Oleh DEFRI WERDIONO
Ekskavasi Situs Adan-adan di Kabupaten Kediri menjadi bagian
dari upaya menguak tabir masa lalu tentang keberadaan candi Buddha yang
diperkirakan terbesar di Jawa Timur. Satu lagi penelusuran atas peradaban
bangsa di masa lampau menemukan titik terang.
Waktu menunjuk lepas pukul 10.00 saat Sumarno (40) bersama istri dan dua anaknya mengamati area candi utama Situs Adan-adan dari balik pagar kawat berduri, di Dusun Candi, Desa Adan-adan, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Minggu (27/6/2021).
Suasana cukup sepi. Hanya kicau burung di pohon durian
terdengar bersautan, berpadu dengan suara kendaraan roda dua yang sesekali
melintas. Sementara seorang warga terlihat khusuk berdoa di makam yang berada
tidak jauh dari situs.
”Kami baru pertama kali ke sini. Penasaran, mumpung liburan.
Sebelumnya hanya melihat di Youtube,” ujar Sumarno, yang masih penasaran ingin
tahu bentuk candi dan artefak lainnya dari situs yang berada di pinggir jalan
desa tersebut.
Meski belum semua rasa ingin tahunya terjawab, keluarga
kecil asal Desa Gurah itu akhirnya beranjak menuju Tondowongso, situs lain yang
berada di wilayah Kecamatan Gurah. Hari itu, ia benar-benar ingin mengajak buah
hatinya mengenal peninggalan masa lalu.
Memang, sejak eskavasi dilakukan pada 2016, sejumlah artefak
telah ditemukan di Adan-adan, mulai dari arca hingga struktur candi. Sebagian
artefak dipindahkan ke Museum Bagawanta Bhari di lingkungan Kantor Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Kediri.
Adapun sebagian lainnya ditimbun kembali lantaran ukurannya
cukup besar dan agar tidak rusak terpapar cuaca. Akibatnya, secara kasatmata,
orang awam hanya bisa melihat bebatuan yang sedikit menonjol di atas permukaan
tanah.
Akhir-akhir ini, Adan-adan kembali menarik perhatian
masyarakat setelah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas)
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi selesai melakukan
ekskavasi. Ekskavasi penelitian dilakukan pada 6-13 Juni 2021 terhadap tiga
sektor di sekitar candi utama.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, penelitian kelima ini
dilakukan secara diam-diam dengan alasan untuk menghindari kerumunan masyarakat
karena masih dalam situasi pandemi Covid-19.
Tim Puslit Arkenas kembali mendapati sejumlah artefak yang
telah berabad-abad tertimbun tanah, seperti keramik, batu pipisan, dan fragmen
stupa. Saat menggali di sektor barat daya, tim menemukan dua gentong (guci)
tempat air dari batu andesit di dalam ruangan terbuat dari susunan bata.
Pemukiman kuno
Ketua Tim Puslit Arkenas Sukawati Susetyo mengatakan, denah
candi akhirnya juga terkuak, yakni berbentuk bujur sangkar dan menghadap ke
barat laut dengan penampil di depannya. Tim memerkirakan luas candi ini
mencapai 625 meter persegi.
”Tahun ini sebenarnya kami ingin mencari pagar sisi selatan.
Saat kami ambil jarak 10-15 meter, kok, tidak ketemu, akhirnya kami dekatkan ke
struktur sebelumnya. Begitu dibuka kami menemukan gentong,” katanya.
Sukawati memerkirakan gentong yang ditemukan dalam posisi
berjajar itu berasal dari abad ke-14. Dengan tidak mengabaikan temuan yang
lain, seperti keramik, pihaknya memperkirakan bahwa dulunya di tempat itu
merupakan sebuah permukiman.
Soal permukinan ini juga didasarkan pada penelitian tahap
sebelumnya. Pada ekskavasi tahun 2018, tim Puslit Arkenas menemukan struktur
bata, keramik, genteng, batu gacuk (engklek mainan anak), dan fragmen tulang.
Dalam ekskavasi 2019, tim juga menemukan kepala arca
Boddisatwa, lapik arca sebatas kaki, dan arca Dhuanibuddha Amitabha. Kepala
arca Boddisatwa relatif utuh, sedangkan yang lain ditemukan fragmen dan
kondisinya tidak utuh.
Hasil ekskavasi kali ini makin memperkuat kesimpulan
sebelumnya tentang latar belakang Situs Adan-adan sebagai Candi Buddha
Mahayana. ”Pada penelitian keempat sudah terungkap, sekarang memperkuat.
Sebenarnya dari tahun kedua kami sudah curiga karena ada temuan Dwarapala. Di
Yogyakarta, Dwarapala biasanya ada di candi Buddha,” ujarnya.
Situs Adan-adan diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan
Kediri, tetapi terdapat nuansa Majapahit. Bahkan, dari sisi penelitian
geoarkeologi, menunjukkan bahwa candi yang berjarak sekitar 18 kilometer di
sisi timur laut Kota Kediri itu diperkirakan sudah ada sejak masa sebelum Kediri.
Hal ini bisa dilihat dari keramik yang ditemukan, ada yang berasal dari abad X.
Arcanya juga ada yang menunjukkan gaya Mataram Kuno.
Adan-adan pun memiliki ukuran lebih besar dari candi-candi
lain di wilayah Kediri. Candi Surowono di Desa Canggu, Kecamatan Pare,
misalnya, hanya memiliki luas 64 meter persegi (8 meter x 8 meter), sedangkan
Candi Tegowangi memiliki luas 12 m x 12 m atau 144 meter persegi. Kedua candi ini
dibangun pada masa Majapahit.
Pertanyaan kemudian, apakah Adan-adan merupakan candi Buddha
terbesar di Jawa Timur? Sukawati menjelaskan, di Jawa Timur terdapat beberapa
candi Buddha, tetapi ukurannya relatif tidak sebesar Adan-adan. Candi
Sumberawan di Malang, misalnya, memiliki stupa yang tidak terlalu besar.
”Adan-adan istimewa karena makaranya juga tinggi sekali 2,3
meter. Ini makara tertinggi di Indonesia. Arca Dwarapala juga di kanan makara.
Selama ini Dwarapala menjaga bangunan candi, dia berada di luar pagar keliling,
tetapi dia di kanan,” ucapnya.
Di luar bentuk fisik yang berbeda, Adan-adan memiliki
kemiripan nasib dengan situs purbakala lain di kawasan timur Kabupaten Kediri,
yakni umumnya tertimbun material vulkanik Gunung Kelud cukup tebal. Adan-adan
ditemukan tiga meter di bawah permukaan tanah.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kediri Adi
Suwignyo mengatakan, pihaknya menunggu hasil rekomendasi dalam penelitian
berikutnya pada 2022. Hasil rekomendasi itu akan menjadi pijakan tentang
langkah selanjutnya yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah.
”Tahun 2022 rencananya ada penelitian lagi. Harapannya
muncul rekomendasi dari pihak peneliti sehingga kita bisa mencoba mengatur
strategi mau diapakan situs ini? Apakah semua artefak akan dimunculkan,” katanya.
Erupsi Gunung Kelud
Sejarawan Universitas Negeri Malang, M Dwi Cahyono,
mengatakan, keberadaan benda cagar budaya di kawasan itu tidak terlepas dari
masa lalu wilayah timur Kediri. Sebagaimana diketahui, wilayah timur Sungai
Brantas (yang membelah Kediri) merupakan kawasan agraris yang subur oleh
material vulkanik.
Dari sisi kesejarahan, Gurah dan sekitarya merupakan wilayah
penting di lereng Kelud. Tinggalan benda arkeologisnya kaya, mulai dari daerah
Katang, Gurah, sampai ke Pare, Kepung, dan Kandangan, meski sejauh ini yang
ditemukan belum sebesar potensi yang ada.
”Kesusastraan dari era Kadiri kaya, tetapi kenapa, kok,
jejak arsitekturnya ’miskin’? Mestinya seimbang. Di benak saya waktu itu,
mustinya Kediri timur banyak temuan. Rupanya paparan material vulkanik Kelud
yang menimbun mereka,” katanya.
Dwi berkisah bahwa di kawasan itu dulunya ada tiga wilayah
pusat vasal (bawahan kerajaan Majapahit), yakni Keling, Dhaha, dan Paguhan
(Pagu), sehingga daerahnya kental dengan aktivitas sosial dan budaya. Tidak
hanya pada satu masa saja, tetapi juga mulai dari Kediri, Singosari, Majapahit,
bahkan beberapa dari masa Mataram Kuno.
Terkait masalah pemujaan, Dwi menyebut akulturasi telah ada
sejak lama di Kediri. Meski Kediri dikenal memuja Siwa, ada juga pemuja
Buddhisme sehingga jejak-jejak pemujaan terhadap Buddha bisa didapati di
wilayah itu.
”Dalam mitos Calon Arang, misalnya, bagaimana Calon Arang
yang memuja Durga, pasangan Siwa, berhadapan dengan Mpu Baradah yang Buddha
Mahayana. Kemungkinan komunitas Buddhis di Adan-adan ini juga berkontribusi
terhadap Raden Wijaya ketika dia mengalahkan Jayakatwang untuk mendirikan
Majapahit (1293 M),” tutur Dwi.
Enam tahun terakhir, Adan-adan telah melalui serangkaian penelitian. Tahap demi tahap misteri yang terpendam di dalamnya pun kian terbuka dan menambah literasi tentang masa lalu yang ada di Bumi Kediri.
No comments:
Post a Comment