Sunday 21 June 2015

Bahasa Kita di “The New York Times”

Oleh BAMBANG KASWANTI PURWO
Di pelbagai kesempatan, termasuk pada forum resmi, sekian kali disuarakan keinginan agar bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional atau –setidak-tidaknya – bahasa komunikasi di tingkat regional: ASEAN.
Sementara itu, The New York Times (25 Juli 2010) memaparkan tulisan Norimitsu Onishi, “As English Spreads, Indonesians Fear for Their Language”, yang menyingkapkan berita yang berarah balik itu. Telah lahir generasi baru anak Indonesia, yang dibesarkan di Jakarta, tetapi tak fasih berbahasa Indonesia karena tumbuh menjadi penutur berbahasa pertama bahasa Inggris.
Tulisan di The New York Times itu diawali dengan gambaran mengenai tiga anak Paulina Sugiarto yang tengah bermain bersama di sebuah mal di Jakarta. Mereka bercakap-cakap tidak di dalam bahasa nasional, Indonesia, melainkan di dalam bahasa Inggris. Kelancaran mereka berbahasa Inggris mencengangkan sejumlah orangtua lain yang kebetulan lewat dan mendengarnya. Orangtua ketiga anak itu, yang fasih berbahasa Indonesia, pernah belajar di Amerika Serikat dan Australia dan, ketika kembali di Indonesia, di rumah berkomunikasi di dalam bahasa Inggris dengan anak-anak, yang lahir di Indonesia. Anak-anak itu mereka kirim ke sekolah di Jakarta yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.
“Mereka tahu bahwa mereka adalah anak Indonesia,” kata sang ibu, Paulina Sugiarto (34), sebagaimana dikutip The New York Times. “Mereka cinta Indonesia. Hanya saja, mereka tak dapat berbahasa Indonesia.”

Menengah ke atas

Ini bukan potret mengenai satu keluarga itu saja. Juga dapat dijumpai di kalangan keluarga kaya kelas menengah ke atas, tak hanya di Jakarta, di kota besar lain. Salah satu penyulutnya adalah kesan umum betapa tidak berhasil pengajaran bahasa Inggris di sekolah menengah di Indonesia. Lalu sejumlah orangtua yang mampu beralih menyekolahkan anak mereka ke sekolah yang lebih berfokus pada bahasa Inggris. Langkah ini juga dipicu pandangan bahwa bahasa Inggris bertautan dengan status sosial yang lebih tinggi sehingga bahasa Indonesia terturunkan derajatnya menjadi berstatus kelas dua.
Apakah ini tanda mulai mengalirnya arus antiklimaks dari pencapaian yang telah gigih diperjuangkan para pejuang dan pendiri negara Indonesia? Akan mulai melunturkan semangat generasi muda 28 Oktober 1928, yang berhasil mengumandangkan sumpah menyatukan bangsa yang terdiri atas ratusan suku dengan lebih dari 700 bahasa ini? Akankah gelora yang membara pada generasi muda ketika itu untuk menyepakati dan menjunjung tinggi salah satu dialek bahasa Melayu yang dinamakan “bahasa Indonesia” sebagai bahasa pemersatu mulai meniris secara perlahan-lahan pada generasi muda masa kini?
Atau, apakah ini gara-gara pada 2006 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) mulai diberlakukan di Indonesia, dengan salah satu dasar hukumnya UU No 20/2003 (Sistem Pendidikan Nasional) Pasal 50 Ayat 3: “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”?
Yang jelas, oleh Mahkamah Konstitusi (MK), RSBI kemudian dibubarkan pada Januari 2013 setelah MK mengabulkan gugatan masyarakat terhadap keberadaan RSBI. Kemudian menyusul pengumuman Mendikbud ketika itu: tetap memperbolehkan program belajar-mengajar RSBI sampai dengan akhir tahun ajaran 2012/2013 sebab ketika itu di seluruh Indonesia tersua sekitar 1.300 RSBI berstatus sekolah negeri. Namun, sejauh manakah dampak kebijakan pemerintah ini? Sebatas menjangkau sekolah negeri saja atau juga swasta?
Penelitian Rebecca Urip di dalam tesis S-2 Program Studi Linguistik Terapan Bahasa Inggris, Sekolah Pascasarjana, Unika Atma Jaya, Jakarta, yang diuji pada 28 Mei lalu menyingkapkan kasus tiga keluarga di Jakarta yang anak-anaknya berbahasa pertama bahasa Inggris. Delapan anak dari tiga keluarga ini (usia 4-17 tahun) sejak TK mengikuti sekolah dengan pengantar bahasa Inggris. Pertanyaannya sekarang: sejauh mana gejala “pemudaran” bahasa Indonesia di kalangan generasi muda kini sedang berlangsung? Yang jelas, menurut Aimee Dawis, yang mengajar komunikasi di Universitas Indonesia, sebagaimana dikutip The New York Times, proses pemudaran bahasa Indonesia ini bukanlah buah yang dihasilkan kebijakan pemerintah, melainkan sesuatu yang berlangsung alami.
Gebrakan menggerakan sesuatu yang dicoba ditumbuhkan dengan kebijakan, sekalipun oleh pemerintah, cenderung bergerak beberapa waktu lamanya sesudah itu berhenti. Namun, sesuatu yang bergerak alami justru melangkah ke depan pasti, meski merayap meluas perlahan dan tak tersadari. Akankah ini mengarah ke perkembangan tak terkendali?
BAMBANG KASWANTI PURWO
Guru Besar Linguistik Unika Atma Jaya, Jakarta
Kompas, Sabtu, 20 Juni 2015

Penggelapan Sejarah: De-Soekarnoisasi dan Adu Domba

Oleh IWAN SANTOSA
Semasa memimpin Indonesia, Presiden Soekarno berulang kali mengajarkan pentingnya membangun bangsa yang satu, setara dalam keberagaman. Namun, seiring berakhirnya Orde Lama, sejumlah gagasan dan peran Soekarno sempat disamarkan. Tempat kelahiran Bung Karno pun sempat muncul dalam dua versi, Blitar dan Surabaya, Jawa Timur.
Tidak hanya tentang Soekarno, penggelapan sejarah juga dilakukan terhadap sejumlah teman seperjuangan Soekarno. Hal ini, antara lain, terlihat dari hilangnya nama empat rekan Soekarno di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yakni Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa. Nama empat orang itu tak ada dalam buku sejarah nasional sejak 1977.
Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa
Sejarawan dari Yayasan Nation Building, Didi Kwartanada, mengatakan, pada era Orde Lama, empat tokoh Tionghoa tersebut ada dalam buku sejarah nasional Indonesia. “Setelah 1977, nama empat tokoh Tionghoa tersebut hilang dan justru bertambah ada tiga tokoh Arab dan satu tokoh Indo-Eropa, PF Dahler. Padahal, aslinya di BPUPKI hanya AR Baswedan mewakili masyarakat Peranakan Arab, PF Dahler mewakili golongan Peranakan Eropa, dan ada empat orang Tionghoa mewakili kelompok Peranakan dan Totok,” kata Didi.
Padahal, tokoh seperti Liem Koen Hian berdiskusi mendalam dengan Soekarno soal dasar negara. Dalam rapat BPUPKI, Liem Koen Hian juga sudah mengusulkan kebebasan pers. Namun, usulan tersebut tidak diakomodasi lebih lanjut. “Bisa dibilang Liem Koen Hian itu bapak kebebasan pers,” ujar Didi.
Pada edisi selanjutnya buku sejarah nasional Indonesia pasca 1998, empat tokoh Tionghoa dalam BPUPKI itu masih hilang.
Sejarawan Daradjadi asal Pura Mangkunegaran, Surakarta, yang menulis buku Geger Pacinan, menuturkan, keberadaan lascar Koalisi Jawa-Tionghoa melawan VOC pada 1740-1743 juga hilang dari buku sejarah nasional yang terbit pada masa Orde Baru. Padahal, kisah perjuangan bersama masyarakat Jawa dan Tionghoa itu masih ada di buku sejarah nasional yang terbit pada 1963. “Panglima Tionghoa Kapitan Sepanjang yang memimpin pasukan Koalisi Jawa-Tionghoa hilang dari sejarah. Padahal, teman seperjuangannya, yaitu Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyowo, jadi pahlawan Indonesia,” kata Daradjadi.

Dikaburkan

Tidak hanya ingatan terkait kebersamaan dan keberagaman dalam perjalanan sejarah Nusantara hingga masa awal Republik Indonesia, kiprah dan sumbangsih Soekarno juga sempat dikaburkan.
“Bahkan, sempat ada upaya menggantikan peran Soekarno sebagai penggali Pancasila dengan menyebut Muhammad Yamin sebagai sosok yang pertama kali mengemukakan konsep Pancasila. Itu merupakan upaya pemutarbalikan fakta yang vulgar,” ujar sejarawan Bonnie Triyana.
Sejarawan dair Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, mencatat, pada masa Orde Baru juga sempat muncul dua alinea tambahan di buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.
Dua alinea yang ada di buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang dicetak berkali-kali semasa Orde Baru itu diduga ingin bermaksud membenturkan Soekarno dengan Hatta dan Sjahrir.
Alinea tersebut adalah: “Tidak ada yang berteriak, ‘kami menghendaki Bung Hatta’. Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan Proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.
Alinea sisipan berikutnya adalah “Peranannya yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Sukarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan ‘pemimpin’ ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatra dan di hari-hari yang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seseorang dari Sumatra. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulang yang nomor dua terbesar di Indonesia.
Menurut Asvi, dua alinea di atas tidak ada dalam naskah asli buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang terbit dalam bahasa Inggris.
Terkait perawatan kesehatan yang dinikmati Presiden Soekarno, Asvi Warman mencatat, salah seorang dokter yang merawat Soekarno di hari-hari terakhirnya sebagai “tahanan rumah” adalah seorang dokter hewan. Urine Soekarno ditengarai juga diperiksa di laboratorium Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
“Ada surat Pangdam Siliwangi Mayjen HR Darsono yang melarang semua warga Jawa Barat untuk mengunjungi atau dikunjungi Soekarno,” kata Asvi.
Hal tragis lainnya, Soekarno ternyata tidak sanggup membayar biaya perawatan gigi di hari-hari terakhir hidupnya. Dokter gigi Oei Hong Kian berulang kali merawat gigi Soekarno secara sukarela. Terkadang, saat dirawat Oei Hong Kian, putra-putri Soekarno secara sembunyi-sembunyi mengunjungi ayah mereka.
Bonnie Triyana mengingatkan, Orde Baru cenderung punya kepentingan untuk menuliskan sejarah berdasarkan penafsiran sendiri, terlebih menyangkut masa transisi dari Orde Lama dan Orde Baru.
Kini, hal seperti itu jangan terulang lagi.
Kompas, Sabtu, 20 Juni 2015

Sunday 7 June 2015

Heran

Jangan heran bila kata heran bikin heran. Saya heran ketika jumpa lagi dengan kata ini waktu membaca ulang Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI) selagi mengerjakan perbaikan terhadapnya untuk edisi revisi yang kini sudah dekat selesai. Heran, sebab di sana ia tercatat berkerabat dengan ajaib dan aneh. Sambil memanggul heran, saya periksa kembali beberapa kamus bahasa Indonesia, rujukan saya dalam menyusun TBI edisi pertama. Hasilnya? Tentu saja mudah diterka. Semua kamus bahasa Indonesia pada saya menyuratkan heran punya arti atau bersinonim dengan ajaib dan aneh.
Yang tak begitu bikin bingung, pada detik perjumpaan kembali tadi serta-merta saya menganggap penyandingan heran dengan ajaib dan aneh ganjil. Apalagi kemudian saya dapati fakta rada berbeda setelah memeriksa lebih jauh ke data, korpus dari laras bahasa jurnalistik, yaitu empat media dalam jaringan (daring, online) Kompas,  Pikiran Rakyat, Tempo, dan Waspada – dan satu korpus laras bahasa sastra (goenawanmohamad.com), secara sekilas dan cepat. Pada kata heran dalam semua korpus itu tidak kita jumpai pengertian-pengertian ajaib dan aneh. Sejauh yang saya tangkap, heran yang bertaburan di sana lebih dekat ke bingung atau takjub. Itulah maka kini saya berani berkata, kedua kata ganjil itu adalah pangkal yang memunculkan heran, bukan heran itu sendiri. Heran saya yang sesungguhnya adalah kenapa kedua kata ganjil tadi bisa dengan gagah berani menyelundup ke dalam rumah heran di edisi pertama TBI.
Begitulah. Baru saja kita melihat, makna dalam kamus tidak selalu akur atau sama sebangun dengan makna sebagaimana ia memancar dari sebuah konteks dalam pemakaiannya oleh pengguna bahasa. Tak jarang dikatakan perselisihan keduanya kekal sebab bahasa selalu berkembang, makna selalu bergeser, padahal kesanggupan kamus merekam dinamika bahasa berhenti pada menit saat ia mesti terbit. Sementara itu, manusia terus-menerus mengeksploitasi bahasa demi banyak sekali keperluan.
Saya pikir senjang atau selisih itu tidak selalu berhubungan dengan soal perbedaan watak antara kamus yang statis dan bahasa yang dinamis (tentang ini tengok tulisan saya, “Pesona Bicara Canggih”, Kompas edisi 10 Januari 2015). Semacam pengakuan kamus kita bahwa ajaib dan aneh bersaudara dengan heran, dan diingkari oleh bahasa yang hidup, sama sekali tak ada urusannya dengan pergeseran makna (yang belum sempat terekam kamus). Atau contoh lain, kamus kita cenderung tidak mencatat ngedumel dan ngelunjak.
Baiklah. Namun, kenapa dua kata ganjil ajaib dan  aneh bisa dengan gagah berani nangkring dalam rumah heran di edisi pertama TBI? Izinkanlah saya sekarang menengok ke belakang barang sebentar.
Saya kira, saya sudah sedikit terkecoh oleh contoh dalam kamus. Poerwadarminta (Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan keempat, 1965): “Tidak heran kalau dia marah”. Atau ini: “Heran, dng gaji sekecil itu, orang itu masih bisa hidup di kota besar” (KBBI, edisi keempat, 2008). Kita baca dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu dan Zain, 1994): “Heran bahwa dia tidak mati dl kecelakaan yang hebat itu”. Dua dari beberapa teman yang saya mintai bantuan dalam kerja merevisi punya pendapat menarik setelah saya sodori contoh serupa tapi tak sama, “Heran, jelek tapi sombong.”
Yanwardi Natadipura, penulis masalah kebahasaan yang luas dan tajam wawasan linguistiknya, malah balik mengirim tanda tanya retoris buat saya. “Yang heran kan penutur, ya, bukan obyek yang jelek.” Pikiran senada yang sedikit lebih terurai saya dapat dari Uu Suhardi, koordinator redaktur bahasa di majalah Tempo dan redaktur bahasa Koran Tempo, majalah Matra, U-Mag. “Gampangnya begini: saya heran kan beda dg saya aneh.” Lalu ia tambahkan, “Itu (contoh dari saya di atas) kan ada yg lesap (bahasa lisan). Lengkapnya: Saya heran, dia jelek tapi sombong.” Demikian korespondensi mereka dengan saya lewat sandek – salah satu media kami bertukar pikiran dalam bekerja.
Jadi, jangan heran bila ajaib dan aneh tersisih dari lema heran dalam TBI edisi revisi nanti.
EKO ENDARMOKO
Munsyi, Penulis Tesaurus Bahasa Indonesia
Kompas, Sabtu, 6 Juni 2015

Gempa Sabah: Kalimantan Tak Sepenuhnya Aman

JAKARTA, KOMPAS – Gempa berkekuatan M6,2 terjadi di kawasan Ranau, Negeri Sabah, Malaysia. Jumat (5/6), pukul 06.15 WIB. Kejadian itu menunjukkan, sekalipun berada di Pulau Kalimantan yang dianggap relatif aman gempa karena jauh dari zona subduksi lempeng, ternyata Sabah tidak sepenuhnya bebas gempa.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Daryono, di Jakarta, Jumat (5/6), mengatakan, pusat gempa bumi itu ada di daratan pada koordinat 6,27 derajat Lintang Utara dan 116,6 derajat Bujur Timur berkedalaman hiposenter 10 kilometer. Adapun guncangan gempa bumi terkuat dirasakan di kota Ranau, Sabah, dengan skala intensitas VI MMI.
“Efek guncangan gempa tersebut menimbulkan kerusakan ringan pada beberapa bangunan rumah, retak-retak pada lantai, dinding tembok, dan jendela di Sabah. Beberapa ruas jalan raya juga rusak,” kata Daryono.

Kegempaan Kalimantan

Menurut Daryono, kawasan Sabah secara seismisitas merupakan kawanan relatif sepi dari aktivitas gempa bumi, seperti kawasan lain di Pulau Kalimantan. Namun, di kawasan ini sebenarnya terdapat beberapa struktur sesar berusia tua. “Struktur sesar yang sangat populer di kawasan Sabah dikenal sebagai sistem Sesar Sibuda. Namun, belum diketahui nama segmen sesar yang mengalami reaktivasi hingga memicu gempa bumi,” katanya.
Gempa di Sabah itu berselang dua minggu dengan gempa di Bengkayang, Kalimantan Barat. Gempa di Bengkayang, Kamis (14/5), berkekuatan 4,2 skala Richter. “Hal ini mungkin membuat masyarakat bertanya-tanya apakah Kalimantan memang aman gempa?” kata Irwan Meilano, ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung.
Jika dibandingkan dengan kawasan lain di Indonesia yang berhadapan langsung dengan zona tumbukan lempeng, seperti Pulau Jawa dan Sumatera, lanjut Irwan, Pulau Kalimantan memang relatif aman gempa. “Kalau perspektif ancaman bencana, risiko gempa di Kalimantan bisa dibilang rendah. Namun, tak berarti Pulau Kalimantan sepenuhnya aman gempa, terutama di utara, seperti Sabah. Adanya Gunung Kinabalu yang cukup tinggi menunjukkan jejak pergerakan tektonik di sana,” ujarnya.
Irwan mengatakan, gempa berkekuatan M6 bisa menimbulkan kerusakan dan memicu korban jika tak diantisipasi. “Kalau bangunan dibangun tepat di atas zona sesar, tentu kemungkinan hancurnya tinggi,” katanya.
Peta kegempaan (seismisitas) di Indonesia periode 1973-2010 (Sumber: BMKG)
Geolog dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Eko Yulianto, mengatakan, pada prinsipnya, seluruh wilayah Bumi bisa dilanda gempa. Soal frekuensi, biasanya tergantung dari aktif atau tidaknya zona sesar, yang biasanya ditandai jauh atau dekatnya dengan zona tumbukan lempeng bumi. “Seperti Sesar Lembang di Bandung dianggap sebagian ahli tidak aktif. Padahal, itu hanya masalah berapa lama mengumpulkan energi hingga bisa melewati daya elastis batuan yang menguncinya,” ujarnya.
Lempeng tektonik di Indonesia (Sumber: BMKG)
Untuk Indonesia, kawasan yang dianggap paling rentan gempa berada di depan zona tumbukan lempeng Eurasia dengan Indo-Australia yang membentuk busur Sunda, memanjang dari Aceh hingga kawasan Nusa Tenggara Timur. (AIK)
Kompas, Sabtu, 6 Juni 2015

Tuesday 2 June 2015

Fenomena Alam: Suara Aneh Membingungkan

Oleh M. ZAID WAHYUDI
Sepekan terakhir, berbagai media daring mewartakan terdengarnya suara-suara aneh di sejumlah negera. Jenis suara itu beraneka ragam, mulai dari mirip dengung, desis, deru, hingga suara terompet. Berbagai hipotesis untuk menjelaskan asal-usul suara itu pun muncul, baik yang menggunakan pendekatan ilmiah, agama, maupun dugaan-dugaan asal “nyambung”.
Selama ini, berbagai suara aneh, berfrekuensi rendah, dan tidak jelas asal-usulnya disebut sebagai dengungan atau hum. Berdasarkan data The World Hum Map and Database, lebih dari 4.000 orang melaporkan mendengar suara-suara aneh pada berbagai waktu. Mereka tersebar di seluruh dunia, tetapi laporan terbanyak berasal dari Amerika dan Eropa.