Sunday 26 June 2016

Toleransi Antar-etnis di "Kota Cina Kecil" Lasem

Oleh SRI LESTARI
Percampuran budaya Cina dan Jawa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah tak hanya berhenti pada sepotong batik tulis, dalam kehidupan sehari-hari di daerah nilai-nilai toleransi antar etnis dan agama sangat kental di kota yang dijuluki "Cina kecil" atau "Kota Beijing lama kecil", dan sebutan sebagai "Kota Santri".
Lasem
Bangunan dengan arsitektur Cina banyak dijumpai di Lasem, Rembang.
Menyusuri jalan-jalan kecil di Kota Lasem seperti berada di kota Beijing lama, disisi kanan dan kiri tampak bangunan rumah-rumah dengan arsitektur khas Cina yang dikelilingi tembok dengan gerbang bertuliskan huruf kanji yang berarti kalimat-kalimat bijak.
Di beberapa rumah huruf-huruf kanji tersebut tampak samar karena tertutup cat, telah dihapus, atau ditutup dengan papan.
Tulisan kanji yang sama juga terdapat di pintu Pesantren Kauman di Karangturi, Lasem, yang berisi dua pesan yang dalam bahasa Indonesia artinya adalah "Semoga panjang umur setinggi Gunung Himalaya" dan "Semoga luwes rezekinya, sedalam Lautan Hindia".
Gus Zaim mengatakan ingin menjadikan Lasem ikon toleransi.
H.M. Zaim Ahmad Ma'shoem Pembina Pondok Pesantren Kauman mengatakan tulisan kanji tersebut telah ada ketika menempati rumah tersebut dan memilih untuk tidak menghapusnya.
"Lho artinya bagus kok, ya tinggal diamini saja toh," jelas pria yang akrab disapa dengan Gus Zaim.
Gus Zaim mengatakan hampir semua rumah milik keturunan Cina di Lasem terdapat tulisan kanji di bagian pintu atau gerbang, tetapi sebagian besar telah dihapus atau ditutup dengan papan pada masa Orde Baru lalu.
Pasca peristiwa September 1965, Orde Baru melarang semua hal yang berkaitan dengan negeri Cina, karena negara tersebut memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia PKI dan pemerintahan Sukarno.
Toleransi ajaran Islam
Di depan pondok pesantren yang terletak ditengah permukiman keturunan Cina ini, juga tampak beberapa lampion, menurut Gus Zaim itu merupakan bentuk penyesuaian pesantren dengan budaya kampung setempat.
"Ketika ada masyarakat yang membutuhkan bantuan tenaga para santri akan membantu, begitu sebaliknya, itu namanya persaudaraan," kata Gus Zaim, "Bahkan jika ada yang meninggal saya dan para santri ikut takziah (melayat) dan mendoakan jenazah, tidak ada masalah."
Lasem
Aksara Cina di sebuah pintu di Lasem, Rembang.
Gus Zaim mengatakan persaudaraan antar sesama Islam, dengan sesama manusia dan juga satu bangsa, merupakan inti dari ajaran Islam, yang wajib dijalankan secara alami, tanpa rekayasa.
"Inilah Islam, inti dari ajaran lakum dinukum waliyadin agamamu agamamu,agamaku agamaku, silakan laksanakan kegiatan agamamu sesuai dengan keyakinanmu dan kami akan melaksanakan ritual agama kami dengan keyakinan kami, yang penting tidak saling menganggu," kata dia.
Menurut Gus Zaim biasanya pemikiran radikal ataupun intoleran justru muncul jika seseorang tidak memperkuat semangat keberagamaannya dengan ilmu.
"Yang radikal-radikal itu ilmunya dangkal, dia ga paham artinya bagaimana beragama," jelas Gus Zaim.
Kristianto
Kristianto, Ketua RT di Karangturi, mengatakan saling membantu dengan para santri.
Dia menjelaskan toleransi antar etnis dan agamadi Lasem sudah terjadi sejak dulu, dan generasi sekarang ini hanya meneruskan. Interaksi sosial yang harmonis antar etnis inilah yang menyebabkan Lasem tidak terkena imbas kerusuhan rasial yang terjadi di Solo Jawa Tengah pada 1980 dan 1998 lalu.
Pernyataan Gus Zaim, diamini oleh Kristianto atau yang biasa disapa Pak Semar, ketua RT yang merupakan keturunan Cina.
"Ya tidak ada perbedaan sama sekali, kita rukun dan saling membantu, prinsip saya ya pengen bantu juga, yang punya kerja siapapun ya saya bantu, saya pun dibantu oleh mereka (para santri)," jelas Pak Semar.
Menurut berbagai catatan, para pendatang dari negeri Cina tiba ke Lasem sebagai pedagang pada abad ke 15, ketika jaman penjajahan Belanda. Mereka berbaur dengan penduduk setempat yang beretnis jawa dan bahkan melahirkan satu motif batik yang khas Lasem.
Akulturasi budaya dalam batik
Tangan-tangan milik sepuluh pengrajin batik di Pabrik Batik Sekar Kencana dengan cepat memindahkan canting wajan kecil berisi lilin panas ke selembar kain yang telah diberi pola.
Lilin panas mereka membentuk bunga-bunga dan hewan yang menjadi motif batik khas Lasem, antara lain burung phoenix, burung merak, serta binatang mitologi Cina, Naga.
Motif hewan dan bunga khas negeri tirai bambu itu telah digunakan oleh para pengrajin batik di Lasem secara turun temurun, seperti disampaikan oleh Sigit Witjaksono (Njo Tjoen Hian) pemilik pabrik batik Sekar Kencana.
Batik Lasem
Batik Lasem merupakan bentuk percampuran budaya Cina dan Jawa.
"Kita menggunakan motif-motif khas negeri Cina sudah sejak dulu, sejak jaman penjajahan Belanda, tepatnya tak ada yang mengetahuinya, memang motif tersebut diperkenalkan oleh keturunan Cina yang datang ke Lasem," jelas Sigit yang kini berusia 86 tahun.
Nenek Moyang Sigit berasal dari Provinsi Hokkian Cina, yang hijrah ke Lasem pada 1740 an. Usaha batik diteruskan dari ayahnya yang dulu memasok kain batik sampai ke Malaysia.
Sigit mengatakan motif batik Lasem merupakan bentuk dari akulturasi budaya Cina dan Jawa.
"Ada motif yang bernuansa Cina dan juga ada pengaruh dari daerah penghasil batik lain di Jawa, tetapi yang khas adalah warnanya yaitu merah darah ayam atauabang getih pitik," jelas Sigit.
Menurut Sigit, percampuran kedua budaya yang terjadi sejak dulu menyebabkan Lasem menjadi daerah yang sarat dengan nilai-nilai toleransi.
Sigit Witjaksono
Sigit Witjaksono mengatakan saling menghormati inti dari toleransi.
"Tidak ada yang membedakan Cina dan Jawa, contoh saya telah menikah lebih dari 50 tahun dengan istri saya Marpat keturunan Jawa, dan anak-anak kami pun memiliki agama yang berbeda, tetapi tidak pernah ada bentrokan, " jelas Sigit.
Toleransi antar etnis, menurut Sigit terjadi karena masyarakat Lasem saling menghormati keyakinan masing-masing.
Sebagai pengrajin batik, Sigit pernah membuat hiasan batik dengan tulisan "Allahu Akbar" dan "Muhammad" dengan proses meluruhkan lilin dengan tangan, padahal biasanya proses tersebut dilakukan dengan kaki.
Kain hiasan dinding tersebut kini dipajang di pesantren Kauman, pimpinan Gus Zaim.
Gus Zaim mengatakan nilai toleransi itu menjadi sebuah tata kehidupan dalam diri sendiri bukan suatu tugas tetapi kewajiban yang mesti dilakukan tanpa harus ada sebuah pelajaran harus praktek.

BBC Indonesia, Kamis, 19 Februari 2015

Berwisata ke Kelenteng Cu An Kiong di "Tiongkok Kecil"


Oleh RIKA IRAWATI dan BAKTI BUWONO
Kelenteng yang berada tak jauh dari jalur Pantai Utara (Pantura) Rembang ini merupakan tertua di Jawa.
Berwisata ke Kelenteng Cu An Kiong di ''Tiongkok Kecil''
Kelenteng Cu An Kiong yang berada di Jalan Dasun No 19, Lasem, Rembang, Jateng. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
Kelenteng Cu An Kiong di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Rabu (18/5). Diperkirakan kelenteng tertua di Lasem tersebut dibangun pada abad ke 16 oleh pendatang Tionghoa ke Lasem.
Kelenteng Cu An Kiong di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Rabu (18/5). Diperkirakan kelenteng tertua di Lasem tersebut dibangun pada abad ke 16 oleh pendatang Tionghoa ke Lasem. (Kompas/Lucky Pransiska)
cf3f9aa000c347318cc51472cb135e88.jpg
Klenteng Cu An Kiong di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Rabu (18/5). Diperkirakan klenteng tertua di Lasem tersebut dibangun pada abad ke 16 oleh pendatang Tionghoa ke Lasem. (Kompas/Lucky Pransiska)
Tak salah jika Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dijuluki "Tiongkok Kecil". Pasalnya, masih banyak bangunan kuno bergaya Tiongkok berdiri kokoh dan menjadi tempat tinggal warga.
Begitu pula, Kelenteng Cu An Kiong yang berada di Jalan Dasun No 19, Lasem. Kelenteng yang berada tak jauh dari jalur Pantai Utara (Pantura) Rembang ini merupakan tertua di Jawa. "Konon, di depan kelenteng ini Laksamana Cheng Ho mendarat," ungkap Cik Lan, penjaga kelenteng.
Di seberang kelenteng memang mengalir Sungai Lasem yang bermuara ke Laut Jawa. Konon, di sungai tersebut ada dermaga tempat para saudagar dari Tiongkok mendarat menggunakan perahu kecil.
Kini, meski tak bersisa tanda-tanda keberadaan dermaga, sungai tersebut masih menjadi tujuan warga mencari ikan.
Ada gapura besar yang menjadi pintu masuk kelenteng. Di depan gapura terdapat dua patung singa berwarna emas dan dua tokoh yang masing-masing membawa senjata dan seolah menjadi penjaga kelenteng.
Menurut Cik Lan, kedua tokoh tersebut merupakan Bi Nang Un dan istrinya, Na Li Ni, dua tokoh Tiongkok yang berbaur dan mengajarkan batik kepada warga.
Lukisan di satu pintu Kelenteng ...
Lukisan di satu pintu Kelenteng Cu An Kiong di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
Gambar motif naga di tiang Klenteng Cu An Kiong di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Rabu (18/5). Gambar-gambar motif di klenteng sebagian diambil sebagai motif batik di Lasem, antara lain motif naga, burung hong, dan awan.
Gambar motif naga di tiang Klenteng Cu An Kiong di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Rabu (18/5). Gambar-gambar motif di klenteng sebagian diambil sebagai motif batik di Lasem, antara lain motif naga, burung hong, dan awan.(Kompas/Lucky Pransiska)
Di teras, terdapat tiang yang memuat pahatan huruf Cina. Di ruang tengah terdapat cerita bergambar di ubin yang terpasang di kiri dan kanan ruangan. Setiap ubin mewakili satu lukisan. Total ada 50 lukisan yang disusun hingga ke langit-langit.
"Dulu, ada teman saya yang pergi ke Den Haag (Belanda) dan sempat mampir ke museum khusus Indonesia. Di sana ada peta Lasem buatan 1477, dan Kelenteng Cu An Kiong sudah masuk di dalamnya. Itu berarti, kelenteng ini sudah dibangun sebelum peta itu dibuat," kata pengurus Kelenteng Cu An Kiong, Gandor Sugiharto.
Ada yang menyebut, kelenteng itu dibangun pada 1335. Sampai sekarang, mayoritas bangunan fisik Cu An Kiong masih asli. Kelenteng ini pernah menjadi lokasi syuting film Ca Bau Kan.
Makco Thian Siang Sing Bo atau Dewa Laut merupakan tuan rumah kelenteng ini. Namun, ada pula kongco atau dewa lain yang ditempatkan di kelenteng tersebut.
Lorong menuju tempat sembahyang ...
Lorong menuju tempat sembahyang utama Kelenteng Cu An Kiong di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
Yang menarik, ada nama dewa berbau Jawa, yaitu Raden Panji Margono. Dewa ini memiliki bentuk dan pakaian yang lebih Jawani karena memakai beskap. Berbeda dari kongco lain yang asli Tiongkok, kongco Raden Panji Margono tak diberi sesembahan berbau babi setiap kali arak-arakan digelar.
Raden Panji Margono merupakan pahlawan yang berjuang mengusir penjajah Belanda bersama tokoh Tionghoa saat itu, Tan Kee Wie dan Raden Ngabehi. Di tempat yang kini menjadi kelenteng itulah mereka menyusun strategi penyerangan meski akhirnya kalah. Belakangan, umat Tionghoa membuat kongco Raden Panji Margono sebagai bentuk penghormatan.
[Wujud penghormatan untuk Raden Panji Margono ada di Kelenteng Gie Yong Bio, bersama dengan dua rekannya, yakni Tan Kee Wie dan Oey Ing Kiat (Raden Ngabehi Widyaningrat)]
panji-margono-lasem-atre.jpg
Altar khusus Panji Margono, seorang Jawa yang didewakan di Klenteng Gie Yong Bio, Lasem. (Astri Apriyani/renjanatuju.com)
Perjalanan Kelenteng Cu An Kiong cukup berliku, khususnya saat Orde Baru. Saat itu, mengecat tembok pun dipersulit aparat pemerintah setempat. Namun, selepas Ore Baru, banyak pejabat mendatangi kelenteng tersebut.
Ornamen di atap Kelenteng Cu An ...
Ornamen di atap Kelenteng Cu An Kiong, di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. (Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan)
Menurut Gandor, ada tulisan berhuruf Cina di depan kelenteng yang menjadi daya tarik. Ia tidak bisa membacanya namun dari sesepuh, diungkapkan maknanya yang kira-kira berbunyi "semua permohonan pasti terkabul".
Maksudnya, doa jelek seseorang juga akan terkabul tetapi orang yang berdoa harus berani menanggung akibatnya. Kelenteng Cu An Kiong ramai tanggal tiga bulan tiga menurut penanggalan Tiongkok. Saat itu, Makco berulang tahun.
Selain Kelenteng Cu An Kiong, di Lasem ada Kelenteng Poo An Bio di Jalan Karang Turi VII Nomor 15, dan Kelenteng Gie Yong Bio di Jalan Babagan Nomor 7. Sekitar tahun 1815, Lasem menjadi kota yang memiliki penduduk Tionghoa terbanyak di Pantura. Itu sebabnya, di wilayah ini terdapat beberapa kelenteng.
National Geographic Indonesia, Jumat, 17 Juli 2015

Selembar Persaudaraan

Oleh DWI AS SETIANINGSIH dan WISNU DEWABRATA
Lembar-lembar kain batik lasem menyimpan jejak tentang akulturasi etnis Jawa dan Tionghoa yang telah berumur ratusan tahun. Jejaknya terekam pada motif-motif batik lasem yang beragam serta warna merah “getih pitik”-nya yang identik dan tersohor ke seluruh penjuru negeri.
150218023917_batik_976x549_bbc_nocredit.jpg
Motif hewan legenda negeri Tiongkok, Naga, dijadikan salah satu motif khas batik Lasem (BBC Indonesia)
Sigit Witjaksono (87), generasi ke-8 salah satu pengusaha batik di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, Selasa (17/5), memamerkan kemeja-kemeja batik lasem miliknya. Kemeja-kemeja itu rata-rata berwarna merah, khas batik lasem.
Pada kemeja-kemeja batiknya yang beragam motif itu terdapat aksara Han dari Tiongkok yang dia buat sendiri. Menurut Sigit, aksara-aksara itu melafalkan kata-kata mutiara atau peribahasa orang Tionghoa. Salah satunya berbunyi: usia lanjut tua masih tetap sehat, seisi rumah bahagia dan sejahtera.
“Bagus kan? Tidak bermuatan politik, tidak komunis, tidak menjelekkan agama lain, dan tidak cuma (cocok) untuk orang Cina?” kata Sigit.
Dia mempelajari aksara Han secara otodidak sampai bisa menulis kalimat dalam peribahasa Tiongkok. Di batik karyanya itu, Sigit mengombinasikan aksara Han dengan motif khas Lasem, seperti sekar jagad, latohan, dan kricak.
Salah satu batik buatan Sigit diberikan kepada tokoh masyarakat Lasem yang juga pengasuh Pondok Pesantren Kauman, Kiai Haji Zaim Ahmad Ma’shoem (Gus Zaim), sebagai tanda persahabatan. Di kain batik merah untuk Gus Zaim itu ada aksara Han yang artinya di empat penjuru, semua manusia bersahabat. Semua manusia satu, sama, bersahabat.
“Kalau warna, (batik) lasem memang dominan merah, merah getih pitik. Menurut ahli dari Jepang, ini karena air di Lasem mengandung mineral tertentu yang kalau dipersenyawakan dengan bahan kimia menghasilkan warna merah cemerlang seperti itu,” papar Sigit.
Konon warna merah Lasem banyak diburu pembatik dari Solo dan Yogyakarta. Karena tak bisa meyamai merah khas Lasem, para pembatik dari luar Lasem kemudian membeli kain putih dasar merah dari Lasem lalu dibawa pulang dan diberi isen-isen. Diberi nama jarik laseman.
Dalam buku Benang Raja: Menyimpan Keelokan Batik Pesisir karangan Hartono Sumarsono dkk, di masa lampau, Lasem masyhur dengan warna merah getih pitik. Warna khas itu tak bisa ditiru saat masih menggunakan zat warna dari akar mengkudu.
Warna merah itu, ujar Sigit, berkaitan dengan batik lasem yang merupakan batik pesisir, di mana pengusahanya berdiam di daerah pesisir sehingga terpengaruh budaya luar. Salah satunya relasi dengan pedagang Tiongkok. Di Lasem, persentuhan dengan etnis Tionghoa diperkirakan terjadi pada abad ke-14 sampai ke-15 saat Laksamana Cheng Ho menjejakkan kaki di bumi Lasem.
“Selain warna yang merujuk relasi dengan Tionghoa, begitu juga dengan motif-motifnya. Misalnya di batik lasem selalu ada gambar burung atau kelelawar yang khas Cina,” kata Sigit.
Pemilik Batik Maranatha, Priscilla Renny, yang merupakan generasi kelima dari usaha batik yang dirintis ibunya, Naomi, adalah contoh pengusaha batik lasem yang masih meneruskan pembuatan batik lasem bernuansa Tionghoa. Misalnya motif naga, kilin, burung hong, arak-arakan ke kelenteng yang menggambarkan aktivitas warga Tionghoa menuju kelenteng, serta altar cloth dengan motif dewa-dewa yang dipuja dalam kepercayaan Tiongkok.
Untuk mendapatkan warna merah yang diturunkan ibunya, Renny menghabiskan waktu sampai dua minggu. “Tiap malam saya otak-atik rumusnya, ternyata beda-beda antara merah 1 dan merah 2. Akhirnya sampai minggu kedua baru saya tahu. Gini kok susah amat,” ujarnya.
Di beberapa tempat pembatikan milik pembatik Jawa di Lasem, warna merah juga tetap dipakai. Meski demikian, merah racikan setiap pembatik tak lagi sama, seperti diungkap peneliti batik lasem, William Kwan. Saat ini perubahan warna merah Lasem sudah cukup drastis. Hanya sebagian saja yang warnanya masih sama dengan merah klasik laseman.
Produk akulturasi
Apa yang tersaji pada lembar-lembar batik lasem, dituturkan Gus Zaim, menunjukkan, batik lasem adalah salah satu produk akulturasi antara etnis Tionghoa dan Jawa di Lasem. Hal itu, antara lain, karena ada batik lasem yang menggunakan motif Jawa, namun juga ada yang punya kekhasan Tionghoa, seperti gambar burung hong dan naga. Kadang-kadang juga ada satu kain yang di situ terjadi akulturasi, ada burung hong dan bunga wijaya kusuma.
Di lembar batik lasem motif arak-arakan kelenteng karya Renny Maranatha, contohnya, terdapat ornamen yang menggambarkan aktivitas arak-arakan, mulai dari sosok orang Tionghoa, kelenteng, naga, hingga kilin. Namun, pada bagian isen-isen dan pinggir kain terdapat motif latohan dan daun asem yang merupakan motif lokal Lasem.
“Yang pasti akulturasi di sini terjadi secara alamiah. Seperti halnya rumah-rumah di Lasem yang bergaya Mataraman, namun dengan pintu-pintu menghadap 12 arah. Artinya, dari semua penjuru matahari menyinari rumah. Doa semoga rumah ini disinari dari segala penjuru dan mendapat kesejahteraan,” kata Gus Zaim.
Akulturasi di batik lasem, lanjutnya, merujuk pada toleransi dan cairnya toleransi antar-etnis, suku bangsa, atau antar-agama di Lasem yang tak tersekat sedikit pun. “Ini makin menjadikan batik akulturatif. Enggak mungkin ada akulturasi kalau masyarakatnya enggak rukun, enggak ada toleransi,” ujar Gus Zain.
Jejak kerukunan dan toleransi itu sesungguhnya sudah tercatat sejak masyarakat Lasem yang terdiri dari etnis Jawa dan Tionghoa berperang melawan VOC, seperti tercatat dalam Kitab Sabda Badra Santi yang ditulis Mpu Santibadra. “Ada perang sabil, di kalangan pesantren, tercatat di sebuah buku peninggalan Hindu, yang disebut juga perang kuning. Disebutkan ada tiga tokoh yang mencerminkan hubungan antar-etnis di Lasem yang sudah ada sejak dulu dan sangat cair. Ketiganya adalah Ui Ing Kiat (Tiongkok), Raden Panji Margana (Jawa), dan satunya tokoh pesantren, Kiai Haji Ali Baidowi,” kata Gus Zaim.
Ui Ing Kiat, ujarnya, adalah adipati. Ini luar biasa karena ada orang Tionghoa yang menjadi adipati di tanah Jawa dan diterima dengan baik oleh orang Lasem. Dalam konteks ini, warna merah menemukan relasi sebagai representasi karakter masyarakat Lasem yang gentle, tanpa tedeng aling-aling.
Sejarawan Rembang, Edi Winarno, menuturkan, batik lasem kerap diidentikkan sebagai batik Tionghoa peranakan. Padahal, dalam perjalanannya, batik lasem telah menyerap berbagai bentuk interaksi budaya dan perubahan. Sebelum pengaruh masuknya budaya Tiongkok yang diwakili pendaratan ekspedisi maritim Laksamana Cheng Ho, aktivitas membatik sudah lama dikenal masyarakat Lasem.
“Melihat peninggalan masa megalitikum di situs Selodiri, Desa Terjan, Rembang, sudah sejak sekitar 2.000 tahun lalu masyarakat Lasem mengenal nilai seni. Ini tergambar dari ukuran berbentuk garis simetris dan lengkungan yang terpahat di atas keempat batu di situ itu,” kata Edi.
terjan_original.jpg
Arca di situs Selodiri, Desa Terjan (Komunitas Blogger Rembang)
Produk batik di Lasem, lanjutnya, sudah lama dikenal sejak masa kejayaan Majapahit. Pada era Majapahit, batik di Lasem banyak menggunakan warna bahan alami, seperti tumbuhan dan akar tanaman. Warna coklat-merah diperoleh dari daun jati, warna merah dari akar mengkudu, warna biru dari bahan indigo, dan warna hijau dari daun mangga.
“Ciri-ciri batik di masa Majapahit juga dapat kita lihat dari warna dasarnya yang putih dan didominasi warna coklat muda dan biru tua. Baru setelah kedatangan Cheng Ho, warna-warna batik lasem lebih cerah, didominasi warna merah. Bagi masyarakat Tionghoa, warna merah identik dengan keberanian dan keberuntungan,” papar Edi.
Akulturasi serupa terjadi di Kudus dan Demak. Proses akulturasi dengan budaya Islam terjadi setelah runtuhnya kekuasaan dan pengaruh Majapahit pada akhir abad ke-15, yang ditandai dengan menguatnya pengaruh kerajaan Islam di Kudus. Melalui proses akulturasi dan kawin-mawin, muncul golongan Tionghoa peranakan yang memeluk Islam sehingga pembauran berlangsung harmonis.
Jejaknya terdapat pada batik kudus yang di antaranya menggunakan kaligrafi, bunga, dan tanaman. Ini diyakini terkait dengan ajaran dan kepercayaan Islam yang melarang penggambaran makhluk hidup, terutama hewan. “Tapi, tak hanya budaya Arab atau Islam dan Tiongkok. Di batik kudus juga ada pengaruh Eropa,” ujar Fadloli, pembatik asal Langgar Dalem yang menjadi cikal bakal batik kudus abad ke-16.
Proses serupa dapat ditelusuri jejaknya melalui motif-motif di batik demak. Setelah meredupnya Majapahit, Demak menguat dan menjadi pusat penyebaran agama Islam. Kawasan Demak yang terletak di pesisir pantai memungkinkan persentuhan dengna pedagang asing, seperti dari Tiongkok.
Komunikasi terbuka
Penulis buku Lasem Kota Tiongkok Kecil: Interaksi Tionghoa, Arab, dan Jawa dalam Silang Budaya Pesisiran, Munawir Aziz mengatakan, Lasem adalah cermin untuk melihat bagaimana orang-orang lintas etnis, lintas agama, dan lintas budaya berkomunikasi secara terbuka. Hubungan antar-etnis di Lasem, ujarnya, sangat cair.
“Bagaimana itu terjadi? Akarnya apa? Saya cek tahun 1998, di beberapa kota kan ramai. Solo, Semarang, dan Jakarta terutama, ada gejolak terhadap orang Tionghoa. Tapi, di Lasem bisa diredam. Ada sih percikan meski kalau kita lihat percikan ada di mana pun. Tapi, Lasem punya mekanisme bagaimana percikan itu dapat diredam sehingga tak menjadi konflik etnis atau komunal,” tutur Munawir.
Hal ini bisa terjadi karena komunikasi di Lasem, katanya, sudah terbangun sejak lama. Akar sejarahnya adalah ketika terjadi geger pecinan 1740, saat ribuan orang Tionghoa di Jakarta dibantai dan berpindah ke daerah pesisir, salah satunya Lasem. “Itulah saatnya mereka kemudian menyatu dengan orang-orang pribumi, dengan orang-orang santri, orang-orang Jawa. mereka kemudian bersama-sama melawan VOC. jadi, memang sejak dulu sudah ada ikatannya,” kata Munawir. Tiongkok bagi warga Lasem adalah saudara, aliansi bersama melawan VOC.
Relasi baik kedua etnis terus terjaga hingga hari ini karena di Lasem ada komunikasi yang memungkinkan tiap kelompok bisa bertemu dan berkomunikasi secara cair. Selain media formal, seperti tempat ibadah, ada pula media informal, yaitu warung kopi, yang menjadi suplai informasi antarkelompok.
“Warung kopi mempertemukan orang-orang lintas etnis, lintas agama, dan lintas stratifikasi sosial yang memungkinkan mereka bisa ngobrol bareng, bisa tertawa bersama tanpa memandang latar belakang. Orang Lasem mungkin enggak sadar, tapi kalau dari luar, ini adalah kanal penting di mana antar-etnis bisa saling dukung,” paparnya. Seperti peribahasa Tiongkok: dari semua penjuru, semua orang satu, bersahabat.

Kompas, Minggu, 26 Juni 2016

Saturday 25 June 2016

Kediri, Jayabaya, dan Mbah Wasil

Oleh IMAM PRIHADIYOKO
Kediri, Jawa Timur, dikenal sebagai kota santri. Ada cukup banyak pondok pesantren di kota tersebut. Salah satu di antaranya yang terkenal adalah Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien atau lebih dikenal sebagai Pondok Pesantren Lirboyo. Di Kediri, terdapat pula Ponpes Lembaga Dakwah Islam Indonesia dan Ponpes Kedunglo al Munadhdharah yang menjadi pusat pengamal Sholawat Wahidiyah.
setonogedong.jpg
Makam Mbah Wasil Setonogedong (Disbudparpora Kediri Kota)
Selain pondok pesantren, Kediri juga memiliki tempat yang banyak dikunjungi peziarah. Lokasi wisata religi ini berada di Jalan Dhoho, berupa kompleks makam Syech Sulaiman Samsuddin al-Wasil atau Syech Ali Samsuddin al-Wasil. Warga setempat sering menyebutnya sebagai kompleks makam Mbah Wasil. Di kompleks ini berdiri Masjid Auliya Setonogedong.
Mbah Wasil, menurut Mansyur (43), juru kunci makam, diperkirakan merupakan salah satu guru spiritual Raja Kediri Sri Aji Jayabaya. Bukti sejarah yang menguatkan hubungan kedua orang itu adalah batu nisan di dalam kompleks yang bertarik 1184. Selain itu, ada prasasti berbahasa Kawi Kuno yang diperkirakan ditulis sendiri oleh Jayabaya.
“Berdasarkan terjemahan yang dilakukan oleh Khatib Mustopa, Dosen Universitas Negeri Malang, prasasti lebih kurang menyebutkan bahwa Jayabaya menemukan buku yang isinya tidak dipahami olehnya,” ujar Mansyur. Lantas, Jayabaya meminta Mbah Wasil menerjemahkan dan mengajarkan isi buku itu.
Lokasi makam Mbah Wasil menjadi salah satu tempat yang dikunjungi oleh Tim Ekspedisi Islam Nusantara. Tim yang dipimpin Imam Pituduh ini memulai perjalanan pada 27 Maret di Kota Cirebon, Jawa Barat, dan mengakhiri ekspedisi di Raja Ampat, Papua Barat, sehari sebelum Ramadhan 2016.
Menurut Mansyur, di lokasi yang sekarang ditempati Masjid Auliya Setonogedong, pernah berdiri sebuah pura. Fondasinya masih bisa dilihat hingga hari ini.
Muhammad Yusuf (47) dari Badan Pemeliharaan Cagar Budaya Trowulan mengakui ada hubungan yang dekat antara Mbah Wasil dan Jayabaya. “Jayabaya yang menganut Hindu memang dipercaya mundur dan mengalami moksa. Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa sebagai murid Mbah Wasil, Jayabaya menyendiri sebagai sufi,” ujarnya.
Mengingat minimnya dokumentasi sejarah yang tersedia, Yusuf dan Mansyur tidak mengetahui dengan pasti riwayat serta sosok Mbah Wasil. Menurut Yusuf, paling tidak ada dua versi tentang sejarah dan asal-usul Mbah Wasil.
Versi pertama menyebutkan Mbah Wasil hidup pada akhir abad X. Artinya, ia hidup sebelum era Wali Sanga. Sebaliknya, versi kedua menyebutkan Mbah Wasil hidup satu masa dengan keberadaan Wali Sanga, yakni pada abad XIV.
Bantu Wali Sanga
Yusuf menceritakan, Mbah Wasil, Syech Sulaiman al-Wasil, adalah utusan dari Istambul, Turki, pada abad XIV. Ia diutus pergi ke Pulau Jawa untuk bertemu dengan Wali Sanga guna membantu penyebaran Islam di masyarakat.
Dalam versi ini, Mbah Wasil dan para sunan memiliki rencana besar untuk membangun masjid yang akan dijadikan sebagai pusat penyebaran agama Islam di Kediri. Pembangunan masjid dimulai dengan membuat fondasi di atas susunan batu yang berada di kompleks makan Setonogedong.
Namun, sejumlah sumber lain menyebutkan bahwa susunan batu tersebut merupakan fondasi sebuah candi dari zaman Kerajaan Kediri. Adapun susunan batu di bagian atasnya adalah bagian yang belum selesai dikerjakan karena pembangunan terhenti.
Sejumlah bahan bangunan itu kemudian dipergunakan oleh para wali untuk membangun Masjid Demak dan Masjid Cirebon. Bagian atas fondasi yang tersisa dijadikan tempat berzikir dan pertemuan para wali di Kediri.
Fondasi ini sempat rusak parah, tetapi dibangun kembali oleh masyarakat. Sampai akhirnya dibangun sebuah masjid yang masih berdiri hingga saat ini.
Persia
Persoalannya, kalau versi Yusuf ini betul, Mbah Wasil tidak mungkin menjadi guru Jayabaya yang hidup sekitar awal abad XII. Sejumlah catatan sejarah menyebutkan Syech Sulaiman Samsuddin berasal dari Persia yang datang ke Tanah Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Versi ini didasarkan pada serat Jangka Jayabaya yang menyebutkan bahwa Mbah Wasil merupakan guru spiritualnya.
Yusuf tidak menutup kemungkinan cerita yang menyebutkan Mbah Wasil datang dari Persia adalah versi yang benar. Terlepas dari kontroversi ini, Kediri kini berkembang menjadi kota santri dengan tradisi ponpes yang cukup kuat.
Sekarang, Kediri juga mempunyai ikon berupa Monumen Simpang Lima Gumul yang pembangunannya mungkin terinspirasi dari L’Arch de Triomphe, Paris, Perancis. Berada di Desa Tugu Rejo, Kecamatan Ngasem, Monumen Gumul mulai dibangun pada 2003.
Warga setempat mengenalnya dengan nama Kabbah Kediri karena saat melintasi simpang lima ini, warga harus memutar ke kanan, seperti orang yang tawaf di Mekkah. Namun, ada pula yang menyebutkan, pembangunan monumen terinspirasi oleh Jayabaya yang berhasil menyatukan lima wilayah Kediri.
Apa pun itu, satu hal yang jelas, Kediri membuktikan diri telah berkembang menjadi kota yang menghargai peninggalan peradaban di Nusantara.
Kompas, Minggu, 26 Juni 2016

Gempa Melanda Kalimantan Barat

Selama ini Pulau Kalimantan dianggap sebagai kawasan paling aman gempa di Indonesia. Namun, Jumat (24/6) pukul 07.41 WIB, gempa berkekuatan M 5,1 melanda Kalimantan Barat. Pusat gempa berada di koordinat 2,61 Lintang Selatan dan 110,19 Bujur Timur, sekitar 10 kilometer arah barat daya Kota Kandawangan, Ketapang, Kalimatan Barat. Gempa itu tergolong dangkal dengan pusatnya 10 kilometer. “Hasil analisis mekanisme sumber gempat dibangkitkan sesar aktif. Dari peta geologi diketahui, di daerah ii ada beberapa sistem sesar mikro, umumnya arah timur-barat,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono. “Dari potensinya, kecil kemungkinan terjadi gempa berkekuatan lebih besar di kawasan ini sehingga warga tak perlu panik.” (AIK/ESA)
Kompas, Sabtu, 25 Juni 2016

Saudara Kembar dari Sijuk

Oleh KRIS R MADA dan AMANDA PUTRI N

Bangunan berdinding papan terlihat di ujung tikungan. Hujan dan panas serta cat dan pelitur berulang selama hampir dua abad, membuat papan itu kini berwarna coklat. Sebagian papan sudah diganti karena lapuk. Papan pengganti juga sudah berusia puluhan tahun.
Masjid Al Ikhlas di Jalan Penghulu, Desa Sijuk, Tanjung Pandan, Belitung, Kepulauan Belitung, Senin (13/6).
Masjid Al Ikhlas di Jalan Penghulu, Desa Sijuk, Tanjung Pandan, Belitung, Kepulauan Belitung, Senin (13/6). (Kompas/Wawan H Prabowo)
“Ada juga bagian-bagian lain yang diganti. Tetapi, secara keseluruhan, bentuknya masih mirip seperti saat dibangun pada awal abad ke-19 Masehi,” ujar Agus Pahlevi, pebisnis pariwisata Belitung.
Sejak didirikan, bangunan yang dikenal sebagai Masjid Al Ikhlas itu memang dibuat dari kayu. Bangunan di Desa Sijuk, Belitung, itu dibuat pad a1817. Tidak ada yang tahu pasti, siapa pembuat masjid itu.
Orang Belitung hanya tahu masjid itu yang tersisa dari empat masjid yang dibangun di Belitung pada awal abad ke-19 Masehi. Tiga masjid lain di Membalong, Kelapa Kampit, dan Badau sudah lama tidak ada lagi. tidak ada yang ingat, kapan tiga masjid itu roboh atau hilang dari ingatan.
Di dinding Masjid Sijuk memang ada poster yag menerangkan sejarah masjid itu. Disebutkan, masjid itu dibangun dua bersaudara yang berasal dari Tiongkok. Mereka memeluk keyakinan berbeda, tetapi tetap rukun dan saling membantu.
Dalam poster ditulis, Masjid Sijuk dibangun dua saudara itu setelah mereka membangun Kelenteng Sijuk pada tahun 1815. Kelenteng masih berdiri sampai sekarang di lokasi yang sama, tetapi bentuknya sudah baru setelah direnovasi beberapa tahun lalu.
Masjid Sijuk juga pernah direnovasi pada 1948 dan 1999. Pada 1948, ada penambahan dinding penyekat sehingga masjid terbagi atas ruang tertutup dan terbuka tanpa dinding.
Sementara renovasi tahun 1999 dilakukan untuk merapikan masjid yang sempat ditinggalkan hampir 20 tahun. Orang-orang Sijuk beraktivitas di masjid baru yang lebih besar karena Jemaah semakin banyak. Setelah belasan tahun di masjid baru, orang-orang Sijuk memilih menggunakan lagi Masjid Al Ikhlas sampai sekarang.
Kerukunan
Bagi Isyak Meirobie, Masjid dan Kelenteng Sijuk adalah bukti nyata kerukunan dan toleransi di Belitung. Jauh sebelum orang-orang menekankan soal pentingnya toleransi, orang Belitung sudah mempraktikkan dari dulu sampai sekarang.
Pemuda Tionghoa yang menjadi Wakil Ketua DPRD Belitung itu menyebutkan, kerukunan antarsuku dan toleransi adalah hal biasa di Belitung. Mudah sekali menemukan orang Melayu bercakap dalam Hokkian, bahasa yang berasal dari Tiongkok. Pertemuan budaya lebih dari tiga abad membuat asimilasi dua kebudayaan itu berlangsung dengan baik.
“Di Belitung, Tionghoa bisa menjadi pejabat publik di daerah yang mayoritas penduduknya Melayu. Orang Belitung tidak memandang sebagai Melayu, Tionghoa, atau suku lain. Semua sama, orang Belitung,” kata Isyak.
Hampir tidak ada ketegangan karena faktor rasial di Bangka Belitung (Babel). Bahkan orang-orang justru mengingat Bangka Belitung sebagai tempat perlindungan saat kerusuhan  melanda Jakarta, Mei 1998. “Banyak orang Jakarta datang ke Bangka Belitung dan hidup tenang di sini,” ujarnya.
Isyak mengatakan, salah satu kunci sukses akulturasi di Bangka Belitung adalah perasaan senasib. Tidak ada eksklusivitas dan segregasi berdasarkan etnis di hampir semua sector kehidupan di Bangka Belitung. “Amat mudah menemukan orang Tionghoa menjadi buruh angkut, pekerja kasar, dan tentu saja pedagang di sini. Persebaran itu memungkinkan tumbuh perasaan senasib di antara orang Babel,” ujarnya.
Alasan lainnya dapat dilacak lebih lama lagi. pada abad ke-17 Masehi, ribuan pria didatangkan ke Babel sebagai pekerja tambang timah atau bekerja di sektor pendukungnya. Karena datang sebagai lajang, banyak di antara mereka akhirnya menikah dengan penduduk setempat. “Hampir seluruh Tionghoa di Babel saat ini sebenarnya keturunan pekerja tambang yang menikah dengan orang Melayu,” ujar Ahiong.
Kampung-kampung berdasarkan suku memang tetap ada. Kampung Melayu biasanya di dekat kebun dan hutan. Sebab, penghasilan utama mereka memang dari berkebun. Sementara Tionghoa tinggal dekat pasar karena mereka berdagang.
“Tetapi, amat banyak Tionghoa tinggal di kampung Melayu dan sebaliknya. Tidak ada pemisahan karena Bangka Belitung rumah untuk semua,” tutur Akhmad Elvian, sejarawan di Pangkal Pinang, ibu kota Babel.
Orang Babel sudah lama mengenal pepatah Fangin Tjongin Jitjong. Pepatah ini berarti Melayu dan Tionghoa sama saja. “Pepatah itu sudah lama sekali dikenal di Bangka Belitung. Provinsi ini salah satu contoh sukses akulturasi,” ujarnya.
Orang-orang Bangka mengenal setidaknya 15 hari raya dalam setahun. Perayaan hari besar berdasarkan penanggalan lunar, Hijriah, dan Tiongkok, masing-masing ada tujuh. Hanya satu perayaan berdasarkan kalender Gregorian, Natal. “Saya ikut merayakan Lebaran, Imlek, dan Tahun Baru. Saya banyak teman dan saudara di lingkungan Tionghoa dan Melayu,” kata Ahiong Lohan, pengusaha asal Belinyu, Bangka.
Tahun ini, rangkaian hari raya berdasarkan kalender Tiongkok dimulai pada 8 Februari. Pada hari itu, seperti lazimnya orang Tionghoa di seluruh dunia, warga Tionghoa di Bangka merayakan Imlek atau Tahun Baru 2563. “Di Bangka, Imlek atau Sin Cia disebut juga Ko Ngian (Mandarin: Guo Nian) selama tiga hari,” tuturnya.
Pada tahun baru, semua kerabat datang berkumpul. Karena itu, harga tiket pesawat ke Bangka melejit setiap menjelang Imlek. “Kalau Imlek di Bangka, yang datang ke rumah bukan sesame Tionghoa saja. Tetangga yang Melayu juga datang. Ada yang masak banyak dan mengundang orang sekampung,” ujar Wali Kota Pangkal Pinang Irwansyah.
Pagi-pagi, orang-orang Melayu mendatangi kerabat Tionghoa mereka dan ikut merayakan Imlek. Kunjungan itu balasan karena orang-orang Tionghoa bertandang saat Idul Fitri. Pada hari-hari perayaan itu, semua anggota keluarga berkumpul. Tak peduli apa pun agamanya. Mereka hadir sebagai kerabat, bukan karena ikatan keagamaan.
Perayaan besar setelah Imlek adalah Ceng Beng atau sembahyang leluhur, yang beberapa tahun terakhir jatuh setiap April. Orang Tionghoa Bangka selanjutnya merayakan hari Pek Cun dengan membuat kue bak cang, sejenis kue ketan yang dibungkus daun.
Khususnya di Bangka, orang akan mendatangi Pantai Tanjung Kerasak. Di sana, ada upaya menegakkan sebutir telur. Biasanya, telur terguling jika diletakkan. Pada hari Pek Cun, jika kondisi gravitasi bumi sempurna, telur bisa berdiri.
Perayaan terakhir adalah sembahyang rebut atau Zhong Yuan Jie pada malam ke-15 bulan ketujuh penanggalan Tiongkok. Upacara itu di Jawa dikenal sebagai Cioko atau sembahyang rebutan. Di Asia Tenggara, selain Indonesia, lebih dikenal sebagai Hungry Ghost Festival.
Kompas, Sabtu, 25 Juni 2016