Saturday 29 April 2017

Kisah Kristen Koptik dan Negara Mesir

Oleh MUSTHAFA ABD RAHMAN
Paus Fransiskus selama dua hari, 28-29 April, berkunjung ke Mesir. Kunjungan Paus sesungguhnya adalah bagian dari tradisi komunikasi yang sudah terjalin secara intens antara Vatikan dan negara Mesir selama ini. Di mata Vatikan, Mesir selalu menjadi perhatian khusus mengingat di negara itu terdapat komunitas Kristen terbesar dan tertua di Timur Tengah dan Asia Barat.
Pope-Francis-with-Tawadros-II-Coptic-Orthodox-Patriarch-of-Alexandria-in-Cairo-Egypt-April-28-2017.-Credit-LOsservatore-Romano.-.jpeg
Paus Fransiskus dan Pemimpin Kristen Koptik Tawadros II saat bertemu di Kairo (28/4/2017).
Menurut beberapa sensus yang dilakukan Pemerintah Mesir, jumlah warga Kristen Koptik di Mesir berkisar 7-10 persen dari populasi Mesir. Jika jumlah penduduk Mesir saat ini sekitar 90 juta jiwa, jumlah warga Kristen Koptik di negara itu berkisar 7 juta-9 juta jiwa.
Nama Koptik untuk sebutan kaum Kristen di Mesir diambil dari bahasa Yunani “Aiguptus”. Konon orang Yunani menyebut wilayah Mesir dan lembah Nil dengan sebutan Aiguptus. Nama Egypt, sebutan lain dari Mesir, berasal dari bahasa Yunani itu.
Sumber lain dari literatur bahasa Ibrani menyebut, nama Koptik berasal dari nama Qibtim, salah satu cucu Nabi Nuh AS. Qibtim dipercaya sebagai orang yang pertama kali mendiami wilayah lembah Sungai Nil.
Menurut buku Coptic Egypt karangan Mourad Kamel dan A History of Eastern Christianity karya AS Atiya, bangsa Koptik adalah keturunan langsung bangsa Mesir Kuno yang sudah menghuni kawasan lembah Nil sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Bangsa Mesir Kuno adalah salah satu bangsa tertua dengan peradaban yang paling tua pula. Sejumlah literatur menyebut, bangsa Mesir Kuno diyakini sudah hidup sejak 6000 SM. Bangunan Piramida yang menjadi ikon wisata Mesir dan sekaligus simbol peradaban negara itu dibangun antara 2000 SM dan 2500 SM.
Tradisi pekerjaan bangsa Koptik, seperti halnya bangsa Mesir kuno, adalah bercocok tanam atau bertani karena suburnya lahan di lembah sepanjang Sungai Nil.
Kaum Koptik dipercaya memeluk agama Kristen secara luas pada abad pertama Masehi, yakni pada masa kekuasaan Romawi di Mesir. Nama Koptik hanya diperuntukkan pada warga Kristen di lembah Nil, yakni Mesir dan Sudan, serta sebagian di Libya. Nama Koptik tidak berlaku untuk kaum Kristen di Palestina, Lebanon, Suriah, dan Irak.
Kaum Koptik tetap mempertahankan agama Kristen ketika bangsa Arab Muslim dari Jazirah Arab dengan panglima Amr bin Ash menaklukkan Mesir pada 640 M. hanya segelintir yang beralih memeluk Islam.
Naik turun
Hubungan kaum Kristen Koptik dengan negara Mesir sejak masa kekuasaan Arab Islam pada abad ke-7 hingga saat ini tidak selalu mulus. Tidak bisa dimungkiri, kaum Kristen Koptik dalam sejarahnya kerap mengalami perlakuan diskriminatif dari penguasa, sejak era Romawi, Yunani, hingga Arab Muslim.
Kisah kaum Kristen Koptik adalah cerita panjang yang berakhir dengan keberhasilan bangsa itu berintegrasi secara bahasa dan budaya dengan bangsa baru, yakni Arab, yang menjadi penguasa dan mayoritas di Mesir.
Para sejarawan menyebut, proses asimilias dengan budaya Arab dilakukan kaum Kristen Koptik secara efektif mulai abad ke-10. Sebelum itu, yakni pada abad ke-7, kaum Koptik masih menggunakan bahasa dan budayanya sendiri di tengah penguasa Arab Muslim.
Mulai abad ke-10, secara perlahan kaum Koptik beradaptasi dengan budaya Arab akibat lingkungan politik, ekonomi, dan budaya yang menuju terjadinya hegemoni bangsa Arab di Mesir. Proses integrasi kaum Koptik dengan bangsa Arab terus bergulir dan semakin kuat di era khilafah awal, Ottoman, hingga Mesir modern.
Sejumlah sejarawan menyebut, proses integrasi itu sesungguhnya mencapai puncak kesempurnaan pada era kekuasaan Said dari Dinasti Ottoman tahun 1855. Saat itu, Said menghapus kewajiban pajak kaum minoritas kepada kaum Kristen Koptik.
Sejak itu, kaum Kristen Koptik merasa ada kesetaraan hak dan kewajiban antara kaum minoritas dan mayoritas di Mesir. Mereka kemudian terlibat aktif dalam berbagai gerakan nasionalis di Mesir. Tokoh-tokoh Kristen Koptik sejak abad ke-19 banyak aktif dalam politik dengan mengusung misi mengembangkan paham dan gerakan nasionalisme di Mesir.
Mereka, misalnya, ikut mendukung revolusi Mesir tahun 1919 yang dipimpin Ahmed Orabi untuk menentang penjajahan Inggris. Kaum Kristen Koptik tertarik mendukung revolusi Mesir 1919 karena revolusi tersebut mengusung slogan “Mesir untuk rakyat Mesir”, misi yang sangat nasionalis.
Tokoh-tokoh Koptik kemudian terus berusaha menunjukkan afiliasi kepada bangsa Arab. Catatan penting dalam usaha tersebut adalah ketika tokoh politik Koptik yang juga Sekretaris Jenderal Partai Wafd yang berkuasa di Mesir tahun 1940-an, Makram Ebeid Pasha, mengunjungi Suriah, Lebanon, dan Palestina.
Kepada publik di Damaskus, Beirut, Haifa, dan Jerusalem, Pasha menegaskan afiliasi kaum Kristen Koptik kepada bangsa Arab. Disebutkan, warga Kristen Koptik adalah bagian integral dari bangsa Arab.
Dengan segala suka dan duka perjalanan sejarah kaum Kristen Koptik itu, peran dan sumbangsih mereka membangun negara Mesir, baik secara politik, budaya, maupun ekonomi, sangat besar. Selain Pasha, tokoh lain yang menonjol adalah Boutros Boutros-Ghali, mantan Menteri Luar Negeri Mesir (1977-1979) yang kemudian menjadi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (1992-1996).
Ada juga Yousef Boutros Ghali yang pernah menjabat Menteri Keuangan Mesir pada era Presiden Hosni Mubarak. Selain itu, ada Magdi Yacoub, seorang ahli bedah kelas internasional. Perlu dicatat juga, pengusaha besar dan sekaligus orang terkaya di Mesir saat ini adalah Naguib Sawiris, pemeluk Kristen Koptik dan pemilik perusahaan konglomerasi Orascom. Menurut majalah Forbes, kekayaan Naguib Sawiris mencapai Rp 110 triliun. Dan banyak lagi orang Koptik yang mengukir kesuksesan baik di dalam maupun di luar Mesir.
coptic.jpg
Beberapa tokoh Kristen Koptik (dari kiri ke kanan): Makram Ebeid Pasha, Boutros Boutros-Ghali, Youssef Boutros Ghali, Magdi Yacoub, Naguib Sawiris.
Kompas, Minggu, 30 April 2017

Friday 28 April 2017

Nepenthes ampullaria

Nepenthes, seperti tumbuhan karnivora lainnya, tumbuh di tempat terbuka dan kaya sinar matahari. Namun, N. ampullaria adalah pengecualian. Tumbuhan ini justru sering ditemukan di bawah kanopi hutan kerangas dan hutan gambut (Moran et al, 2003; Clarke dan Lee, 2004).

Friday 14 April 2017

"Di Mana" ke Mana-mana

Oleh YANWARDI
Dalam suatu sidang promosi doktor linguistik, Anton M Moeliono sebagai promotor bertanya kepada promovendusnya. Kurang lebih begini: “Apakah suatu saat Anda bisa membuktikan bahwa kata di mana kelak memiliki perilaku yang berbeda dengan di mana yang hanya diakui sebagai kata tanya dalam bahasa Indonesia?”
Kini dalam data naskah-naskah serius kata di mana bertebaran, digunakan sebagai kata sambung subordinatif, bahkan antarkalimat. Menariknya, di mana bukan hanya sebagai penanda tempat, melainkan bisa waktu, tujuan, kausal, alat, dan lain-lain. Dalam konteks normatif kata di mana biasanya diakui hanya sebagai kata tanya, bukan ragam standar. Jadi, sebagai konjungsi, dia tidak diakui atau paling kurang, bukan ragam standar. Jika diamati lebih saksama, perilaku kata di manayang banyak dipermasalahkan adalah di mana yang konjungsi subordinatif atau berada dalam kalimat majemuk bertingkat, seperti “Dia datang pagi sekali di mana orang-orang masih tertidur” dan “Dalam masyarakat, di mana kehormatan bergantung pada senioritas….”
Sebenarnya perilaku di mana dalam bahasa Indonesia ditemukan pula sebagai konjungsi, tetapi bukan sebagai konjungsi subordinatif, melainkan sebagai konjungsi paralel dengan kata di situ. Ingat peribahasa “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”?
Dari aneka naskah yang saya edit, selalu ada kata di mana yang digunakan sebagai konjungsi subordinatif dan intrakalimat, penghubung di dalam kalimat. Saya melihat penulis yang berlaku demikian bukan kurang pengetahuan bahasanya. Bahkan, ada penulis yang berstatus sebagai doktor linguistik dan guru besar bahasa-sastra. Bukti bahwa mereka bukan awam: ada yang secara sengaja menulisnya dengan dirangkai (dimana). Sebaliknya, jika menulis di mana yang kata tanya, mereka mengejanya terpisah: di mana.
Data tadi bisa dikelompokkan menjadi paling tidak delapan penanda di mana, selain penanda lokatif. Berikut beberapa contoh.
“Jaringan di mana dimobilisasikan ….” (konjungsi relatif, bisa disulih kata yang);
“Konteks kalender pertanian di mana ritual ….” (instrumental/cara, bisa disulih dengan);
“Terjadilah perdebatan panas, di mana Van de Wall mengacu ….” (kausal, bisa disulih karena);
“Hal ini dapat kita temukan pada hari Minggu di mana umat Kristiani ….” (temporal, bisa diganti ketika);
“... curah hujan kian besar di mana para petani menjadi kian khawatir” (akibat, bisa disulih sehingga);
“Tentu saja pendekatannya berciri etnografi di mana penulis berusaha ….” (kopulatif, bisa disulih yaitu/yakni).
Tersua juga di mana yang opsional sehingga bisa dihilangkan tanpa mengubah makna dan struktur kalimat. Misalnya, “Zaman edan adalah masa di mana semua nilai kehilangan arti …” Tampak di mana dalam kalimat itu opsional karena bisa dihilangkan.
Dari bahasan atas data tersebut, saya melihat di mana sampai saat ini belum dapat dikatakan sebagai konjungsi intrakalimat karena sebenarnya konstruksi itu hanya pengaruh dari where dan interferensinya meluas bukan hanya bermakna lokatif saja, melainkan bisa waktu, alat, sebab, dan lain-lain. Sementara itu, konstruksi “aslinya” bisa kita temukan dengan mengganti di mana, sebagaimana tampak dalam bahasan di atas, dengan kata-kata tertentu. Dengan demikian, sampai saat ini, status kata di mana, dalam konteks preskriptif masih belum berubah, masih tetap sebagai kata tanya dan konjungsi paralel.
YANWARDI
Editor pada Yayasan Obor
Kompas, Sabtu, 15 April 2017

Sunday 9 April 2017

Luka di Tubuh Bayi Republik

Oleh MUHAMMAD IKHSAN MAHAR dan ANTONY LEE
Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya mimpi orang-orang yang kauabaikan. Sekarang segera penjarakan aku. Katakan kepada siapa pun, seorang pemberontak yang kesepian telah menyerah dan tak ingin lagi melanjutkan perang.
(“Kematian Kecil Kartosoewirjo”, Triyanto Triwikromo)
Mereka berjuang bersama mengusir penjajah. Namun, waktu mengantar sebagian dari para pejuang dan tokoh bangsa itu saling menodongkan senjata. Sebuah imbas dari ketidakpuasan elite yang beresonansi dengan kekecewaan masyarakat atas situasi sosial-politik yang tidak menentu.
rumah kartosoewirjo.jpg
Tampak rumah milik keluarga besar Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang kini ditempati keponakan Kartosoewirjo, Nuk Murdati (82), Kamis (9/3), di Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Rumah tersebut dibangun sejak 1890-an. (Kompas/Muhammad Ikhsan Mahar)
Nuk Mudarti (82), keponakan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, menerima kami dengan ramah, Kamis (9/3) siang, di kediamannya di Jalan Raya Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sebelum mempersilakan duduk di ruang tamu rumahnya, ia beberapa kali menanyakan asal dan tujuan kami berkunjung ke rumahnya.
“Sejak masa Belanda sampai awal kemerdekaan, rumah ini selalu diawasi aparat,” kata Nuk.
Kondisi itu tak lepas dari sejarah keluarga besar Nuk yang sebagian di antaranya dilabeli pemberontak. Paman Nuk, Sekarmadji, merupakan pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sementara paman Sekarmadji, yakni Marco Kartodikromo, dianggap sebagai pemberontak oleh Belanda dan diasingkan ke Boven Digoel, Papua, pada 1926. Marco dikenal sebagai wartawan dan novelis berpandangan kiri. Ia meninggal di Boven Digoel pada 1932 karena malaria.
Rumah Nuk yang berbahan utama kayu jati dan bercat putih itu dibangun tahun 1890-an. Rumah dengan sebagian rangka atap sudah lapuk dimakan usia itu merupakan rumah keluarga besar Sekarmadji atau tepatnya milik paman Sekarmadji, yaitu Kartodimedjo. Di masa mudanya, Sekarmadji beberapa kali bermalam di rumah itu ketika tengah menikmati libur di Europeesche Lagere School di Padangan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Nuk mengungkapkan, kakek Sekarmadji, Kartodikromo, pernah menjabat Lurah Cepu. Literatur sejarah juga mencatat ayak Sekarmadji, yakni Kartosoewirjo, merupakan mantri candu.
Menurut Nuk, keluarganya terkesan abangan, termasuk Sekarmadji. Oleh karena itu, ia tak terlalu paham apa yang mendorong pamannya angkat senjata untuk mendirikan DI/TII di masa awal Republik. Namun, keluarga besar mereka, kata Nuk, mendidik untuk selalu terbuka soal pandangan hidup. “Kami memegang teguh blokosuto, yakni teguh pada pendirian dan tidak akan menjilat kata-kata sendiri,” ujarnya.
Paham keislaman
Menurut KD Jackson di dalam Traditional Authority and National Integration: The Dar’ul Islam Rebellion in West Java (1971), paham keislaman Sekarmadji dipengaruhi tokoh Islam dan ulama yang bersinggungan dengannya. Dimulai awal dekade 1920-an, paham Islam-nya dipengaruhi sang guru, Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pada 1929, ketika menetap di Malangbong, Kabupaten Garut, Sekarmadji mengenal Kiai Ardiwisastra. Kedua orang itu memberi pengaruh besar terhadap cikap bakal pemikirannya membentuk negara Islam.
Pemikiran radikal Sekarmadji dimulai ketika ia membentuk Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) tandingan di Malangbong, April 1940, sebagai bentuk protes terhadap pimpinan PSII yang saat itu cenderung bersikap kooperatif terhadap Belanda. Ia juga mendirikan pesantren yang dinamai Institut Suffah.
Awalnya, Institut Suffah didirikan untuk menyiapkan laskar Sabilillah dan Hizbullah untuk melakukan perlawanan gerilya terhadap tentara Belanda di wilayah Jawa Barat. Ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Sekarmadji mendukung.
Namun, dukungan Sekarmadji terhadap pemerintahan Indonesia sirna setelah ia kecewa atas hasil Perjanjian Renville, 17 Januari 1948, yang mengharuskan pasukan tentara Indonesia ditarik mundur dari wilayah Jawa Barat. Itu artinya tidak ada lagi kekuasaan RI di tanah Pasundan.
Dalam Darul Islam-NII dan Kartosuwirjo: Angan-Angan yang Gagal, Holk H Dengel menjelaskan, atas kekecewaannya terhadap Pemerintah RI mengakibatkan perjuangan tentara DI/TII beralih dari mempertahankan kemerdekaan Indonesia menjadi untuk memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII). Sekarmadji meresmikan NII di Cisampah, Kecamatan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, 7 Agustus 1949.
Pertempuran pertama antara Divisi Siliwangi Tentara Nasional Indonesia dengan Tentara Islam Indonesia terjadi 25 Januari 1949. Kala itu, pertempuran terjadi di daerah Priangan Timur dan menewaskan pemimpin Divisi Siliwangi, yaitu Mayor Utarja. Karena pertempuran saudara itu, M Natsir pun ditugaskan oleh Mohammad Hatta untuk berkomunikasi dengan Sekarmadji di Bandung, 4 Agustus 1949. Natsir kemudian membuat surat kepada Sekarmadji yang diserahkan melalui A Hassan, salah satu pemimpin Persatuan Islam (Persis). Dalam surat balasannya, Sekarmadji menegaskan bahwa NII telah diproklamirkan dan tidak dapat ditarik lagi.
“Saya tidak mau menelan air ludah saya kembali,” tulis Sekarmadji di surat balasannya.
Kekecewaan serupa juga menimbulkan gerakan DI di wilayah lain di Indonesia, seperti di Aceh dan Sulawesi. DI Aceh yang diproklamirkan Teungku M Daud Beureueh, selain karena disebabkan kekecewaan atas dasar negara, juga karena adanya status Aceh yang tidak dijadikan provinsi, tetapi hanya bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
BJ Bolland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982) mengungkapkan, korespondensi surat dilakukan Kahar Muzakkar kepada Sekarmadji pada 5 Juli 1950. Dalam surat itu, Kahar menulis menerima pengangkatan sebagai panglima Tentara Islam Indonesia untuk Sulawesi.
Operasi gerilya yang dilakukan Kahar juga diawali kemarahannya kepada Kolonel Kawilarang yang menolak permintaannya agar semua anggota Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan diterima sebagai anggota TNI dan dibentuk sebagai sebuah brigade khusus yang akan dinamakan Divisi Hasanuddin.
Kekecewaan daerah
Selain latar belakang ideologi, pemberontakan juga disebabkan ketidakpuasan daerah terhadap kinerja pemerintah pusat. Kondisi Indonesia pasca Pemilu 1955 menambah panjang daftar pemberontakan di daerah terhadap pemerintah pusat.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Susilo Utomo, menuturkan, perdebatan elite politik seusai pemilu pertama, terutama mengenai Undang-Undang Dasar, menyebabkan pemerintah pusat tidak mengacuhkan pembangunan di daerah.
Perdebatan panjang yang terkesan elitis mengakibatkan rakyat di daerah merasa tidak dipedulikan, apalagi ditambah dengan alokasi pembangunan yang sangat sedikir, bahkan tidak ada. Akibatnya, menurut Susilo, muncul gerakan untuk menentang pemerintah, khususnya dari daerah yang memiliki peran signifikan dalam kemerdekaan Indonesia.
Pada medio 1956-1957 muncul organisasi perlawanan di daerah, seperti Dewan Banteng di Padang (Sumatera Barat), Dewan Garuda di Palembang (Sumatera Selatan), Dewan Gajah di Medan (Sumatera Utara), Dewan Manguni di Manado (Sulawesi Utara), dan Perjuangan Rakyat Semesta di Makassar (Sulawesi Selatan). Pada 15 Februari 1958 berdiri pula Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang.
Selain kue pembangunan yang terpusat di Jawa, dalam Sejarah Nasional Indonesia VI, Marwati Djoened Poesponegoro menuturkan, pemberontakan bersenjata dan gerilya di daerah muncul karena kekecewaan tidak hanya dirasakan rakyat, tetapi juga oleh angkatan bersenjata. Sejumlah pimpinan militer berperan, di antaranya Panglima Komando Tentara Teritorium I/Bukit Barisan Kolonel Maluddin Simbolon yang memprakarsai Dewan Gajah dan Komandan Resimen Infanteri 4 TT-1/Bukit Barisan Letnan Kolonel Ahmad Husein yang mendirikan Dewan Banteng yang jadi embrio pembentukan PRRI.
Marwati menulis, pejabat militer merasakan pula alokasi pembangunan yang tidak merata di daerah sehingga mereka mengalami kesusahan, misalnya untuk membangun asrama yang layak bagi pasukannya. Hal itu menyebabkan panglima militer mendukung gerakan daerah.
Kondisi pada dua dekade awal RI itu masih relevan hingga saat ini. Oleh karena itu, program Presiden Joko Widodo untuk membangun dari pinggiran diharapkan bisa menjadi salah satu cara untuk lebih memeratakan pembangunan.
Sudah sepatutnya, luka-luka di awal kelahiran Indonesia bisa menjadi pembelajaran bagi pemerintah pusat untuk memperhatikan pemerataan pembangunan. Dan, mewujudkan cita-cita bangsa, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
pemberontakan 1948-1965.jpg

Kompas, Sabtu, 1 April 2017

Saturday 8 April 2017

Pemilu 1955, Pembelajaran dari Era Partai Ideologis

Oleh ANTONY LEE dan MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
Pemilihan Umum 1955 menjadi salah satu tonggak penting perjalanan demokrasi Indonesia. Pemilu pertama itu dinilai sangat demokratis. Partai politik menjadikan ideologi sebagai basis aktivitas dan pengambilan keputusan. Sebuah bahan refleksi berharga bagi parpol di masa kini yang kerap dikritik sekadar menjadi “kendaraan”.
Bung Karno Pemilu Tahun 1955.jpg
Presiden pertama RI Soekarno memasukkan surat suara ke kotak suara dalam Pemilu 1955.
Foto-foto yang terpampang di Rumah Pintar Pemilu gedung Komisi Pemilihan Umum, di Jakarta, Rabu (29/3), bisa membawa mereka yang melihatnya membayangkan seperti apa Pemilu 1955. Di salah satu foto hitam-putih yang dipajang di papan pamer menunjukkan seorang pemilih yang menggunakan tongkat dipandu oleh petugas. Di foto yang lain, terlihat presiden pertama RI Soekarno memasukkan surat suara ke kotak suara.
Pemilu 1955 diselenggarakan dua kali. Pemilu pertama untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dilangsungkan pada 29 September 1955, sedangkan untuk memilih anggota Konstituante–yang bertugas merumuskan konstitusi baru–digelar pada 15 Desember 1955.
Sebenarnya, pemilu pertama direncanakan berlangsung pada Januari 1946. Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 3 November 1945 mendorong lahirnya sejumlah parpol sebelum penyelenggaraan pemilihan badan perwakilan rakyat, Januari 1946. Namun, rencana itu buyar karena agresi militer Belanda. Setelah Belanda mengakui kedaulatan RI pada 1949, pemilu masih belum bisa juga terselenggara karena instabilitas sosial dan politik. Baru pada 1953, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 yang menjadi basis penyelenggaraan pemilu anggota DPR dan anggota Konstituante disahkan.
Animo masyarakat menggunakan hak konstitusionalnya di Pemilu 1955 amat luar biasa. Agung Pribadi dalam Pemilihan Umum 1955 mencatat, pada Pemilu DPR, 91,54 persen rakyat yang berhak memilih menggunakan hak suaranya. Sementara di Pemilu Konstituante, partisipasi pemilih mencapai 89,33 persen. Saat itu, dari 77,9 juga penduduk Indonesia, 43,1 juta di antaranya terdaftar sebagai pemilih.
Regulasi Pemilu 1955 juga sangat terbuka. Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia menyebut saat itu banyak kritik yang menyebut sistem pemilu yang ditetapkan melalui UU No 7/1953 terlalu perfeksionis dan rumit. Namun, dia menilai ketentuan itu hasil kerja yang hati-hati dalam menyesuaikan berbagai teknik kepemiluan dengan karakteristik Indonesia.
Keterbukaan yang luar biasa itu terlihat, misalnya, dalam Pasal 36 UU No 7/1953 yang membuka peluang bagi kandidat anggota DPR dan Konstituante untuk mencalonkan diri tidak hanya lewat parpol. Alhasil, Pemilu 1955 diikuti 36 parpol, 34 ormas, dan 48 perseorangan untuk pemilu anggota DPR. sementara pemilu anggota Konstituante diikuti 39 parpol, 23 ormas, dan 29 perseorangan.
Partai politik
Pemilu 1955 tak benar-benar sempurna. Beberapa literatur mengenai Pemilu 1955 juga menunjukkan kecurangan terjadi dengan intensitas berbeda antara pemilu anggota DPR dan pemilu anggota Konstituante. Kampanye juga berlangsung keras. Di sebagian daerah terjadi intimidasi terhadap pemilih. Kekerasan juga terjadi.
Salah satu arsip yang tersimpan di Arsip Negara Republik Indonesia ikut menggambarkan kerasnya persaingan antara parpol tertentu yang berbeda ideologi politik. Surat Rahasia Jaksa Agung Muda Zainal Abidin ke Perdana Menteri tertanggal 23 Februari 1954 Nomor PLK.C.2/625/3/3, misalnya, menceritakan ada upaya dari pengurus partai di Kulon Progo, Yogyakarta, untuk menculik dan merampok beberapa tokoh lokal terkemuka dari partai-partai pendukung pemerintah. Namun, rencana itu digagalkan polisi.
Kerasnya persaingan itu baru terjadi menjelang pemilu. Herbert Feith membagi relasi parpol di masa awal RI dalam dua periode. Pada 1945-1949, parpol tidak hanya bertarung secara politik, tetapi sayap militer masing-masing parpol juga berjuang mempertahankan kemerdekaan RI dari serbuan Belanda. Pada periode 1950-1953, parpol mulai memusatkan perhatian untuk saling bersaing.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Susilo Utomo, mengutip pandangan Herbert Feith, menuturkan, pada masa itu ada lima roh pemikiran parpol-parpol besar, yaitu radikal nasionalisme, tradisional Jawa, Islam, sosial demokrat, dan komunisme. Program dan aktivitas parpol mencerminkan program dan ideologi yang mereka miliki sehingga partai juga bisa memiliki massa pendukung yang loyal.
“Kalau pemilu setelah Reformasi, parpol hanya seperti kendaraan. Hanya sedikit yang parpol ideologi. Sementara pemilihnya cenderung pragmatis atau sering disebut pemilih wangsit, wang disit (uangnya dulu),” kata Susilo Utomo.
Sebagai dampaknya, biaya politik jadi besar karena suara pemilih harus diraih melalui pemberian uang. Akibat selanjutnya, pejabat yang terpilih di pemilu kemudian harus mencari sumber dana tambahan untuk mengembalikan uang yang habis dalam pemilu. Korupsi kemudian menjadi jalan pintas.
Menurut Susilo Utomo, Pemilu 1955 relatif bebas dari politik uang. Konstituen partai tak jarang justru menyumbang parpol yang didukungnya. Mereka rela mengeluarkan uang karena ada keterikatan ideologis dengan partai. Pada saat terpilih, orang-orang parpol itu juga tidak berani mengingkari ideologi dan platform partai yang menjadi cita-cita konstituennya.
Selain itu, kaderisasi parpol juga berlangsung baik. Calon pemimpin dipersiapkan parpol tidak melalui “kontes” terbuka yang sangat bergantung pada elektabilitas dan sumber dana seperti yang terjadi saat ini.
Pragmatisme partai dan pemilih saat ini memang imbas dari deparpolisasi yang berlangsung selama Orde Baru. Partai “direnggangkan” dari konstituennya. Namun, di era Reformasi, sudah seyogianya, partai merevitalisasi diri dengan kembali menyentuh rakyat melalui kebijakan berbasis ideologi, bukan sekadar kepentingan meraih kuasa. Semua hanya kepentingan atas hadirnya parpol yang berkualitas. Ini karena parpol yang sehat juga akan memperkuat demokrasi Indonesia.
Kompas, Minggu, 2 April 2017

Kebun Binatang Surabaya, Jangan Dilupakan

Oleh CHRIS PUDJIASTUTI
Mal-mal yang dibanjiri sebagian warga kota besar tak menyurutkan minat orang untuk menghirup udara segar dan berbagi kehidupan dengan satwa di kebun binatang. Salah satu kebun binatang yang bertahan selama lebih seabad adalah Kebun Binatang (KB) Surabaya, di Jalan Setail nomor 1, kawasan Darmo.
makua.jpg
Gorila “King Kong” bernama Makua, Senin (13/11/1979) sore, tiba di lapangan udara Halim Perdanakusuma dari negeri Belanda. Kandang Makua dipindahkan ke pesawat AURI Fokker F-27 Troopship. (Kompas/Dudy Sudibyo)

Suriah

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Suriah adalah sejarah panjang. Di awal sejarah, wilayah ini dikenal dengan nama Eber Nari (seberang sungai, yakni seberang Sungai Eufrat) oleh orang-orang Mesopotamia. Wilayah yang masuk Eber Nari adalah Suriah, Lebanon, Israel, Palestina, dan Jordania. Wilayah itu dahulu juga disebut sebagai Levant. Nama Eber Nari merujuk pada buku-buku karya Ezra dan Nehemiah, juga laporan sejarawan para raja Assyria dan Persia. Nama Nari muncul sekitar 5000 SM.
Ada yang berpendapat bahwa nama “Suriah” berasal dari “Assyria” untuk menyebut seluruh wilayah Mesopotamia. Yang pertama kali menyebut seluruh wilayah Mesopotamia sebagai Assyria adalah Herodotus (lahir 485 SM), penulis dan ahli geografi Yunani, sampai akhirnya ketika wilayah itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Seleucid, nama Assyria menjadi Suriah. Orang-orang Yahudi kuno menyebut wilayah tersebut sebagai “Siryon”, dalam bahasa Yahudi kata “siryon” berarti “baju baja” yang dipakai saat perang.
Teori lain menyatakan bahwa kata “Suriah” berasal dari kata “Siddonian”, yakni nama untuk menyebut Gunung Hermon. Gunung ini memisahkan wilayan Eber Nari bagian utara dengan Phoenicia bagian selatan (sekarang disebut Lebanon). Teori lain lagi menyebutkan, “Suriah” berasal dari kata Sumeria, yakni “Saria” nama lain Gunung Hermon (Joshua J Mark: 2014).
Apa pun namanya, semuanya menunjukkan sekaligus membuktikan bahwa “Suriah adalah sejarah panjang,” sepanjang peradaban manusia. Para arkeolog, misalnya meyakini bahwa di Suriah pernah ada salah satu kota paling kuno di dunia. Sebutnya Ebla, sebuah kota yang diyakini oleh para arkeolog telah muncul pada sekitar tahun 3000 SM. Di kota yang terletak di kawasan Bulan Sabit Subur inilah, salah satu bahasa tulisan tertua dikenal. Sekarang Ebla dikenal dengan nama Tall Mardkh, juga sering disebut Tell Mardikh. Kota tua ini terletak sekitar 53 kilometer barat daya kota Aleppo, Suriah.
Ebla adalah salah satu kota di Suriah yang sejak zaman dahulu menjadi rebutan para penguasa dari Mesir, Hittites, Sumeria, Mitanni, Assyria, Babilonia, Kanaan, Phoenisia, Aramea, Amorit, Persia, dan akhirnya Suriah jatuh ke tangan orang-orang Yunani di bawah pimpinan Aleksander Agung. Penguasa Yunani inilah yang dikisahkan memberikan nama wilayah itu menjadi Suriah. Pada tahun 64 SM, Gnaeus Pompeius Magnus (Gnaeus Pompeius Agung) yang juga disebut Pompey Agung (106 SM-48 SM), seorang komandan militer terkemuka dan politisi Republik Romawi, merebut Antiokhia, ibu kota Yunani (yang sekarang bagian dari Turki dan pernah menjadi wilayah Suriah). Sejak saat itu, Suriah menjadi provinsi Romawi. Dari Antiokhia inilah pasukan Pompeius bergerak ke selatan dan pada akhirnya menguasai Jerusalem di Yudea.
Dalam sejarah Kristiani, Suriah merupakan bagian penting dalam penyebaran agama, yakni dimulai dengan kisah Saulus di Damaskus, Saulus yang kemudian bernama Paulus adalah rasul yang menyebarkan agama Kristiani di Suriah, salah satunya Antiokhia, saat Suriah berada di bawah kekuasaan Romawi. Dari tangan Romawi, Suriah pada tahun 637 jatuh ke tangan tentara Muslim, yang kemudian mendirikan Dinasti Umayyad dan menjadikan Damaskus sebagai ibu kotanya. Pada tahun 750 (758?), Dinasti Umayyad ditundukkan oleh Dinasti Abbasiah, yang memindahkan ibu kotanya ke Baghdad, Irak.
Kisah Suriah masih panjang, sampai di akhir PD I, Inggris dan Perancis membuat kesepakatan rahasia membagi wilayah Ottoman yang mulai pudar. Pada 1916, Inggris dan Perancis menandatangani Perjanjian Sykes-Picot, yang merupakan dasar pembagian wilayah Ottoman menjadi zona Inggris dan Perancis. Suriah masuk ke dalam zona Perancis. Pada 1918, ketika pasukan Arab dan Inggris merebut Damaskus dan Aleppo, Suriah dimasukkan ke dalam mandat Liga Bangsa-Bangsa dan kemudian, pada 1920, di bawah kontrol Perancis, sampai akhirnya merdeka pada 1946 (meskipun deklarasi kemerdekaan dilakukan pada tahun 1944, tetapi tahun 1946 dipilih sebagai hari kemerdekaan berbarengan dengan penarikan mundur pasukan Perancis).
Semua itu, sejarah. Sejarah Suriah, bagian dari masa lalu Suriah. Kini, Suriah adalah nestapa. Suriah adalah bencana. Suriah adalah malapetaka. Suriah adalah hilangnya rasa kemanusiaan. Suriah adalah musnahnya nilai-nilai kemanusiaan. Suriah neraka dunia. Suriah adalah tragedi. Masih bisa lebih panjang lagi litani tentang kesengsaraan Suriah saat ini. Suriah adalah sebuah negeri tempat manusia membunuh manusia lain, dengan berbagai macam senjata termasuk senjata gas saraf, demi yang namanya kekuasaan. Di Suriah, kekuasaan menjadi sangat kejam, tidak punya mata dan hati.
Sejak pecah perang pada Maret 2011, sudah lebih dari 4,8 juta orang Suriah mengungsi, meninggalkan negara berpenduduk 22 juta jiwa itu ke berbagai negara. Negara-negara Eropa termasuk yang kebanjiran pengungsi dari Suriah. Lebih dari 6,3 juta orang juga tersebar ke pelbagai pelosok Suriah, meninggalkan kampung halaman mereka untuk mencari selamat. Jumlah warga sipil yang tewas mencapai angka 400.000. Lebih dari 13,5 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Semua itu merupakan angka-angka moderat. Bisa jadi jumlah korban tewas, pengungsi, dan orang yang membutuhkan bantuan lebih besar lagi.
Lembaga-lembaga kemanusiaan dunia melaporkan, selama ini terjadi pelanggaran secara sistematis terhadap hak-hak asasi manusia dan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh semua pihak yang berkonflik, baik pemerintah maupun oposisi termasuk kelompok yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Tersebar berita, telah terjadi eksekusi massal, pemerkosaan, dan kejahatan seksual secara sistematis, penyiksaan, serta perlakuan tidak manusiawi terhadap tahanan perang. Pada saat bersamaan, kekurangan makanan, air bersih, obat-obatan, serta sarana kesehatan terjadi sehingga beragam penyakit muncul.
Pada akhirnya, ke mana Suriah melangkah. Negeri yang dahulu indah dan elok, makmur, dan menjadi bagian dari palung peradaban dunia, kini semakin meninggalkan nilai-nilai peradaban manusia.

Kompas, Minggu, 9 April 2017

Cermin Peradaban yang Terlupakan...

Oleh ADRIAN FAJRIANSYAH
Masa lalu selalu mengawali masa kini. Di Nusantara, hampir semua wilayah memiliki peninggalan peradaban masa lampau yang maju dan berkembang pada zamannya. Namun, banyak dari peradaban itu hanya dikenang dan ditinggalkan. Padahal, kiranya peradaban itu menjadi bahan pembelajaran berharga bangsa untuk berkembang menjadi lebih baik.
1259232peradabann780x390.jpg
Suasana penggalian di situs manusia purba di Loyang (Goa) Ujung Karang, Takengon, Aceh Tengah, Senin (14/7/2014). Manusia purba tersebut dari ras Mongoloid dengan budaya Austronesia, berusia 4.000-5.000 tahun, dan diyakini sebagai manusia purba ras Mongoloid tertua yang ditemukan di Indonesia.(Kompas/Adrian Fajriansyah)
Di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, terdapat Museum Negeri Gayo. Museum itu baru. Cat di dinding masih ada yang basah dan aromanya merebak ke seluruh ruangan. Lampu di dalam museum pun banyak yang belum terpasang. Sebagian ruangan pun remang-remang. ”Museum ini baru selesai dibangun sebulan lalu,” ujar Kepala Unit Pelaksana Teknis Museum Negeri Gayo Sukmawati, Juli lalu.
Kendati baru selesai dibangun, beberapa koleksi benda arkeologi mulai terpajang di sejumlah lemari kaca. Di museum itulah benda peninggalan peradaban prasejarah di Aceh Tengah, seperti kapak batu, manik-manik, dan tembikar, tersimpan. ”Museum ini dijadikan sebagai tempat menyimpan hasil penggalian situs prasejarah di Loyang/Goa Mendale dan Loyang Ujung Karang,” ujar Sukmawati.
Ketua Tim Peneliti di Takengon dari Balai Arkeologi Medan, Ketut Wiradnyana, mengatakan, Sumatera bagian utara, terutama wilayah tengah Aceh, adalah kawasan yang amat penting dalam perkembangan budaya prasejarah di Nusantara.
Dari situs prasejarah Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang sejak 2009 hingga sekarang, Tim Balai Arkeologi Medan menemukan 13 kerangka manusia prasejarah ras Mongoloid dengan budaya Austronesia. Situs manusia prasejarah itu, adalah salah satu yang tertua di Indonesia, berusia sekitar 5.000 tahun lalu.
Bersamaan dengan penemuan kerangka manusia prasejarah, ditemukan pula sejumlah benda arkeologi. ”Manusia purba bersama kebudayaannya itu tergolong maju dan paling berkembang di masanya,” katanya. Contohnya, sejak 5.000 tahun yang lalu di Takengon, manusia Mongoloid telah menggunakan peralatan berburu berupa kapak batu yang terbuat dari batu kali.
Kapak batu itu berbentuk persegi atau lonjong. Kapak itu dibuat tajam pada salah satu atau kedua sisinya. Kapak batu itu pun dibuat halus sehingga mudah dipegang. Bahkan, ada kapak batu yang dibuat sedemikian rupa sehingga bisa digunakan dengan pegangan sebatang kayu, serupa kapak modern sekarang. Kapak itu digunakan untuk berburu dan memotong daging buruan.
Kapak batu yang mereka buat diperkirakan pengembangan kapak genggam dari masa sebelumnya, yakni masa manusia Austromelanesoid berbudaya Hoabinh yang hidup lebih dari 6.000 tahun lalu. ”Ini menunjukkan manusia Mongoloid di sini berpikir maju, mengembangkan teknologi yang telah ada,” tutur Ketut.
Contoh lainnya, sejak 5.000 tahun lalu di Takengon, manusia Mongoloid mengenal manik-manik yang terbuat dari biji-bijian. Mereka melubangi biji-bijian. Lalu memasukkannya satu per satu dalam akar yang dijadikan seperti benang atau tali. Biji-bijian yang tertata rapi itu dibuat seukuran lengan dan leher. Benda itu dibuat serupa gelang atau kalung. ”Itu adalah bentuk kecerdasan ilmu dan teknologi yang dimiliki manusia prasejarah. Mereka mengenal estetika berupa benda perhiasan untuk mempercantik diri,” ujar Ketut.
Contoh lain lagi, sejak 4.000 tahun lalu di Takengon, manusia Mongoloid mengenal cara pembuatan tembikar. Mereka membuat tembikar dari lumpur atau bahan baku di sekitar tempat tinggalnya. Tembikar dibuat dengan diameter sekitar 30 sentimeter dan tinggi sekitar 60 cm. Tembikar itu tak dibuat begitu saja, tetapi diberi corak horizontal-vertikal. Umumnya, tembikar itu digunakan sebagai tempat bekal kubur.
Pembuatan tembikar ini menunjukkan manusia prasejarah di Takengon sudah memanfaatkan secara optimal lingkungan di sekitarnya. Mereka juga memahami fungsi setiap benda yang dibuatnya. ”Mereka juga membuat benda dengan ketelitian yang tergolong sangat baik di zamannya,” kata Ketut. Peradaban Autronesia dari Takengon ini tidak berhenti di zamannya. Peradaban itu terus dibawa hingga sekarang.
Mulai terlupakan
Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Aceh Tengah Amir Hamzah menuturkan, hasil penelitian di situs prasejarah Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang membuka cakrawala ilmu pengetahuan bagi masyarakat Aceh Tengah. ”Muncul kebanggaan dalam diri kami, peradaban kami telah maju dan berkembang sejak dahulu,” tuturnya.
Namun, ujar Amir, ada keprihatinan yang muncul di masyarakat. Banyak kearifan lokal yang dibawa dari peradaban masa lalu yang mulai terlupakan saat ini. ”Anak muda zaman sekarang banyak terlena dengan budaya asing, terutama yang kebarat-baratan,” ujarnya.
Salah satu contoh adalah sudah jarang terlihat perajin tembikar bercorak horizontal-vertikal di Aceh Tengah. Tembikar sudah berganti dengan tembikar impor dari Tiongkok. ”Padahal, tembikar itu melambangkan kesakralan budaya nenek moyang orang Gayo,” kata Amir.
Hasil kebudayaan masa lalu lain yang juga rawan yakni tak banyak lagi rumah adat Gayo yang disebut Umah Edet Pitu Tujuh Ruang (Rumah Adat Pintu Tujuh Ruang) di dataran tinggi Gayo. Rumah itu sudah berganti dengan rumah modern berbahan beton.
Padahal, rumah adat Gayo mengandung kearifan lokal, yakni berteknologi anti gempa. Rumah seperti itu sangat aman di dataran tinggi Gayo.
Kompas, Sabtu, 23 Agustus 2014