Showing posts with label Politik. Show all posts
Showing posts with label Politik. Show all posts

Friday, 16 April 2021

Puasa Lintas Tradisi

Oleh AHMAD NAJIB BURHANI 

Puasa merupakan praktik menahan atau membatasi diri, seperti dari makanan dan minuman, yang dilakukan oleh berbagai tradisi dalam masyarakat dunia sejak dulu kala. Puasa bisa bermotif agama, budaya, kesehatan, politik, atau lainnya.

Di Jawa, seperti ditulis Clifford Geertz (1964), puasa merupakan ritual yang banyak dilakukan masyarakat dari seluruh tingkatan kelas dengan tujuan ”untuk kekuatan dan intensitas spiritual”. Melalui ritual puasa, seseorang akan bisa meningkatkan kesaktian, kekuatan spiritual, atau kemampuan supranaturalnya.

Saturday, 20 April 2019

Belajar Demokrasi dari Tebuireng Jombang...

Oleh RINI KUSTIASIH
Dua rumah yang berdampingan di depan kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, tersebut kontras dengan pemasangan bendera dan banner yang "bertolak belakang". Satu rumah memasang spandung "Pejuang PAS" yang mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan satu rumah lainnya memasang banner "Barisan Gus Dur dan Santri Bersatu" yang mendukung pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Dua pemilik rumah itu pun masih bersaudara karena mereka adalah saudara sepupu satu sama lain. Keduanya sama-sama cucu dari KH Hasyim Asy'ari yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama dan juga pengasuh Ponpes Tebuireng yang pertama. Pemandangan yang demikian kontras dengan mudah disimpulkan bahwa kedua pemilik rumah berbeda pandangan politik atau setidaknya memiliki pilihan politik yang tidak sama.


Pemandangan dua rumah di depan gerbang Pondok Pesantren Tebuireng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, yang berbeda pandangan politik, Minggu (7/4/2019). Kedua pemilik rumah adalah saudara sepupu dan masih keturunan KH Hasyim Asy'hari, pendiri Ponpes Tebuireng dan Nahdlatul Ulama. Perbedaan pandangan dan demokrasi menjadi sesuatu yang dihargai dalam pendidikan pesantren tersebut.

Saturday, 11 August 2018

Rashida Tlaib, Perempuan Muslim Pertama di Kongres AS

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika Serikat, seorang perempuan Muslim keturunan Palestina merebut kursi di Kongres AS. Rashida Tlaib (42) berhasil mengalahkan lima kandidat dari Partai Demokrat dan merebut kursi yang mewakili Michigan.

Saturday, 4 August 2018

Soekarno, Penerima Gelar Doktor HC Terbanyak

Barangkali tiada yang menandingi Soekarno dalam peraihan gelar doktor honoris causa atau Dr HC. Ia menerima 26 gelar Dr HC. Luar biasa! Dibandingkan dengan masa berkuasanya yang 22 tahun, jumlah gelar yang diterima lebih banyak. Dari 26 gelar itu, 19 gelar diperoleh dari sejumlah universitas di Amerika Serikat, Amerika Latin, Asia, Eropa, dan hanya tujuh gelar dari universitas di dalam negeri. Ini menandakan kiprah Soekarno dihormati di dunia. Gelarnya pun dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari bidang hukum, politik, kemasyarakatan, teknik, hubungan internasional, filsafat, hingga ilmu tauhid.

Saturday, 12 May 2018

Akhiri Perseteruan Tiga Abad

Oleh MUHAMMAD IKHSAN MAHAR, EDNA C PATTISINA
Meski pernah berperang selama tiga tahun dalam Perang Makassar, raja ke-16 Gowa, Sultan Hasanuddin, dan raja ke-15 Bone, Arung Palakka, justru menjauhkan rasa dendam dan saling menghormati di akhir perang. Mungkinkah keteladanan dan kenegarawan seperti itu dapat ditiru?

Sicarii - Assassin

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Terorisme adalah wajah gelap perilaku manusia, sejak pertama sejarah mencatat tindakan mereka. Dalam History of the Jewish War (Jewish Antiquities)–buku tujuh jilid karya sejarawan kuno Yahudi, Joseph Ben Matthias atau Flavius Josephus (37/37-100)–diceritakan bagaimana faksi pemberontak, sicarii (nama ini diambil dari senjata yang mereka gunakan, yakni pisa pendek atau belati), menyerang orang-orang Romawi dan juga kelompok mapan orang-orang Yahudi. Mereka menjadi kelompok yang dikenal sebagai kaum Zealot–dari bahasa Yunani, zelos, yang berarti semangat atau semangat yang kuat (Gus Martin: 2011).

Sunday, 20 August 2017

Mahatma Gandhi

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Jumat sore, 30 Januari 1948. Saat itu, pukul 17.10. Dengan agak tertatih-tatih, didampingi kemenakan perempuan, Abha, dan cucu perempuan, Manu, karena baru saja mengakhiri mogok makan, Gandhi berjalan menuju lapangan rumput Birla House, tempat tinggalnya di New Delhi.

Saturday, 29 July 2017

Publilius Syrus

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Ada sepotong kalimat bijak yang menarik untuk direnungkan: “Contideam natur qui semper timet”, yang secara bebas bisa diterjemahkan, “Yang setiap hari menuduh adalah yang selalu takut”.
Kalimat bijak itu, menurut cerita, diucapkan dan kemudian ditulis oleh Publilius Syrus (85-43 SM). Syrus bukanlah seorang filsuf, katakanlah para filsuf seperti Cicero (106-43 SM), Lucretius (94-55 SM), Seneca (4 SM-65 M), Musonius Rufus (30-100), Plutarch (45-120), Epictetus (55-135), Marcus Aurelius (121-180), Clement dari Aleksandria (150-215), Augustinus dari Hippo (354-430), dan masih banyak filsuf yang sangat tersohor.

Friday, 26 May 2017

Menolak Ide Khilafah

Oleh MOH MAHFUD MD
Buktikan bahwa sistem politik dan ketatanegaraan Islam itu tidak ada. Islam itu lengkap dan sempurna, semua diatur di dalamnya, termasuk khilafah sebagai sistem pemerintahan”. Pernyataan dengan nada agak marah itu diberondongkan kepada saya oleh seorang aktivis ormas Islam asal Blitar saat saya mengisi halaqah di dalam pertemuan Muhammadiyah se-Jawa Timur ketika saya masih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi.
Saat itu, teman saya, Prof Zainuri yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, mengundang saya untuk menjadi narasumber dalam forum tersebut dan saya diminta berbicara seputar ”Konstitusi bagi Umat Islam Indonesia”.
Pada saat itu saya mengatakan, umat Islam Indonesia harus menerima sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sistem negara Pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagaman dari bangsa Indonesia.
Saya mengatakan pula, di dalam sumber primer ajaran Islam, Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Di dalam Islam memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak diatur di dalam Al Quran dan Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.
Sistem negara Pancasila
Khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan manusia yang isinya bisa bermacam-macam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Di dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku.
Umat Islam Indonesia boleh mempunyai sistem pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat Indonesia sendiri. Para ulama yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia menyatakan, negara Pancasila merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah sehingga harus diterima sebagai mietsaaqon ghaliedzaa atau kesepakatan luhur bangsa.
Penjelasan saya yang seperti itulah yang memicu pernyataan aktivis ormas Islam dari Blitar itu dengan meminta saya untuk bertanggung jawab dan membuktikan bahwa di dalam sumber primer Islam tidak ada sistem politik dan ketatanegaraan. Atas pernyataannya itu, saya mengajukan pernyataan balik. Saya tak perlu membuktikan apa-apa bahwa sistem pemerintahan Islam seperti khilafah itu tidak ada yang baku karena memang tidak ada.
Justru yang harus membuktikan adalah orang yang mengatakan, ada sistem ketatanegaraan atau sistem politik yang baku dalam Islam. ”Kalau Saudara mengatakan bahwa ada sistem baku di dalam Islam, coba sekarang Saudara buktikan, bagaimana sistemnya dan di mana itu adanya,” kata saya.
Ternyata dia tidak bisa menunjuk bagaimana sistem khilafah yang baku itu. Kepadanya saya tegaskan lagi, tidak ada dalam sumber primer Islam sistem yang baku. Semua terserah pada umatnya sesuai dengan keadaan masyarakat dan perkembangan zaman.
Buktinya, di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang memakai sistem sulthaniyyah (kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah (republik), dan sebagainya.
Bahwa di kalangan kaum Muslimin sendiri implementasi sistem pemerintahan itu berbeda-beda sudahlah menjadi bukti nyata bahwa di dalam Islam tidak ada ajaran baku tentang khilafah. Istilah fikihnya, sudah ada ijma’ sukuti (persetujuan tanpa diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa dibuat sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar’i (maqaashid al sya’iy).
Kalaulah yang dimaksud sistem khilafah itu adalah sistem kekhalifahan yang banyak tumbuh setelah Nabi wafat, maka itu pun tidak ada sistemnya yang baku.
Di antara empat khalifah rasyidah atau Khulafa’ al-Rasyidin saja sistemnya juga berbeda-beda. Tampilnya Abu Bakar sebagai khalifah memakai cara pemilihan, Umar ibn Khaththab ditunjuk oleh Abu Bakar, Utsman ibn Affan dipilih oleh formatur beranggotakan enam orang yang dibentuk oleh Umar.
Begitu juga Ali ibn Abi Thalib yang keterpilihannya disusul dengan perpecahan yang melahirkan khilafah Bani Umayyah. Setelah Bani Umayyah lahir pula khilafah Bani Abbasiyah, khilafah Turki Utsmany (Ottoman) dan lain-lain yang juga berbeda-beda.
Yang mana sistem khilafah yang baku? Tidak ada, kan? Yang ada hanyalah produk ijtihad yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Ini berbeda dengan sistem negara Pancasila yang sudah baku sampai pada pelembagaannya. Ia merupakan produk ijtihad yang dibangun berdasar realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, sama dengan ketika Nabi membangun Negara Madinah.
Berbahaya
Para pendukung sistem khilafah sering mengatakan, sistem negara Pancasila telah gagal membangun kesejahteraan dan keadilan. Kalau itu masalahnya, maka dari sejarah khilafah yang panjang dan beragam (sehingga tak jelas yang mana yang benar) itu banyak juga yang gagal dan malah kejam dan sewenang-wenang terhadap warganya sendiri.
Semua sistem khilafah, selain pernah melahirkan penguasa yang bagus, sering pula melahirkan pemerintah yang korup dan sewenang-wenang.Kalaulah dikatakan bahwa di dalam sistem khilafah ada substansi ajaran moral dan etika pemerintahan yang tinggi, maka di dalam sistem Pancasila pun ada nilai-nilai moral dan etika yang luhur. Masalahnya, kan, soal implementasi saja. Yang penting sebenarnya adalah bagaimana kita mengimplementasikannya
Maaf, sejak Konferensi Internasional Hizbut Tahrir tanggal 12 Agustus 2007 di Jakarta yang menyatakan ”demokrasi haram” dan Hizbut Tahrir akan memperjuangkan berdirinya negara khilafah transnasional dari Asia Tenggara sampai Australia, saya mengatakan bahwa gerakan itu berbahaya bagi Indonesia. Kalau ide itu, misalnya, diterus-teruskan, yang terancam perpecahan bukan hanya bangsa Indonesia, melainkan juga di internal umat Islam sendiri.
Mengapa? Kalau ide khilafah diterima, di internal umat Islam sendiri akan muncul banyak alternatif yang tidak jelas karena tidak ada sistemnya yang baku berdasar Al Quran dan Sunah. Situasinya bisa saling klaim kebenaran dari ide khilafah yang berbeda-beda itu. Potensi kaos sangat besar di dalamnya.
Oleh karena itu, bersatu dalam keberagaman di dalam negara Pancasila yang sistemnya sudah jelas dituangkan di dalam konstitusi menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Ini yang harus diperkokoh sebagai mietsaaqon ghaliedzaa (kesepakatan luhur) seluruh bangsa Indonesia. Para ulama dan intelektual Muslim Indonesia sudah lama menyimpulkan demikian.
Moh Mahfud MD
Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013
Kompas, Jumat, 26 Mei 2017 

Saturday, 13 May 2017

Konspirasi

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Julius Caesar mati karena konspirasi. Ia dibunuh sekelompok petinggi di Roma pada 15 Maret 44 SM. Kelompok berjumlah 60 orang itu menganggap bahwa Caesar menjadi penghalang ambisi dan nafsu politik mereka. Caesar dibunuh di gedung Senat oleh 23 anggota komplotan. Sebanyak 27 tusukan pisau belati menembus badan pemimpin Roma itu. Setelah ditusuk berkali-kali, tubuh Caesar dibiarkan tergeletak bersimbah darah. Toganya pun robek dan memerah darah.
Cesare.jpg
Mort de César – Vincenzo Camuccini, 1793
Ambisi politik yang berlebihan, sejak zaman dahulu, selalu membutakan mata dan hati. Ini membuat negara seperti dalam kondisi sakratulmaut. Siapa yang pernah menduga bahwa Marcus Junius Brutus atau Brutus adalah bagian dari konspirasi itu, bahkan ikut pula menusuk Caesar, menyingkirkan Caesar?
Padahal, Caesar sangat baik kepada Brutus. Meskipun Brutus pernah menjadi musuhnya–Brutus bergabung dengan Pompey–setelah Pompey dikalahkan, ia diampuni. Brutus (85-42 SM), yang lahir di Philippi, Macedonia, tidak hanya diampuni, tetapi juga diangkat menjadi paetor (hakim tingkat tinggi di bawah konsul; asisten konsul dan membantu konsul melaksanakan tugas-tugasnya),
Akan tetapi, karena pada dasarnya tidak ada kebaikan dalam hatinya, hatinya berbulu, bagi Brutus berkhianat adalah sesuatu yang biasa dalam politik. Brutus dan komplotannya meminjam definisi politik, menurut Harold Dwight Laswell, ilmuwan politik dari AS, mengartikan politik dalam pengertian yang sangat pragmatis: siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana. (Politics: Who Gets What, When, How: 1936)
Pengertian “mendapatkan apa (sesuatu)” bukan selalu berarti yang bersifat fisik, seperti uang atau materi lain, melainkan tentu juga yang non-material, seperti ideologi, kedudukan, harga diri, dan gengsi. Di dalam “mendapatkan sesuatu”, semua kekuatan politik saling bersaing di dalam suatu arena permainan politik dan menghalalkan segala cara, dalam bahasa Machiavelli.
Brutus bersekongkol dengan sejumlah pejabat untuk menyingkirkan Caesar, yang dianggap terlalu berkuasa dan bahkan dikhawatirkan akan menyalahgunakan kekuasaan di tangannya. Bahkan, dengan lihai, setelah membunuh Caesar, Brutus masih berusaha menarik simpati rakyat Roma. dalam sebuah pidatonya setelah pembunuhan, Brutus mengatakan, “Pembunuhan Caesar adalah peristiwa tragis, memilukan, tetapi kematian Caesar harus terjadi untuk menyelamatkan negara.”
Sejak saat itulah, Brutus menjadi “lambang” orang yang berkhianat. Orang yang tidak tahu balas budi. Brutus menjadi lambang orang yang buta hati dan buta mata karena ambisi. Inilah politikus yang berjiwa pengkhianat. Dia tidak segan-segan mengkhianati orang yang telah menyelamatkannya. Bahkan, orang yang telah mengangkatnya sehingga menduduki jabatan penting dalam panggung politik Roma pada masa itu. Kalau zaman sekarang, Brutus telah diangkat untuk menduduki pos yang penting dan “basah” mendatangkan banyak rezeki.
Benar kata Caesar Augustus (63 SM-14 M), “Hati-hatilah karena banyak perbuatan jahat dapat berasal dari permulaan yang baik.” Filsafat politik mengajarkan, ada istilah yang disebut political virtue. Di sini virtue berarti moral excellence. Dalam berpolitik, moral tidak boleh dilupakan. Sebab, urusan politik itu sejatinya adalah urusan moral. Karena itu, dalam dunia politik, muncul istilah-istilah yang berkaitan dengan moral, misalnya kesetiaan dan dedikasi atau pengkhianatan.
Memang, politik Roma penuh dengan konspirasi. Sekitar dua dasawarsa sebelum Brutus berkonspirasi, Lucius Sergius Catilina sudah melakukan hal yang sama pada 63 SM. Catilina (108-62 SM) adalah seorang aritokrat, yang kemudian menjadi demagog (KBBI: demagog adalah seorang pemimpin yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan. Menurut dictionary.com, demagog adalah seseorang, khususnya seorang orator atau pemimpin politik, yang memperoleh kekuasaan dan popularitas dengan membangkitkan emosi, nafsu, keinginan, dan purbasangka orang).
Namun, demagog juga secara sederhana diartikan sebagai orang yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Contohnya, politikus yang gemar mengaduk-aduk perasaan masyarakat dengan menggunakan isu agama untuk kepentingan politik dan tidak mengajak rakyat untuk berpikir jernih, obyektif mencari jalan keluar saat menghadapi persoalan.
Seperti itulah Lucius Sergius Catilina pada waktu itu. Ia dikenal sebagai seorang politisi, politisi revolusioner. Ia pernah menjadi gubernur di Afrika. Catilina pernah pula mencalonkan diri menjadi konsul, tetapi pencalonannya ditolak. Hal ini disebabkan ia didakwa pernah melakukan pemerasan semasa menjadi gubernur di Afrika. Selain didakwa pernah memeras, Catilina juga didakwa pernah membunuh.
Di lain waktu, Catilina mencalonkan diri menjadi senator. Namun, lagi-lagi usahanya gagal. Pemimpin senator berpihak kepada Cicero (106-43 SM). Cicero atau Marcus Tullius Cicero adalah filsuf, orator terbesar yang memiliki keterampilan andal dalam retorika, pengacara terbesar di zaman Republik Roma akhir. Gagal melalui jalan normal untuk menjadi politisi, Catilina berbelok arah. Ia memilih jalur revolusi.
Catilina mengumpulkan sejumlah tokoh anggota kelas menengah dan membentuk kelompok. Mereka bersama-sama melancarkan gerakan subversi (menurut istilah kita di negeri ini). Catilina bersama pengikut berencana merekrut tentara di Etruria lalu bergerak masuk ke Roma dan mengambil alih kontrol kekuasaan. Setelah masuk Roma dan mengambil alih kekuasaan, mereka akan membunuh Cicero dan senator terkemuka lain.
Namun, justru Cicero-lah yang membongkar rencana kudeta tersebut dalam pidato di Senat. Catilina diusir keluar dari Roma. Sejarawan Mary Beard dalam bukunya, SPQR: A History of Ancient Rome, menyebut pertarungan antara Cicero dan Catilina yang menjadi awal konspirasi adalah bentrokan antara “ideologi dan ambisi”. Catilina dan Brutus sama-sama dikuasai ambisi politik yang menggebu-gebu, yang menutup mata hatinya.
Cicero menyatakan, pada masa itu para pemegang jabatan tak beretika. Apabila etika jabatan yang menekankan nurani kejujuran dan ketulusan sudah dilanggar, kekuasaan akan menjadi monster penuh kerakusan yang mengerikan. Thomas Hobbes menggambarkan mereka sebagai leviathan, yang mendewakan kekuasaan di atas segala-galanya. Karena itu harus direbut dengan segala cara, digenggam erat-erat dengan segala daya.
Kompas, Minggu, 14 Mei 2017

Sunday, 9 April 2017

Luka di Tubuh Bayi Republik

Oleh MUHAMMAD IKHSAN MAHAR dan ANTONY LEE
Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya mimpi orang-orang yang kauabaikan. Sekarang segera penjarakan aku. Katakan kepada siapa pun, seorang pemberontak yang kesepian telah menyerah dan tak ingin lagi melanjutkan perang.
(“Kematian Kecil Kartosoewirjo”, Triyanto Triwikromo)
Mereka berjuang bersama mengusir penjajah. Namun, waktu mengantar sebagian dari para pejuang dan tokoh bangsa itu saling menodongkan senjata. Sebuah imbas dari ketidakpuasan elite yang beresonansi dengan kekecewaan masyarakat atas situasi sosial-politik yang tidak menentu.
rumah kartosoewirjo.jpg
Tampak rumah milik keluarga besar Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang kini ditempati keponakan Kartosoewirjo, Nuk Murdati (82), Kamis (9/3), di Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Rumah tersebut dibangun sejak 1890-an. (Kompas/Muhammad Ikhsan Mahar)
Nuk Mudarti (82), keponakan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, menerima kami dengan ramah, Kamis (9/3) siang, di kediamannya di Jalan Raya Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sebelum mempersilakan duduk di ruang tamu rumahnya, ia beberapa kali menanyakan asal dan tujuan kami berkunjung ke rumahnya.
“Sejak masa Belanda sampai awal kemerdekaan, rumah ini selalu diawasi aparat,” kata Nuk.
Kondisi itu tak lepas dari sejarah keluarga besar Nuk yang sebagian di antaranya dilabeli pemberontak. Paman Nuk, Sekarmadji, merupakan pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sementara paman Sekarmadji, yakni Marco Kartodikromo, dianggap sebagai pemberontak oleh Belanda dan diasingkan ke Boven Digoel, Papua, pada 1926. Marco dikenal sebagai wartawan dan novelis berpandangan kiri. Ia meninggal di Boven Digoel pada 1932 karena malaria.
Rumah Nuk yang berbahan utama kayu jati dan bercat putih itu dibangun tahun 1890-an. Rumah dengan sebagian rangka atap sudah lapuk dimakan usia itu merupakan rumah keluarga besar Sekarmadji atau tepatnya milik paman Sekarmadji, yaitu Kartodimedjo. Di masa mudanya, Sekarmadji beberapa kali bermalam di rumah itu ketika tengah menikmati libur di Europeesche Lagere School di Padangan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Nuk mengungkapkan, kakek Sekarmadji, Kartodikromo, pernah menjabat Lurah Cepu. Literatur sejarah juga mencatat ayak Sekarmadji, yakni Kartosoewirjo, merupakan mantri candu.
Menurut Nuk, keluarganya terkesan abangan, termasuk Sekarmadji. Oleh karena itu, ia tak terlalu paham apa yang mendorong pamannya angkat senjata untuk mendirikan DI/TII di masa awal Republik. Namun, keluarga besar mereka, kata Nuk, mendidik untuk selalu terbuka soal pandangan hidup. “Kami memegang teguh blokosuto, yakni teguh pada pendirian dan tidak akan menjilat kata-kata sendiri,” ujarnya.
Paham keislaman
Menurut KD Jackson di dalam Traditional Authority and National Integration: The Dar’ul Islam Rebellion in West Java (1971), paham keislaman Sekarmadji dipengaruhi tokoh Islam dan ulama yang bersinggungan dengannya. Dimulai awal dekade 1920-an, paham Islam-nya dipengaruhi sang guru, Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pada 1929, ketika menetap di Malangbong, Kabupaten Garut, Sekarmadji mengenal Kiai Ardiwisastra. Kedua orang itu memberi pengaruh besar terhadap cikap bakal pemikirannya membentuk negara Islam.
Pemikiran radikal Sekarmadji dimulai ketika ia membentuk Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) tandingan di Malangbong, April 1940, sebagai bentuk protes terhadap pimpinan PSII yang saat itu cenderung bersikap kooperatif terhadap Belanda. Ia juga mendirikan pesantren yang dinamai Institut Suffah.
Awalnya, Institut Suffah didirikan untuk menyiapkan laskar Sabilillah dan Hizbullah untuk melakukan perlawanan gerilya terhadap tentara Belanda di wilayah Jawa Barat. Ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Sekarmadji mendukung.
Namun, dukungan Sekarmadji terhadap pemerintahan Indonesia sirna setelah ia kecewa atas hasil Perjanjian Renville, 17 Januari 1948, yang mengharuskan pasukan tentara Indonesia ditarik mundur dari wilayah Jawa Barat. Itu artinya tidak ada lagi kekuasaan RI di tanah Pasundan.
Dalam Darul Islam-NII dan Kartosuwirjo: Angan-Angan yang Gagal, Holk H Dengel menjelaskan, atas kekecewaannya terhadap Pemerintah RI mengakibatkan perjuangan tentara DI/TII beralih dari mempertahankan kemerdekaan Indonesia menjadi untuk memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII). Sekarmadji meresmikan NII di Cisampah, Kecamatan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, 7 Agustus 1949.
Pertempuran pertama antara Divisi Siliwangi Tentara Nasional Indonesia dengan Tentara Islam Indonesia terjadi 25 Januari 1949. Kala itu, pertempuran terjadi di daerah Priangan Timur dan menewaskan pemimpin Divisi Siliwangi, yaitu Mayor Utarja. Karena pertempuran saudara itu, M Natsir pun ditugaskan oleh Mohammad Hatta untuk berkomunikasi dengan Sekarmadji di Bandung, 4 Agustus 1949. Natsir kemudian membuat surat kepada Sekarmadji yang diserahkan melalui A Hassan, salah satu pemimpin Persatuan Islam (Persis). Dalam surat balasannya, Sekarmadji menegaskan bahwa NII telah diproklamirkan dan tidak dapat ditarik lagi.
“Saya tidak mau menelan air ludah saya kembali,” tulis Sekarmadji di surat balasannya.
Kekecewaan serupa juga menimbulkan gerakan DI di wilayah lain di Indonesia, seperti di Aceh dan Sulawesi. DI Aceh yang diproklamirkan Teungku M Daud Beureueh, selain karena disebabkan kekecewaan atas dasar negara, juga karena adanya status Aceh yang tidak dijadikan provinsi, tetapi hanya bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
BJ Bolland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982) mengungkapkan, korespondensi surat dilakukan Kahar Muzakkar kepada Sekarmadji pada 5 Juli 1950. Dalam surat itu, Kahar menulis menerima pengangkatan sebagai panglima Tentara Islam Indonesia untuk Sulawesi.
Operasi gerilya yang dilakukan Kahar juga diawali kemarahannya kepada Kolonel Kawilarang yang menolak permintaannya agar semua anggota Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan diterima sebagai anggota TNI dan dibentuk sebagai sebuah brigade khusus yang akan dinamakan Divisi Hasanuddin.
Kekecewaan daerah
Selain latar belakang ideologi, pemberontakan juga disebabkan ketidakpuasan daerah terhadap kinerja pemerintah pusat. Kondisi Indonesia pasca Pemilu 1955 menambah panjang daftar pemberontakan di daerah terhadap pemerintah pusat.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Susilo Utomo, menuturkan, perdebatan elite politik seusai pemilu pertama, terutama mengenai Undang-Undang Dasar, menyebabkan pemerintah pusat tidak mengacuhkan pembangunan di daerah.
Perdebatan panjang yang terkesan elitis mengakibatkan rakyat di daerah merasa tidak dipedulikan, apalagi ditambah dengan alokasi pembangunan yang sangat sedikir, bahkan tidak ada. Akibatnya, menurut Susilo, muncul gerakan untuk menentang pemerintah, khususnya dari daerah yang memiliki peran signifikan dalam kemerdekaan Indonesia.
Pada medio 1956-1957 muncul organisasi perlawanan di daerah, seperti Dewan Banteng di Padang (Sumatera Barat), Dewan Garuda di Palembang (Sumatera Selatan), Dewan Gajah di Medan (Sumatera Utara), Dewan Manguni di Manado (Sulawesi Utara), dan Perjuangan Rakyat Semesta di Makassar (Sulawesi Selatan). Pada 15 Februari 1958 berdiri pula Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang.
Selain kue pembangunan yang terpusat di Jawa, dalam Sejarah Nasional Indonesia VI, Marwati Djoened Poesponegoro menuturkan, pemberontakan bersenjata dan gerilya di daerah muncul karena kekecewaan tidak hanya dirasakan rakyat, tetapi juga oleh angkatan bersenjata. Sejumlah pimpinan militer berperan, di antaranya Panglima Komando Tentara Teritorium I/Bukit Barisan Kolonel Maluddin Simbolon yang memprakarsai Dewan Gajah dan Komandan Resimen Infanteri 4 TT-1/Bukit Barisan Letnan Kolonel Ahmad Husein yang mendirikan Dewan Banteng yang jadi embrio pembentukan PRRI.
Marwati menulis, pejabat militer merasakan pula alokasi pembangunan yang tidak merata di daerah sehingga mereka mengalami kesusahan, misalnya untuk membangun asrama yang layak bagi pasukannya. Hal itu menyebabkan panglima militer mendukung gerakan daerah.
Kondisi pada dua dekade awal RI itu masih relevan hingga saat ini. Oleh karena itu, program Presiden Joko Widodo untuk membangun dari pinggiran diharapkan bisa menjadi salah satu cara untuk lebih memeratakan pembangunan.
Sudah sepatutnya, luka-luka di awal kelahiran Indonesia bisa menjadi pembelajaran bagi pemerintah pusat untuk memperhatikan pemerataan pembangunan. Dan, mewujudkan cita-cita bangsa, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
pemberontakan 1948-1965.jpg

Kompas, Sabtu, 1 April 2017

Saturday, 8 April 2017

Pemilu 1955, Pembelajaran dari Era Partai Ideologis

Oleh ANTONY LEE dan MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
Pemilihan Umum 1955 menjadi salah satu tonggak penting perjalanan demokrasi Indonesia. Pemilu pertama itu dinilai sangat demokratis. Partai politik menjadikan ideologi sebagai basis aktivitas dan pengambilan keputusan. Sebuah bahan refleksi berharga bagi parpol di masa kini yang kerap dikritik sekadar menjadi “kendaraan”.
Bung Karno Pemilu Tahun 1955.jpg
Presiden pertama RI Soekarno memasukkan surat suara ke kotak suara dalam Pemilu 1955.
Foto-foto yang terpampang di Rumah Pintar Pemilu gedung Komisi Pemilihan Umum, di Jakarta, Rabu (29/3), bisa membawa mereka yang melihatnya membayangkan seperti apa Pemilu 1955. Di salah satu foto hitam-putih yang dipajang di papan pamer menunjukkan seorang pemilih yang menggunakan tongkat dipandu oleh petugas. Di foto yang lain, terlihat presiden pertama RI Soekarno memasukkan surat suara ke kotak suara.
Pemilu 1955 diselenggarakan dua kali. Pemilu pertama untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dilangsungkan pada 29 September 1955, sedangkan untuk memilih anggota Konstituante–yang bertugas merumuskan konstitusi baru–digelar pada 15 Desember 1955.
Sebenarnya, pemilu pertama direncanakan berlangsung pada Januari 1946. Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 3 November 1945 mendorong lahirnya sejumlah parpol sebelum penyelenggaraan pemilihan badan perwakilan rakyat, Januari 1946. Namun, rencana itu buyar karena agresi militer Belanda. Setelah Belanda mengakui kedaulatan RI pada 1949, pemilu masih belum bisa juga terselenggara karena instabilitas sosial dan politik. Baru pada 1953, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 yang menjadi basis penyelenggaraan pemilu anggota DPR dan anggota Konstituante disahkan.
Animo masyarakat menggunakan hak konstitusionalnya di Pemilu 1955 amat luar biasa. Agung Pribadi dalam Pemilihan Umum 1955 mencatat, pada Pemilu DPR, 91,54 persen rakyat yang berhak memilih menggunakan hak suaranya. Sementara di Pemilu Konstituante, partisipasi pemilih mencapai 89,33 persen. Saat itu, dari 77,9 juga penduduk Indonesia, 43,1 juta di antaranya terdaftar sebagai pemilih.
Regulasi Pemilu 1955 juga sangat terbuka. Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia menyebut saat itu banyak kritik yang menyebut sistem pemilu yang ditetapkan melalui UU No 7/1953 terlalu perfeksionis dan rumit. Namun, dia menilai ketentuan itu hasil kerja yang hati-hati dalam menyesuaikan berbagai teknik kepemiluan dengan karakteristik Indonesia.
Keterbukaan yang luar biasa itu terlihat, misalnya, dalam Pasal 36 UU No 7/1953 yang membuka peluang bagi kandidat anggota DPR dan Konstituante untuk mencalonkan diri tidak hanya lewat parpol. Alhasil, Pemilu 1955 diikuti 36 parpol, 34 ormas, dan 48 perseorangan untuk pemilu anggota DPR. sementara pemilu anggota Konstituante diikuti 39 parpol, 23 ormas, dan 29 perseorangan.
Partai politik
Pemilu 1955 tak benar-benar sempurna. Beberapa literatur mengenai Pemilu 1955 juga menunjukkan kecurangan terjadi dengan intensitas berbeda antara pemilu anggota DPR dan pemilu anggota Konstituante. Kampanye juga berlangsung keras. Di sebagian daerah terjadi intimidasi terhadap pemilih. Kekerasan juga terjadi.
Salah satu arsip yang tersimpan di Arsip Negara Republik Indonesia ikut menggambarkan kerasnya persaingan antara parpol tertentu yang berbeda ideologi politik. Surat Rahasia Jaksa Agung Muda Zainal Abidin ke Perdana Menteri tertanggal 23 Februari 1954 Nomor PLK.C.2/625/3/3, misalnya, menceritakan ada upaya dari pengurus partai di Kulon Progo, Yogyakarta, untuk menculik dan merampok beberapa tokoh lokal terkemuka dari partai-partai pendukung pemerintah. Namun, rencana itu digagalkan polisi.
Kerasnya persaingan itu baru terjadi menjelang pemilu. Herbert Feith membagi relasi parpol di masa awal RI dalam dua periode. Pada 1945-1949, parpol tidak hanya bertarung secara politik, tetapi sayap militer masing-masing parpol juga berjuang mempertahankan kemerdekaan RI dari serbuan Belanda. Pada periode 1950-1953, parpol mulai memusatkan perhatian untuk saling bersaing.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Susilo Utomo, mengutip pandangan Herbert Feith, menuturkan, pada masa itu ada lima roh pemikiran parpol-parpol besar, yaitu radikal nasionalisme, tradisional Jawa, Islam, sosial demokrat, dan komunisme. Program dan aktivitas parpol mencerminkan program dan ideologi yang mereka miliki sehingga partai juga bisa memiliki massa pendukung yang loyal.
“Kalau pemilu setelah Reformasi, parpol hanya seperti kendaraan. Hanya sedikit yang parpol ideologi. Sementara pemilihnya cenderung pragmatis atau sering disebut pemilih wangsit, wang disit (uangnya dulu),” kata Susilo Utomo.
Sebagai dampaknya, biaya politik jadi besar karena suara pemilih harus diraih melalui pemberian uang. Akibat selanjutnya, pejabat yang terpilih di pemilu kemudian harus mencari sumber dana tambahan untuk mengembalikan uang yang habis dalam pemilu. Korupsi kemudian menjadi jalan pintas.
Menurut Susilo Utomo, Pemilu 1955 relatif bebas dari politik uang. Konstituen partai tak jarang justru menyumbang parpol yang didukungnya. Mereka rela mengeluarkan uang karena ada keterikatan ideologis dengan partai. Pada saat terpilih, orang-orang parpol itu juga tidak berani mengingkari ideologi dan platform partai yang menjadi cita-cita konstituennya.
Selain itu, kaderisasi parpol juga berlangsung baik. Calon pemimpin dipersiapkan parpol tidak melalui “kontes” terbuka yang sangat bergantung pada elektabilitas dan sumber dana seperti yang terjadi saat ini.
Pragmatisme partai dan pemilih saat ini memang imbas dari deparpolisasi yang berlangsung selama Orde Baru. Partai “direnggangkan” dari konstituennya. Namun, di era Reformasi, sudah seyogianya, partai merevitalisasi diri dengan kembali menyentuh rakyat melalui kebijakan berbasis ideologi, bukan sekadar kepentingan meraih kuasa. Semua hanya kepentingan atas hadirnya parpol yang berkualitas. Ini karena parpol yang sehat juga akan memperkuat demokrasi Indonesia.
Kompas, Minggu, 2 April 2017

Saturday, 25 March 2017

Negara Versus Freeport

Oleh SITI MAIMUNAH
Setelah skandal “Papa Minta Saham”, PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia kembali berbalas pantung. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini mengumumkan force majeur pada 17 Januari 2017 untuk menekan Indonesia agar terhindar dari kewajiban pengolahan dan pemurnian di smelter dalam negeri dan mengubah kontrak karya sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
501freeport1.jpg
Penandatanganan kontrak pengelolaan tambang antara Freeport dengan pemerintah Indonesia, 1967. (ANP)
Padahal, telah berulang kali Pemerintah Indonesia mengubah peraturannya sendiri karena gagal memaksa PT Freeport Indonesia patuh. Freeport juga tak malu-malu menggunakan cara memperhadapkan buruh sebagai bidak menghadapi pemerintah lewat ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Sudah waktunya taktik seperti itu diakhiri.
Kontrak karya Freeport sudah berumur setengah abad, ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 1967 sebelum UU Pertambangan Indonesia disahkan, bahkan sebelum penentuan pendapat rakyat Papua berlangsung. KK ini mewariskan luka mendalam bagi Indonesia dan rakyat Papua.
Model kontrak karya Freeport yang diadopsi dalam UU Nomor 11 Tahun 1967 tak hanya membuat Indonesia memberikan pelayanan luar biasa kepada investasi asing. Model kontrak itu juga mewariskan kasus-kasus pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan di sekitar tambang, seperti di sekitar tambah Rio Tinto, Newmont, Newcrest, dan Inco/Vale di Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, dan Halmahera.
Bagi rakyat Papua–pemilik sebenarnya cebakan emas terkaya di dunia itu–kehadiran PT Freeport Indonesia bagai pisau bedah yang memutus ikatan orang Papua dengan alamnya dan pintu terjadinya pelanggaran HAM. Pada 1972 dan 1977, lebih dari 1.000 orang Amungme meninggal karena kekerasan (Elsham Papua, 2003).
Australian Council for Overseas Aid (1995) melaporkan kasus-kasus pembunuhan dan penghilangan paksa oleh militer terhadap puluhan warga asli Papua di sekitar tambah PT Freeport Indonesia sepanjang 1994-1995. Kucuran dana keamanan PT Freeport Indonesia untuk kepolisian dan TNI–sekitar Rp 711 miliar sepanjang 2001-2010 (Indonesia Corruption Watch, 2011) membuat kawasan itu menjadi ajang kekerasan dan bisnis militer.
Selamatkan Papua, bukan Freeport
Meskipun kehadiran Freeport menjadi sumber ketidakpuasan rakyat Papua dan Indonesia, sistem pemerintahan oligarki dan korup negeri ini memungkinkan korporasi internasional berkuasa dan mendapat keuntungan di atas keselamatan rakyat dan lingkungan. Salah satunya dengan mengubah peraturan tentang pengelolaan lingkungan hidup demi kepentingan korporasi tambang.
Itu_kabut_kah,_(_Richard_Erari_)_di_Surface_Mine_PT._Freeport_Indonesia.jpg
Kondisi permukaan tambang PT Freeport Indonesia. (Richard Erari)
Pertama, pembuangan limbah. Hasil kajian dampak lingkungan hidup pertambangan PT Freeport Indonesia menemukan, limbah tailing telah merusak 36.000 hektar kawasan Sungai Ajkwa sepanjang 60 kilometer ke arah laut (Walhi, 2006). Angka padatan tersuspensi total (TSS) limbah tailing pada beberapa lokasi dalam kurun September-Desember 2010 mencapai 18 kali di atas ambang baku mutu yang diperkenankan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 202 Tahun 2004.
Namun, PT Freeport Indonesia lolos dari jerat hukum karena Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 431 Tahun 2008 yang membolehkan perusahaan membuang tailing dengan TSS hingga 45 kali ambang baku mutu yang diperkenankan.
Kedua, PT Freeport Indonesia dibiarkan merusak sungai-sungai dan laut untuk pembuangan limbah dan menggunakan air permukaan Sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi, dan Aimoe untuk pengangkutan dan pengendapan tailing tambang tanpa membayar pajak. Pemerintah Provinsi Papua menyatakan, PT Freeport Indonesia menunggak pajak pemanfaatan sungai dan air permukaan Rp 32,4 triliun sejak 1991 hingga 2013.
Ketiga, pada 2004 pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, PT Freeport Indonesia bersama 12 perusahaan tambang lainnya berhasil memotori pemerintah dengan restu DPR Senayan untuk mengubah UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
UU yang semula melarang tambang terbuka di hutan lindung ini diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 yang mengizinkan 13 perusahaan menambang terbuka seluas hampir satu juta hektar hutan lindung, termasuk 10.000 hektar di antaranya di kawasan konsesi PT Freeport Indonesia.
Keempat, pada Februari 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, audit lingkungan terakhir pemerintah terhadap PT Freeport Indonesia adalah 25 tahun lalu, sementara pengawasan tahunan dihentikan pada 2011. Padahal, sejak pertengahan 2016, PT Freeport Indonesia memperluas tanggul limbah tailing yang justru mengancam Sungai Tipuka (Jatam, 2017).
Hampir setiap tahun, konflik akibat ketidakpuasan terhadap PT Freeport Indonesia muncul di permukaan. Terakhir, perusahaan ini tak mau mematuhi UU Minerba. Lagi, pemerintah pasang badan agar PT Freeport Indonesia tidak melanggar UU. Keluarlah PP Nomor 1 Tahun 2014 yang memungkinkan PT Freeport Indonesia mengundurkan kewajiban pembangunan smelter hingga Januari 2017.
Disusul Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2016 yang mengubah Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2014 yang memerintahkan PT Freeport Indonesia membangun pabriknya hingga 60 persen sebelum boleh mengekspor konsentrat. PT Freeport Indonesia membalasnya dengan ancaman pengadilan arbitrase.
Tak usah terlalu khawatir dibawa ke arbitrase internasional. Presiden Joko Widodo dengan Nawacitanya memiliki modal sosial dan politik cukup kuat untuk menangani kasus PT Freeport Indonesia dengan cara yang berbeda, lebih bermartabat, dan adil bagi Papua dan rakyat Indonesia. Sudah waktunya melakukan penegakan hukum tanpa kecuali. Bukan sebatas negosiasi bentuk perizinan, pembangunan smelter ataupun divestasi saham.
Tambang Freeport hampir setengah abad, kini waktunya menunjukkan kuasa Indonesia di atas Freeport.
SITI MAIMUNAH
Peneliti Sajogyo Institute
Kompas, Sabtu, 18 Maret 2017