Monday 26 December 2022

Seluk-beluk Qatar

Oleh SUMANTO AL QURTUBY

Kesejarahan sosial Qatar penuh dengan intrik, konflik, dan kekerasan, Sangat kontras dengan gambaran Qatar kontemporer yang relatif sepi dari kekerasan komunal dan konflik terbuka.

Meski banyak mata kini tertuju ke Qatar lantaran menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, tak banyak yang mengetahui seluk-beluk Qatar.

Termasuk soal kesejarahan, struktur sosial-politik, kondisi geokultural, potret hak asasi manusia (HAM), atau sistem dan praktik keagamaan di negara ini. Sejauh ini Qatar hanya dikenal sebagai negara minyak yang kaya dan makmur. Di kawasan Arab Teluk (baca, negara-negara Arab di area Teluk Arab atau Teluk Persia), popularitas Qatar tenggelam oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).

Saudi populer karena negara monarki ini jadi tempat haji dan umrah umat Islam seluruh dunia, selain faktor ekspansi Wahabisme ke banyak negara melalui proyek dakwah, pendidikan, beasiswa, dan penerbitan. Kini, Saudi kian populer lantaran gerakan masif modernisasi budaya dan moderatisasi agama, sementara UEA karena praktik ”liberalisasi” dan modernisasi yang sudah berlangsung lama mendahului negara kawasan Teluk Arab lain.

Jejak Yahudi di Arabia

Oleh SUMANTO AL QURTUBY

Dari aspek sejarah, Yahudi merupakan bagian integral dari Arabia serta turut membentuk peradaban dan kebudayaan masyarakat Arab masa lampau. Bukan tak mungkin Saudi dan Israel kelak akan menjalin hubungan diplomatik.

Belum lama ini seorang warga Israel-Yahudi kelahiran Arab Saudi bernama David Shunker menulis sebuah surat yang cukup mengharukan. Surat yang ditulis di Wall Street Journal itu ditujukan kepada Raja Salman dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Shunker yang usianya mendekati 80 tahun memohon diizinkan mengunjungi desa kelahirannya di Najran (dulu masuk wilayah Yaman, tetapi sejak 1934 jadi teritori Arab Saudi).

Beda dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, Maroko, dan Jordania, Saudi tak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sehingga warga negara di kedua negara itu tak bisa leluasa saling mengunjungi.

Shunker bersama ratusan warga Yahudi Najran berbondong-bondong meninggalkan Saudi menuju Israel—sebagian berjalan kaki, yang lain naik unta—sesaat setelah pendirian negara Israel tahun 1948.

Budaya di Timur Tengah, Agama di Indonesia

Oleh SUMANTO AL QURTUBY

Busana dan bahasa adalah produk budaya yang tak ada hubungannya dengan ajaran agama dan tingkat kesalehan seseorang. Kesalehan dan religiositas seseorang ditentukan moralitas, perilaku, dan komitmen sosial-kemanusiaan.

Menarik memperhatikan perbedaan sikap, pendapat, pandangan, persepsi, bahkan keyakinan antara (sebagian) umat Islam di Indonesia dan Timur Tengah mengenai berbagai hal menyangkut isu-isu sosial, kebudayaan, dan keagamaan.

Misalnya, banyak hal yang oleh umat Islam di Timur Tengah dianggap sebagai bagian dari produk kebudayaan, tetapi oleh kaum Muslim Indonesia dipandang sebagai bagian dari ajaran keagamaan (keislaman).

Salah satu isu yang menonjol dalam hal ini pandangan masyarakat mengenai busana. Sebagian umat Islam di Indonesia cenderung mengaitkan jenis busana tertentu, misal jilbab, hijab, kerudung, cadar (niqabburqa, dan lainnya), gamis (jubah), baju koko, atau sarung, dengan identitas keislaman dan bahkan ajaran keagamaan.

Wallacea Zona Pembauran

Zona Wallacea berperan penting sebagai lokasi pertemuan populasi Papua dengan Denivosan dan Austronesia. Gen Denivosan memberikan kekebalan kepada populasi Papua dari penyakit.

JAKARTA, KOMPAS-Kepulauan Wallacea, yang meliputi Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Maluku Utara, serta Nusa Tenggara memiliki peran penting mempertemukan populasi Papua dan Austronesia, dan sebelumnya dengan manusia arkaik Denivosan. Adanya gen Denivosan ini memberikan kekebalan terhadap penyakit infeksi.

Dua Arus Besar Pembauran Populasi di Wallacea

Peneliti menemukan pola sejarah populasi yang dinamis di Zona Wallacea. Terjadi perubahan pola genetik yang ekstensif di kawasan ini sekitar 15.000 tahun lalu dan 3.000 tahun lalu, karena kedatangan kelompok migran baru.

JAKARTA, KOMPAS-Migrasi populasi ke Pulau Papua telah terjadi sejak 50.000 tahun lalu dengan menyeberangi pulau-pulau di zona Wallacea. Namun, penghunian setelahnya belum banyak diketahui karena minimnya tinggalan arkeologis. Kajian genetika terbaru menunjukkan, terjadi perubahan pola genetik yang ekstensif di kawasan Wallacea sekitar 15.000 tahun lalu dan 3.000 tahun lalu, karena kedatangan kelompok migran baru.

Kajian terbaru tentang penghunian di Wallacea dan Papua ini dipublikasikan peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan tim internasional di jurnal Genes pada 24 Juni 2021. Peneliti Eijkman yang juga mahasiswa doktoral di University of Adelaide, Gludhug Ario Purnomo menjadi penulis pertama artikel ini. Penulis lain di antaranya Wakil Kepala Lembaga Eijkman, Herawati Supolo Sudoyo dan peneliti Eijkman Leonard Taufik.