Sunday 18 September 2016

Jalan Panjang Teripang Tanah Air

Oleh J GALUH BIMANTARA
Teripang, barangkali banyak orang mengenal sebagai binatang laut yang juga kudapan. Namun, tahukah publik bahwa perdagangan teripan asal Indonesia terentang lebih dari 300 tahun. Tahukah pula bahwa teripang ternyata terdiri atas 54 spesies berbeda. Yang hampir pasti, kepedulian terhadap fauna yang merupakan bagian dari timun laut itu masih amat minim.
1909210teripanggg780x390.jpg
Teripang si sumber nafkah. (Kompas/Yunas Santhani Azis)

Saturday 17 September 2016

Rahasia di Balik Hubungan AS-Israel

Oleh MUSTHAFA ABD RAHMAN
Setelah berunding cukup alot sekitar 10 bulan, akhirnya Amerika Serikat dan Israel, Rabu (14/9), menandatangani nota kesepahaman paket bantuan militer terbesar dalam sepanjang sejarah hubungan bilateral kedua negara itu.
signing.jpg
Wakil Menteri Luar Negeri AS Tom Shannon (kanan) dan Pejabat Penasihat Keamanan Nasional Israel Jacob Nagel (kiri) menandatangani pakta bantuan baru AS untuk Israel di Kementerian Luar Negeri AS, Washington, Rabu (14/9). AS akan memberi bantuan pada Israel senilai 38 miliar dollar AS (Rp 500 triliun) dalam 10 tahun ke depan atau 3,8 miliar dollar AS (Rp 50 triliun) per tahun. (Reuters/Gary Cameron)
Paket bantuan tersebut senilai 38 miliar dollar AS atau sekitar Rp 500 triliun untuk jangka waktu 10 tahun. Dari paket bantuan itu, Israel akan menerima 3,8 miliar dollar AS (sekitar Rp 50,029 triliun) setiap tahun.
Dalam nota kesepahaman itu ditegaskan pula bahwa setengah miliar dari 3,8 miliar dolar AS yang diterima Israel setiap tahun khusus diperuntukkan bagi pengembangan sistem rudal antirudal yang kini dikembangkan Israel.
Bantuan itu jauh lebih besar dibandingkan dengan bantuan yang diterima Israel selama ini sejak tercapainya kesepakatan damai Israel-Mesir di Camp David tahun 1979, yakni sekitar 3,1 miliar dollar AS per tahun.
Israel sampai saat ini adalah negara yang paling banyak menerima suplai senjata tercanggih AS. Ada anekdot: senjata tercanggih yang dibuat AS hari ini, keesokan hari sudah ada di Israel.
Presiden AS Barack Obama menyebut, paket bantuan militer baru itu untuk menjamin keamanan Israel di tengah ancaman negara-negara tetangganya yang bergejolak. PM Israel Benjamin Netanyahu menyatakan, paket bantuan militer itu akan mempertahankan keunggulan kekuatan militernya dan dapat menangkal ancaman rudal.
Secara politis, paket bantuan militer baru dari AS untuk Israel tersebut menunjukkan bahwa meski sering terjadi beda pendapat Israel dan AS tetap bertekad mempertahankan hubungan strategis mereka.
Selama ini AS dan Israel berbeda pendapat soal isu strategis, seperti kesepakatan nuklr antara Iran dan kelompok negara 5+1 (AS, Inggris, Tiongkok, Perancis, Rusia plus Jerman) pada Juli 2015. AS dan Israel juga berbeda pendapat soal sikap Tel Aviv yang terus menghindar dari proses perdamaian dengan Palestina.
Siapa pun tidak membantah terjalinnya hubungan strategis AS-Israel. Hubungan keduanya tak tergoyahkan oleh empasan angin apa pun.
Suatu ketika pada 1960-an, PM Uni Soviet Alexei Kosygin sampai bertanya pada Presiden AS Lyndon B Johnson, mengapa AS begitu membela Israel yang hanya berpenduduk 3 juta jiwa, tetapi menyerang sejumlah negara Arab yang mempunyai penduduk 80 juta jiwa? Presiden Johnson saat itu menjawab: karena Israel dalam posisi benar.
Faktor penyebab
Mengapa AS begitu membabi buta mendukung Israel sehingga sering terlihat tidak rasional? Banyak faktor penyebab AS begitu konsisten membela Israel sejak berdirinya negara Yahudi itu tahun 1948. Selain faktor geopolitik dan ekonomi, masalah agama dan budaya mendasari hubungan strategis AS-Israel. Faktor agama dan budaya itu pula yang menjadi barometer kebijakan geopolitik AS di Timur Tengah, termasuk terkait isu Palestina.
Tokoh gerakan pembaharuan agama Kristen asal Jerman, Martin Luther (1483-1546), sangat populer dan menjadi inspirasi utama dalam kehidupan di AS. Ajaran Martin Luther itu yang membingkai hubungan khusus Yahudi-Krister Protestan.
Sejarawan Inggris keturunan Lebanon, Albert Hourani, dalam bukunya, Sharq Al Awsat Al Hadist, menguraikan peran penting ajaran kitab suci Yahudi, Taurat atau Perjanjian Lama, dalam membangun pola pikir dan budaya kaum migran Eropa pertama ke AS. Kaum migran Eropa setiba di AS segera mengadopsi doktrin dalam Perjanjian Lama bahwa kaum Yahudi harus kembali ke Palestina.
Hal itu terjadi tiga abad sebelum lahirnya gerakan zionis yang digalang Theodor Herzl. Maka, proyek zionis sesungguhnya bisa disebut proyek AS yang terinspirasi dari kitab Perjanjian Lama dan diyakini oleh sebagian besar rakyat AS, jauh sebelum lahirnya gerakan zionis secara resmi.
Semua Presiden AS sejak berdirinya negara AS pada 1776 mempercayai dan mengadopsi kebijakan politik zionis. Kebetulan semua Presiden AS menganut Kristen Protestan, kecuali Presiden John F Kennedy yang menganut Katolik.
Hal ini berbeda dengan Katolik yang sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan Yahudi. Vatikan saja baru bersedia membuka hubungan diplomatik dengan Israel setelah tercapai kesepakatan Oslo antara Israel dan Palestina tahun 1993.
Dalam konteks itu, betapa pengaruh ajaran Yahudi sangat besar terhadap para pendiri dan Presiden AS. Presiden AS kedua, John Adams (1797-1801), dikenal salah satu Presiden AS yang sangat mengagumi Yahudi. Ia pernah mengirim surat kepada penerusnya, Presiden Thomas Jefferson (1801-1809), yang isi suratnya berbunyi, “Saya sangat meyakini bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa yang paling maju peradabannya dibandingkan dengan bangsa lain.”
Presiden Woodrow Wilson (1913-1921) juga dikenal sebagai Presiden AS yang sangat mendukung perjuangan bangsa Yahudi. Ia berbuat segala hal untuk mendukung dan menyukseskan Perjanjian Balfour tahun 1917 yang membuka jalan bagi imigran Yahudi ke Palestina.
Presiden Wilson pada 3 Maret 1919 mengatakan, pemerintah dan rakyat AS mendukung peletakan batu asas bagi berdirinya Uni Federal Yahudi di Palestina.
PM Israel Benjamin Netanyahu, ketika menjadi Dubes Israel untuk PBB pada tahun 1985, pernah menghadiri acara doa rakyat AS untuk kejayaan Israel. Netanyahu saat itu memuji hubungan historis Yahudi-Kristen Protestan yang membantu terwujudnya impian gerakan zionis, yaitu berdirinya negara Israel.
Bagian dari Barat
Setelah berdirinya negara Israel pada tahun 1948, PM Israel pertama yang juga pendirinya, David Ben Gurion, menerapkan nilai-nilai budaya Barat dalam politik (demokrasi), hukum (hak asasi manusia), ekonomi, dan sosial dalam kehidupan bernegara dan berbangsa di Israel.
Hal ini membantu mengantar negara-negara Barat, terutama AS, yang menganggap bahwa Israel adalah bagian dari dunia Barat.
Karena itu, memandang hubungan strategis AS-Israel tidak bisa melihat semata faktor kepentingan geopolitik atau lobi Yahudi, tetapi yang lebih mendasar adalah ranah agama dan budaya.
IsraelGazaAP.jpg
Proyek permukiman Yahudi di Modiin Illit, Tepi Barat, Palestina, yang terekam dalam foto bertanggal 14 Maret 2011. Dalam pidato kepada dunia Arab, tujuh tahun silam, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengingatkan, proyek permukiman Israel merusak harapan perdamaian Palestina-Israel. Rabu (14/9), pemerintahan Obama memberi Israel bantuan 38 miliar dollar AS untuk 10 tahun. Ini bantuan terbesar AS dalam sejarah hubungannya dengan Israel. (AP Photo/Oded Balilty)
Kompas, Minggu, 18 September 2016

Saturday 10 September 2016

Yazidi

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Komunitas Yazidi adalah sebuah komunitas kuno yang tinggal di wilayah Irak bagian Utara, Turki tenggara, Suriah, dan Iran. Sebagian besar dari mereka berbicara dalam bahasa Kurdi. Jumlah mereka hingga tahun 2014, menurut para ahli Timur Tengah, sekitar 700.000 orang, tetapi ada pula yang menyebut angka 500.000 orang.
peacock1.png
Merak sebagai simbol kepercayaan Yazidi
Cerita lain mengisahkan, orang-orang selama berabad-abad tinggal di wilayah pegunungan di Irak barat daya, sekitar Sinjar, suatu wilayah yang tidak jauh dengan perbatasan Suriah. Selain di Sinjar, mereka juga tinggal di Mosul – sebelah timur Sinjar – dan Provinsi Dohuk yang dikuasai Kursi. Provinsi Dohuk adalah provinsi di Irak yang paling utara berbatasan dengan Turki.
J Brooks Spector dalam Daily Maverick menulis bahwa keyakinan mereka campuran dari Yudaisme, Islam, Zoroaster, Kristen, dan bahkan kepercayaan animis. Karena kepercayaan “unorthodox” inilah mereka sering disalah mengerti dan dipandang sebagai agama yang menyembah setan.
Avi Asher-Schapiro dalam National Geographic News (11 Agustus 2014) menulis, kepercayaan mereka telah berabad-abad menjadi sasaran kebencian. Mereka dianggap sebagai penyembah setan. Karena itu, berulang kali mereka menghadapi bahaya genosida. Yazidisme adalah kepercayaan kuno yang kaya dengan tradisi lisan. Mereka mengombinasikan berbagai sistem kepercayaan yang dalam istilah keagamaan disebut sinkretisme.
Akan tetapi, hingga kini, asal muasal kepercayaan mereka masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa Yazidisme dibentuk ketika seorang pemimpin Sufi, Adi ibn Musafir, bermukim di Kurdistan pada abad ke-12 dan mendirikan sebuah komunitas yang mencampur elemen-elemen Islam dengan kepercayaan pra-Islam.
Demes_Yezidis_roof_web smaller.jpg
Biara Laish, yang sekaligus makam Syeikh Adi ibn Musafir di Irak utara (Transatlantic Academy)
Mereka mulai dituduh menyembah setan pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Pada paruh kedua abad ke-19. Orang-orang Yazidi menjadi target, baik para pemimpin Ottoman maupun Kurdi. Menurut Matthew Barber, seorang ilmuwan sejarah Yazidi di Universitas Chicago, orang-orang Yazidi sering mengatakan menjadi korban 72 kali genosida atau usaha pembasmian. “Ingatan akan penganiayaan menjadi komponen identitas mereka,” kata Matthew Barber.
Akan tetapi, karena banyak di antara mereka yang berbicara dalam bahasa Kurdi, sering kali mereka bernasib sama dengan orang-orang Kurdi di Irak pada zaman Saddam Hussein. Pada akhir tahun 1970-an, ketika Saddam Hussein melancarkan kampanye Arabisasi brutal terhadap orang-orang Kurdi, ia membumihanguskan desa-desa orang Yazidi. Lalu, mereka dipaksa tinggal di pusat-pusat kota, terputus dari cara hidup mereka di pedesaan. Saddam Hussein membangun kota Sinjar dan memaksa orang-orang Yazidi tinggal di kota itu.
Orang-orang Yazidi percaya akan satu dewa, figur sentral dalam kepercayaan mereka, yakni Tawusî Melek, malaikat yang menentang Tuhan (ada yang menyebutnya sebagai Lucifer atau ada pula yang menyebut sebagai setan). Namun, bagi orang-orang Yazidi, Tawusî Melek adalah kekuatan untuk kebaikan dalam kepercayaan Yazidi. Tawusî Melek berperan sebagai mediator antara manusia dan Ilahi.
Dikutip sebagian, dari Kompas, Minggu, 11 September 2016

"Cuma Ngerem Doang"

Oleh AGUS HERMAWAN
Seorang anak sekolah, sepertinya masih duduk di kelas 4 atau 5 sekolah dasar, tampak mendekati sepeda motor yang terbungkus plastik rapi. Ketika plastik dibuka, tampak sebuah sepeda motor baru. Tampaknya itu hadiah ulang tahun atau kenaikan kelas bagi si anak, yang langsung terlihat berbinar ceria itu. Si ibu merekam peristiwa itu dengan gawai lalu memeluk anak kesayangannya.
Anak itu kemudian mencoba-coba menaiki motor barunya yang masih terparkir di garasi. Tak lama kemudian, masih dalam rekaman video gawai, si anak yang belum cukup umur itu mengendarai motornya ke luar dari garasi. Namun, baru saja keluar dari garasi, sebuah motor dari arah yang tak terduga menabraknya! Semua terekam dalam kamera.
Video peristiwa tragis tersebut beredar di media sosial. Kejadian ini hanya salah satu contoh betapa telah begitu banyak korban jatuh di jalanan karena kelalaian. Sudah jamak kita lihat anak-anak di bawah umur dilepas begitu saja mengendarai kendaraan bermotor.
Kisah pilu juga menyertai sebuah petisi melalu laman change.or.id [change.org], yang isinya mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum memenjarakan orangtua yang mengizinkan anak-anak di bawah umur mengendarai sepeda motor/modibl.
Petisi itu dibuat setelah seorang ibu yang memiliki anak berusia 3-4 tahun meregang nyawa sesudah ditabrak sepeda motor berkecepatan tinggi yang dikendarai anak tanggung. Kejadian yang disebutkan terjadi di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat, itu juga menyebabkan seorang perempuan lain dan si penabrak terluka.
jgboybmECrhSneI-800x450-noPad.jpg
Sangat mengkhawatirkan
Petisi yang diprakarsai Saleha Juliandi itu memang belum tentu dikabulkan pihak berwenang. Namun, petisi itu menggambarkan betapa masyarakat yang masih berpikiran sehat dan normal sangat khawatir dengan penggunaan sepeda motor oleh anak-anak.
Ketentuan perundangan bahwa hanya mereka yang berumur 16 tahun ke atas yang bisa mendapat surat izin mengemudi (SIM) C bukannya tanpa alasan. Remaja berumur sekian dinilai sudah cukup matang secara psikologis untuk mengendalikan kendaraan bermotor di jalan raya. Sementara bocah-bocah “ababil” (anak baru labil) itu, jangankan kematangan emosional, kakinya pun belum bisa menapak secara sempurna saat berada di sadel sepeda motor!
Padahal, berdasarkan catatan kepolisian, sepanjang tahun 2014 terjadi 95.906 kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal 28.897 orang. Artinya, setiap hari ada 263 kecelakaan dengan 79 korban meninggal. Data tersebut juga menunjukkan, 57 persen korbannya adalah siswa SMA (Kompas, 26 Oktober 2015).
Semakin mudahnya masyarakat memiliki sepeda motor dengan skema kredit yang murah dan gampang juga menjadi salah satu penyebab. Belum lagi di dalamnya ada kepentingan industri otomotif untuk terus meraih laba.
Berbagai kampanye atau imbauan sepertinya sudah tak mampu lagi membendung fenomena ini. Sebagian orangtua malah bangga jika melihat anaknya bisa naik sepeda motor.
Beberapa waktu lalu, Kompas melihat sepeda motor yang dikendarai seorang anak SMP terjungkal. Padahal, ia tengah memboncengkan ibunya dan seorang anak balita.
Saat didekati, tanpa rasa bersalah, si ibu berkata, “Padahal enggak ada apa-apa, Pak. Cuma ngerem doang, eh, malah terjungkal.”
Bu, motor kencang terus mengerem depan mendadak, ya, njungkel!”
Kompas, Minggu, 11 September 2016

Pengendalian Tembakau, SDG, dan Generasi Muda Indonesia 2030

Oleh DIAH S SAMINARSIH
Data global mencatat, 6 juta orang meninggal setiap tahun karena konsekuensi dari merokok. Peningkatan kematian yang sangat serius ini membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutnya sebagai sebuah epidemi.
Di Indonesia, merokok adalah salah satu sumber permasalahan kesehatan terbesar. Kematian prematur, penurunan produktivitas, dan pengeluaran yang tidak produktif sebagai dampak merokok akan menjadi halangan bagi Indonesia untuk mencapai bonus demografi. Karena itu, dibutuhkan kebijakan pengendalian tembakau yang dapat mencegah berlanjutnya epidemi itu.
Dari sudut pandang kebijakan global, setidaknya dalam ranah kesehatan, pengendalian tembakau mendapatkan momentum dengan dikeluarkannya Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) oleh WHO pada 2003, hanya tiga tahun sejak Sasaran Pembangunan Milenium (MDG) diadopsi 189 negara anggota PBB. Apabila saja rancangan pengendalian tembakau nasional saat itu sudah terintegrasi sesuai momentum yang dibentuk kedua kebijakan global ini, bisa dipastikan kondisi nasional kita akan jauh lebih baik daripada saat ini. Baik MDGs maupun FCTC sebenarnya telah menyediakan ruang kebijakan dan kesempatan bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmen bagi kesehatan rakyatnya melalui kebijakan yang pro kesehatan.
Berkaca dari implementasi MDG yang sering kali dinilai “terlambat”, Indonesia yang berperan aktif dalam proses perumusan dan telah mengadopsi Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (SDG) pada 2015 memiliki kesempatan besar untuk sejak dini melakukan perencanaan dan implementasi menuju pencapaian SDG. Perspektif pengendalian tembakau memengaruhi pencapaian setiap tujuan SDG tanpa kecuali. Pencapaian SDG tersebut tidak hanya bergantung kepada pembuat kebijakan saat ini tetapi juga pada kualitas pembuat kebijakan yang akan datang; yaitu pemuda saat ini.
Kebijakan pengendalian tembakau yang kuat menjadi investas pembangunan, khususnya untuk memastikan kualitas populasi di masa depan. Namun, upaya tidak dapat berhenti pada lahirnya kebijakan dan peraturan, tetapi harus diikuti dengan implementasi, pengawasan, dan penegakan hukum yang tegas, jelas, dan konsisten.
Mengapa ini penting?
Mari kita telisik sejumlah data. Dibandingkan negara-negara ASEAN lain, Indonesia adalah negara dengan konsumsi rokok per kapita tertinggi. Estimasi perokok baru, remaja usia 19 tahun ke bawah 16,4 juta jiwa. Selain itu, satu dari lima anak antara usia 13 tahun dan 16 tahun pernah merokok. Ini menyebabkan Indonesia menjadi negara dengan jumlah perokok remaja tertinggi di dunia sekaligus perokok laki-laki tertinggi di dunia juga, yaitu 66 persen.
Child+Smoking+Plagues+Indonesia+oBXLwfpU6dKx.jpg
Pelajar merokok sebelum ke sekolah di Yogyakarta (Getty Images AsiaPac/Ulet Ifansasti)
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 menyebutkan, belanja rokok telah mengalahkan belanja beras. Sementara itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menyebutkan, prevalensi perokok di atas usia 15 tahun yang berasal dari kelompok termiskin menunjukkan peningkatan dari 30 persen pada 2001 menjadi 43,8 persen di 2013. Sementara dari kelompok terkaya, menunjukkan penurunan dalam konsumsi ataupun dalam jumlah pengeluaran. Dalam konteks pencapaian SDG yang intinya mengakhiri kemiskinan, perlu dicari jawabnya bagaimana agar negara kita tak terjebak dalam perangkap pendapatan menengah (middle income trap) karena pengeluaran rumah tangga ataupun individu yang besar untuk konsumsi rokok.
Dari sisi kesehatan, total pengeluaran biaya pelayanan kesehatan karena penyakit akibat rokok adalah Rp 13,5 triliun. Selain kerugian dari biaya pelayanan kesehatan, total pengeluaran untuk rokok Rp 209 triliun dan total kerugian ekonomi akibat kematian dini dan kehilangan produktivitas adalah Rp 374 triliun. Pengeluaran ini sangat besar apabila dibandingkan dengan penerimaan negara dari cukai rokok, yakni Rp 103,02 triliun.
Di sisi lain, data keterjangkauan rokok menunjukkan situasi yang tak menguntungkan. Pada saat negara-negara lain menentukan kebijakan yang mempersulit keterjangkauan terhadap rokok, Indonesia menunjukkan sebaliknya. Sejak 2008 hingga 2013, data menunjukkan akses terhadap rokok justru makin mudah. Situasi di atas menunjukkan, pengendalian tembakau bukanlah semata urusan sektor kesehatan, ekonomi, dan perindustrian saja, melainkan juga perlu menjadi prioritas di bidang-bidang lain yang turut terkena dampak dari penggunaan tembakau, seperti pertanian, pendidikan dan budaya, lingkungan, serta sosial dan kepemudaan.
Peta jalan
Pertanyaan kuncinya: apa kebijakan, cara, dan tindakan yang harus dilakukan saat ini? Pertama, perlu Peta Jalan Nasional untuk menurunkan jumlah perokok pemula dengan melibatkan lintas kementerian/lembaga. Peta jalan ini penting karena harus memperhitungkan tak hanya faktor ekonomi, seperti pendapatan negara melalui cukai versus pengeluaran pembiayaan kesehatan akibat dampaknya, tetapi juga faktor sosial, pendidikan, dan budaya. Satu persoalan yang mesti ditangani, perlunya strategi untuk melindungi dan memberikan pendampingan bagi petani tembakau untuk beralih tanam. Di sisi lain, perlu pendidikan publik melalui ketersediaan dan keterbukaan data mengenai dampak jamak dari rokok, terutama pada kelompok pemuda.
Kedua, mempertegas komitmen dan regulasi pengendalian tembakau uang sudah tersedia melalui penegakan hukum yang konsisten, baik di pusat maupun daerah. Di sini pentingnya aksesi FCTC sebagai acuan kerangka kerja nasional untuk pengendalian tembakau.
Ketiga, mengarusutamakan pengendalian tembakau dalam perencanaan pembangunan di tingkat pusat maupun daerah sebagai upaya bersama masyarakat yang berpedoman pada pola hidup bersih dan sehat. Pemerintah melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) hendak memastikan keberhasilan implementasi gaya hidup sehat di masyarakat, termasuk pengendalian tembakau. Sesuai 12 Indikator Keluarga Sehat, salah satu indikator pengukur keberhasilannya adalah ada atau tidaknya anggota keluarga yang merokok atau tidak merokok.
Terakhir, sama halnya dengan implementasi SDG, upaya pengendalian tembakau tak dapat dilakukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga butuh partisipasi dari semua kelompok masyarakat. Masyarakat sipil bisa secara kritis mendorong, mengawal, dan memastikan implementasi regulasi pengendalian tembakau konsisten dijalankan oleh seluruh pemangku kepentingan melalui jejaring dan pelibatan berbagai kelompok sosial. Peran masyarakat sipil juga penting untuk membuka ruang partisipasi, inovasi, dan sinergi untuk mengawal jalannya program-program pemerintah di tingkat komunitas. Beberapa aksi yang bisa dilakukan, misalnya, edukasi dengan pendekatan sebaya ke remaja tingkat sekolah menengah, terutama di kota-kota padat penduduk dengan angka perokok muda tinggi; membentuk mekanisme koordinasi untuk pengendalian tembakau untuk mengawal perumusan dan implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah; dan meneruskan advokasi hingga FCTC diaksesi pemerintah.
Pada akhirnya, kita harus ingat, janji implementasi SDG akan ditagih pada 2030. Saat itu juga, kita akan mengetahui apakah manusia Indonesia cukup berkualitas dan mampu bersaing dalam percaturan global. Itu mengapa, sinergi peta jalan pengendalian tembakau dengan peta jalan SDG menjadi kunci penentu keberhasilan kita nanti. Kita punya pilihan: kembali terlambat bertindak; atau walaupun tak populer, segera aktif membentuk masa depan, merealisasikan potensi generasi muda untuk membangun dirinya dan negeri ini.
DIAH S SAMINARSIH
Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Kemitraan dan Sustainable Development Goals; dan Pendiri Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI)
Kompas, Sabtu, 10 September 2016

Friday 9 September 2016

Memperkuat Toleransi Beragama

Oleh MASDAR HILMY
Kerusuhan Tanjung Balai – dan juga kerusuhan Tolikara tahun lalu – telah mengentakkan kesadaran kita bahwa gambar kerukunan dan toleransi beragama di negeri ini tidaklah “seindah warna aslinya”.
Ternyata masih ada banyak hal yang harus dibenahi. Kondisi semacam ini ibarat memandang gunung: indah ketika dilihat dari jauh, tetapi penuh jurang dan bebatuan mengerikan jika didekati. Lebih berbahaya lagi, sebuah gunung berapi menyimpan magma panas yang sewaktu-waktu dapat meletus dan menghancurkan kehidupan alam sekitar.
Terlepas dari berbagai pujian dunia terhadap tradisi toleransi beragama di negeri ini, kerukunan dan toleransi beragama kita harus diakui berdiri di atas fondasi yang masih rapuh. Hanya karena hasutan “kecil” melalui pesan berantai di media sosial, harmoni sosial umat beragama mendadak terkoyak. Masyarakat kita seolah kehilangan kecerdasan publik untuk memfilter dan menangkis segala isu provokatif.
Di tengah banjirnya informasi di media sosial, rasanya tiada pilihan lain bagi masyarakat kita kecuali perlu memperkuat kecerdasan publik dalam rangka merasionalisasi segala bentuk provokasi agar konflik kerusuhan bernuansa suku, agama, ras, dan antar-agama (SARA) tidak mudah terjadi. Barangkali inilah tantangan terberat masyarakat kita di tengah era digital seperti sekarang ini.
Kekenyalan sosiologis
Sebuah masyarakat dapat dikatakan dewasa dalam hal kerukunan dan toleransi beragama manakala mereka memiliki tingkat kekenyalan sosiologis yang tinggi dalam mengelola, memfilter, dan selanjutnya menangkal berbagai bentuk isu provokatif di seluruh tingkatan: kecil, sedang, dan berat. Berbagai konflik dan kerusuhan sosial bernuansa SARA terjadi akibat minimnya (bahkan absennya) kekenyalan sosiologis dimaksud. Sementara itu, roh dari kekenyalan sosiologis adalah rasionalitas publik yang bekerja untuk menimbang keuntungan dan kerugian dari sebuah tindakan kolektif.
Ketika rasionalitas publik bekerja secara maksimal, maka sebuah masyarakat niscaya tidak akan memilih tindakan yang dapat membahayakan dan merugikan orang lain. Memang, tindakan membakar rumah ibadah agama lain bisa saja dikonstruksi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sebagai upaya pembelaan diri atas penghinaan terhadap agamanya. Namun, jika mereka sadar sesadar-sadarnya (religiously literate), tindakan tersebut pasti cenderung dihindari karena tidak dibenarkan oleh ajaran agama apa pun di dunia ini. Dalam keadaan perang pun, Islam tidak membenarkan penghancuran rumah-rumah ibadah umat agama lain!
Pertanyaannya, sudah sedemikian parahkan masyarakat kita? Mengapa mereka lebih memilih cara perusakan dan penghancuran ketimbang dialog? Seberapa jauh masyarakat kita “kenyal” secara sosiologis ketika ada “tangan-tangan jahil” mencoba mengail di air keruh? Jangan-jangan Tanjung Balai adalah fenomena gunung es di negeri ini: masyarakat kita secara umum belum teruji untuk menghadapi hantaman provokasi dari yang ringan hingga yang berat. Artinya, masyarakat kita berdiri di atas fondasi toleransi yang rapuh (fragile tolerance) yang sewaktu-waktu dapat meledak jika diprovokasi.
Dalam kondisi semacam ini, ada baiknya kita membayangkan diri sebagai kelompok minoritas di wilayah lain, seperti masyarakat Muslim di daratan Eropa atau di Amerika Serikat. Bagaimana masyarakat non-Muslim di kedua benua tersebut secara umum berusaha sekuat tenaga menjaga harmono di tengah hantaman berbagai provokasi kekerasan melalui ulah segelintir teroris yang menewaskan banyak warga sipil? Bagaimana pula Pemerintah Jerman masih tetap menerima gelombang pengungsi di tengah hancurnya reputasi mereka akibat ulah teroris?
Pembunuhan warga sipil di Nice, Perancis, melalui modus terorisme single wolf yang menewaskan 84 warga sipil (15/7/2016), aksi penembakan membabi buta seorang pemuda berketurunan Iran di kota Muenchen, Jerman (22/7/2016), dan penyerangan sebuah gereja di Perancis (26/7/2016) adalah sebentuk provokasi tingkat berat.
Sekalipun daratan Eropa telah berkali-kali dihantam isu terorisme, masyarakat sejauh ini tetap tenang dan tidak terprovokasi untuk melancarkan aksi balasan. Artinya, masyarakat di kedua negara tersebut secara umum telah memiliki tingkat kekenyalan sosiologis yang tinggi dalam menghadapi berbagai tekanan dan hantaman provokasi.
Memang kasus-kasus diskriminasi dan pelecehan agama kerap terjadi di daratan Eropa, AS, dan Australia. Namun, jatuhnya korban di kalangan warga sipil akibat aksi teroris bukanlah balasan setimpal atas aksi diskriminasi dan pelecehan tersebut. Aksi kekerasan teroris jelas sudah melewati batas-batas kemanusiaan, sesuatu yang semestinya sangat disakralkan oleh ajaran agama apa pun, tak terkecuali Islam. Namun, mengapa aksi-aksi kekerasan masih tetap dilakukan teroris? Jawabannya: karena rasionalitas publik mereka telah tersubordinasi dan terkooptasi oleh fanatisme buta yang justru merugikan semua.
Pilarisasi masyarakat sipil
Sebenarnya aksi kekerasan di kalangan umat beragama dapat dicegah jika kelompok masyarakat sipil (civil society) kita dapat memerankan diri sebagai benteng terakhir kerukunan dan toleransi beragama. Meminjam istilah Bryan S Turner (2016: 266), penciptaan toleransi beragama dapat dilakukan melalui “pilarisasi masyarakat sipil” dengan cara melakukan berbagai bentuk penguatan toleransi di tiap-tiap kluster masyarakat sipil, baik secara teologis maupun sosiologis. Tentu saja proses penguatan tersebut harus dilakukan secara top-down, bukan bottom-up.
Artinya, para elite agamawan sebagai bagian dari masyarakat sipil harus sigap dan bertanggung jawab mengendalikan emosi massa agar kekerasan dan kerusuhan sosial bisa dicegah. Sayangnya, tidak semua elite agamawan memiliki kesadaran atau kapasitas demikian.
Dalam banyak kasus, beberapa aksi kekerasan bernuansa SARA di negeri ini justru “direstui” oleh para elite agamawan. Yang lebih menyedihkan, beberapa aksi kekerasan terjadi akibat pembiaran oleh para aktor negara yang semestinya berdiri di garda depan dalam melindungi setiap warga negara.
Dalam konstruk teoretik Simon Chambers dan Jeffery Kopstein (2001), kelompok masyarakat sipil yang tidak mampu mencerdaskan dan menyejahterakan para anggotanya disebut sebagai masyarakat sipil yang buruk (bad civil society). Oleh karena itu, ada baiknya masyarakat sipil kita melakukan berbagai penguatan dan advokasi massa agar masyarakat kita mampu mendayagunakan rasionalitas publik secara maksimal.
Bekerjanya mekanisme rasionalitas publik tersebut dengan sendirinya akan menciptakan kekenyalan sosiologis di kalangan masyarakat dalam menghadapi berbagai macam provokasi yang pada gilirannya akan menciptakan kedewasaan di kalangan mereka.
Salah satu indikator kedewasaan masyakat kita adalah dipilihnya cara-cara beradab (baca: non-kekerasan) sebagai mekanisme resolusi konflik yang baik bagi berbagai masalah sosial kemasyarakatan. Ada banyak isu provokatif yang berseliweran di ruang publik yang dapat mengancam bangunan toleransi beragama kita. Seberat apa pun tingkat provokasinya, tidak semestinya kita memilih cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah-masalah keagamaan. Memasuki usianya yang ke-71, semoga kerukunan dan toleransi beragama kita semakin kokoh, kenyal, dan dewasa sehingga kemajemukan beragama akan membawa berkah ketimbang bencana.
MASDAR HILMY
Guru Besar Ilmu-ilmu Sosial dan Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya
Kompas, Sabtu, 10 September 2016