun agar menjadi tak beracun bagi tubuh. Jika hati rusak, sifat racun zat itu tak bisa dinetralkan. Sementara ginjal bekerja layaknya penyaring. Jika kerja ginjal terganggu dan menyebabkan gagal berfungsi, kotoran tak akan tersaring dan menyebar ke sirkulasi darah hingga butuh cuci darah secara rutin.
”Jika kesemrawutan distribusi obat dibiarkan, beban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang mengelola Jaminan Kesehatan Nasional akan bengkak,” ujarnya.
Berbagai kondisi itu membuat derajat kesehatan warga yang diinginkan pemerintah sulit tercapai. ”Bahkan, derajat kesehatan masyarakat bisa turun karena terpapar obat ilegal dan palsu terus-menerus,” kata Zullies.
Bisnis menggiurkan
Maraknya peredaran obat ilegal dan palsu tak lepas dari besarnya pangsa pasar industri farmasi di dunia, termasuk Indonesia. Di negara-negara maju, peluang beredarnya obat ilegal dan palsu ditekan dengan menjaga alur produksi dan distribusi.
content
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia menyebut pasar produk farmasi Indonesia pada 2016 Rp 69,07 triliun dan akan jadi Rp 102,05 triliun pada 2020. Namun, tak ada data pasti nilai obat ilegal atau obat palsu di Indonesia.
”BPOM memperkirakan peredaran obat palsu 1-2 persen dari total obat yang beredar,” kata Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik, Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid.
Namun, riset Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan peredaran obat palsu di negara-negara berkembang 10-20 persen. Sementara di negara-negara maju sekitar 1 persen yang umumnya masuk melalui penjualan daring dan 40-50 persen di negara-negara Afrika.
”Semakin lemah pengawasan peredaran obat di suatu negara, makin tinggi potensi peredaran obat palsu,” kata Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturer Group Parulian Simanjuntak. Karena itu, potensi peredaran obat ilegal dan palsu di Indonesia jauh lebih besar dari yang diperkirakan BPOM.
Dari nilai ekonomi pemalsuan obat, Center for Medicine in the Public Interest di Amerika Serikat memperkirakan penjualan obat palsu di seluruh dunia mencapai 75 miliar dollar AS pada 2010 atau Rp 975 triliun dengan kurs Rp 13.000 per dollar AS. Pada 2014, jumlahnya diperkirakan naik hingga 200 miliar dollar AS atau Rp 2.600 triliun.
Di Indonesia, tak ada data pasti jumlah obat yang dipalsukan. Namun, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia dalam Dampak Pemalsuan Ekonomi di Indonesia 2014 menyebut nilai pemalsuan obat dan kosmetik di Indonesia tahun itu Rp 442 miliar. Kerugiannya terhadap produk domestik bruto Rp 6,4 triliun.
Lemah penindakan
Meski kerugian kesehatan dan ekonomi akibat obat ilegal dan palsu amat besar, upaya penindakannya sangat lemah. Dinas kesehatan di daerah yang mendapat kewenangan dari Kementerian Kesehatan untuk memberikan izin dan mengawasi sarana kefarmasian banyak yang tak menjalankan pengawasan karena tak memiliki sumber daya.
Lemahnya pengawasan itu membuat banyak warung, pedagang kaki lima, minimarket, toko obat, dan apotek yang tak berizin bisa memperjualbelikan obat. Itu membuka peluang masuknya tenaga pemasaran obat lepas yang tak berafiliasi dengan pedagang besar farmasi tertentu untuk memasarkan obat ilegal dan palsu ke sarana farmasi.
Sementara itu, pengawasan BPOM tak membuahkan hasil maksimal karena ringannya vonis pengadilan pada pelaku pengedar obat ilegal dan palsu. Akibatnya, tak ada efek jera dari penegakan hukum.
”Pelaku kejahatan farmasi yang ditangkap pun umumnya bukan aktor atau produsen utama,” kata Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan BPOM Hendri Siswadi.
Data BPOM menyebut vonis tertinggi pengadilan pada mereka hanya pidana penjara 2 bulan dan denda Rp 4 juta. Padahal, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebut ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda terbanyak Rp 1,5 miliar bagi pengedar obat ilegal dan palsu. (JOG/ADH/MZW)
Kompas, Selasa, 9 Agustus 2016

Sunday 7 August 2016

Peredaran Obat Tak Terkendali

Lebih dari 80 Persen Sarana Kefarmasian Menyalahi Aturan
JAKARTA, KOMPAS — Terkuaknya peredaran vaksin palsu sejatinya merupakan bagian dari masalah lebih besar, yakni tak terkendalinya distribusi obat. Banyak obat, termasuk obat keras, diperjualbelikan bebas oleh orang ataupun badan usaha yang tak berhak atau menyalahi aturan. Meski berlangsung puluhan tahun, upaya serius pemerintah menegakkan aturan distribusi obat belum nyata.
Deretan toko yang menjual obat dan alat-alat kesehatan di Pasar Pramuka, Jakarta, Minggu (7/8).
Deretan toko yang menjual obat dan alat-alat kesehatan di Pasar Pramuka, Jakarta, Minggu (7/8). (Kompas/Heru Sri Kumoro)
Penelusuran Kompas hingga Minggu (7/8) di sejumlah pasar, warung, minimarket, pedagang kaki lima, toko obat, toko daring, dan apotek di Jakarta, Bogor, dan Tangerang Selatan menunjukkan mudahnya memperoleh obat. Kemudahan itu membuka peluang besar peredaran obat palsu, obat kedaluwarsa, obat tanpa izin edar, hingga obat-obatan yang mengandung bahan berbahaya.
Salah satu jenis obat yang mudah diperoleh ialah penggugur kandungan. Obat itu dijual pedagang minuman di Pasar Pramuka, Jakarta Timur. Meski dijual agak tersembunyi, banyak pedagang makanan dan minuman menawarkan jasa untuk mendapatkan obat itu.
“Sebetulnya, ini obat lambung, tetapi jika diminum sampai dua pil langsung, bisa menggugurkan kandungan,” kata Deden, penjual obat. Obat produksi pabrik ternama itu sebenarnya terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), tetapi penjualannya harus dengan resep dokter dan penggunaannya diawasi.
Berbagai jenis obat bebas pun mudah didapat. Meski obat bebas, sesuai aturan, badan usaha yang boleh menjualnya adalah toko obat atau apotek. Nyatanya, banyak warung dan minimarket bebas menjualnya meski tanpa izin dari dinas kesehatan.
“Saya mendapat obat ini dari agen penjual rokok,” kata Yanti, pemilik warung kelontong di Jalan Siliwangi, Pamulang, Tangerang Selatan. Beberapa bungkus obat yang dijual berdebu dan lapisan aluminium sobek.
Salah satu obat yang dijual Yanti memiliki masa kedaluwarsa Juni 2015. Pola penjualan obat per biji atau satuan, bukan per strip atau blister, membuat tanggal kedaluwarsa obat tak terdeteksi. Penjualan obat per satuan itu tak diperbolehkan, tetapi banyak dijumpai di masyarakat.
Di tempat lain, obat dijual dalam bungkusan plastik tanpa merek yang dikenal dengan sebutan “setelan”. Setiap bungkusan setelan berisi beberapa pil, tablet, atau kapsul, yang umumnya untuk mengobati penyakit tertentu, seperti rematik dan asam urat.
Meski penjualan setelan itu juga dilarang, obat model itu mudah ditemukan di warung, pedagang kaki lima, dan toko obat di Cariu, Kabupaten Bogor. Obat itu juga dijual pedagang obat keliling di Jatinegara, Jakarta Timur, dan depan Gelanggang Remaja, Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Meski tidak mengetahui jenis obat yang diminum dan keasliannya tak terjamin, banyak warga meminatinya. Harganya pun amat murah, Rp 5.000-Rp 10.000 per bungkus. “Obatnya manjur. Cukup dua kali minum, sakit di kaki hilang,” kata Tisna (70) yang biasa mengonsumsi setelan.
Di sarana farmasi pun dijumpai pelanggaran aturan penjualan obat. Obat dengan resep dokter, yang seharusnya hanya bisa dibeli di apotek, nyatanya dapat dibeli bebas di toko obat, toko daring, dan apotek meski tanpa resep dokter. Padahal, keterangan di kemasan obat menyebut harus dengan resep dokter.
372a276f340d46b6acb441e85c63513d.gif
content
Selain itu, banyak klinik dokter bisa memberi obat meski mereka tak punya sarana kefarmasian. Itu membuat konsumsi obat resep selama pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional tak meningkat signifikan. Padahal, tingginya kunjungan peserta JKN ke fasilitas kesehatan seharusnya menaikkan penjualan obat resep.
Regulasi ketat
Pola penjualan dan distribusi obat yang serampangan serta perilaku masyarakat yang mau mudah mendapat obat dan sembuh dengan cepat membuat maraknya peredaran obat yang menyalahi aturan. Itu membuka peluang masuknya obat palsu, obat dengan zat aktif tak sesuai, dan mengancam nyawa konsumen.
Obat sejatinya diatur amat ketat, mulai dari produksi, distribusi, sampai pemberian ke konsumen. Sebab, obat ialah bahan kimia yang punya reaksi farmakologi, bisa menguntungkan atau merugikan. Karena itu, peredaran obat diatur ketat di tiap aspek untuk menghindari peluang masuknya obat ilegal yang membahayakan. “Apoteker saja tak bisa membedakan obat asli atau palsu,” kata Sekjen Ikatan Apoteker Indonesia Noffendri.
Berbagai masalah yang muncul di lapangan menunjukkan buruknya manajemen kefarmasian di Indonesia. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid mengakui, terlalu banyak masalah dalam distribusi kefarmasian di Indonesia saat ini. “Pengawasan oleh sejumlah pihak terputus-putus, tak berada dalam satu komando,” katanya.
Pengawasan BPOM terbatas pada produknya dan pengawasan di sarana kefarmasian oleh Kementerian Kesehatan lewat dinas kesehatan di daerah. Dinas kesehatan umumnya tak punya sumber daya pengawasan.
Data BPOM tahun 2014 menyebut, 84,16 persen dari 8.510 sarana kefarmasian seperti apotek, toko obat, instalasi farmasi rumah sakit, klinik atau balai pengobatan, dan puskesmas melanggar ketentuan distribusi obat. Pada 2015, jumlahnya turun jadi 81,89 persen dari 7.516 sarana.
Pelanggaran yang dilakukan sarana kefarmasian itu antara lain tak memiliki izin, tak punya tenaga kefarmasian, dan penyimpanan obat tidak baik. Ada pula yang menjual obat tanpa izin edar, tidak memusnahkan obat kedaluwarsa, atau menjual obat keras tanpa resep dokter.
Lemahnya pengawasan itu menjadi ironi mengingat Indonesia memiliki sangat banyak aturan kefarmasian. Bahkan, menurut Noffendri, banyak negara mengagumi kelengkapan aturan kefarmasian di Indonesia. Kondisi itu membuat penjualan obat di sarana farmasi resmi banyak masalah. “Regulasi lengkap, tinggal implementasinya,” ujarnya.
(UTI/MDN/JOG/ADH/MZW)
Kompas, Senin, 8 Agustus 2016