Kumpulan ‘guntingan’ artikel koran dan tulisan pribadi mengenai keberagaman, geologi, biologi, astronomi, arkeologi, kesehatan, dan politik. PERHATIAN: Artikel dalam blog tidak bisa digunakan sebagai referensi tulisan resmi, seperti skripsi, thesis, disertasi, dan jurnal. Mohon telusuri pustaka yang digunakan.
Kondisi cuaca di Indonesia beragam. Pergerakan massa udara basah Madden-Julian Oscillation meningkatkan curah hujan di sebagian daerah, tetapi area lain memasuki kemarau.
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua memiliki zona iklim ekuatorial dan dua puncak musim hujan, April dan Desember. Peningkatan hujan pada area ini dipengaruhi pergerakan massa udara basah Madden-Julian Oscillation di sepanjang khatulistiwa secara periodik dari barat ke timur.
Fenomena berbeda terjadi di Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur, yang beriklim monsunal dengan satu puncak musim hujan. Iklim monsunal dipengaruhi pergantian angin monsun dari Asia dan Australia.
Dikutip dari: Kondisi Cuaca Beragam, Kompas, Sabtu, 15 Juni 2019, halaman 10
Saat mendekati Matahari, ekor komet biasanya semakin panjang yang menandakan makin banyaknya lapisan debu an es yang menguap akibat paparan panas Matahari. Akan tetapi, untuk pertama kali, astronom menemukan komet yang tidak menunjukkan karakter tersebut.
Komet baru disebut C/2014 S3 atau komet "Manx", yang ditemukan tahun 2014 oleh Panoramic Survey Telescope and Rapid Response System atau Pan-STARRS, dicitrakan seniman, 29 April 2016. (REUTERS/M. KORNMESSER/ESO)
Karakter yang unik itu membuat komet tersebut dinamai Manx, sama seperti nama kucing tanpa ekor atau dengan ekor yang pendek dari Pulau Isle of Man, Inggris. Nama asli komet itu adalah C/2014 S3, yang ditemukan menggunakan Teleskop Pan-STARRS di Hawaii, Amerika Serikat, pada tahun 2014.
Berdasarkan perhitungan terhadap periode orbitnya, Manx butuh 860 tahun untuk sekali mengelilingi Matahari. Dengan periode sepanjang itu, dipastikan benda tersebut merupakan komet yang berasal dari Awan Oort, daerah di tepian tata surya yang berjarak lebih dari 100.000 kali jarak Bumi-Matahari dan berisi triliunan benda-benda kecil diselubungi es.
Nyatanya, karakter komet itu berbeda dengan komet pada umumnya. Saat ditemukan, C/2014 S3 berjarak dua kali lebih jauh dari jarak Matahari-Bumi. Namun, makin mendekati Matahari, Manx tak juga kian aktif sehingga ekor kometnya tak muncul. Kurang aktifnya komet itu disebabkan tipisnya lapisan es yang menyelubunginya.
Penelitian lebih lanjut terhadap debu komet yang pendek dilakukan menggunakan Teleskop Very Large milik Observatorium Eropa Selatan di Cile dan Teleskop Kanada-Perancis-Hawaii. Hasilnya, komet itu mirip dengan batuan yang ada di Sabuk Asteorid, daerah antara Mars dan Yupiter, khususnya asteroid tipe S yang memiliki kandungan silika.
"Ini adalah komet batuan pertama," kata salah satu peneliti Olivier Hainut dari Observatorium Eropa Selatan di Garching, Jerman, kepada space.com, Jumat (29/4).
Temuan komet dengan lapisan es tipis tersebut menunjukkan, meski obyek berasal dari awan Oort, sejatinya berasal dari bagian dalam tata surya. Kemungkinan, C/2014 S3 adalah obyek planetesimal, bahan yang sama yang membentuk Bumi.
Diagram menunjukkan alur sejarah pergerakan komet Manx di dalam dan luar sistem tata surya dalam periode lebih dari 4 miliar tahun. (REUTERS/L. CALÇADA/ESO)
Obyek planetesimal itu berbenturan dan membentuk gumpalan besar sehingga kemudian menjadi Bumi. Adapun obyek planetesimal yang kemudian menjadi C/2014 S3 terlempar ke tepian tata surya akibat gaya dari planet-planet lain pada saat Bumi baru terbentuk.
Jarak yang lebih dekat dengan Matahari membuat Bumi dan sejumlah obyek di bagian dalam tata surya, wilayah antara Matahari dan Sabuk Asteroid memiliki lapisan es yang tipis dibandingkan obyek-obyek di bagian luar tata surya, daerah setelah Sabuk Asteroid hingga tepian tata surya.
"Komet ini adalah asteroid yang tidak terpanggang panas Matahari selama beberapa miliar tahun dan justru membeku di pinggiran tata surya," tambah pemimpin penelitian, Karen Meech, dari Universitas Hawaii, AS, yang memublikasikan penelitiannya pada jurnal Science Advances, Jumat (29/4).
Kini, sejumlah pemodelan dibangun untuk memperkirakan rasio atau jumlah Manx dibandingkan komet sebenarnya di Awan Oort. Namun, pembuatan model itu terkendala belum banyaknya keberadaan Manx yang terdeteksi. Dari pemodelan tersebut, para astronom berharap dapat lebih memahami proses pembentukan tata surya pada 4,6 miliar tahun lalu. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan menjawabnya.
Mendung tebal di langit timur Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara, sejak Rabu (9/3) pagi. Beranjak siang, awan gelap itu justru berarak naik dan menutupi Matahari. Kontak pertama antara piringan Bulan dan piringan Matahari, tanda mulainya tahapan gerhana matahari di Maba, pun akhirnya terlewat. Bahkan, hujan turun 1 jam menjelang puncak gerhana.
Peneliti dari Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat memeriksa alat sembari menunggu awan yang masih menutupi Matahari di Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara, Rabu (9/3). Pengamatan dan penelitian proses gerhana matahari total di Maba terganggu awan yang menutupi Matahari. (Kompas/Heru Sri Kumoro)
Natchimuthuk Gopalswamy, ketua tim peneliti Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) untuk pengamatan gerhana matahari total (GMT) di Maba, sesekali berdiri dari kursinya dan menatap langit. Raut wajahnya tegang, cemas, dengan cuaca yang tak kunjung membaik. Meski bergerak perlahan, awan-awan penggantinya tak kalah tebal.
NASA berada di Maba untuk Ekspedisi Bersama GMT 9 Maret 2016 dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Tim peneliti fisika Matahari NASA yang berbasis di Pusat Penerbangan Antariksa Goddard, Greenbelt, Maryland, AS, itu rela jauh-jauh menuju Maba, kota kecil dengan infrastruktur serba terbatas, untuk mengejar fase totalitas gerhana terlama yang bisa disaksikan dari daratan: 3 menit 20 detik.
”Ini 3 menit yang sangat penting bagi kami, yang menyiapkan penelitian setahun sebelumnya,” kata Gopalswamy.
Fase total terlama gerhana kali ini 4 menit 9 detik yang terjadi di satu titik di Samudra Pasifik di kawasan Federasi Mikronesia atau 560 kilometer tenggara Guam. Penelitian memang bisa di atas laut menggunakan kapal, tetapi itu tidak memberikan dudukan stabil pada teleskop sehingga sulit diperoleh data yang bermakna secara saintifik.
Selain itu, berdasarkan data meteorologi, potensi tutupan awan di Maba lebih rendah dibandingkan daerah lain yang dilintasi jalur totalitas gerhana. Namun, kenyataannya berbeda. ”Kita memang tidak bisa memprediksi keberadaan awan setiap saat,” ujar Gopalswamy.
Misi NASA kali ini mengukur temperatur elektron di korona dan kecepatan geraknya menjauhi Matahari yang akan dipimpin ahli fisika Matahari NASA, Nelson L Reginald. Korona adalah bagian Matahari yang masih diselimuti misteri. Meski korona adalah bagian terluar Matahari, suhunya bisa mencapai 1 juta derajat celsius. Padahal, suhu di permukaan Matahari hanya 5.500 derajat celsius.
Korona hanya bisa disaksikan saat GMT. Meski kini ada koronagraf yang bisa mengeblok sinar Matahari sehingga bisa membuat semacam ”gerhana” tiruan, alat itu punya keterbatasan. Koronagraf tak bisa digunakan mengamati korona bagian dalam yang terletak di dekat permukaan Matahari. Padahal, di sanalah tempat terbentuknya lontaran massa korona (CME). Karena itu, penelitian korona saat GMT tetap penting.
Penelitian tim Lapan juga terkait korona. Satu tim dipimpin Emanuel Sungging Mumpuni akan mengamati spektrum korona bagian bawah untuk mengetahui garis-garis emisi korona sehingga bisa memprediksi tingkat aktivitas Matahari pada siklus aktivitasnya saat ini. Satu tim lain yang dipimpin Rhorom Priyatikanto juga ingin mengetahui aktivitas Matahari, tetapi dilakukan mengambil citra korona dan menganalisis model korona yang diperoleh.
Harapan
Kemarin, 1 jam sebelum totalitas gerhana, hujan deras mengguyur lokasi penelitian di Pendopo, Alun-alun Maba. Sontak, peneliti NASA dan Lapan melindungi teleskop dan alat-alat. Namun, hujan kurang dari 10 menit itu ternyata mampu mengusir awan-awan yang menutupi Matahari hingga sesudahnya. Matahari pun menampakkan diri walau masih berselimut awan tipis.
Harapan Matahari akan terlihat penuh saat fase totalitas itu kembali muncul. Kondisi itu membuat para peneliti NASA dan Lapan bersemangat lagi. Meski Matahari tidak terus-terusan terlihat, peluang terlihatnya GMT masih tetap ada.
Meski demikian, hingga fase total gerhana berlangsung, langit tidak pernah benar-benar bersih. Ketegangan tim kian bertambah karena saat kegelapan menyelimuti Bumi dan menimbulkan decak kagum masyarakat yang turut menyaksikan gerhana, korona hanya terlihat putih tipis berbalut awan tebal di sekelilingnya. Ketegangan itu berubah kekecewaan saat terang lagi.
Kekecewaan terlihat jelas di wajah Reginald. Meski secara kasatmata korona terlihat, itu tidak cukup digunakan untuk penelitian ilmiah. ”Tak ada sama sekali data yang bisa diperoleh. Kami butuh korona yang benar-benar bebas dari awan. Tak mungkin mengambil data korona di belakang awan,” kata Reginald.
Terlebih lagi, itu untuk pertama kalinya tim NASA menggunakan kamera polarisasi yang bisa memisahkan elektron di korona dengan partikel lainnya. Namun, Gopalswamy senang kamera bisa bekerja dengan baik. Untuk itu, kamera akan diuji lagi pada GMT 21 Agustus 2017 yang akan melintasi seluruh daratan AS.
Demikian pula tim Lapan. Meski data saintifik gerhana kali ini tidak banyak didapat, pengolahan data yang akan dilakukan masih bisa menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi ilmu pengetahuan. ”Lapan pun ingin bisa mengamati GMT di AS tahun depan. Apalagi, kerja sama Lapan dengan NASA sudah terjalin baik,” kata Sungging.
Meski demikian, ada satu hal yang berhasil dibuktikan tim Lapan dan NASA dari gerhana kali ini. Korona yang sempat diambil citranya menunjukkan bentuk simetrik. Korona di bagian utara dan selatan Matahari memang lebih pendek dibandingkan di bagian timur dan barat.
”Itu menunjukkan aktivitas Matahari sedang menuju penurunan dari maksimum menuju minimum,” kata Rhorom.
GMT 9 Maret 2016 memang sudah berlalu. Namun, pencarian para peneliti dan pemburu gerhana di mana pun tak pernah berujung. Matahari, sang bintang induk Tata Surya, masih menyimpan banyak misteri. Kegagalan satu kali gerhana bukan penghalang. Banyak gerhana lain yang bisa diteliti dan didatangi demi ilmu pengetahuan meski harus berjuang ekstra keras.
MABA, KOMPAS — - Gerhana matahari menyambangi seluruh bumi Indonesia, Rabu (9/3). Sebagian kecil daerah bisa menyaksikan gerhana matahari total, dan lainnya hanya melihat gerhana matahari sebagian. Kemarin, kemeriahan dan antusiasme warga menunjukkan gerhana tidak lagi menakutkan, tetapi sebuah perayaan bersama.
Fase gerhana matahari total di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (9/3). (Kompas/Yuniadhi Agung)
Rasa ingin tahu warga serta gerhana yang hanya berlangsung sesaat setelah Matahari terbit membuat warga mulai bersiap menyaksikan gerhana sejak pagi buta. Meski tanpa bekal peralatan yang memadai, warga memadati tempat-tempat terbaik untuk mengamati gerhana.
Kagum, haru, terpesona, bercampur aduk menjadi satu. Warga menjadi saksi atas kuasa alam. Dari pagi nan terang, menjadi gelap meski untuk sesaat, kemudian terang kembali seperti sedia kala. Sungguh fenomena alam yang sangat langka.
Meski demikian, tak semua daerah yang dilintasi gerhana matahari total (GMT), warga bisa menikmati fenomena alam itu. Mendung, bahkan hujan, menghalangi keinginan warga untuk menikmati proses terjadinya GMT. Bukan hanya warga, melainkan sejumlah peneliti yang datang dari sejumlah negara juga harus menelan kekecewaan.
Apa pun hasilnya, gerhana matahari kali ini menjadi perayaan bagi bangsa Indonesia. Jika pada gerhana matahari 11 Juni 1983 warga dipaksa mengurung diri di rumah karena ancaman kebutaan, kini warga bebas menyaksikan fenomena alam langka itu.
Tak hanya itu, berbagai festival, syukuran, dan aneka perayaan lain juga digelar. Di hampir semua daerah terdengar gema takbir dari masjid untuk mengajak umat melakukan shalat gerhana.
Pagai sampai Maba
Proses GMT kemarin dimulai dengan gerhana matahari sebagian (GMS). Peristiwa yang dipicu tertutupnya sebagian permukaan Bumi oleh bayang-bayang luar atau penumbra Bulan itu pertama kali menyentuh wilayah Indonesia di Kepulauan Pagai, Sumatera Barat. Awal gerhana mulai sekitar pukul 06.20, tetapi baru bisa diamati warga pukul 07.00 WIB karena cuaca mendung.
Selanjutnya, 1 jam 18 menit kemudian, GMT terjadi. Pagai menjadi daerah pertama dilalui bayang-bayang inti atau umbra Bulan hingga menimbulkan suasana gelap gulita 1 menit 53 detik. Sesaat, kepulauan di timur Samudra Hindia itu diliputi kegelapan. Meski langit berawan, sekitar matahari jernih hingga korona matahari tampak jelas.
Seiring rotasi Bumi dan pergerakan Bulan dari barat ke timur, daerah bayang-bayang luar dan inti Bulan itu bergerak ke timur Indonesia. Menyusuri Sumatera bagian selatan, Kepulauan Bangka Belitung, membelah Kalimantan, menembus Sulawesi Tengah, hingga menjangkau utara Kepulauan Maluku.
Maba, di timur Pulau Halmahera, menjadi daratan Indonesia paling timur dilintasi gerhana. Adapun GMT di daerah itu terjadi pukul 09.53 WIT selama 3 menit 20 detik, terlama bisa disaksikan di Indonesia dan daratan Bumi bagi gerhana kali ini, tetapi awan tebal membuat korona matahari saat fase total gerhana hanya bisa disaksikan sesaat sembari berselubung awan.
Warga antusias
Di sejumlah daerah, warga antusias menyaksikan GMT. Puluhan ribu orang, termasuk 1.157 turis asing, memadati pesisir timur Ternate. Sejumlah masjid menggelar shalat gerhana. "Dulu saat gerhana, warga dilarang melihat gerhana. Ternyata, gerhana total amat indah," ujar Saleh Ibrahim, warga Desa Togafo, bersama istri dan 5 anaknya.
Di Palembang, sejak dini hari ribuan orang memadati Jembatan Ampera untuk menyaksikan GMT, tetapi GMT tak tampak utuh karena awan dan asap pabrik menutupi matahari. Warga bersorak ketika matahari muncul. Namun, saat GMT, awan menutup Matahari. Viktor Metz, wisatawan asal Austria, mengaku kecewa karena cuaca dan asap pabrik menjadi kendala mengamati gerhana di kota itu.
Di Palu, sekitar 2.000 warga dari sejumlah daerah dan mancanegara antusias menyaksikan GMT. Mereka memadati tepi Teluk Palu sekitar pukul 06.00 Wita, dan memanjang 3 kilometer dari sekitar jembatan di Sungai Palu sampai kawasan tambak garam di Kecamatan Palu Timur.
Fenomena gerhana matahari total menjadi perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Tak terkecuali pemimpin negeri ini. Presiden Joko Widodo menikmati gerhana matahari di halaman Istana Kepresidenan, sedangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengunjungi Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Fenomena alam ini bahkan ikut mendongkrak roda perekomonian di Indonesia. Diprediksi, nilai ekonomi dari peristiwa ini mencapai Rp 600 miliar.
Presiden Joko Widodo menyaksikan gerhana matahari di Istana Bogor. (Liputan6)
Sementara di Balikpapan, ribuan warga memadati Pantai Manggar untuk menyaksikan GMT. Saat awal gerhana, warga bersorak-sorai, dan kian riuh saat matahari sabit terbentuk. Puncaknya, saat GMT, warga bersorak, bertepuk tangan, dan memukul-mukul botol minuman. Mayoritas warga memakai kaca las, bahkan menggunakan klise foto, kacamata hitam, kaca helm, dan label botol minuman kemasan.
Sodiq, warga Samarinda, misalnya, memakai foto rontgen untuk mengamati Matahari. "Tak mendapat kacamata khusus, yang penting lihat matahari di bagian rontgen warna hitam," tuturnya.
Di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dan Pontianak, Kalimantan Barat, GMT tak bisa diamati penuh karena tertutup awan. Sementara di Belitung, warga bersorak menyaksikan GMT meski awan beberapa kali menghalangi pandangan ke Matahari.
Dari Pagai hingga Maba, area bayang-bayang umbra Bulan membentuk jalur GMT 3.200 kilometer. Proses GMT di Indonesia 38 menit 5 detik. Dari semua proses gerhana, sejak GMS di Pagai hingga GMS berakhir di Maba, gerhana melintasi Indonesia 3 jam 2 menit 47 detik.
Bayang-bayang Bulan lalu melintasi Samudra Pasifik dan berakhir di satu titik di 1.800 kilometer timur laut Kepulauan Hawaii, Amerika Serikat. Puncak GMT terlama di Samudra Pasifik di Federasi Mikronesia, 560 kilometer tenggara Guam, selama 4 menit 9 detik.
Gerhana sebagian
Warga di sejumlah daerah yang mengalami GMS antusias menyaksikan fenomena alam itu. Ribuan orang, misalnya, berkumpul di Planetarium dan Observatorium Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, untuk menyaksikan GMS. Pengelola menyediakan 4.700 kacamata gerhana, 8 teleskop, dan siaran langsung GMT di Indonesia.
Fenomena gerhana matahari parsial terlihat melalui sekeping kaca di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (9/3/2016). (Kompas/Ferganata Indra Riatmoko)
Proses GMS disaksikan warga di sejumlah daerah, antara lain di Yogyakarta, Bandung, Mataram, Lampung, Surabaya, Malang, Bandung, Solo, Purwokerto, Magelang, Jayapura, dan Serang. Selain mengamati proses gerhana, warga juga menjalankan shalat gerhana. GMT akan kembali melintasi Indonesia pada 2023 di Papua. (TIM KOMPAS)
Siamang (Symphalangus syndactylus) menunjukkan perilaku paling unik di antara satwa teramati di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan, seiring gerhana matahari sebagian, Rabu (9/3). Saat satwa lain tenang, puluhan primata koleksi Ragunan itu justru aktif: menjerit dan terus bergerak di kandang.
Gerhana matahari total adalah fenomena alam biasa yang mulai terjadi sejak terbentuknya tata surya 4,5 miliar tahun lalu. Namun, peristiwa itu menjadi langka karena hanya sedikit daratan di muka bumi yang bisa menyaksikan dan merasakan dampaknya. Karena itu, tak banyak dokumentasi nenek moyang kita yang merekam gerhana matahari di Nusantara.
Petirtaan Candi Belahan, yang juga disebut Sumber Tetek di Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Rabu (2/3). (Kompas/Nawa Tunggal)
Candi Belahan di Gempol, Pasuruan, Jawa Timur, diperkirakan menyimpan catatan gerhana matahari tertua di Nusantara. Bangunan peninggalan Kerajaan Mataram kuno itu terletak di lereng timur Gunung Penanggungan pada ketinggian 336 meter di atas permukaan laut.
Bagi masyarakat Jawa kuno, Penanggungan yang juga disebut Pawitra ialah gunung suci. Sesuai studi kepurbakalaan di Gunung Penanggungan 2012-2014, ada 116 situs bersejarah di gunung itu, mulai dari candi, pertapaan, hingga petirtaan yang merupakan peninggalan peradaban Hindu-Buddha di Jawa Timur.
Catatan gerhana di Candi Belahan berupa relief, menggambarkan sosok raksasa Batara Kala hendak menelan medalion atau bulatan. Di bawah bulatan itu, ada dua sosok ditafsirkan sebagai Dewa Surya atau Dewa Matahari dan Dewi Candra atau Dewi Bulan. Bulatan itu diduga sebagai matahari atau bulan.
Berdasarkan pengamatan Kompas, Rabu (2/3), relief itu ditemukan di batu pipih, di samping kanan depan petirtaan atau pemandian di kompleks candi. Batu pipih dari batuan andesit itu menjadi prasasti yang hanya menunjukkan gambar timbul, tanpa tulisan ataupun hiasan.
Batu prasasti itu patah sehingga merusak sedikit relief di atasnya. Bagian atas prasasti dipenuhi gambar Batara Kala berambut ikal. Raksasa itu tidak punya tubuh atau kaki, tetapi memiliki dua tangan menggenggam bulatan yang berlubang di tengahnya. Bulatan itu pun digigit sang Kala. Lubang di bulatan itu diduga berfungsi sebagai saluran air petirtaan.
Namun, prasasti itu luput dari perhatian pengunjung. Mereka lebih tertarik memperhatikan dua patung perempuan bertelanjang dada, salah satunya memancarkan air dari payudaranya.
Pancuran dari payudara itu membuat warga menyebut petirtaan Candi Belahan sebagai ”Sumber Tetek”. Air yang memancur dimanfaatkan warga sebagai sumber air bersih yang tak pernah kering hingga kini.
Gambar di relief memunculkan dugaan para ahli, relief itu menunjukkan catatan gerhana bulan, gerhana matahari, atau keduanya. Sebab, ada Dewa Surya dan Dewi Candra di bawah medalion.
Namun, ahli arkeoastronomi yang juga kurator Museum Nasional di Jakarta, Trigangga, menilai, prasasti itu ialah rekaman dua gerhana sekaligus, gerhana bulan dan gerhana matahari.
Sengkalan
Relief Batara Kala itu sebagai sengkalan memet atau cara menyembunyikan angka berbentuk gambar, relief, patung, atau ornamen. Bentuk relief Kala menggigit Bulan itu ditafsirkan sebagai kalimat Kala anahut Candra (Kala menggigit Bulan) atau bisa juga Candra sinahut Kala (Bulan digigit Kala).
Kata-kata pada kalimat Candra Sinahut Kala itu lalu diubah menjadi kode angka. Candra merujuk angka 1, sinahut angka 3, dan Kala menunjuk angka 9. Karena aturan sengkalan dibaca terbalik dari belakang, relief itu merujuk angka tahun 931 Saka, bertepatan dengan tahun 1009 Masehi.
Itu berarti, gerhana bulan yang direkam di prasasti Candi Belahan merujuk pada gerhana tahun 1009 Masehi. ”Dari penghitungan, gerhana bulan yang melintasi Jawa tahun itu terjadi pada 7 Oktober,” kata Trigangga.
Sepanjang tahun 1009, ada 6 kali gerhana, terdiri dari 4 kali gerhana matahari dan 2 gerhana bulan. Keempat gerhana matahari itu adalah gerhana matahari sebagian pada 29 Maret, 27 April, 21 September, dan 21 Oktober.
Sebuah prasasti ada di petirtaan Candi Belahan, yang juga disebut Sumber Tetek di Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Rabu (2/3). Prasasti itu ditafsirkan memuat sengkalan memet (cara menyembunyikan angka berbentuk gambar, relief, patung, atau ornamen) untuk mendokumentasikan peristiwa gerhana bulan pada 7 Oktober 1009 di Jawa sekaligus memuat pengetahuan gerhana matahari melalui relief sosok Batara Kala yang akan menelan bulan serta sosok Dewa Surya dan Dewi Candra. (Kompas/Nawa Tunggal)
Dua gerhana bulan yang terjadi ialah gerhana total pada 12 April dan 7 Oktober. Gerhana bulan 7 Oktober bisa diamati di Jawa saat bulan terbenam atau bersamaan terbitnya matahari. Gerhana dimulai pukul 04.08 pagi, puncaknya pukul 06.00, dan berakhir pukul 08.45 atau saat bulan tak tampak lagi.
Gerhana matahari
Menurut Trigangga, gambar timbul Dewa Surya di prasasti Candi Belahan kemungkinan penanda, selain ada gerhana bulan, saat itu juga ada gerhana matahari.
Menurut dosen astronomi Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, gerhana matahari dan bulan tak mungkin bersamaan. ”Gerhana bulan dan gerhana matahari bisa terjadi berselang 14-15 hari,” katanya.
Namun, ada pertanyaan, apakah gerhana matahari pada prasasti itu merujuk pada peristiwa gerhana tertentu atau hanya pengetahuan warga saat itu bahwa ada gerhana matahari.
Jika merujuk pada gerhana tertentu, waktu yang memungkinkan dengan gerhana bulan 7 Oktober ialah gerhana matahari 21 September di Antartika atau 21 Oktober yang terjadi di Kanada dan Alaska. Dua gerhana matahari sebagian yang sulit diamati itu tak terjadi di Jawa.
Karena itu, Trigangga menilai, gerhana matahari yang terekam di prasasti Candi Belahan itu hanya menunjukkan masyarakat Jawa masa itu mengetahui ada fenomena gerhana matahari, tak hanya gerhana bulan. ”Prasasti itu tak merujuk atau merekam peristiwa gerhana matahari tertentu, hanya penanda ada gerhana matahari,” katanya.
Karena itu, prasasti Candi Belahan dianggap sebagai catatan gerhana matahari tertua di Nusantara. Adapun catatan tertua gerhana bulan ada lebih dulu, seperti pada prasasti Sucen yang ditemukan di Temanggung, Jawa Tengah. Gerhana bulan di prasasti itu terjadi pada Selasa, 20 Maret 843 selama 5 jam 11 menit, terjadi selepas tengah malam.
Langka
Sulitnya mencari rekaman gerhana matahari di Nusantara bisa dimaklumi. Katalog gerhana matahari selama 5 milenium milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menunjukkan, pada 1-3000, hanya ada 9 kali gerhana matahari total dan 11 kali gerhana matahari cincin di Jawa (titik acuan Yogyakarta).
Bandingkan dengan frekuensi gerhana bulan. Dalam 300 tahun, pada 800-1100, katalog gerhana bulan 5 milenium NASA menyebut ada 160 gerhana bulan total disaksikan di Jawa, baik yang bisa disaksikan semua prosesnya maupun hanya sebagian.
Saat gerhana bulan total, permukaan bumi yang mengalami malam turut menyaksikannya. Sementara gerhana matahari total hanya tampak di daerah lintasan jalur umbra matahari.
Jalur umbra matahari melintasi permukaan bumi selebar 90-160 kilometer dan sepanjang hingga 16.000 kilometer. Jalur itu melintasi lautan sehingga kian kecil peluang bisa diamati.
Meski jarang, pencatatan gerhana matahari dan bulan di sejumlah prasasti menunjukkan, ada budaya merekam dan mencatat peristiwa alam sejak dulu. Namun, pemaknaan fenomena alam secara rasional butuh waktu panjang. Bahkan, di zaman digital, upaya mengedepankan rasionalitas menjadi pekerjaan rumah besar bangsa Indonesia.
Meski gerhana matahari total beberapa kali hadir di wilayah Indonesia, gerhana pada 9 Maret 2016 tetaplah terasa istimewa. Bukan hanya karena fenomena langka, melainkan juga gerhana kali ini bisa menjadi momentum membangun rasionalitas dan keilmuan bangsa.
Sambutan pemerintah dan masyarakat dalam menyambut gerhana matahari total (GMT) kali ini jauh berbeda dibandingkan gerhana-gerhana sebelumnya, khususnya GMT pada 11 Juni 1983. Gerhana tak lagi dipandang sebagai peristiwa alam menakutkan. Kegelapan yang menyertai tertutupnya Matahari oleh piringan Bulan itu justru dimaknai sebagai kegembiraan.
"Cuaca kultural dalam menyikapi gerhana sudah berubah," kata Karlina Supelli, astronom sekaligus filsuf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Kamis (25/2).
Pada GMT 1983, Karlina yang ketika itu bertugas di Planetarium dan Observatorium Jakarta mengingat larangan pemerintah kepada masyarakat melihat langsung gerhana karena bisa menimbulkan kebutaan. Padahal, larangan itu tidak sepenuhnya benar dan pemerintah tidak seharusnya melarang karena risiko itu bisa disiasati.
"Pelarangan waktu itu menjadi alat bagi Presiden Soeharto untuk menguji kepatuhan rakyat di Jawa terhadap pemerintah. Terbukti, rakyat memang tunduk dan patuh," katanya.
GMT 1983 berpuncak di Laut Jawa di utara Pulau Madura selama 5 menit 11 detik. Jalur totalitas gerhana melintasi wilayah tengah Jawa, daerah dengan konsentrasi penduduk terbesar di Indonesia, selama 3-5 menit.
Ketakutan yang muncul saat gerhana masa itu direkam Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam tulisannya, "Akhirnya Batara Kala Muncul Juga" dan YB Mangunwijaya atau Romo Mangun dalam "Pikiran-pikiran tentang Suatu Gerhana" di Kompas, 16 Juni 1983.
Ketakutan terhadap gerhana itu dinilai Gus Dur bukan kepada probabilitas akibat yang ditimbulkannya, tetapi muncul karena adanya kemungkinan bahaya yang jauh lebih besar. Gus Dur mencontohkan sikap seorang lurah yang memerintahkan anak-anak diikat agar tak keluar rumah saat gerhana, dan adanya seorang dokter yang menganjurkan mata kambing dan hewan ternak lainnya ditutup agar tidak buta.
Kondisi itu menunjukkan adanya ketakutan lebih besar yang dialami pejabat dan profesional hingga tingkat terendah yang diberi wewenang kekuasaan oleh pemerintah. Gus Dur mengibaratkan ketakutan itu sebagai kemunculan Batara Kala di bidang hukum dan politik.
Sementara Romo Mangun mengingatkan, ketakutan sering menelurkan kejahatan. Karena itu, sebelum pencerdasan dilakukan, rasa atau suasana takut itu harus dihilangkan dulu.
Kegembiraan
Kini, pemerintah justru mengajak masyarakat merayakan bersama gerhana. GMT 2016 yang melintasi selatan Sumatera, selatan Kalimantan, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara itu justru menjadi "undangan" bagi 100.000 turis asing dan 5 juta turis Nusantara untuk menikmati kegelapan sekejap nan eksotis di pagi hari.
Dengan "cuaca" kultural yang membaik itu, Karlina berharap masyarakat mulai diajak mengubah perilakunya agar semakin mengedepankan rasionalitas dan keilmuan. "Cuaca kultural sudah berubah, tetapi perilaku-perilaku kultural kita belum berubah," katanya.
Salah satu contoh perilaku kultural yang tidak berubah itu adalah cara masyarakat dalam menyikapi bencana. Banjir, longsor, atau gempa masih dianggap sebagai peristiwa alam yang memberikan bencana. Padahal, alam hanya menjalankan konsekuensi perubahan yang dipicu ulah manusia.
"Peristiwa alam bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dipahami. Alam memiliki sifat tersendiri yang harus terus dipahami manusia," tambahnya.
Karena itu, gerhana kali ini bisa dijadikan sebagai kesempatan untuk mencerdaskan masyarakat guna terus memahami sifat alam. Alam berubah karena manusia yang mengubahnya.
Meski upaya pencerdasan lebih tertuju pada rasionalitas, Karlina menilai, mitologi tak bisa ditinggalkan begitu saja. Justru itu menjadi tugas manusia saat ini untuk menafsirkan mitologi menjadi nilai-nilai yang relevan. Upaya pencerdasan itu harus dilakukan dengan tetap menjaga tradisi agar bermakna dan dibingkai menjadi sebuah gerak kebudayaan.
Selama ini, kebudayaan menjadi bidang perhatian yang dilemahkan. Kebudayaan tidak pernah ditafsir dan dikodifikasi. Namun, demi tujuan tertentu, kebudayaan sering kali diagung-agungkan dan sekadar jadi panggung.
Kodifikasi kebudayaan menjadi tugas awal yang sangat penting sehingga data basis kebudayaan di berbagai tempat akan terdokumentasikan. Melalui kodifikasi, kebudayaan bisa ditafsir untuk menghadirkan nilai-nilai yang relevan sesuai zaman, seperti menunjang kepentingan lingkungan hidup, ekonomi adil, atau ekonomi yang ekologis.
Budaya kerja
Pegiat kebudayaan Radhar Panca Dahana melihat fenomena gerhana kali ini sebagai peristiwa jagat besar (makrokosmos) yang bakal memengaruhi jagat kecil (mikrokosmos). Pengaruh itu bisa memunculkan hal-hal baik bagi manusia yang besarannya sangat bergantung pada tingkat kemampuan manusia menyatukan dirinya dengan alam.
Radhar tidak merinci pengaruh yang bakal ditimbulkan dari peristiwa langit atau jagat besar seperti GMT nanti terhadap kehidupan manusia di Bumi sebagai jagat kecil. Namun, ia mengingatkan peristiwa apa pun di langit akan memberikan pengaruh pada kehidupan di Bumi.
Meski demikian, apa pun pengaruhnya, Radhar berulang kali mengingatkan pentingnya membangkitkan kembali budaya bahari bangsa. Jika budaya bahari itu dihidupkan lagi dan nilai-nilainya terus-menerus digali, hal itu diyakini akan membawa perubahan besar bagi bangsa.
"Dalam budaya bahari, agama tidak akan saling berkelahi," katanya.
Budaya bahari yang dimiliki bangsa Indonesia sejak ribuan tahun sebelum Masehi itu menunjukkan penyatuan manusia dengan alam yang diistilahkan Radhar sebagai manunggaling kawula lan gusti atau menyatunya rakyat dengan penguasa. Meski demikian, Radhar mengingatkan, ngomong dan pidato bukan bagian kerja dari budaya bahari.
Karena itu, GMT kali ini semestinya menjadi momentum bagi penguasa untuk mulai menyatu dengan rakyat dan bekerja bersama rakyat. "Ada falsafah hidup dalam bahasa Jawa, rame ing gawe, sepi ing pamrih (giat bekerja tanpa pamrih). Seperti itulah semestinya budaya negeri bahari kita," katanya.
Setiap saat, Matahari selalu mengembuskan partikel-partikel bermuatannya ke antariksa, baik saat badai matahari maupun tidak. Aliran partikel bermuatan yang disebut angin matahari itu menyebar ke segala arah hingga tepian tata surya. Saat angin matahari menabrak Bumi, medan magnet Bumi pun akan terpengaruh.
Persiapan pengamatan gerhana matahari total di Candi Borobudur tanggal 11 Juni 1983. (Kompas/Kartono Ryadi)
Ketika terjadi ledakan di Matahari yang disebut lontaran massa korona (coronal mass ejection), aliran partikel bermuatan yang menabrak Bumi itu kian bertambah besar. Kondisi itu bukan hanya memengaruhi medan magnet Bumi, melainkan juga bisa melemahkannya hingga menimbulkan badai geomagnetik.
Badai itu bisa menguatkan terbentuknya aurora di daerah lintang tinggi, baik aurora Borealis maupun Australis. Bahkan, badai itu bisa mengganggu satelit yang memengaruhi sistem telekomunikasi di Bumi dan sistem kelistrikan Bumi di daerah dekat kutub.
Saat angin Matahari menabrak Bumi, daerah khatulistiwa tak terlalu berdampak karena medan magnet Bumi atau magnetosfer bersifat seperti tameng. "Ketika partikel bermuatan menabrak khatulistiwa Bumi, partikel itu dibuang ke kutub Bumi," kata Kepala Subbidang Magnet Bumi dan Listrik Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Suaidi Ahadi, Kamis (25/2).
Namun, masih ada partikel bermuatan itu yang lolos dan masuk ke wilayah lintang rendah di sekitar khatulistiwa dan lintang menengah yang dinamakan continuous pulsations (Pc) atau pulsa kontinu. Pulsa kontinu yang masuk ke daerah lintang rendah dan menengah adalah Pc3 yang memiliki periode 10-45 detik dan Pc4 dengan periode 45-150 detik. Adapun Pc1 dan Pc2 masuk ke lintang tinggi.
"Saat terjadi badai matahari, Pc3 bisa mengganggu sinyal telepon dan radio, sedang Pc1 dan Pc2 menyebabkan padamnya listrik," katanya.
Gerhana
Saat gerhana matahari, lanjut Suaidi, aliran angin matahari yang menuju Bumi terhalang Bulan. Dalam kasus gerhana matahari total (GMT), 9 Maret 2016, yang terjadi di sekitar khatulistiwa, aliran Pc3 dan Pc4 tidak akan muncul di daerah lintang rendah.
Mengutip penelitian P Bencze dkk dalam "Effect of the August 11, 1999 Total Solar Eclipse on Geomagnetic Pulsations" di Acta Geodaetica et Geophysica Hungarica, 2007, kata Suaidi, selama GMT, aliran Pc3 dan Pc4 memang berubah. Namun, perubahannya tidak signifikan. Meski demikian, data penghitungan medan magnet itu tetap berguna.
Saat GMT, para ilmuwan bisa menentukan nilai medan magnetik Bumi sebenarnya pada titik tertentu di Bumi yang dilintasi jalur totalitas gerhana. Nilai kemagnetan Bumi dipengaruhi banyak hal, dari dalam dan luar Bumi. Karena itu, saat Bulan mengeblok angin matahari, maka medan magnetik asli yang ditimbulkan Bumi bisa diukur.
Pada 9 Maret, BMKG akan mengukur medan magnet Bumi sebenarnya menggunakan magnetometer atau variometer di Tanjungpandan, Kepulauan Bangka Belitung, dan Palu, Sulawesi Tengah.
Hasil pengukuran itu akan dibandingkan dengan pengukuran di stasiun medan magnet Bumi BMKG di enam lokasi yang hanya mengalami gerhana matahari sebagian sehingga aliran Pc3 dan Pc4 tetap ada. Keenam stasiun BMKG itu adalah Tuntungan (Sumatera Utara), Tangerang (Banten), Palabuhanratu (Jawa Barat), Kupang (Nusa Tenggara Timur), Manado (Sulawesi Utara), dan Jayapura (Papua).
Menurut Suaidi, data medan magnet Bumi sebenarnya diperlukan untuk menentukan arah dalam navigasi, menentukan ketepatan posisi pengeboran dalam eksplorasi sumber daya mineral, serta memprediksi perubahan iklim. "Selama ini, faktor perubahan medan magnet Bumi belum dimasukkan dalam pemodelan perubahan iklim," katanya.
Hampir 200 tahun terakhir, kutub utara magnetik (KUM) Bumi bergeser 200 kilometer. Jika pada 1831 KUM terletak di Semenanjung Boothia, utara Kanada, satu dekade ke depan diperkirakan akan berada di Siberia, Rusia. Padahal, kutub utara dan selatan magnet Bumi adalah sumbu atau poros perputaran Bumi pada porosnya, bukan di kutub geografis.
Pergeseran itu mengubah posisi Bumi terhadap Matahari sehingga panjang musim di sebagian besar permukaan Bumi akan berubah hingga turut memicu perubahan iklim.
Selain itu, besaran medan magnet di setiap titik di muka Bumi berbeda. Karena itu, data medan magnet sebenarnya di Indonesia tidak bisa digunakan berdasarkan data di tempat lain. Kondisi itu membuat GMT kali ini punya nilai kebaruan dalam ranah penelitian geomagnet.
Sementara itu, peneliti geomagnet Pusat Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Mamat Ruhimat, mengatakan, saat gerhana, ketika sinar Matahari terhalang Bulan, proses ionisasi di lapisan ionosfer Bumi akan menurun. Berkurangnya ionisasi membuat arus di ionosfer ikut berubah.
Ionosfer adalah atmosfer bagian atas yang berisi ion-ion positif dan elektron yang diperoleh dari proses ionisasi oleh sinar ultraviolet Matahari. Sehari-hari, saat pancaran radiasi Matahari maksimum, terbentuk empat lapisan ionosfer. Lapisan itu, dari yang paling tinggi ke paling rendah, adalah F2, F1, E, dan D. Gangguan arus biasanya terjadi pada lapisan E di ketinggian 90-140 kilometer.
Karena tertutup Bulan, sinar ultraviolet tak menjangkau atmosfer Bumi sehingga proses ionisasi tak terjadi. Perubahan arus itu bisa memengaruhi variasi harian geomagnet Bumi. "Seberapa besar perubahan geomagnet itu akan diteliti Lapan di Ternate," katanya. Penelitian dilakukan bersama BMKG serta tim Universitas Kyushu dan Universitas Nagoya, Jepang.
Elvis V Onovughe dalam "Geomagnetic Diurnal Variation During the Total Solar Eclipse of 29 March 2006" di International Journal of Astronomy, 2013, menyebut perubahan arus di ionosfer selama gerhana matahari dipicu faktor lain, seperti tingkat aktivitas Matahari, tingkat gangguan geomagnetik, kondisi geofisika, dan waktu terjadinya gerhana. (MZW)