Tuesday 29 April 2014

Kutipan: Bung Hatta

Perang Padri berawal dari pertentangan kaum adat dan kaum agama. Guru-guru agama yang baru kembali dari Mekkah, yang di sana terpengaruh dengan sikap keras dan murni kaum Wahabi, mau membersihkan agama Islam di Minangkabau dari berbagai perbuatan yang diadatkan seperti mengadu ayam, makan sirih, dan mengisap cerutu. Beberapa bagian dari hukum adat dianggap mereka bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Mereka lupa bahwa hukum yang setinggi-tingginya dalam Islam ialah damai. Damai membawa kesejahteraan kepada segala golongan dan memperbesar rasa bakti kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Di atas dasar damai itu Nabi Muhammad SAW membiarkan berlaku hukum kebiasaan di Tanah Arab yang menjamin keselamatan umum. Tetapi, menurut kebiasaan, pengikut-pengikut baru dalam Islam yang belum memahami ajaran Islam seluruhnya untuk dunia dan akhirat lebih fanatik dibandingkan dengan Rasul dan pengikut-pengikut yang pertama.
(Mohammad Hatta)
Diambil dari: Hatta M (2011) Untuk Negeriku: Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Sunday 20 April 2014

Kombinasi Amoxicillin dan Acyclovir untuk Influenza?

Saya menjumpai resep seorang dokter spesialis anak untuk pengobatan flu. Di situ tertulis kombinasi antibakteri, amoxicillin, dan antiviral, acyclovir. Kombinasi ini tentu sangat mengejutkan karena tidak berdasar sama sekali.
Komponen aktif pertama, amoxicillin adalah antibakteri yang tidak perlu diberikan jika benar-benar tidak ada indikasi infeksi bakteri. Flu yang ditandai dengan ingus berlebih pada anak, terutama jika masih berwarna jernih, adalah infeksi virus, bukan bakteri. Jadi pemberian amoxicillin pada pasien flu tidak ada fungsinya sama sekali.
Komponen aktif kedua, acyclovir adalah antiviral yang bekerja sebagai inhibitor spesifik polimerase DNA virus, khususnya herpesvirus (Gnann et al, 1983). Jadi acyclovir efektif pada kelompok virus DNA. Sebelum lebih jauh, salah satu klasifikasi virus adalah berdasarkan komposisi kimia dan moda replikasinya. Genom virus dapat terdiri dari DNA atau RNA, baik untai tunggal (single stranded - ss) atau untai ganda (double stranded - ds).
Memorandum WHO (1980) mengelompokkan virus influenza sebagai virus RNA. Jadi jelas di sini bahwa virus influenza memiliki genom dan moda replikasi yang tidak sesuai dengan mekanisme kerja acyclovir.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kombinasi obat dalam resep dokter spesialis anak tersebut tidak rasional.
Referensi
Gnann JW Jr, Barton NH, Whitley RJ (1983) Acyclovir: mechanism of action, pharmacokinetics, safety and clinical application. Pharmacother. 3(5): 275-283
WHO Memorandum (1980) A revision of the system of nomenclature for influenza viruses: a WHO memorandum. Bull. World Health Organ. 58(4): 585-591 (full text)

Sunday 13 April 2014

Rumah Kantong Semar

CIANJUR, KOMPAS – Kebun Raya Cibodas di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, membangun rumah kantong semar. Pembangunan pusat riset dan konservasi tanaman karnivora ini diharapkan bisa melestarikan dan mengembangkan manfaat kantong semar (Nepenthes).

Solusi Menyeluruh

Oleh IWAN PRANOTO
Saat ini pesawat antarplanet Mangalyaan sedang dalam penerbangan ke Mars. Jika sesuai rencana, pada 24 September 2014 pesawat ini akan sampai di sana.
Ekspedisi ini membuat satu torehan penting dalam sejarah sains dan rekayasa Asia. India akan jadi negara Asia pertama yang mencapai Mars dan jadi negara ke-4 di dunia yang melakukannya. Para peneliti dari Indian Space Research Organization ini ingin tahu apa yang salah pada planet Mars sehingga tak mampu mendukung kehidupan.
1903246India-kirim-misi-ke-Mars780x390.jpg
Sejumlah warga India menyaksikan saat-saat roket misi menuju Mars diluncurkan, Selasa (5/11/2013), di sebuah toko peralatan elektronik. India berambisi menjadi satu-satunya negara Asia yang bisa mengirimkan wahana angkasa ke Mars. (AFP/Sajjad Hussain)
Solusi menyeluruh
Peluncuran pesawat tadi tentu hebat. Namun, justru sikap gigih dalam mencari solusi secara menyeluruh sekaligus tak terganggu kondisi serba kekurangan itulah yang benar-benar dahsyat. Kendala keterbatasan dana malah melahirkan frugal innovation atau inovasi hemat. Sikap kesungguhan mencari solusi menyeluruh itulah yang perlu dipelajari dan berimbas ke kita.
Biaya ekspedisi ke Mars ini hanya tiga perempat biaya pembuatan film Hollywood bertema eksplorasi angkasa, yakni Gravity, yang menghabiskan dana sekitar 100 juta dollar AS. Sebagai perbandingan, ekspedisi NASA untuk ke Mars menghabiskan lebih dari 600 juta dollas AS. Oleh karena itu,  New York Times justru menyoroti ekspedisi ini sebagai sebuah inovasi strategi bisnis yang cemerlang.
Kisah sukses di atas langsung mengingatkan kembali penulis pada buku The Fortune at the Bottom of the Pyramid karya CK Prahalad, seorang guru besar strategi dan bisnis internasional di University of Michigan Business School, AS. Dalam buku itu diungkapkan bagaimana strategi pembangunan dan juga kebijakan sangat mungkin bertolak pada dasar pyramid ekonomi, yakni masyarakat yang berpenghasilan paling rendah yang biasanya paling banyak. Lebih dari itu, sebenarnya buku ini menyampaikan pemahaman mendalam bahwa solusi dari permasalahan apa pun harus menyeluruh dan tak boleh mengabaikan kendala dalam proses membuat solusinya.
Sebagai ilustrasi, sebuat pabrik kaki palsu Jaipur Foot di India diminta mendesain kaki palsu bagi masyarakat bawah, dasar piramida. Dalam mereka-cipta kaki palsu ini, para pendesain dituntut memperhitungkan kendala yang ada. Pertama, pengguna adalah kalangan masyarakat tak mampu. Kedua, proses pembuatannya harus menggunakan bahan lokal. Ketiga, pengguna kaki palsu ini kebanyakan petani yang harus berjalan jauh di jalanan buruk. Keempat, pengguna kaki palsu dalam ritualnya perlu dapat menyilangkan kakinya. Kelima, para pegawai pabrik yang ada punya keterbatasan keterampilan.
Akhirnya, pabrik ini berhasil merancang kaki palsu yang memenuhi lima persyaratan tadi. Jika di AS harga kaki palsu itu sekitar Rp 80 juta, pabrik ini berhasil memproduksinya dengan harga Rp 300.000 saja dan cocok serta awet dipakai di jalanan pedesaan.
Dari ilustrasi tadi, tampak bahwa proses pembuatan solusi dalam bentuk strategi bahkan desain harus terus-menerus memperhitungkan kendala dalam tiap tahapannya. Jika saja pabrik kaki palsu itu menjiplak desain kaki palsu dari AS yang mahal tadi, baru kemudian dimodifikasi untuk diproduksi di pabrik sederhana tersebut, kemungkinan besar akan gagal diproduksi atau tak laku dijual serta merugi. Tetapi, dengan selalu memasukkan unsur kendala dalam proses pembuatan desain dan strategi, solusi akhir menjadi menyeluruh, tak terhambat kendala lagi.
Teori optimasi juga menyampaikan pesan mirip: kendala harus selalu dilibatkan dalam proses penemuan solusi optimum. Kendala dipadukan ke dalam besaran obyektif yang hendak dioptimumkan sejak awal.
Kebijakan pendidikan
Bagaimana jika cara pandang yang sama diterapkan pada pembuatan kebijakan pendidikan? Telah diketahui pendidikan dasar dan menengah di Indonesia punya kendala fasilitas sekolah dan guru bermutu yang belum tersebar dan tersedia secara mencukupi.
Lalu, apakah kebijakan pendidikan seperti kurikulum terdahulu sampai Kurikulum 2013, misalnya, suda memperhitungkan kendala pendidikan kita tadi? Apakah desain pembelajaran yang direka-cipta sudah memungkinkan pelajar di daerah terpencil tetap belajar secara bermakna walau guru bermutu tidak tersedia di sekolahnya? Atau apakah pelajar di pedalaman tetap bisa belajar sains secara baik, meski fasilitas laboratorium di sekolahnya tak ada? Apa inovasi hemat Indonesia dalam strategi kebijakan pendidikan untuk keadaan di Tanah Air ini?
Kebijakan pendidikan harus direka-cipta dengan senantiasa memperhitungkan kendala yang ada. Kendala pendidikan tak boleh diabaikan. Cara menjiplak model pendidikan Finlandia, Singapura, Korea Selatan, dan AS jelas meragukan. Metode pendidikan mereka tidak serta-merta cocok karena kendalanya berbeda. Indonesia harus menemukan solusinya sendiri.
Kecuali kurangnya guru bermutu serta penyebarannya yang terbatas dan fasilitas sekolah yang jauh dari memadai, infrastruktur di beberapa daerah sangat mirip. Siswa di pedalaman ada yang harus berjalan kaki menembus hutan untuk bersekolah karena di desanya belum ada sekolah. Banyak siswa di pulau terpencil yang hanya punya satu guru. Buku dan listrik pun belum tentu tersedia. Bagaimana model pembelajaran yang memperhitungkan kendala ini?
Kendala-kendala di atas adalah fakta dunia pendidikan Indonesia, bahkan sampai hari ini. Mencari dan menunjukkan siapa penyebabnya tak guna. Lebih penting segera mereka-cipta solusi kebijakan pendidikan nasional yang membangun kasmaran belajar setiap siswa serta sudah memperhitungkan kendala-kendala tadi sebagai faktor utama dalam solusinya.
Sebaliknya, perlu dihentikan berbagai kebijakan boros serta yang justru tetap dihambat berbagai kendala. Misalnya, penciptaan model pembelajaran atau kurikulum yang mensyaratkan gurunya harus sudah kompeten tentu kecil manfaatnya. Ketersediaan guru kompeten di pelosok-pelosok jelas sulit atau mustahil dipenuhi dalam waktu dekat. Lalu, apakah anak-anak bangsa ini harus menunggu gurunya kompeten dahulu sebelum mereka dapat merasakan pendidikan bermutu?
Ini tantangan bagi Balitbang Kemdikbud ke depan untuk mereka-cipta model pembelajaran yang memang sungguh-sungguh memperhitungkan kendala yang ada. Untungnya, saat ini teknologi informasi tersedia murah dan dapat dimanfaatkan dalam mereka-cipta solusi pendidikan yang utuh menyeluruh.
Iwan Pranoto
Guru Besar ITB
Kompas, Sabtu, 12 April 2014

Dalam Cengkeraman Ilmu Dasar

Oleh RHENALD KASALI
Setiap bangsa punya pilihan: melahirkan atlet bermedali emas atau perenang yang tak pernah menyentuh air; melahirkan sarjana yang tahu ke mana langkah dibawa atau sekadar membawa ijazah.
Tak termungkiri, negeri ini butuh lebih banyak orang yang bisa membuat ketimbang pandai berdebat, bertindak dalam karya ketimbang hanya protes. Tak banyak yang menyadari universitas hebat bukan hanya diukur dari jumlah publikasinya, melainkan juga dari jumlah paten dan impak pada komunitasnya.
Pendidikan kita masih berkutat di seputar kertas. Kita baru mahir memindahkan pengetahuan dari buku teks ke lembar demi lembar kertas: makalah, karya ilmiah, skripsi, atau tesis. Kita belum menanamnya dalam tindakan pada memori otot, myelin.
Seorang mahasiswa dapat nilai A dalam kelas pemasaran bukan karena dia bisa menerapkan ilmu itu ke dalam hidupnya, minimal memasarkan dirinya, atau memasarkan produk orang lain, melainkan karena ia sudah bisa menulis ulang isi buku ke lembar-lembar kertas ujian.
Pendidikan tinggi sebenarnya bisa dibagi dalam dua kelompok besar: dasar dan terapan. Pendidikan dasar itulah yang kita kenal sejak di SD: matematika, kimia, biologi, fisika, ekonomi, sosiologi, dan psikologi. Terapannya bisa berkembang menjadi ilmu kedokteran, teknik sipil, ilmu komputer, manajemen, desain, perhotelan, dan seterusnya.
Kedua ilmu itu sangat dibutuhkan bangsa memajukan peradaban. Namun, investasi untuk membangun ilmu dasar amat besar, membutuhkan tradisi riset dan sumber daya manusia bermutu tinggi. Siapa menguasai ilmu dasar ibaratnya mampu menguasai dunia dengan universitas yang menarik ilmuwan terbaik lintas bangsa. Negara-negara yang berambisi menguasainya punya kebijakan imigrasi yang khas dan didukung pusat keuangan dan inovasi progresif.
Dengan bekal ilmu dasar yang kuat, bangsa besar membentuk ilmu terapan. Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris adalah negara yang dibangun dengan keduanya. Namun, sebagian negara di Eropa dan Asia memilih jalan lebih realistis: fokus pada studi ilmu terapan. Swiss fokus dengan ilmu terapan dalam bidang manajemen perhotelan, kuliner, dan arloji. Thailand dengan ilmu terapan pariwisata dan pertanian. Jepang dengan elektronika. Singapura dalam industri jasa keuangannya.
Tentu terjadi pergulatan besar agar ilmu terapan dapat benar-benar diterapkan. Pada mulanya ilmu terapan dikembangkan di perguruan tinggi untuk mendapat dana riset dan menjembatani teori dengan praktik. Akan tetapi, mindset para ilmuwan tetaplah ilmu dasar yang penekanannya ada pada metodologi dan statistik untuk mencari kebenaran ilmiah yang buntutnya ialah publikasi ilmiah.
Melalui pergulatan besar, program studi terapan berhasil keluar dari perangkap ilmu dasar. Ilmu Komputer keluar dari Fakultas Matematika dan Manajemen menjadi Sekolah Bisnis. Dari lulusan dengan ”keterampilan kertas”, mereka masuk pada karya akhir berupa aplikasi, portofolio, mock up, desain, dan laporan pemecahan masalah.
Metodologi dipakai, tetapi validitas eksternal (impak dan aplikasi) diutamakan. Hanya pada program doktoral metodologi riset yang kuat diterapkan. Itu pun banyak ilmuwan terapan yang meminjam ilmu dasar atau ilmu terapan lain sehingga terbentuk program multidisiplin seperti arsitektur yang dijodohkan dengan antropologi atau arkeologi, akuntansi dengan ilmu keuangan.
Anak-anak kita
Kemerdekaan yang diraih program studi ilmu terapan di perguruan tinggi melahirkan revolusi pada tingkat pendidikan dasar. Bila mengunjungi pendidikan anak-anak usia dini, TK dan SD di mancanegara, Anda akan melihat kontras dengan di sini. Alih-alih baca-tulis-hitung dan menghafal, mereka mengajarkan executive functioning, yang melatih anak-anak mengelola proses kognisi (memori kerja, reasoning, kreativitas-adaptasi, pengambilan keputusan, dan perencanaan-eksekusi).
Sekarang jelas mengapa kita mengeluh sarjana tak siap pakai: pendidikan didominasi kultur ilmu dasar yang serba kertas dan mengabaikan aplikasi. Perhatikan, Indonesia masih menjadi negara yang mewajibkan lulusan sekolah bisnis (MM) menulis tesis yang pengujinya getol memeriksa validitas internal dan metodologi yang sempit. Kegetolan ini juga terjadi pada banyak penguji program studi perhotelan atau terapan lain yang merasa kurang ilmiah kalau tidak ada pengolahan data secara saintifik.
Saya ingin menegaskan: hal itu hanya terjadi pada negara yang ilmu terapannya masih terbelenggu mindset ilmu dasar. Keluhannya sama: tak siap pakai, kalah dalam persaingan global.
Pertanyaannya hanya satu, kita biarkan terus seperti ini atau dengan legawa kita mulai pembaruan agar para sarjana ilmu terapan mampu menerapkan ilmunya? Itu terpulang pada kesadaran kita, bukan kesombongan atau ego ilmiah.
Rhenald Kasali
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Kompas, Selasa, 18 Maret 2014

Caleg Gagal

Seperti yang sudah diduga, setelah pemilu calon legislatif akan banyak orang yang memerlukan penanganan medis akibat masalah psikologis. Berikut kutipan artikel Kompas (12/4) mengenai caleg depresi:
Praktik politik kotor dan sistem politik berbiaya mahal terbukti menjungkirbalikkan akal. Tujuh calon anggota legislative di Cirebon, Jawa Barat, bahkan perlu pergi ke paranormal untuk menenangkan diri dan menghindari rasa malu akibat kalah dalam pemilu. Ratusan juta uang mereka raib dalam perhelatan pesta demokrasi itu.
151498079p.jpg
(Kontan/Benny Rachmadi)
Rasa kecut dialami Witarsa Winata (33), kader Partai Demokrat yang menghabiskan Rp 250 juta untuk mengusung istrinya, Nur Asiyah Jamil (35), dalam Pemilu 2014. Istrinya maju sebagai caleg untuk DPRD Jawa Barat di daerah pemilihan Kota/Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu.
“Saya menghabiskan uang tabungan untuk mengusung istri maju dalam pemilu. Tidak tahunya mesin partai tidak berjalan dan partai kami perolehan suaranya hancur. Saya sudah habis Rp 250 juta untuk biaya pembuatan kartu nama, poster, dan pertemuan-pertemuan dengan tim sukses maupun konstituen. Uang sudah habis semuanya,” ujar Witarsa.
Jumat (11/4) siang itu, ia duduk-duduk di depan layar televisi di Pondok Al-Busthomi, memantau perkembangan terkini hitung cepat Pemilu 2014. Dua telepon seluler Witarsa terus bordering. Namun, matanya hanya melirik sejenak pada ponsel tersebut, lalu mendiamkan saja. “Ini kawan-kawan saya dari tim sukses. Sudahlah biar saja. Saya pusing,” katanya.
Baru Jumat ini Witarsa bangkit dari kamarnya di padepokan. Dua hari sebelumnya, warga Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, itu meraung-raung, memegangi jidatnya, karena pusing dan ketakutan memikirkan nasibnya. Uang Rp 250 juta yang dikeluarkan untuk biaya pencalonan istrinya itu sebagian adalah pinjaman dari keluarga dan kenalannya. Mengetahui hasil pemilu bagi istri dan partainya ternyata jeblok, Witara tak kuasa menahan tekanan batin.
Istri Witarsa, Nur Asiyah Jamil, diungsikan ke sebuah pondok di daerah Cilincing, Jakarta. Suami-istri itu sama-sama tertekan menyaksikan hasil hitung sementara Pemilu 2014.
Witarsa merasa dibodohi oleh sistem Pemilu 2014. Pertarungan antarcaleg sangat banal dan sadis. “Di dapil saya, uang Rp 250 juta itu kecil. Ada caleg yang mengeluarkan sampai Rp 750 juta untuk biaya pemilu. Bayangkan jika suara mereka ternyata juga hancur dan uang lenyap sia-sia,” tuturnya.
Ia kesal dengan praktik politik uang yang mengakibatkan konstituen cenderung “mata duitan” sehingga mau tidak mau caleg lain harus mengeluarkan duit bagi mereka. Modal pas-pasan memaksa caleg semacam istri Witarsa untuk pinjam sana-sini. Tabungannya dari usaha jual beli sepeda motor pun amblas.
Ia juga mengaku diperalat konstituen. “Saya kecewa dengan konstituen yang menerima uang. Sebab, setelah menerima uang, mereka belum tentu mencoblos caleg yang memberikan uang. Ya, mereka ini pinter-pinter sekarang,” ujarnya.
Sejumlah warga di Cirebon pun mengaku menerima uang suap dari caleg. “Saya mendapatkan Rp 60.000 dari satu caleg DPRD Kabupaten Cirebon dan satu calon anggota DPD. Anggota tim sukses mereka memberikan uang itu kemarin (Selasa),” ujar Raharjo (33), warga Desa Kalikoa, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cirebon.
Ia melanjutkan, “Uang boleh diterima, tetapi soal memilih di bilik suara ya dikembalikan kepada pilihan masing-masing.”
Ujang Busthomi, pemilik Pondok Al-Busthomi, menyebutkan setelah  pengumuman hasil pemilu, makin banyak caleg yang ingin ditenangkan pikirannya. Tahun 2009, ia merawat 67 caleg depresi. Pemilu tahun ini kemungkinan jumlah caleg yang depresi itu bertambah, terutama setelah melihat banyak partai besar yang suaranya anjlok.
Caleg-caleg yang stres dan meminta bantuan kepada Busthomi biasanya datang di malam hari. Mereka malu jika diketahui publik. Angan-angan untuk duduk di kursi empuk lenyap, tinggal malu dan kehilangan yang besar. Kalah segala-galanya.
Caleg yang ditanganinya umumnya mengeluhkan utang, kerja tim sukses yang tidak optimal, mesin partai yang tidak mendukung, sampai konstituen yang “pintar”.
“Ada caleg yang menyebar amplop sampai 1.500 buah, tetapi suaranya hanya 230. Ada yang menyebar 700 amplop, tetapi raihannya cuma 99 suara. Ada juga yang memberikan 450 amplop, tetapi suaranya hanya 24,” kata Busthomi.
Salut buat para konstituen yang tidak mau disuap. Rakyat tidak menolak jika diberi rejeki, tetapi tidak mau jika dipaksa memilih caleg tertentu dengan uang tersebut. Semoga hal ini bisa jadi pembelajaran buat para caleg di masa mendatang untuk tidak membudayakan suap. Bisa dibayangkan jika caleg-caleg yang doyan menyuap ini menjadi anggota legislatif. Bisa diramalkan saat menjadi anggota legislatif atau setelah masa tugasnya berakhir dia akan menjadi tahanan KPK karena kasus suap dan korupsi yang lebih besar.

Sunday 6 April 2014

Kampanye yang Mencerdaskan

Oleh Ikrar Nusa Bhakti

Jika rakyat pergi. Kita penguasa berpidato. Kita harus hati-hati. Barangkali mereka putus asa.
Kalau rakyat sembunyi. Dan berbisik-bisik. Ketika membicarakan masalahnya sendiri. Penguasa harus waspada dan belajar mendengar.
Dan bila rakyat tidak berani mengeluh. Itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah. Kebenaran pasti terancam.
Apabila usul-usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversi dan mengganggu keamanan. Maka hanya satu kata: LAWAN! (Solo: 1986)

Puisi karya Wiji Thukul berjudul “Peringatan” itu begitu memukau para pengunjung saat dibacakan oleh Sosiawan Leak, penyair asal Solo, pada pembukaan ASEAN Literary Festival di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 21 Maret 2014.

Wiji Thukul, penyair dan aktivis sosial, adalah satu dari belasan aktivis pro demokrasi yang diculik oleh oknum-oknum “Tim Mawar” dari satuan khusus militer pada 1997/1998. Meski akhirnya komandan satuan khusus itu diberhentikan dari ketentaraan lewat putusan Dewan Kehormatan Perwira, tetapi hingga kini nasib belasan aktivis pro demokrasi itu belum diketahui rimbanya. Inilah salah satu sejarah kelam rezim Orde Baru, selain pembunuhan, penghilangan paksa, dan pemenjaraan orang tanpa pengadilan.

Kini, Partai Golkar berkampanye bahwa era Soeharto adalah “Zaman Normal”: harga-harga murah, stabilitas politik terjaga, dan politik amat tenang tanpa kegaduhan. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) tak malu ataupun takut untuk mengutip slogan di berbagai kaus bergambar Soeharto: “Piye khabare? Luwih penak jamanku to?” (Bagaimana kabarnya, lebih enak zamanku, kan?). Kampanye politik semacam ini memang hak politik Partai Golkar walau sungguh menyesatkan dan tidak mencerdaskan bangsa karena tidak menggambarkan kondisi pada era Orde Baru secara utuh.

Padahal, pada awal reformasi, Golkar di bawah Akbar Tandjung berupaya menarik garis dengan Orde Baru melalui slogan “Golkar Baru” agar Golkar tetap eksis di era reformasi. Zaman memang sudah berubah sejak jatuhnya rezim Soeharto, 16 tahun lalu. Mereka yang dulu bagian dari rezim kini tak takut unjuk gigi karena saat ini memang masa akhir yang tersedia bagi mereka untuk meraih kejayaan kembali.


Kampanye hitam

Kampanye pada Pemilu 2014 juga penuh dengan kampanye hitam untuk menghancurkan nama baik orang dan/atau partai yang akan berkontestasi dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Salah seorang yang terkena kampanye hitam tersebut adalah ARB, bakal capres dari Partai Golkar. Entah dari mana asalnya, kini beredar video dan foto-foto ARB dan dua kakak beradik (artis) saat mereka berlibur ke Maladewa. Di negara seperti Inggris dan AS, persoalan yang masuk kategori privat bisa menjadi urusan publik. Namun, di Australia, jika penulis tidak salah, ada pemisahan antara kehidupan pribadi seseorang dan aktivitas politiknya.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga tak luput dari kampanye hitam yang menggambarkan foto mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, di depannya ada foto gadis berpakaian amat tak seronok dan di belakangnya ada foto sapi. Ini terkait dengan kasus korupsi sapi impor asal Australia yang sempat menggemparkan politik Indonesia pada 2013. Prabowo Subianto juga mendapatkan serangan hebat dari para pedagang asongan yang berjualan di Gelora Bung Karno (GBK) karena mereka, katanya, dijanjikan dibayar lunas makanan dan minumannya saat Partai Gerindra berkampanye di GBK pada 23 Maret 2014. Ternyata, kata para pedagang asongan, mereka hanya dibayar Rp. 100.000 dan rugi besar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga, katanya, mendapatkan kampanye hitam dari Anas Urbaningrum.

Bakal calon presiden dari PDI-P, Joko Widodo (Jokowi), adalah orang yang paling banyak mendapat serangan dari kampanye hitam yang berlangsung selama ini. Badannya yang kerempeng dan wajahnya yang ndeso (orang desa) menyebabkan  salah seorang tokoh PKS menyebutnya orang yang tidak memiliki tampang untuk menjadi presiden. Ada juga kampanye negatif yang menyebutkan Jokowi didukung oleh kelompok agama minoritas dan ras minoritas, suatu kampanye yang bukan saja tidak bermartabat, melainkan juga membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka lupa bahwa Indonesia merdeka, yang dibangun oleh para pendiri bangsa, bukan negara agama atau negara suku/ras, melainkan negara kebangsaan.

Satu hal yang menarik, jika semasa awal menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi ibarat media darling, sejak Jokowi dideklarasikan sebagai capres PDI-P pada 14 Maret 2014, tampaknya jadi media enemy dari jaringan media pers milik para tokoh politik yang juga akan maju sebagai capres atau cawapres atau yang partai barunya berupaya masuk parlemen. Bahkan, ada televisi yang mengampanyekan Jokowi sebagai public enemy (musuh publik) tanpa menjelaskan publik yang mana di Jakarta yang memusuhinya dan apakah yang mengatasnamakan publik itu benar-benar mewakili warga Jakarta.

Ada juga seorang ilmuwan politik yang menyebut Jokowi “kutu loncat” karena berpindah-pindah dari Wali Kota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan kini jadi capres dari PDI-P, tanpa menyelesaikan masa tugasnya. “Kutu loncat” dalam terminologi politik adalah politisi yang berpindah-pindah partai dan ideologi atau berpindah tempat dari oposisi ke pemerintah dan sebaliknya. Pengamat ini tak menjelaskan bahwa Ahmad Heryawan juga tidak menyelesaikan tugasnya sebagai pimpinan DPRD di DKI Jakarta ketika ia maju sebagai cagub Jawa Barat. Irwan Prayitno juga meninggalkan posisinya sebagai anggota DPR ketika ia maju pertama kali sebagai calon gubernur Sumatera Barat. Alex Noerdin juga hanya cuti dan tidak mundur dari jabatannya ketika maju sebagai cagub DKI Jakarta pada 2012 dari Golkar.

Ada juga pengamat yang mengibaratkan Jokowi belum menyelesaikan kuliah tetapi sudah akan mengambil titel kesarjanaan yang lebih tinggi. Pengamat ini lupa bahwa sistem di sekolah negeri atau swasta di Indonesia, seorang murid yang kepandaiannya istimewa bisa naik kelas tanpa harus menyelesaikan  sekolah sampai akhir tahun. Seorang mahasiswa program master by research di Australia bisa dinaikkan (upgrade) ke program doktor jika proposal penelitiannya sangat baik. Namun, juga bisa diturunkan (downgrade) dari program doktor ke master atau dari master ke diploma sarjana jika ia dianggap tak mampu menyelesaikan kuliahnya.


Kampanye bermartabat

Sudah 16 tahun kita menikmati era demokrasi dan 10 tahun memiliki presiden yang dipilih secara langsung. Pada masa ini seharusnya demokrasi Indonesia sudah naik kelas dari transisi demokrasi ke konsolidasi demokrasi atau bahkan ke kedewasaan demokrasi. Pada Pemilu 2014 ini pula seharusnya kampanye-kampanye politiknya benar-benar mencerdaskan kehidupan bangsa dan bermartabat.

Bentuk-bentuk kampanye negatif seharusnya sudah digantikan dengan kampanye yang adu program. Kita juga tak perlu menghina jika ada seorang yang berwajah desa dan tidak memiliki presidential look maju sebagai calon presiden. Demokrasi memberi kesempatan kepada siapa pun untuk menjadi capres atau terpilih sebagai Presiden RI. Itulah esensi yang hakiki dari demokrasi.

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
Kompas, Sabtu, 5 April 2014