Sunday 30 October 2016

Dari, Oleh, dan Untuk Elite

Oleh EDNA C PATTISINA dan A PONCO ANGGORO
Pusat kekuasaan Majapahit ada di tangan raja, dengan keluarga raja menjadi lingkaran kekuasaan berikutnya. Sisa-sisa dari pola kekuasaan itu masih sering dijumpai dalam perilaku sebagian elite politik saat ini.
Sejarawan Hermann Kulke dalam bukunya Epigraphical Reference to the “City” and the “State” in Early Indonesia, menulis, salah satu perbedaan pola kekuasaan di Majapahit dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya adalah terkait penggantian penguasa lokal di lingkaran Jawabhumi yang kini terbentang dari Yogyakarta sampai Madura dan Bali.
Jawabhumi merupakan salah satu istilah dalam strategi pembagian pengaruh Majapahit yang disebut dengan mandala. Istilah lain dalam mandala, antara lain Nusantara (meliputi wilayah Maluku dan Sumatera) dan Mitreka Satata (lingkaran negara sahabat seperti Siam, Campa, Tiongkok, dan India).
Majapahit mengganti penguasa lokal di lingkaran Jawabhumi dengan anggota keluarga kerajaan hasil perkawinan politik atau orang yang dinilai loyalitasnya bisa diandalkan.
Kebijakan yang akhirnyan membuat hampir semua anggota keluarga mendapat wilayah untuk dikuasai ini, dimulai tahun 1295. Persisnya, saat pendiri Majapahit Raden Wijaya memahkotai putra tertuanya, yaitu Jayanegara sebagai Pangeran Kediri/Daha.
Sepeninggal Jayanegara, Daha diserahkan pada adiknya yang juga bibi Hayam Wuruk, yaitu Dyah Wiyat. Sementara Hayam Wuruk yang ketika itu masih jadi pangeran, dianugerahi wilayah Kahuripan.
Kondisi ini terus berkembang hingga ketika Hayam Wuruk menjadi raja Majapahit pada 1350-1389, menurut Nagarakretagama karya Mpu Prapanca, ada 12 wilayah yang seluruhnya dikuasai keluarga. Sebagai contoh, Tumapel dikuasai oleh Kertawardhana, suami Dyah Gitarja, putri Raden Wijaya dan Gayatri. Sementara Mataram dikuasai oleh Wikramawardhana, keponakan Hayam Wuruk, yang belakangan jadi menantunya.
Dalam hubungan yang kemudian berbentuk patron-klien ini, para penguasa daerah sebagai klien mempersembahkan loyalitasnya serta penarikan hasil bumi, terutama beras ke Trowulan, di ibu kota Majapahit.
Penguasa daerah mendapatkan beras dari rakyat yang menyerahkannya kepada mereka sebagai upeti. Upeti adalah balasan rakyat atas rasa aman yang disediakan penguasa.
Selain dengan memberikan rasa aman, loyalitas rakyat kepada penguasa/raja, juga dibangun dengan mengonstruksikan bahwa raja adalah wakil dewata.
Sementara penguasa di Trowulan, sebagai patron utama, tak hanya memberikan perlindungan keamanan kepada rakyat dan penguasa di daerahnya, tetapi juga status sosial, terutama akses pada keuntungan bisnis kerajaan. Kenneth R Hall dalam buku History of Early Southeast Asia menyebutkan, hubungan ini bersifat semiotonom.
Praktik kekuasaan yang patron-klien ini juga tercermin dalam susunan rumah di Trowulan, di mana para penguasa wilayah tinggal melingkari kediaman raja.
Namun, belakangan, politik elite ini juga yang menjadi sebab runtuhnya Majapahit. Ketidakpuasan dalam proses suksesi di  lingkungan elite membuatt Bhre Wirabhumi, anak Hayam Wuruk dari selir, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit yang ditinggalkan Hayam Wuruk dibandingkan dengan Wikramawardhana, suami Kusumawardhani yang adalah putri Hayam Wuruk dari permaisuri.
Puncak dari peristiwa itu adalah perang saudara Paregreg pada 1404-1406. Perang yang terjadi setelah Hayam Wuruk mangkat ini, meremukkan kewibawaan Majapahit di daerah jajahan dan pusat.
Populis
Hayam Wuruk yang berkuasa pada 1350-1389, adalah raja Majapahit paling termasyhur dan membawa kerajaan itu ke puncak kejayaannya. Saat berkuasa, ia sering mengadakan perjalanan ke desa-desa. Kisah perjalanan ini menjadi tema utama di Nagarakretagama.
Arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono menyatakan, Hayam Wuruk juga mengemas dirinya dengan bentuk-bentuk yang populis. Hampir setiap tahun, ia bertemu dengan rakyat di sepanjang perjalanannya yang mengambil rute Trowulan-Pasuruan-Lumajang-Jember-Situbondo-Probolinggo-Pasuruan-Malang-Trowulan.
Pupuh 17-39 Nagarakretagama bercerita tentang blusukan Hayam Wuruk ke Pajang (1353), Lasem (1354), Lodaya (1357) dan Lumajang (1359). Di Nagarakretagama tercatat, ada 400 pedati yang ikut masuk keluar hutan, turun naik bukit dan sungai selama 2-3 bulan dalam perjalanan yang juga diikuti para bangsawan tersebut.
Kepada penguasa setempat dan masyarakat yang ditemui dalam perjalanannya, Hayam Wuruk kerap membagi-bagikan hadiah, biasanya berupa kain. Ia merepresentasikan dirinya sebagai singa, yang membutuhkan hutan (rakyat untuk bisa hidup). Perjalanannya juga selalu diisi dengan ritual keagamaan baik Hindu maupun Buddha.
Selama berkuasa, Hayam Wuruk juga memugar 27 tempat pendarmaan leluhur yang bisa digunakan umat Hindu maupun Buddha. Ia juga membuat upacara sraddha, pemujaan untuk Rajapatninenek Hayam Wuruk yang juga istri Raden Wijaya. Upacara sraddha ini, ditengarai juga menjadi alat legitimasi garis keturunan karena Rajapatni adalah anak Kertanegara raja terakhir Singasari.
365px-prajnaparamita-java.jpg
Arca Gayatri Rajapatni, istri Raden Wijaya, sebagai Prajnaparamitha. Arca ini ditemukan di reruntuhan Cungkup Putri, Singasari. Setelah sempat disimpan sejak tahun 1820, di Rijksmuseum voor Volkenkunde (Museum Etnologi Nasional) di Leiden, pada Januari 1978, arca tersebut dikembalikan ke Indonesia dan kini tersimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. (Gunawan Kartapranata)
Hayam Wuruk juga menjaga keceriaan rakyat. Pada bulan peringatan Palguna-Chaitra, bertepatan dengan setelah panen padi, di Trowulan mengadakan pesta rakyat selama tujuh hari.
Selama acara tersebut, wilayah Bubat yang ada di luar Trowulan disulap menjadi tempat pesta lengkap dengan hidangan dan panggung. Raja kerap menjadi dalang, bahkan menari dan menyanyi dalam aksi teatrikal yang sifatnya komikal sekaligus erotis, dengan diiringi alat musik tiup dan tabuh. Dari tiga lakon utama, Shari, Gitada, dan Tekes, saat muda Hayam Wuruk kerap memilih menjadi Tekes, tokoh perempuan, yang biasanya dimainkan oleh pria paling ganteng.
“Hayam Wuruk itu menghitung semua aspek politik. Ia membangun kesetiaan dari elite, juga loyalitas rakyat,” kata Dwi Cahyono.
Kisah seperti di atas, sepertinya masih sering terdengar dalam praktik politik Indonesia saat ini.
Kompas, Sabtu, 29 Oktober 2016

Sunday 23 October 2016

Arsitek Itu Bernama Friedrich Silaban

Oleh CHRIS PUDJIASTUTI
Mendengar nama Friedrich Silaban, sebagian orang langsung teringat pada arsitek yang membuat Masjid Istiqlal, Jakarta. Masjid yang mulai dikerjakan Agustus 1961 itu diresmikan Presiden Soeharto pada 1978 dan menjadi salah satu ikon Kota Jakarta. Sebagai arsitek, pria kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara, ini juga membuat banyak bangunan. Di antara bangunan hasil karyanya di Jakarta yang hingga kini masih bisa kita nikmati adalah gedung Bank Indonesia di Jalan MH Thamrin, Gedung Pola di Jalan Proklamasi, gedung Markas Besar TNI Angkatan Udara di Pancoran, dan Gedung BNI di kawasan Kota.
0223241BW-00008020-38-AHM004780x390.JPG
Arsitek Friedrich Silaban (Dudy Sudibyo/Kompas)
Silaban lahir pada 16 Desember 1912 dan meninggal di Jakarta, 14 Mei 1984, dalam usia 72 tahun. Dia menikahi Letty Kievits dan dikaruniai 10 anak. Keluarga Silaban tinggal di Bogor dan rumah pribadi yang juga hasil rancangannya itu pun menjadi salah satu kajian bagi sebagian mahasiswa arsitektur. Dia juga menjadi arsitek beberapa bangunan di Bogor, di antaranya rumah dinas Wali Kota Bogor dan bangunan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Bogor. Tahun 1953, atas perintah Presiden Soekarno, Silaban yang bekerja sebagai Kepala Djawatan Pekerdjaan Umum (PU) Bogor menjadi arsitek pembangunan kembali makam pelukis Raden Saleh Sjarif Bustaman yang meninggal tahun 1880. Makam Raden Saleh terletak di Bondongan, Bogor.
Tentang karya Silaban lainnya, yakni Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Kompas, Minggu 7 Desember 1980 halaman 1 mencatat, kompleks olahraga di kawasan Senayan itu semula akan dibangun di daerah Dukuh Atas. Persisnya di lahan kiri-kanan Jalan Sudirman. Untuk menghubungkan kedua sisi itu, akan dibangun terowongan. Gambar, denah, dan teknisi dari Rusia sudah siap di Jakarta untuk mengerjakannya.
Sebelum proyek itu dimulai, Bung Karno meminta pendapat Silaban pada sidang penentuan. Silaban tak setuju dengan lokasinya karena akan mengganggu jalan utama yang menghubungkan kawasan Kebayoran dan daerah Kota. “Anak cucu kita nantinya pasti akan mencemooh dan menganggap para pendirinya bodoh.” Alhasil, kompleks olahraga itu dibangun di perkampungan Senayan. Saat itu tahun 1959. Indonesia akan menjadi tuan rumah Asian Games IV di Jakarta 1962.
Nomor satu: Jujur
Selulus ujian di Sibolga, tahun 1927, Silaban belajar di Kweek-school-Sekolah Teknik (KWS) Betawi. Saat baru duduk di kelas I, sang ayah, Jonas Silaban, meninggal. Berkat kepandaiannya, dia mendapat beasiswa dengan syarat harus tinggal dengan keluarga Belanda, keluarga Funck, di Petojo. Di kelas III, Silaban mulai menggambar dan membuat denah. Imbalan pertamanya 25 gulden. Tahun 1931, dia lulus KWS dan membantu arsitek Antonisse. Tahun 1937 dia bekerja di Pontianak, lalu menjadi Kepala PU di Bogor. dia menjadi arsitek yang kerap berdiskusi dengan Bung Karno, sampai disebut sebagai arsitek “kesayangan” Soekarno.
Bagi Silaban, kehebatan dan keterampilan para arsitek Indonesia untuk menciptakan gambar yang elok tidak ada masalah. Menurut dia, syarat pertama arsitek yang baik adalah jujur dan berintegritas. “Kalau hanya supaya dapat tugas, ikut-ikut kemauan bouwheer (pemberi pekerjaan, pemilik tanah), banyak kejadian seperti akhir-akhir ini. Perencana seolah-olah dipaksa oleh keinginan bouwheer,” katanya seperti dikutip Kompas, Kamis, 16 Januari 1975, halaman 6.
Kompas, Minggu, 23 Oktober 2016
Kisah Friedrich Silaban, Anak Pendeta yang Rancang Masjid Istiqlal
Oleh FABIAN JANUARIUS KUWADO
Hidup Friedrich Silaban terbilang cemerlang dan gemilang. Lahir di Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912, dia hanya bersekolah di HIS Narumonda, Tapanuli, Sumatera Utara, dan Koningin Wilhelmina School, sebuah sekolah teknik di Jakarta.
Namun, penganut Kristen Protestan dan anak seorang pendeta miskin itu telah melahirkan berbagai bangunan modern pada masanya hingga kini menjadi bangunan bersejarah. Salah satunya ialah kemegahan sekaligus simbol kerukunan antarumat beragama di Indonesia, Masjid Istiqlal, Jakarta, yang resmi digunakan tepat 38 tahun lalu.
Pada tahun 1955, Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno mengadakan sayembara membuat desain maket Masjid Istiqlal. Sebanyak 22 dari 30 arsitek lolos persyaratan.
Bung Karno sebagai Ketua Dewan Juri mengumumkan nama Friedrich Silaban dengan karya berjudul "Ketuhanan" sebagai pemegang sayembara arsitek masjid itu. Bung Karno menjuluki F Silaban sebagai "By the grace of God" karena memenangi sayembara itu.
0351111BW-19710602-15-AJN0091780x390.JPG
Gereja Katedral dengan latar kubah Masjid Istiqlal yang belum selesai dibangun. (Pat Hendranto/Kompas)
Pada 1961, penanaman tiang pancang baru dilakukan. Pembangunan baru selesai 17 tahun kemudian dan resmi digunakan sejak tanggal 22 Februari 1978.
Dikutip dari surat kabar Kompas edisi 21 Februari 1978, enam tahun setelah Masjid Istiqlal selesai dibangun, F Silaban mengatakan, "Arsitektur Istiqlal itu asli, tidak meniru dari mana-mana, tetapi juga tidak tahu dari mana datangnya."
"Patokan saya dalam merancang hanyalah kaidah-kaidah arsitektur yang sesuai dengan iklim Indonesia dan berdasarkan apa yang dikehendaki orang Islam terhadap sebuah masjid," lanjut dia.
Kesederhanaan ide Silaban rupanya berbuah kemegahan. Jadilah masjid yang berdampingan dengan Gereja Katedral itu tampak seperti masa saat ini.
Masjid Istiqlal berdiri di atas lahan seluas 9,5 hektar, diapit dua kanal Kali Ciliwung, kubahnya bergaris tengah 45 meter, dan ditopang 12 pilar raksasa serta 5.138 tiang pancang. Dindingnya berlapis batu marmer putih. Air mancur besar melambangkan "tauhid" dibangun di barat daya. Dilengkapi menara setinggi 6.666 sentimeter, sesuai dengan jumlah ayat Al Quran, masjid itu mampu menampung 20.000 umat.
Udara di dalam masjid begitu sejuk walau tanpa dilengkapi pendingin ruangan. Sebab, Silaban membuat dinding sesedikit mungkin supaya angin leluasa masuk. Silaban ingin umat yang sembahyang di masjid itu seintim mungkin dengan Tuhan.
Haji Nadi, haji asli Betawi yang sembahyang di masjid itu, dalam surat kabar Kompas edisi yang sama mengatakan, "Berada di masjid ini saya merasa betapa besarnya umat Islam."
Dari Gambir ke penjuru dunia
Dikutip dari buku Rumah Silaban; Saya adalah Arsitek, tapi Bukan Arsitek Biasa, Silaban mulai tertarik dengan dunia arsitektur sejak sekolah di Jakarta.
Sayang, "Perderik", demikian dia dipanggil sang ayah, tak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas karena persoalan biaya.
0451343F-SILABAN2-05780x390.JPG
Arsitek Friedrich Silaban (kiri) bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Ir Sutami, sedang mengamati bangunan Masjid Istiqlal. (Sindunata/Kompas)
Karier Silaban di dunia arsitek diawali saat bersekolah di Jakarta. Dia sangat tertarik pada desain bangunan Pasar Gambir di Koningsplein, Batavia, 1929, buatan arsitek Belanda, JH Antonisse. Setelah lulus sekolah, Silaban mengunjungi kantor Antonisse. Dia pun dipekerjakan sebagai pegawai di Departemen Umum, di bawah pemerintahan kolonial.
Kariernya terus meningkat hingga akhirnya ia menjabat sebagai Direktur Pekerjaan Umum tahun 1947 hingga 1965. Jabatannya itu membawa Silaban ke penjuru dunia. Tahun 1949 hingga 1950, Silaban ke Belanda mengikuti kuliah tahun terakhir di Academie voor Bouwkunst atau akademi seni dan bangunan. Pada saat inilah, Silaban mendalami arsitektur Negeri Kincir Angin itu dengan melihat dan "menyentuhnya" secara langsung.
Tidak hanya Belanda, setidaknya 30 kota besar di penjuru dunia telah dikunjungi Silaban. Tujuannya satu, mempelajari arsitektur di negara-negara tersebut. Perjalanannya ke penjuru dunia, terutama setelah kunjungannya ke India, menyiratkan satu hal bahwa jiwa sebuah bangsalah yang mendefinisikan arsitektur bangsa tersebut. Perjalanan Silaban itu memengaruhi keinginannya dalam "manifestasi identitas asli Indonesia; negara yang bebas dan progresif" melalui karya-karyanya di Tanah Air.
Tutup usia
Sang arsitek tutup usia pada hari Senin, 14 Mei 1984, di RSPAD Gatot Subrotot karena mengalami komplikasi.
Selain Istiqlal, peninggalan Silaban hadir di sekitar 700 bangunan penjuru Tanah Air, di antaranya Stadion Gelora Bung Karno (Jakarta/1962), Monumen Pembebasan Irian Barat (Jakarta/1963), Monumen Nasional atau Tugu Monas (Jakarta/1960), Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata (Jakarta/1953), hingga Tugu Khatulistiwa (Pontianak/1938).
"Dia pergi setelah mengukir sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi darikarya sebuah hasil seni atau teknologi, tetapi adalah sejarah kemanusiaan, kebersamaan, toleransi. Namanya akan dikenang sepanjang zaman," demikian paragraf penutup di situs bertajuk "Silaban Brotherhood".

Firdaus yang Hilang

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Kamis, 24 Juli 2014, Makam Nabi Yunus di puncak Tell Nebi Yunus, Bukit Nabi Yunus, di kota kuno Ninive (Nineveh), dihancurkan. Orang-orang dari kelompok bersenjata yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah pelakunya.
Makam, ada di dalam Masjid Yunus, yang begitu megah dan selama ini menjadi tempat perziarahan tiga umat Abrahamik, tinggal puing-puing. Hanya membutuhkan waktu satu jam, dengan menggunakan bahan peledak, untuk menghancurkan makam tersebut. Hilang sudah jejak sejarah yang berumur ribuan tahun itu. Hilang pula keindahan itu.
Sejarawan Gwendolyn Leick menulis, “Nineveh, dengan penduduknya yang beragam, berasal dari seluruh wilayah Kerajaan Assyria, adalah salah satu kota yang sangat indah di Timur Dekat, dengan taman-taman, kuil-kuil, dan istana yang cantik.”
Nineveh, yang berada di sebelah timur Sungai Tigris, kini menjadi bagian dari kota metropolitan Mosul, ibu kota Provinsi Ninawa atau Nineveh. Mosul, yang juga disebut Al-Fayha’ (firdaus) atau Al-Khadhra’ (hijau), menjadi kota penting di Irak bagian utara. Mosul menjadi simpul segitiga Sunni di Irak utara. Karena memang mayoritas penduduknya adalah Sunni, lalu Syiah, dan kelompok kecil lain.
Keindahan Mosul digambarkan secara apik oleh Muhammad Ibn Ahmad Shams al-Din Al-Muqaddasi. Ahli geografi asal Palestina (Jerusalem) yang lebih populer disebut Al-Muqaddasi atau Al-Maqdisi (945-1000) itu menulis demikian:
“Mosul adalah metropolis di wilayah ini. Kota yang nyaman, bangunannya indah; iklim menyenangkan, air bersih, sehat. Sangat masyhur, dan sangat unik, memiliki pasar-pasar yang baik sekali dan rumah-rumah penginapan ditempati orang-orang terkemuka, dan orang-orang terpelajar, para doktor hukum. Dari Mosul dikirimkan bahan-bahan makanan ke Baghdad, karavan lalu lalang. Ada taman-taman yang indah, buah-buahan yang enak-enak, tempat mandi yang baik, rumah-rumah yang bagus sekali, dan daging yang baik dan enak. Kota ini sedang berkembang….”
Ibn-Hawqal-Abu-al-Mohammad Qasim yang dikenal sebagai Ibn Hawqal, seorang ahli geografi dan sejarah dari Nasibin (Nisibis, Mesopotamia atas) yang hidup pada abad ke-10, pernah juga mengunjungi Mosul (968-969). Ia melukiskan Mosul sebagai kota yang indah dengan lingkungan yang subur.
Kota yang indah itu juga menjadi tempat tinggal pada cerdik cendekia. Misalnya, filsuf Bakr bin Kasim Abi Thawr al-Mawsili atau biasa disebut Al-Mawsili. Ia hidup pada paruh pertama abad ke-10 dan dikenal dengan bukunya yang berjudul Fi’ al-Nafs (Tentang Jiwa); Ali Ibn al-Imrani (meninggal tahun 955), seorang astronom yang juga ahli matematika dan geometri. Di barat, ia dikenal dengan nama Alcabitius. Ia menulis, antara lain, buku tentang ukuran dan jarak planet-planet; Ammar Ibn’ Ali, dokter ahli mata, yang di Barat dikenal dengan nama Canamusali; lalu Muhammad Ibn ‘Abd Baqi al-Mawsili, seorang ahli matematika.
Sebagai kota yang menjadi simpul perlintasan Jalur Sutra dari timur ke barat dan dari utara ke selatan (Baghdad), Mosul adalah kota yang terbuka. Sebelum direbut NIIS pada 2014, kota terbesar kedua di Irak ini berpenduduk sekitar dua juta. Penduduk Mosul beragambaik etnik, agama, ras, maupun kelompok sukudengan perbandingan hampir 75 persen Arab Sunni, 25 persen Kurdi, dan sisanya campuran Syiah, Turkoman, Yezidi, dan Kristen.
Pada zaman Saddam Hussein, sebelum pecah perang (2003), Mosul menjadi markas besar Partai Ba’ath, partai penguasa. Sejak zaman Ottoman (Utsmaniyah), Mosul menjadi gudang tentara. Bahkan, saat Saddam Hussein berkuasa, sebagian besar tentaranya berasal dari kota kota ini. Tercatat 300.000 penduduk Mosul menjadi tentara, intelijen, dan aparat keamanan lainnya. Karena itu, Mosul mendapat sebutan sebagai “kota sejuta perwira.” Setelah Saddam Hussein jatuh, para perwira dan tentara asal Mosul ini membentuk kelompok perlawanan Sunni di Nineveh.
Perimbangan etnik dan sejarah sebagai pusat militer dan Partai Ba’ath membantu untuk menjelaskan betapa pentingnya kota itu dan mengapa ketika itudan saat inimenjadi pusat pertarungan. Pertama, Mosul adalah bagian kompetisi Arab-Kurdi di wilayah Irak utara. Kedua, kehadiran Partai Ba’ath (kala itu) dan militer sebelum perang menjelaskan bahwa Mosul menjadi sumber perekrutan serta tempat aman bagi pemberontakan.
Namun, karena terletak dekat dengan Suriah (sekitar 160 kilometer dari perbatasan Suriah-Irak), Mosul sangat terpengaruh oleh situasi yang tidak menentu di Suriah. Sejak awal tahun 2000-an, Mosul disebut-sebut sebagai kota paling berbahaya di Irak. Kota ini, dan wilayah Provinsi Nineveh, menjadi sarang kelompok bersenjata, baik yang melawan Baghdad maupun yang terlibat dalam perang di Suriah.
Namun, kegelapan menyelimuti Mosul setelah kota itu serta wilayah sekitarnya direbut dan dikuasai NIIS pada Juli 2014. Kehancuran makam Nabi Yunus, gedung-gedung lainnya, termasuk souk, pasar, telah menjadi tanda kehancuran tidak hanya fisik, tetapi juga sosial dan kultural Mosul. Dinamika sosial unik antarwarganya yang memiliki latar belakang berbeda, beragam pun berakhir setelah NIIS menguasai kota itu dan menggantikannya dengan kuasa kegelapan yang tidak menghargai kehidupan dan kemanusiaan; yang mengingkari keragaman; dan yang memaksakan kehendak dengan kekerasan; mengembangkan fanatisme dengan bersembunyi di balik pembenaran simbolis, ideologis, atau teologis. Fanatisme adalah penolakan terhadap yang berbeda dan menjadi ladang subur bagi pelaku kekerasan yang merasa tak bersalah.
Seluruh sejarah manusia sarat dengan perjuangan sengit melawan kekuatan kegelapan. Pergulatan itu mulai sejak awal mula. Dan, akhirnya Al-Fayha’, firdaus telah hilang….
jonah shrine.jpg
The-shrine-before-the-bombing.jpg
Masjid Yunus di puncak Tell Nebi Yunus, Bukit Nabi Yunus, di kota kuno Ninive (Nineveh). Di dalam masjid tersebut terdapat makam Nabi Yunus.
jonah tomb ruin.jpg
jonah tomb.jpg
Reruntuhan Masjid Yunus akibat penghancuran yang dilakukan NIIS pada 24 Juli 2014.
Kompas, Minggu, 23 Oktober 2016

Kebutuhan Air dan Amblesnya Tanah Jakarta

Oleh NILA ARDHIANIE
Dengan jumlah penduduk lebih dari 10 juta jiwa dan pelaju sebanyak 3 juta orang, kebutuhan air yang diperlukan Ibu Kota sungguh sangat besar. Tahun 2015 saja, setidaknya diperlukan 950 juta meter kubik air untuk mencukupi kebutuhan harian penduduk, industri, dan komersial.
Layanan air permukaan melalui sistem perpipaan oleh Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta (PAM Jaya) dan operatornya baru mampu memasok sebanyak 331 juta meter kubik atau sekitar 35 persen kebutuhan. Sisanya sebanyak 65 persen dapat dipastikan diambil dari air tanah karena sungai dan sumber air lainnya di Jakarta tidak dapat dimanfaakan secara langsung untuk menyuplai kebutuhan air bersih warga.
Meningkatnya jumlah penduduk serta aktivitas ekonomi dan industri membuat kebutuhan air meningkat dan belum mampunya perusahaan daerah air minum (PDAM) melayani seluruh penduduk dan industri membuat pemanfaatan air tanah menjadi luar biasa besar. Pengambilan air tanah yang berlebihan dan tidak seimbang dengan imbuhannya membuat muka air tanah menurun dan berdampak pada penurunan tanah atau amblesan tanah.
Perhatian kurang
Di Jakarta, fenomena amblesnya tanah mulai dicatat terjadi sejak awal 1990-an. Berdasarkan berbagai studi yang dilakukan, penurunan tanah Jakarta terjadi bervariasi secara spasial dan waktu berkisar 3-10 sentimeter per tahun.
Meskipun menjadi gantungan dari sebagian besar warga Jakarta, sayangnya perhatian terhadap air tanah masih sangat kurang. Jarang sekali air tanah menjadi isu sentral yang dibicarakan dalam kebijakan-kebijakan publik, baik tingkat nasional terkait dengan posisi Jakarta sebagai ibu kota maupun lokal. Hal ini karena air tanah secara fisik tidak terlihat sehingga kerap lolos dari perhatian, kurang dihargai, dan kurang diatur dalam peraturan perundangan.
Dampak penurunan tanah sebetulnya sudah dapat dilihat dari meningkatnya risiko banjir, seperti meluasnya luasan banjir, meningkatnya frekuensi dan luasan rob, serta banyaknya bangunan yang retak dan rusak termasuk infrastruktur publik seperti jalan dan jembatan.
Selain itu, juga amblesnya rumah dan bangunan milik warga, retak atau rusaknya pipa air di tanah, tidak berfungsinya drainase secara optimal, perubahan aliran sungai, intrusi air laut, makin tingginya biaya perawatan bangunan dan infrastruktur, merosotnya nilai bangunan, sampai menurunnya kualitas hidup warga dan terganggunya aktivitas serta produktivitas penduduk Jakarta. [Baca juga: Tanah Turun Ancaman Serius]
Di Shanghai, Tiongkok, total kerugian akibat penurunan tanah dalam 40 tahun terakhir adalah 35 miliar dollar AS. Di Belanda, pada 2006 kerugian mencapai 3,5 miliar euro, sementara di Tiongkok per tahun rata-rata kerugian adalah 1,5 miliar dollar AS.
Penyebab penurunan tanah yang terjadi di Jakarta adalah pemanfaatan air tanah secara berlebihan, pembebanan bangunan, kompaksi tanah dan fenomena tektonik. Sampai saat ini belum ada penelitian solid dan komprehensif yang menghubungkan penurunan tanah di setiap lokasi di Jakarta dengan penyebabnya. Akan tetapi, ada cukup banyak artikel ilmiah yang menghubungkan penurunan tanah di Jakarta dengan over eksploitasi air tanah. Hal ini sama seperti yang terjadi di Tokyo, Bangkok, Shanghai, Dhaka, Ho Chi Min, Taipe, Rafsanjan, California, dan lain-lain.
Di Tokyo, hubungan pengambilan air tanah berlebihan dengan amblesan air tanah sangat nyata terlihat. Setelah penurunan tanah terus terjadi pada awal 1960, pemerintah membatasi secara ketat pemakaian air tanah, pada akhir 1960-an muka air tanah mulai naik dan awal 1970-an penurunan air tanah mulai terhenti. Pada awal 1970-an, Jepang juga banyak membuat proyek substitusi pengganti air tanah yang ditujukan bagi industri, domestik, dan pertanian. Di Bangkok, pemakaian air tanah diperketat sejak tahun 1985 dan terus berlangsung sampai sekarang, dampak positifnya belakangan Bangkok berhasil mengurangi pemakaian air tanah sampai hanya tinggal 10 persen.
Pengelolaan dan data air tanah
Belajar dari kota-kota lain yang berhasil mengelola air tanahnya, maka Jakarta perlu segera membatasi secara ketat pemakaian air tanah, mengembangkan layanan air perpipaan atau pengembangan perusahaan daerah air minum, mengelola data air tanah, dan recharge untuk wilayah-wilayah yang sudah kritis.
Sebagai dasar pengelolaan dibutuhkan data yang komprehensif, meliputi jumlah sumur, di mana lokasinya, kedalaman, volume pemakaian, dan kapan dibuat. Begitu juga dengan kondisi air tanah dari waktu ke waktu, berapa banyak air diambil dari sistem serta kualitasnya. Membangun basis data air tanah sangat penting, apalagi penelitian Delinom et al (2015) menunjukkan bahwa dasar cekungan air tanah Jakarta ternyata bukan merupakan garis yang melandai dari selatan ke utara, melainkan menunjukkan adanya struktur tinggian dan rendahan serta lebih tipis yang berimplikasi pada jumlah cadangan air tanah Jakarta jumlahnya mungkin lebih sedikit dari yang selama ini diperkirakan.
Memang untuk mengetahui berapa banyak air tanah dipakai setiap bulan atau setiap tahun bukan pekerjaan mudah. Untuk mengetahui lokasi sumur air tanah cukup sulit, apalagi jika berada di kompleks bangunan besar. Dari luar tidak bisa dilihat dan mudah sekali bagi pemilik gedung untuk menyembunyikan sumurnya. Akan tetapi, sesulit apa pun data adalah fondasi penting pengelolaan, seperti sering disampaikan guru manajemen Peter Drucker, what get measured, get managed. Bahkan Napoleon Bonaparte yang tidak hidup di abad informasi pun mengatakan war is ninety percent information.
NILA ARDHIANIE
Pemerhati Sumber Daya Air
Kompas, Sabtu, 22 Oktober 2016

Sunday 16 October 2016

Granulasi Kering Teraktivasi Lembab (MADG)

Granulasi Kering Teraktivasi Lembab (Moisture-Activated Dry Granulation - MADG) adalah teknik granulasi yang diperkenalkan pertama kali oleh Ullah dkk dalam artikel pada 1987. Teknik ini menggunakan sejumlah kecil air untuk mengaktivasi pembentukan granul atau aglomerasi, tanpa pengeringan lebih lanjut dengan pemanasan.

Sunday 9 October 2016

Tahun 1960-an dan Kekuatan TNI

Oleh IWAN SANTOSA
Tahun 1960-an adalah masa saat kekuatan militer Indonesia amat disegani. Selain memiliki alat utama sistem persenjataan yang lengkap dan modern, saat itu juga banyak prajurit yang dikirim ke luar negeri untuk belajar meningkatkan kemampuannya.
Dalam periode itu, militer Indonesia juga terlibat aktif dalam dua operasi militer besar, yaitu Operasi Trikora untuk pembebasan Papua dan Operasai Dwikora.
Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dicanangkan di Yogyakarta pada 19 Desember 1961 berakhir 15 Agustus 1962. Lima bulan setelah berakhirnya operasi itu, ada Operasi Dwikora Ganyang Malaysia yang berlangsung 20 Januari 1963 hingga 11 Agustus 1966.
Kekuatan yang dikerahkan TNI di dua operasi itu tidak main-main. Dalam buku Dan Toch Maar: Apa Boleh Buat, Maju Terus terbitan Penerbit Buku Kompas ditulis, pada tahun 1950-an, para kadet dan perwira TNI telah dikirim belajar ke Belanda, terutama di Akademi Angkatan Laut di Den Helder dan Akademi Militer di Breda.
Selain itu, menurut sejarawan Hendi Jo, sejumlah perwira TNI juga dikirim ke Inggris dan Amerika. Inggris dijadikan tempat melatih perwira Angkatan Udara karena Angkatan Udara Kerajaan Inggris (Royal Air Force/RAF) adalah organisasi angkatan udara tertua di dunia. Sementara Amerika Serikat menjadi tempat pelatihan sejumlah perwira intelijen dan perwira Angkatan Darat RI.
Ketika hubungan dengan Belanda memburuk terkait pengembalian Papua ke Indonesia, sejumlah prajurit TNI juga dikirim untuk belajar ke negara Blok Timur, yakni Uni Soviet, Republik Rakyat Tiongkok, dan Yugoslavia.
“Pada 1960, Bung Karno mengunjungi Amerika Serikat dan bertemu Presiden John F Kennedy. Indonesia mendapat bantuan armada pesawat angkut C-130 Hercules yang termodern pada zaman itu dan sejumlah kapal angkut eks Perang Dunia II. Namun, Bung Karno murka karena tidak mendapat bantuan senjata seperti yang diharapkan. Bung Karno pun beralih ke Blok Timur,” tutur Hendi Jo.
Misi lalu berlanjut ke Uni Soviet. Pada 1961, Perdana Menteri Nikita Khrushchev menjanjikan bantuan militer senilai 400 juta dollar AS bagi Indonesia yang saat itu sedang menghadapi Belanda terkait Papua. Uni Soviet juga mengirimkan personelnya untuk membantu Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Hendi Jo mengatakan, ada sekurangnya 360 personel Uni Soviet di armada kapal selam Angkatan Laut RI. “Pelaut kita sudah disiapkan untuk mengikuti pelatihan di Vladivostok, Uni Soviet. Namun, masih ada kekurangan personel. Akhirnya dikirim pelaut Uni Soviet yang ditempatkan terisolasi di Dermaga Ujung, Surabaya,” ucapnya.
Bantuan personel dari Uni Soviet untuk Indonesia ini termasuk istimewa. Pasalnya, saat Perang Dingin Blok Barat-Blok Timur, saat itu Uni Soviet biasanya hanya mengirimkan penasihat militer bagi negara yang mereka bantu, seperti Korea Utara, Vietnam Utara, Etiopia, dan Yaman Selatan.
Kekuatan militer Indonesia dalam perebutan kembali Papua berikut keterlibatan langsung personel Uni Soviet di dalamnya diuraikan Matthijs Ooms dalam tesisnya yang diajukan di Jurusan Sejarah Universitas Amsterdam tahun 2012. Tesis itu berjudul “Het Nieuw Guineaconflict in nieuw perspectief. Hoe in 1962 actieve militaire Sovjetsteun aan Indonesie leidde tot hef verlies van onze laatste kolonie in de Oost” atau Konflik Nugini (Papua) dalam Perspektif Baru tentang Keterlibatan Militer Soviet dalam Militer Indonesia hingga Lepasnya Koloni Terakhir Belanda di Timur.
Dalam operasi Trikora, Indonesia berniat bertempur hingga titik darah terakhir. Mayor Jenderal (TNI) Soehartokemudian menjadi Presiden RIsebagai Panglima Mandala yang bertugas menyiapkan dan melakukan operasi militer untuk membebaskan Papua, sudah merencanakan operasi pendaratan one way ticket di Papua yang diperkirakan menelan korban besar.
Satuan kapal selam Angkatan Laut RI sudah berada di utara Papua ketika atas desakan Amerika Serikat, Kerajaan Belanda akhirnya menyetujui upaya damai pada 15 Agustus 1962.
teluk tomini.jpg
KRI Teluk Tomini saat bersandar di Kolinlamil Tanjung Priok, Jakarta, 20 Mei 2010. Kapal itu salah satu saksi bersejarah pendaratan Sekutu di Normandia, Perancis, tahun 1944, hingga evakuasi ribuan pengungsi dari Timor Timur pada 1990. (Kompas/Wisnu Widiantoro)
teluk tomini besi tua.jpg
KRI Teluk Tomini 508 teronggok di pemotongan besi di Jalan Cilincing, Kelapa Dua, Jakarta Utara, menunggu dipotong sebagai besi tua pada Mei 2012. (Kompas/Iwan Santosa)
Konfrontasi Malaysia
Setelah dari Papua, TNI disibukkan dengan Operasi Dwikora. Dalam operasi ini, beberapa penerbang Angkatan Udara RI melakukan penerbangan pada malam hari untuk menjatuhkan pamflet propaganda. Penerbang Angkatan Udara, Lulu Lugiyatimenikah dengan Edi Sudrajat, Menhankam/Pangab pada zaman Orde Barumenceritakan pengalamannya yang berulang kali ikut penerbangan malam menjatuhkan pamflet propaganda di atas wilayah kota Kinabalu, Malaysia, serta perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak.
Dalam operasi ini, jet tempur Mig-21 milik Angkatan Udara amat disegani. Dalam satu kesempatan, penerbang Angkatan Udara, Rudi Taranyang pensiun sebagai marsekal utamamembawa Mig-21 dari Pangkalan Angkatan Udara Polonia, Medan, berhadap-hadapan dengan sepasang jet temput Hawker Hunter RAAF Australia yang berpangkalan di Butterworth, Penang.
Di daratan pun perjuangan berlangsung tidak kalah sengit. Shamsawal Kamar, wartawan asal Palembang, Sumatera Selatan, yang menjadi relawan bersama pasukan Angkatan Darat di pedalaman Kalbar-Sarawak, berjuang menembus hutan selama berminggu-minggu serta berhadapan dengan Pasukan Gurkha dan berbagai satuan militer Inggris.
Shamsawal dalam memoar “Code-Name Konfrontrasi” mencatat, untuk mendengar pesan dari Jakarta dengan kode khusus, mereka mendengarkan siaran radio. Radio memang menjadi sarana propaganda sekaligus komunikasi khusus bagi pasukan dan relawan Indonesia.
Pasukan KKOkini Korps Marinir TNI ALdan Kopaska serta relawan menyusup di pesisir Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau. Sejumlah unit kecil pasukan KKO dan Kopaska berulang kali juga masuk ke wilayah Singapura dan Johor, Malaysia.
Pihak lawan mencatat kerasnya perlawanan TNI dan relawan dalam Operasi Dwikora. Nick van der Bijl dalam buku Confrontation The War With Indonesia 1962-1966 mengatakan, tidak diragukan, pihak Indonesia bertempur dengan berani dan berhasil memenangi sejumlah pertempuran.
Operasi Dwikora berakhir seiring dengan hadirnya Orde Baru yang menggantikan Orde Lama. Perjanjian damai antara Indonesia dan Malaysia secara resmi ditandatangani pada 11 Agustus 1966.
Kini, dalam usianya yang telah menginjak 71 tahun, TNI terus berupaya membangun kekuatan pokok minimum (minimum essential force/MEF). Pengalaman pada 1960-an menjadi pelajaran berharga dalam membangun angkatan perang yang profesional serta rela berkorban untuk bangsa dan negara.
Kompas, Minggu, 9 Oktober 2016