Showing posts with label Tokoh. Show all posts
Showing posts with label Tokoh. Show all posts

Tuesday, 8 December 2020

Dr Kho Gin Tjong dan Kisah Gerakan Vaksinasi di Indonesia

Oleh IWAN SANTOSA

Memasuki akhir tahun 2020, sejumlah negara menyiapkan diri untuk melakukan vaksinasi warga guna mengakhiri pandemi Covid-19, termasuk di Indonesia. Sejumlah vaksin korona yang dikembangkan dengan rekor kecepatan mulai didistribusikan setelah data efikasi menunjukkan vaksin tersebut efektif. Indonesia pun telah mendatangkan vaksin korona untuk segera digunakan dalam menangani pandemi.

Wednesday, 18 November 2020

The Magnificent Seven: Pionir Prestasi Bulu Tangkis Indonesia

 Oleh RAVANDO

Kegemilangan Jonathan Christie dalam menyabet medali emas Asian Games 2018 semakin menegaskan posisi Indonesia sebagai negeri bulu tangkis paling berpengaruh. Dominasi Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon yang berhasil mengoleksi belasan gelar juara hanya dalam kurun dua tahun membuat nama Indonesia begitu disegani di kancah bulu tangkis internasional, khususnya di sektor ganda putra.

Tidak ada yang menyangsikan posisi Indonesia sebagai salah satu negara bulu tangkis paling berpengaruh di dunia. Bulu tangkis, seperti yang ditulis Colin Brown dalam artikel berjudul Playing the Game: Ethnicity and Politics in Indonesian Badminton, sudah menjadi semacam identitas nasional yang mampu menembus sekat-sekat perbedaan. Ketika olahraga lain kesulitan berprestasi di kancah internasional, bulu tangkis selalu menjadi penyelamat wajah Indonesia di mata dunia.

Saturday, 26 September 2020

Yusof Ishak, Putra Minangkabau Presiden Pertama Singapura

 Oleh IWAN SANTOSA

Keberadaan sosok Presiden pertama Singapura, Yusof Ishak, dan warisan Minangkabau di Singapura jadi perekat hubungan Indonesia-Singapura.

Thursday, 24 September 2020

Zubir Said, Putra Bukittinggi Pengarang Lagu Kebangsaan Singapura

Oleh IWAN SANTOSA

Indonesia punya WR Supratman, pengarang lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”. Di negara jiran Singapura, mereka punya Zubir Said, putra Bukittingi, yang mengarang lagu kebangsaan ”Majulah Singapura”.

Saturday, 4 August 2018

Soekarno, Penerima Gelar Doktor HC Terbanyak

Barangkali tiada yang menandingi Soekarno dalam peraihan gelar doktor honoris causa atau Dr HC. Ia menerima 26 gelar Dr HC. Luar biasa! Dibandingkan dengan masa berkuasanya yang 22 tahun, jumlah gelar yang diterima lebih banyak. Dari 26 gelar itu, 19 gelar diperoleh dari sejumlah universitas di Amerika Serikat, Amerika Latin, Asia, Eropa, dan hanya tujuh gelar dari universitas di dalam negeri. Ini menandakan kiprah Soekarno dihormati di dunia. Gelarnya pun dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari bidang hukum, politik, kemasyarakatan, teknik, hubungan internasional, filsafat, hingga ilmu tauhid.

Sunday, 20 August 2017

Mahatma Gandhi

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Jumat sore, 30 Januari 1948. Saat itu, pukul 17.10. Dengan agak tertatih-tatih, didampingi kemenakan perempuan, Abha, dan cucu perempuan, Manu, karena baru saja mengakhiri mogok makan, Gandhi berjalan menuju lapangan rumput Birla House, tempat tinggalnya di New Delhi.

Saturday, 11 March 2017

Putra Talawi yang Membangun Imaji Bangsa

Oleh RINI KUSTIASIH dan AGNES THEODORA
Belajar dari Majapahit dan Sriwijaya, Muhammad Yamin, putra dari Talawi, sebuah kecamatan kecil di kota tambang Sawahlunto, Sumatera Barat, berusaha mewujudkan imaji tentang bangsa besar yang merdeka, Indonesia. Yamin berperan membawa Indonesia, bangsa yang ratusan tahun ditindas kolonialisme, bangkit dan percaya diri pada nasibnya.
Tomb_of_Muhammad_Yamin_(4).JPG
Makam Muhammad Yamin di Talawi, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. (Wikipedia/Ramzy Muliawan)
Dua makam di tepi jalan, dekat pasar di Talawi, sekitar 17 kilometer dari pusat Kota Sawahlunto, menjadi penanda utama di daerah itu. Kompleks makam yang luas dilengkapi dengan bangunan perpustakaan dan berdampingan dengan kantor Kecamatan Talawi itu juga sekaligus menjadi destinasi wisata. Setiap hari banyak wisatawan atau peziarah yang mengunjungi kompleks makam itu.
Mereka yang terbujur di dua makam itu ialah Muhammad Yamin dan ayahnya, Usman gelar Bagindo Khatib. Makam mereka teduh dinaungi atap kayu berbentuk gonjong (bangungan khas Minangkabau) dan pagar besi yang rapi. Makam Yamin sangat terawat dan Pemerintah Provinsi Sumbar terlihat memberikan perhatian lebih pada makam itu karena rencana renovasi sedang dilakukan.
Lahir 23 Agustus 1903, Yamin mendapatkan pendidikan yang terbaik dari kalangan bumiputra. Perkebunan kopi menyumbang pada kemajuan perekonomian daerah itu. Ayah Yamin adalah mantri kopi atau penjaga gudang kopi yang merupakan salah satu kelas paling diuntungkan di era kolonial.
Elizabeth E Graves dalam buku Asal-Usul Elite Minangkabau Modern menggolongkan para mantri kopi ke dalam golongan terpelajar dengan kemampuan baca tulis dan berhitung yang baik. Kelompok lainnya ialah jaksa dan pangreh praja.
Yamin beruntung karena ia besar di lingkungan yang amat mendukung pendidikan. Setelah berpindah-pindah sekolah dasar (HIS) di Talawi, Sawahlunto, Solok, dan Padang Panjang, Yamin melanjutkan sekolahnya di Algemene Middelbare School (AMS) di Surakarta. Selanjutnya, Yamin menuju ke Jakarta dan masuk Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hooge School) di Jakarta.
Tahun 1928, Yamin yang ketika itu berusia 25 tahun terlibat merumuskan Sumpah Pemuda. Ia menjadi Sekretaris Kongres Pemuda II di Jakarta yang akhirnya menelurkan Sumpah Pemuda. Pernyataan bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu itu merupakan puncak dari imaji Yamin dan para pemuda lainnya yang ketika itu mengimpikan persatuan Indonesia.
Yamin percaya akan adanya jiwa bangsa, roh bangsa, atau semangat bangsa yang di dalamnya meliputi juga unsur-unsur pemersatu, termasuk bahasa. Sejak pertemuan Jong Sumatranen Bond tahun 1923, perdebatan mengenai bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah muncul. Sutrisno Kutoyo, penulis biografi Yamin, mencatat, Yamin ketika itu adalah Ketua Jong Sumatranen Bond. Yamin mengemukakan gagasannya tentang bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia, yang berinduk pada bahasa melayu. “Yamin sudah melihat datangnya bahasa kebangsaan Indonesia, yaitu berasal dari bahasa melayu,” katanya.
Titik tolak Yamin dalam merumuskan nation atau bangsa sebenarnya terlihat dari landasan pikirannya ketika ia mengungkapkan pidato tahun 1928 dalam Kongres Pemuda II. dalam melihat nation, Yamin menggunakan teori Ernest Renan.
Yamin mengatakan, bahwasanya nation itu ialah semangat atau dasar rohani yang terbagi dalam dua perkara. Pertama, terletak pada zaman yang lampau yang penuh dengan ingatan dan kenang-kenangan. Kedua, berada pada zaman sekarang, yakni berupa kemauan sekarang yang mengandung arti pengharapan hidup bersama juga kemauan untuk menghargai pusaka yang diterima dari generasi terdahulu.
Kebangsaan baru
Dua landasan berpikir Yamin di dalam Kongres Pemuda II itu juga yang mendasari ketertarikannya pada sejarah bangsanya, kebesaran dan warisan di masa lampau, dan kemudian ia mengembangkan ide-ide terbaru dari refleksinya atas masa lampau itu. Tidak heran, Yamin menciptakan imaji-imaji kebangsaan baru yang pada era persiapan kemerdekaan menjadi suatu hal yang unik dan khas dari seorang Yamin.
Mohammad_Yamin_(1954).jpg
Muhammad Yamin, 31 Juli 1954. (Nationaal Archief/Joop van Bilsen)
Syafii Maarif menyebut Yamin adalah orang pertama yang mengemukakan istilah Bhinneka Tunggal Ika. Di sela-sela sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Mei-Juni 1945, Yamin menyebut ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri. Namun, I Gusti Bagus Sugriwa (teman Yamin dari Buleleng, Bali) yang duduk di sampingnya sontak menyambut sambungan ungkapan itu dengan “tan hana dharma mangrwa”.
Hal itu menyenangkan Yamin sekaligus membuktikan bahwa meskipun Kitab Sutasoma ditulis seorang Buddha, nilai-nilainya hidup dan berkembang di Bali yang Hindu. Beberapa tahun kemudian, ketika mendesain lambang negara dalam bentuk Garuda Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu disisipkan ke dalamnya.
Yamin sendiri juga mempelajari peninggalan Majapahit. Ia dengan tekun meneliti dan menyusun buku Tata Negara Majapahit Sapta Parwa. Buku itu secara detail menuliskan susunan pemerintahan Majapahit dan hukum-hukum kerajaan yang berlaku ketika itu. Yamin berbicara tentang sejarah Majapahit dan arti pentingnya bagi Nusantara serta mengemukakan dasar-dasar persatuan Nusantara yang juga pernah dilakukan Gajah Mada di era Majapahit.
“Yamin boleh dibilang sebagai salah satu orang yang mampu membangkitkan imaji-imaji kebesaran Nusantara. Dia berbicara soal Gajah Mada. Bahkan, jika mau dilihat citra atau gambar Gajah Mada, sebenarnya mirip dengan wajah Yamin sendiri. Seorang temannya pernah memprotes citra Gajah Mada yang digambarkan oleh Yamin itu, tetapi karena tidak mampu memberikan alternatif lain, citra Gajah Mada itulah yang hingga kini dijadikan patung dan gambar di mana-mana,” kata Mestika Zed, sejarawan dari Universitas Negeri Padang, akhir Februari.
Melampaui zaman
Ketekunan Yamin mempelajari sejarah Majapahit dan Jawa juga menjadi salah satu ciri keunggulan kualitas pemikiran dan konsepsinya tentang bangsa dan kemandiriannya. Yamin menolak pandangan Belanda yang menyebut Indonesia baru merdeka setelah Proklamasi dilakukan. Pandangan itu menurut dia keliru karena sebenarnya Indonesia sedari dulu merdeka. Kemerdekaan itulah yang direnggut Belanda dan kemudian dapat direbut kembali tahun 1945.
Di bidang hukum yang menjadi keahliannya, Yamin juga seorang pakar. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra mencatat, Yamin adalah orang pertama yang mengusulkan adanya uji materi atau judicial review dalam konstitusi.
Yamin mengusulkan gagasan mengenai Balai Agung dan Mahkamah Tinggi. Yamin mengatakan, “Mahkamah inilah yang setinggi-tingginya sehingga dalam membanding undang-undang, Balai Agung inilah yang akan memutuskan apakah sejalan dengan hukum adat, syariat, dan UUD 1945,” kata Saldi.
Akhirnya pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU itu diadopsi UU Kekuasaan Kehakiman tahun 1970 melalui peran Mahkamah Agung. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi berdiri dan bisa menguji UU atas UUD 1945. Menurut Saldi, ide Yamin tentang uji materi terhadap suatu regulasi atas regulasi yang lebih tinggi adalah suatu pemikiran hukum yang melampaui zamannya.
Kompas, Sabtu, 11 Maret 2017

Friday, 10 March 2017

Lubna S Olayan Tembus Tabir Budaya Puritan

Oleh MUSTHAFA ABD RAHMAN
Di Arab Saudi, ada seorang perempuan yang mampu menembus tabir kungkungan budaya negara itu terhadap kaum perempuan. Dialah Lubna S Olayan (61), yang kini dikenal pengusaha sukses.
glo-09-15-15-e16-lubna-olayan.jpg
Lubna Olayan. (Fortune/Daniel Acker)
Ia sekarang memimpin lebih dari 40 perusahaan keluarga, di antaranya sebagai CEO perusahaan keluarga Olayan, yang bergerak di bidang pasar modal dan keuangan. Perusahaan Olayan pada dua bidang itu kini merupakan salah satu perusahaan terbesar di Arab Saudi dari Timur Tengah.
Majalah Forbes tahun 2011 dan 2014 menobatkan Lubna S Olayan sebagai salah seorang dari 100 perempuan terkuat dan paling berpengaruh di dunia. Majalah Time tahun 2005 menobatkannya sebagai salah seorang dari 100 perempuan yang paling berpengaruh.
Lubna S Olayan direkrut Deputi Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin Salman sebagai bagian dari lokomotif “Visi Arab Saudi 2030”, yang mengusung program era Arab Saudi pasca migas. Pangeran Mohammad bin Salman memang gencar merangkul para pengusaha potensial Arab Saudi untuk ikut mendukung, menyukseskan, dan bahkan merancang proses jalannya Visi Arab Saudi 2030.
Kisah kesuksesan Lubna S Olayan adalah cerita tentang kultur keluarga Olayan yang modern dan melampaui kultur mayoritas masyarakat Arab Saudi yang puritan dan konservatif. Lubna S Olayan lahir pada 4 Agustus 1955 dari pasangan Sulaiman Olayan dan Maryam binti Jassim al-Abdulwahab.
Sang ayah, Sulaiman Olayan, adalah seorang saudagar kaya sejak era Raja Abdulaziz al-Saud (1932-1953). Sulaiman juga dikenal dekat dengan keluarga Dinasti Abdulaziz al-Saud, mulai dari Raja Abdulaziz sendiri, Raja Al-Saud, hingga Raja Faisal.
Sulaiman merintis usaha dan membangun perusahaan tahun 1947. Olayan kini menjadi kelompok usaha konglomerasi dengan nilai kapital sekitar 10 miliar dollar AS. Kelompok usaha itu bergerak di berbagai bidang usaha, seperti distribusi, manufaktur, jasa, dan investasi. Kelompok Olayan kini juga banyak bermitra dan berkolaborasi dengan perusahaan multinasional dari mancanegara.
Sulaiman Olayan mendidik putra-putrinya secara modern untuk bisa menjawab tantangan zaman. Ia mengirim putrinya, Lubna S Olayan, ke Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan tingginya. Lubna S Olayan mendapat gelar sarjana di bidang pertanian dari Universitas Cornell, AS, tahun 1977, lalu meraih gelar MBA dari Universitas Indiana tahun 1979.
Mulai tahun 1983, Lubna S Olayan mulai mendapat kepercayaan keluarga untuk menduduki posisi penting di perusahaan. Awal tampilnya Lubna S Olayan di ranah publik melalui posisi penting di perusahaan keluarga pada awal 1980-an merupakan terobosan besar keluarga besar Olayan dalam menembus tabir budaya puritan terkait dengan dunia perempuan di Arab Saudi saat itu.
Sejak awal 1980-an, Lubna S Olayan meniti karier cukup cemerlang di perusahaan keluarganya. Pada 2004, ia dipilih sebagai Dewan Direksi Saudi Holandi Bank, yang sahamnya dimiliki keluarga besar Olayan. Tahun itu juga, ia perempuan pertama dalam sejarah Arab Saudi yang menyampaikan sambutan pembukaan pada forum konferensi ekonomi di Jeddah.
Pada September 2006 hingga April 2007, ia menjadi penasihat internasional Dewan Direksi Citigroup dan Rolls-Royce. Ia sekarang juga menjadi anggota dewan bisnis internasional Forum Ekonomi Dunia (WEF), yang berbasis di Davos, Swiss.
Kompas, Sabtu, 11 Maret 2017

Saturday, 25 February 2017

Abu Nawas

Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami (756-814) dikenal dengan nama Abu-Awas atau Abu-Nuwas. Salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik pada awal periode Abbasid atau Abbasiyah (750-1258) ini dilahirkan di Ahvaz, Persia, dan meninggal di Baghdad. Dalam tubuhnya mengalir darah Arab dan Persia. Ia digambarkan sebagai sosok yang bijaksana dan kocak, Abu Nawas, yang belajar di Basrah, lalu di Kufah di bawah bimbingan penyair Walibah ibn al-Hubah, kemudian dibimbing Khalaf al-Ahmar. Namanya disebut-sebut dalam kisah Seribu Satu Malam. Banyak yang mengatakan, karyanya mencerminkan gambaran masyarakat: lucu, sinikal, bahkan ironi kehidupan.
Dikutip dari: Trias Kuncahyono, “Abu Nawas”, Kompas, Minggu, 26 Februari 2017, halaman 4

Sunday, 23 October 2016

Arsitek Itu Bernama Friedrich Silaban

Oleh CHRIS PUDJIASTUTI
Mendengar nama Friedrich Silaban, sebagian orang langsung teringat pada arsitek yang membuat Masjid Istiqlal, Jakarta. Masjid yang mulai dikerjakan Agustus 1961 itu diresmikan Presiden Soeharto pada 1978 dan menjadi salah satu ikon Kota Jakarta. Sebagai arsitek, pria kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara, ini juga membuat banyak bangunan. Di antara bangunan hasil karyanya di Jakarta yang hingga kini masih bisa kita nikmati adalah gedung Bank Indonesia di Jalan MH Thamrin, Gedung Pola di Jalan Proklamasi, gedung Markas Besar TNI Angkatan Udara di Pancoran, dan Gedung BNI di kawasan Kota.
0223241BW-00008020-38-AHM004780x390.JPG
Arsitek Friedrich Silaban (Dudy Sudibyo/Kompas)
Silaban lahir pada 16 Desember 1912 dan meninggal di Jakarta, 14 Mei 1984, dalam usia 72 tahun. Dia menikahi Letty Kievits dan dikaruniai 10 anak. Keluarga Silaban tinggal di Bogor dan rumah pribadi yang juga hasil rancangannya itu pun menjadi salah satu kajian bagi sebagian mahasiswa arsitektur. Dia juga menjadi arsitek beberapa bangunan di Bogor, di antaranya rumah dinas Wali Kota Bogor dan bangunan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Bogor. Tahun 1953, atas perintah Presiden Soekarno, Silaban yang bekerja sebagai Kepala Djawatan Pekerdjaan Umum (PU) Bogor menjadi arsitek pembangunan kembali makam pelukis Raden Saleh Sjarif Bustaman yang meninggal tahun 1880. Makam Raden Saleh terletak di Bondongan, Bogor.
Tentang karya Silaban lainnya, yakni Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Kompas, Minggu 7 Desember 1980 halaman 1 mencatat, kompleks olahraga di kawasan Senayan itu semula akan dibangun di daerah Dukuh Atas. Persisnya di lahan kiri-kanan Jalan Sudirman. Untuk menghubungkan kedua sisi itu, akan dibangun terowongan. Gambar, denah, dan teknisi dari Rusia sudah siap di Jakarta untuk mengerjakannya.
Sebelum proyek itu dimulai, Bung Karno meminta pendapat Silaban pada sidang penentuan. Silaban tak setuju dengan lokasinya karena akan mengganggu jalan utama yang menghubungkan kawasan Kebayoran dan daerah Kota. “Anak cucu kita nantinya pasti akan mencemooh dan menganggap para pendirinya bodoh.” Alhasil, kompleks olahraga itu dibangun di perkampungan Senayan. Saat itu tahun 1959. Indonesia akan menjadi tuan rumah Asian Games IV di Jakarta 1962.
Nomor satu: Jujur
Selulus ujian di Sibolga, tahun 1927, Silaban belajar di Kweek-school-Sekolah Teknik (KWS) Betawi. Saat baru duduk di kelas I, sang ayah, Jonas Silaban, meninggal. Berkat kepandaiannya, dia mendapat beasiswa dengan syarat harus tinggal dengan keluarga Belanda, keluarga Funck, di Petojo. Di kelas III, Silaban mulai menggambar dan membuat denah. Imbalan pertamanya 25 gulden. Tahun 1931, dia lulus KWS dan membantu arsitek Antonisse. Tahun 1937 dia bekerja di Pontianak, lalu menjadi Kepala PU di Bogor. dia menjadi arsitek yang kerap berdiskusi dengan Bung Karno, sampai disebut sebagai arsitek “kesayangan” Soekarno.
Bagi Silaban, kehebatan dan keterampilan para arsitek Indonesia untuk menciptakan gambar yang elok tidak ada masalah. Menurut dia, syarat pertama arsitek yang baik adalah jujur dan berintegritas. “Kalau hanya supaya dapat tugas, ikut-ikut kemauan bouwheer (pemberi pekerjaan, pemilik tanah), banyak kejadian seperti akhir-akhir ini. Perencana seolah-olah dipaksa oleh keinginan bouwheer,” katanya seperti dikutip Kompas, Kamis, 16 Januari 1975, halaman 6.
Kompas, Minggu, 23 Oktober 2016
Kisah Friedrich Silaban, Anak Pendeta yang Rancang Masjid Istiqlal
Oleh FABIAN JANUARIUS KUWADO
Hidup Friedrich Silaban terbilang cemerlang dan gemilang. Lahir di Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912, dia hanya bersekolah di HIS Narumonda, Tapanuli, Sumatera Utara, dan Koningin Wilhelmina School, sebuah sekolah teknik di Jakarta.
Namun, penganut Kristen Protestan dan anak seorang pendeta miskin itu telah melahirkan berbagai bangunan modern pada masanya hingga kini menjadi bangunan bersejarah. Salah satunya ialah kemegahan sekaligus simbol kerukunan antarumat beragama di Indonesia, Masjid Istiqlal, Jakarta, yang resmi digunakan tepat 38 tahun lalu.
Pada tahun 1955, Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno mengadakan sayembara membuat desain maket Masjid Istiqlal. Sebanyak 22 dari 30 arsitek lolos persyaratan.
Bung Karno sebagai Ketua Dewan Juri mengumumkan nama Friedrich Silaban dengan karya berjudul "Ketuhanan" sebagai pemegang sayembara arsitek masjid itu. Bung Karno menjuluki F Silaban sebagai "By the grace of God" karena memenangi sayembara itu.
0351111BW-19710602-15-AJN0091780x390.JPG
Gereja Katedral dengan latar kubah Masjid Istiqlal yang belum selesai dibangun. (Pat Hendranto/Kompas)
Pada 1961, penanaman tiang pancang baru dilakukan. Pembangunan baru selesai 17 tahun kemudian dan resmi digunakan sejak tanggal 22 Februari 1978.
Dikutip dari surat kabar Kompas edisi 21 Februari 1978, enam tahun setelah Masjid Istiqlal selesai dibangun, F Silaban mengatakan, "Arsitektur Istiqlal itu asli, tidak meniru dari mana-mana, tetapi juga tidak tahu dari mana datangnya."
"Patokan saya dalam merancang hanyalah kaidah-kaidah arsitektur yang sesuai dengan iklim Indonesia dan berdasarkan apa yang dikehendaki orang Islam terhadap sebuah masjid," lanjut dia.
Kesederhanaan ide Silaban rupanya berbuah kemegahan. Jadilah masjid yang berdampingan dengan Gereja Katedral itu tampak seperti masa saat ini.
Masjid Istiqlal berdiri di atas lahan seluas 9,5 hektar, diapit dua kanal Kali Ciliwung, kubahnya bergaris tengah 45 meter, dan ditopang 12 pilar raksasa serta 5.138 tiang pancang. Dindingnya berlapis batu marmer putih. Air mancur besar melambangkan "tauhid" dibangun di barat daya. Dilengkapi menara setinggi 6.666 sentimeter, sesuai dengan jumlah ayat Al Quran, masjid itu mampu menampung 20.000 umat.
Udara di dalam masjid begitu sejuk walau tanpa dilengkapi pendingin ruangan. Sebab, Silaban membuat dinding sesedikit mungkin supaya angin leluasa masuk. Silaban ingin umat yang sembahyang di masjid itu seintim mungkin dengan Tuhan.
Haji Nadi, haji asli Betawi yang sembahyang di masjid itu, dalam surat kabar Kompas edisi yang sama mengatakan, "Berada di masjid ini saya merasa betapa besarnya umat Islam."
Dari Gambir ke penjuru dunia
Dikutip dari buku Rumah Silaban; Saya adalah Arsitek, tapi Bukan Arsitek Biasa, Silaban mulai tertarik dengan dunia arsitektur sejak sekolah di Jakarta.
Sayang, "Perderik", demikian dia dipanggil sang ayah, tak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas karena persoalan biaya.
0451343F-SILABAN2-05780x390.JPG
Arsitek Friedrich Silaban (kiri) bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Ir Sutami, sedang mengamati bangunan Masjid Istiqlal. (Sindunata/Kompas)
Karier Silaban di dunia arsitek diawali saat bersekolah di Jakarta. Dia sangat tertarik pada desain bangunan Pasar Gambir di Koningsplein, Batavia, 1929, buatan arsitek Belanda, JH Antonisse. Setelah lulus sekolah, Silaban mengunjungi kantor Antonisse. Dia pun dipekerjakan sebagai pegawai di Departemen Umum, di bawah pemerintahan kolonial.
Kariernya terus meningkat hingga akhirnya ia menjabat sebagai Direktur Pekerjaan Umum tahun 1947 hingga 1965. Jabatannya itu membawa Silaban ke penjuru dunia. Tahun 1949 hingga 1950, Silaban ke Belanda mengikuti kuliah tahun terakhir di Academie voor Bouwkunst atau akademi seni dan bangunan. Pada saat inilah, Silaban mendalami arsitektur Negeri Kincir Angin itu dengan melihat dan "menyentuhnya" secara langsung.
Tidak hanya Belanda, setidaknya 30 kota besar di penjuru dunia telah dikunjungi Silaban. Tujuannya satu, mempelajari arsitektur di negara-negara tersebut. Perjalanannya ke penjuru dunia, terutama setelah kunjungannya ke India, menyiratkan satu hal bahwa jiwa sebuah bangsalah yang mendefinisikan arsitektur bangsa tersebut. Perjalanan Silaban itu memengaruhi keinginannya dalam "manifestasi identitas asli Indonesia; negara yang bebas dan progresif" melalui karya-karyanya di Tanah Air.
Tutup usia
Sang arsitek tutup usia pada hari Senin, 14 Mei 1984, di RSPAD Gatot Subrotot karena mengalami komplikasi.
Selain Istiqlal, peninggalan Silaban hadir di sekitar 700 bangunan penjuru Tanah Air, di antaranya Stadion Gelora Bung Karno (Jakarta/1962), Monumen Pembebasan Irian Barat (Jakarta/1963), Monumen Nasional atau Tugu Monas (Jakarta/1960), Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata (Jakarta/1953), hingga Tugu Khatulistiwa (Pontianak/1938).
"Dia pergi setelah mengukir sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi darikarya sebuah hasil seni atau teknologi, tetapi adalah sejarah kemanusiaan, kebersamaan, toleransi. Namanya akan dikenang sepanjang zaman," demikian paragraf penutup di situs bertajuk "Silaban Brotherhood".

Wednesday, 10 August 2016

Tersisihnya Pejuang Nawacita dari Istana

PERNAK-PERNIK PASCA RESHUFFLE KABINET(1)
Oleh RATNA SUSILOWATI
Kawan saya, seorang pemimpin redaksi majalah nasional berkomentar pendek, tentang reshuffle kabinet kedua. "Pak Jonan diganti, itu tidak masuk di akal saya. Sama sekali nggak masuk akal. Kalau yang lain sih, agak dipahami," katanya, tepok jidat. Berulang-ulang dia ngomong begitu sambil geleng-geleng kepala.

Malam itu, sekitar tiga jam setelah pelantikan kabinet baru di Istana, sejumlah pemimpin redaksi media massa, menggelar halal bihalal di Wisma Penta, Jakarta. Acara ini sudah lama diagendakan. Tapi, kok ya kebetulan, bersamaan dengan hari pengumuman reshuffle.
Sejumlah menteri datang. Saya lihat ada Rini Soemarno. Menteri BUMN istimewa. Disebut begitu, karena tak ada yang meragukan kedekatannya dengan Presiden. Bahkan, ada media asing yang menyebutnya sebagai RI 1 ½. Sebutan yang menunjukkan kekuatan posisinya di atas RI-2 (baca: Wapres).
"Selamat ya, Bu," ucap saya. Rini tertawa. "Kok banyak orang malah selamatin saya ya," katanya.
Tapi yang menarik perhatian malam itu, kedatangan Puan Maharani. Orang-orang seperti ingin "membaca" apa sikap Megawati terhadap reshuffle kabinet melalui air mukanya. Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan yang juga putri kesayangan Mega itu, sempat disodori mic dan bicara 10 menitan. Saya perhatikan, sekitar dua menit setelah Puan mengakhiri sambutan, Rini pergi.
Presiden melantik kabinet baru, Rabu, 27 Juli lalu sekitar pukul 14.00 WIB. Megawati tidak hadir. Kemana? Tak banyak yang tahu, di jam bersamaan, Mega sedang menerima Ignasius Jonan. Salah satu menteri yang dicopot Presiden. Jonan ke Teuku Umar untuk pamitan dan mengucapkan terima kasih atas dukungan kepadanya selama ini.
Jonan lahir di Singapura, 21 Juni 1963, di bulan kelahiran Bung Karno. Tanggalnya, bahkan sama dengan Presiden Jokowi. Tapi, orang tidak mengenal Jonan sebagai pencinta Bung Karno. Orang juga tak pernah mendengar Jonan teriak-teriak memuji Bung Karno. Tapi, sebetulnya, Jonan memahami jalur politik dan jalan pikiran Bung Karno. Dia paham benar Nawacita, slogan yang sering digembar-gemborkan Jokowi saat kampanye pilpres.
Di kursi Menteri Perhubungan (Menhub), mantan Dirut PT Kereta Api Indonesia (KAI) itu mendahulukan pembangunan kawasan terpencil, pedalaman, hingga ujung timur Indonesia. Garis merah programnya jelas: Merangkai, Menyatukan Indonesia. Sejumlah wilayah, pulau terluar diperbaiki pelabuhan dan bandaranya. Hingga di Sorong, Wamena dan Merauke, kini ada pelabuhan dan bandara megah.
Di sisi lain, Jonan terlihat kurang sreg dengan rencana pembangunan kereta cepat. Proyek prestigious luxury, yang dianggap banyak orang tak sejalan dengan cita-cita Nawacita. Jonan tak datang saat groundbreaking KA Cepat, dan dia terima risiko, dicap melawan Presiden.
Sehari setelah reshuffle kabinet, saya bertemu Ignasius Jonan. Hari itu, dia mengenakan batik dengan tampilan formal. "Rapi benar, Pak. Masih ada acara resmi?" canda saya. Jonan cuma tersenyum. Informasi dari Hadi Djuraid, orang dekatnya, saat itu Jonan baru bertemu Yasuo Fukuda, mantan Perdana Menteri Jepang. Pertemuan itu, sebenarnya sudah lama diagendakan. Fukuda, sebagai Presiden Asosiasi Jepang-Indonesia, datang ke Indonesia bersama sejumlah pengusaha, antara lain bos Mitsubishi Corp, untuk menjajaki kerja sama bisnis. Mereka tak menyangka angin politik di Indonesia berubah begitu cepat.
"Atas nama pribadi, pemerintah dan rakyat Jepang, saya terkejut dan tak menyangka mendengar Anda di-reshuffle dari kabinet," katanya kepada Jonan, seperti diceritakan Hadi Djuraid. Selama di Indonesia, Fukuda juga menjadi tamu Jokowi. Pada 27 Juli lalu, dua jam sebelum pengumuman reshuffle kabinet, Fukuda diterima Presiden di Istana.
Bertemu siang itu, Jonan terlihat santai saja. Kami minum teh di sebuah sudut kedai kopi kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Humornya tak habis-habis. Kami ngakak-ngakak menanggapi celetukannya yang lucu. Dia seperti biasanya, ngomong apa adanya. Terus terang.
"Saya dipanggil Presiden, sekitar lima menit. Presiden mengucapkan terima kasih, lalu memberitahu kalau besok saya diganti," ucapnya, saat saya tanya menit-menit jelang pencopotan. Jonan pun meresponsnya dengan mengucapkan terima kasih kepada Presiden karena telah dipercaya ikut mengabdi untuk bangsa dan negara di kabinet. Saat pamitan, Presiden mengantar dia sampai ke depan pintu.
Rencana berikutnya apa? Tanya saya. Jonan merespons, "Selama 8 tahun terakhir, saya tidak pernah cuti. Dan nyaris tak memperhatikan anak-anak saya. Saya belum pernah...." Jonan tak meneruskan kalimatnya. Suaranya tercekat, lalu terdiam. Dia tertunduk. Matanya agak basah. Saya yang duduk di sampingnya, tertegun. Tak menyangka, orang sekeras dan setegas Jonan, bisa menangis saat bicara tentang anak.
Jonan tidak menangisi pencopotannya. Tapi, pertanyaan saya itu rupanya seperti alarm, ini waktunya Jonan untuk keluarga. Sudah sangat lama, dia tidak berkumpul atau liburan bersama istri dan kedua putrinya. Jonan memang dikenal workaholic. Terbiasa bekerja dan terima tamu sampai jelang pagi.
Di media sosial, penggantian Jonan dianggap mengejutkan. Apalagi, sehari sebelum reshuffle kabinet, portal online memberitakan hanya enam menteri yang dipanggil Jokowi ke Istana. Dan tak ada nama Ignasius Jonan. Jokowi ternyata menyediakan jalur pintu khusus untuk Jonan, sampai-sampai kedatangannya, tak terendus wartawan.
Mengapa Jonan dicopot? Muncul banyak sekali opini. Dari yang sederhana, sampai kontroversial. Dari insiden Gojek, kereta cepat, sampai tragedi tol Brexit. Dari dugaan transaksi politik, hingga kepentingan Pilpred 2019. Di Facebook Ignasius Jonan, foto-fotonya saat berpelukan dengan Budi Karya Sumadi, Menhub baru, mendapat lima ribuan komentar. Dan statusnya saat pamitan dikomentari 12 ribuan.
"Dia menteri yang berani berbeda, walau dengan Presiden sekalipun, karena dia memegang teguh regulasi. Bukan pada arahan kebijakan sesaat atau tekanan politik," kata Fary Djemi Francis, Ketua Komisi V DPR.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, di depan Forum Pemimpin Redaksi, dua bulan lalu, juga menyebut Jonan salah satu menteri terbaik. Berhasil melakukan efisiensi. "Bandara yang dibangun bagus-bagus dengan biaya cukup murah," kata Agus Marto.
Juga Bambang Brodjonegoro. Diwawancarai Rakyat Merdeka saat masih di pos Menteri Keuangan, Bambang menyebut, kerja Kementerian Perhubungan di tangan Jonan bagus, dan termasuk paling agresif menaikkan PNBP atau Pendapatan Negara Bukan Pajak. Anggota kabinet lainnya yang memuji kinerja dan kejujuran Jonan adalah Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Amran menyampaikan itu saat diwawancara Rakyat Merdeka, 6 Juni lalu, bertepatan dengan hari pertama bulan Ramadan.
Soal etos kerja, tak banyak yang meragukan Jonan. Tapi, bagi sebagian orang, mungkin pribadinya bikin tak tahan. Dia unik. Gaya bicaranya ceplas-ceplos, berani, lantang dan pedas. Sikapnya lantang dan apa adanya, khas Suroboyoan. Argumennya seringkali benar. Tapi dalam politik, kadang kebenaran perlu diucapkan tanpa terang-terangan.
Kini, palu telah diketok. Keputusan politik telah dijatuhkan. Namun bagi Jonan, lepas dari kabinet bukanlah sesuatu yang merisaukan. Saya pernah mendengar dia menjawab pertanyaan, tentang mengapa dia mau jadi menteri, padahal gajinya sebagai bankir internasional tentu berkali-kali lipat lebih tinggi.
"Kerja jadi menteri pasti nombok, kan Pak?" tanya seorang wartawan. Jonan tertawa, lalu menjawab, "Bukan nombok, tapi menguras...." Lalu, apa yang anda cari dengan jabatan menteri? Jonan yang dua bulan lalu baru berulang tahun ke 53, diam agak lama. Lalu, dia mengatakan, "Misalnya Tuhan memberi kita usia 75 tahun... Maka, pada 25 tahun pertama, hidup kita lebih banyak menerima. Dan 25 tahun berikutnya, hidup haruslah berimbang, menerima dan memberi. Nah, saya sudah di 25 tahun ketiga. Maka, harus lebih banyak memberi daripada menerima."
Ya inilah akhirnya. Dalam politik, kerja keras dan kerja cerdas saja rupanya tak cukup. Jonan disisihkan dari kabinet, saat perjalanan membangun Nawacita Perhubungan, baru ditempuh sepertiganya. Memang hak prerogatif Jokowi mencopot menteri yang bicara apa adanya. Tapi jangan sampai yang dipertahankan adalah menteri-menteri yang "ada apanya".
Harian Rakyat Merdeka, Kamis, 4 Agustus 2016

Saturday, 2 July 2016

Willem Iskander, Sang Inspirator

Oleh ST SULARTO
Nama dan kiprah Willem Iskander (1840-1876) nyaris dilupakan dalam sejarah pendidikan. Padahal, lembaga yang dia dirikan, Kweekschool (Sekolah Guru) Tanobato (1862-1874) di Panyabungan, Sumatera Utara, termasuk tempat pembenihan ide kebangsaan, khususnya terkait peran strategis guru.
Apa yang dicita-citakan dan dikerjakan serupa misalnya yang dilakukan Ki Hajar Dewantara lewat Perguruan Taman Siswa tahun 1922 dan Engku Mohammad Syafei lewat Indische (kemudian jadi Indonesische setelah Indonesia merdeka) Syafei (INS) Kayutanam 1926. Bedanya, Taman Siswa dan INS Kayutanam secara revolusioner melawan sistem pendidikan penjajah Belanda. Sekolah Guru Tanobato mengintrodusir ide kebangsaannya dalam koridor penjajahan Belanda.
Dalam hal narasi sejarah pendidikan di Indonesia, selain besar-besaran taruhlah tentang Taman Siswa, INS Kayutanam, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama, kurang disebut peranan lembaga-lembaga pendidikan seperti yang dirintis RA Kartini, Dewi Sartika, Rohana Kudus. Padahal, dari segi awal kehadiran dan cara, apa yang digagas dan dilakukan Willem Iskander lebih dulu tampil dibanding Taman Siswa dan INS Kayutanam. Ide dan fokusnya berbeda dengan ide-ide aliran pendidikan yang sudah berjalan seperti Frobel, Montessori, Kerscheteiner, John Dewey, Rabindranath Tagore-tokoh-tokoh yang muncul bersamaan waktu dengan Willem Iskander dan yang menginspirasi Ki Hajar Dewantara dan Engku Syafei dalam sistem pendidikan mereka.
Basyral Hamidy Harahap, peneliti yang pernah mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, asli Mandailing Natal (Madina), boleh dikatakan pembela fanatik ketokohan Willem Iskander. Sejak 1975, dia meneliti dan mengkaji tentang Willem Iskander dan menghasilkan lebih dari 20 buku terkait Willem Iskander. Dia menjadi narasumber lewat naskah dan bukunya tentang kisah sebenarnya Willem Iskander.
Tidak hanya Willem Iskander, Basyral-peneliti yang berlatar belakang sejarah ini-pun mengingatkan sejumlah tokoh asli Sumatera Utara yang dilupakan. Taruhlah seperti nama Rajiun Harahap Gelar Sutan Casayangan Soripada, pendiri Indische Vereeniging cikal bakal Perhimpoenan Indonesia di Belanda tanggal 25 Oktober 1928, dan Ja Endar Muda, raja surat kabar Sumatera. Keduanya alumni Kweekschool Padangsidimpuan, pengganti (penerus) Kweekschool Tanobato yang ditutup tahun 1874. Sekolah ini pernah dipimpin Profesor Charles Adriaan van Ophuijsen yang kemudian dikenal dengan Ejaan van Ophuijsen.
Perlu ditampilkan
Berdasar penelusuran naskah, wawancara, dan kunjungan ke lokasi yang terkait Willem Iskander pada Agustus-September 2015, mendesak perlu disampaikan ke publik tentang ketokohan Willem Iskander. Willem Iskander, nama aslinya Sati Nasution kemudian bergelar Sutan Iskandar, hidup tahun 1840-1876. Anak raja Tinating di Pidoli Lombang, Panyabungan.
Saat ini, lokasi kelahirannya terletak di pinggir jalan lintas Trans-Sumatera, 3 kilometer selatan pusat kota Panyabungan, ibu kota Kabupaten Mandailing Natal. "Willem Iskander itu keturunan ke-11 marga Nasution," kata Effendi Nasution (50), salah satu ahli waris Willem Iskander, awal Agustus lalu.
Menunjukkan piagam Hadiah Seni tahun 1978 yang dianugerahkan Pemerintah Indonesia, disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Daoed Joesoef, dia masih menyayangkan nama Willem Iskander kurang ditampilkan. Effendi mengapresiasi seorang Daoed Joesoef, satu-satunya pejabat tertinggi pemerintah yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan yang pernah datang ke Panyabungan. Daoed Joesoef tiga kali datang, pertama waktu penyerahan piagam Hadiah Seni, kedua waktu peletakan batu pertama SMAN Willem Iskander di Panyabungan Selatan (bekas petilasan Kweekschool) Tanobato tahun 1981, dan peresmian sekolah tahun 1982. Daoed Joesoef pun diberi gelar Iskandar Muda Nasution.
Kondisi keterjajahan Mandailing oleh Belanda dipicu oleh gerakan emansipasi dan pencerahan Alexander Godon, Asisten Residen Mandailing Angkola. Dikecualikan dari kebiasaan asli penjajah yang suka memeras dan main kuasa, Godon justru ingin memajukan pengetahuan rakyat Mandailing akan hak-hak mereka.
Gerakan pencerahan ini dilanjutkan oleh Willem Iskander setelah menempuh pendidikan dalam dua kali periode di Belanda. Periode pertama tahun 1857-1861, periode kedua tahun 1874-1876.
"Dia tokoh yang tragis. Di satu pihak berdiri di atas tradisi, dengan sebelah kaki di pihak lain berdiri di atas alam pikiran modern. Dan, kenyataan lain menghadapi penjajahan Belanda hal mana menyebabkan Willem harus menempuh jalan bunuh diri beberapa bulan setelah menikah," kata Mochtar Lubis dalam sambutan peringatan 100 tahun meninggalnya Willem Iskander, Mei 1976. Dalam acara yang sama, Adam Malik selaku Menteri Luar Negeri dan asli Madina mengatakan, Willem Iskander itu bukan tokoh daerah, melainkan tokoh nasional. Perjuangan pencerahannya, terbebasnya dari penjajahan bukan hanya untuk rakyat Mandailing, melainkan juga untuk Indonesia.
Willem Iskander memang ditemukan sudah meninggal bunuh diri tanggal 9 Mei 1876, dimakamkan di Begraafpelaats Zorgvlied, Amsterdam. Dalam kunjungan Basyral Harahap tahun 2004, makam itu masih ada, tetapi pada kunjungan kedua tahun 2006 makam sudah digusur. Istrinya, Maria Jakoba Winter yang dinikahi tahun 1876 secara dispensasi, menjanda hingga meninggal dalam usia tua.
Perintisan dan loncatan gagasan kebangsaan Willem Iskander tidak bisa lepas dari para mentor yang memberikan fasilitas, seperti Godon, Dirk Hekker, Milles-guru-guru di Belanda yang sangat menaruh perhatian pada pendidikan keguruan. Tak ketinggalan pula Eduard Douwes Dekker, sesama pegawai Belanda yang kemudian terkenal dengan nama samaran Multatuli lewat karya monumentalnya, Max Havelaar, yang ditulisnya tahun 1859.
Selain sebagai perintis sekolah guru desa, dalam arti pendidikan tidak hanya dalam kelas, tidak hanya bagi para murid, tetapi juga masyarakat dan dengan bahasa Mandailing sebagai pengantar, Willem Iskander juga dikenal sebagai pengarang. Prosa dan puisinya yang terkumpul dalam Si Bulus Bulus, Si Rumbuk Rumbuk (Tulus, Mufakat, Rukun) adalah karangan satiris yang menyuarakan semangat kemerdekaan. Prosa dan puisi ini pernah dilarang beberapa tahun oleh Pemerintah Belanda sebab dinilai menyulutkan semangat kemerdekaan.
Di kalangan masyarakat Mandailing, ketokohan Willem Iskander selama bertahun-tahun kurang memperoleh tempat. Muncul narasi-narasi bias, yang kemudian dibantah oleh Basyral Harahap, dan sebaliknya lewat penelitian mendalam Basyral menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi pada Willem Iskander.
"Apa pun narasi dan kisah yang berkembang, Willem Iskander dalam usianya yang relatif pendek itu adalah tokoh hebat yang ikut serta menginspirasi ide kebangsaan," kata Ichwan Azhari, Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan, pekan lalu.
Kompas, Senin, 16 November 2015