Oleh
HASBULLAH THABRANY
Ada apa
dengan tiga negara tersebut? Menurut data Bank Dunia, Indonesia memiliki
pendapatan per kapita di atas 3.650 dollar AS per tahun (2014), sebuah negara
kelas menengah bawah (low middle income country).
Angka
kemiskinan “hanya” 11,3 persen dari penduduk dan 100 persen anak usia sekolah
sudah duduk di bangku sekolah dasar (SD). Sudan juga merupakan negara kelas
menengah bawah dengan pendapatan per kapita separuh dari Indonesia (1.740
dollar AS), tetapi 46,5 persen penduduknya tergolong miskin dan baru 70 persen
anak usia sekolah yang duduk di bangku SD. Somalia adalah negara miskin di
Afrika yang berpendapatan per kapita hanya 150 dollar AS. Hanya 29 persen
penduduk usia sekolah yang duduk di bangku SD dan angka kemiskinan lebih dari
separuh penduduknya.
Atlas tembakau 2015 WHO - FCTC (Sumber: GTTS WHO)
Jelas sekali
perbedaan di antara ketiga negara tersebut. Apa yang menarik? Menurut Atlas
Tembakau yang baru dirilis
Organisasi
Kesehatan Dunia, ketiga negara itu mempunyai warna yang sama. Hanya ada
satu negara di Asia yang mempunya warna abu-abu, yaitu Indonesia. Di Benua
Eropa dan benua Amerika (Utara dan Selatan) tidak ada negara yang berwarna
abu-abu. Di Benua Afrika, ada empat negara berwarna abu-abu, sama dengan
Indonesia, yaitu Afrika Barat, Eritrea, Sudan, dan Somali.
Seluruh
negara maju dan berbudaya tinggi sudah berwarna merah, kecuali Amerika Serikat.
Namun, Amerika Serikat tidak berwarna abu-abu, sudah berwarna oranye, sudah
ikut tanda tangan.
Apa artinya?
Sebanyak 180 negara di dunia telah menandatangani/aksesi FCTC, Framework Convention on Tobacco Control,
suatu kesepakatan negara untuk melindungi rakyatnya dari risiko konsumsi
tembakau. Seluruh negara maju, negara menengah, dan negara berbudaya tinggi
telah berkomitmen melindungi rakyatnya dari risiko penyakit dan pemborosan
konsumsi rokok, kecuali Indonesia. Padahal, rakyat Indonesia paling berisiko.
Fakta tembakau Indonesia
Pergelutan
tentang tembakau di Indonesia seperti perang gerilya yang tiada henti.
Perebutan uang bisnis bahan adiktif rokok
menafikan risiko masa dan produktivitas bangsa. Tahun lalu, rakyat
Indonesia membakar uang secara mubazir dengan mengonsumsi rokok sekitar Rp 300
triliun. Jika uang itu digunakan untuk mengirim putra terbaik bangsa bersekolah
master di Eropa dan Amerika, 800.000 orang dapat dibiayai.
Jika uang
itu dipakai untuk mengirim mahasiswa guna mengikuti program doktor, uang
sebesar itu cukup untuk beasiswa 250.000 calon doktor setahun. Bisa dibayangkan
dampak masa depan bangsa akan luar biasa hebat jika begitu banyak yang bergelar
doktor. Namun, uang sebanyak itu digunakan untuk membakar sekitar 340 miliar
batang rokok setahun.
Tertinggi di dunia
Indonesia
memang juara I di dunia dalam konsumsi rokok. Sebanyak 67 persen pria dewasa
merokok, frekuensi tertinggi di dunia. Juara selanjutnya adalah Rusia (61
persen), Banglades (58 persen), dan Tiongkok (53 persen). Kecuali Banglades,
Rusia dan Tiongkok juga juara dalam banyak persaingan kualitas pemudanya,
seperti lewat Olimpiade. Indonesia yang merupakan negara terbesar ketiga di
Asia dan terbesar di ASEAN hanya menempati urutan ke-17 ASEAN ASIAN
Games dan urutan kelima SEA Games. Jelas, tidak sebagus prestasi Rusia dan
Tiongkok.
Data survey
tembakau Indonesia (2011) menunjukkan bahwa 62 persen mahasiswa dan hampir 50
persen pelajar sekolah menengah atas merokok. Mereka akan berkontribusi besar
terhadap penghasilan industri rokok pada masa depan. Apakah uang konsumsi rokok
tersebut mengalir kepada petani dan buruh industri rokok? Data menunjukkan bahwa
tahun 2000 Indonesia memproduksi 217 miliar batang rokok dan tahun 2013
produksi rokok naik hampir dua kali lipat menjadi 341 miliar batang.
Data Badan
Pusat Statistik menunjukkan bahwa tahun 2000 kita mengimpor 16,6 persen
tembakau yang dikonsumsi. Tahun 2011, impor tembakau naik hampir lima kali
lipat menjadi 72,5 persen konsumsi. Rata-rata upah buruh rokok tidak mengalami
perbaikan dalam 15 tahun terakhir. Dibandingkan dengan rata-rata upah buruh di
seluruh industri, upah buruh rokok tetap saja rendah, yaitu sekitar 25 persen
upah industri lain. Jadi, kenaikan konsumsi dan belanja rokok tidak menaikkan
kesejahteraan buruh rokok dan petani tembakau. Industri yang menikmati.
Sebagian industri besar rokok kini juga dimiliki perusahaan asing.
Cukai dan
harga rokok di Indonesia juga masih sangat rendah yang memungkinkan anak-anak
sekolah membeli rokok. Sekali mereka kecanduan, untuk 40-50 tahun mereka akan
terjerat terus membeli rokok. Bukan main hebatnya bisnis barang adiktif ini.
Anehnya, anggota DPR kita kini sedang mempersiapkan RUU Tembakau yang akan
mempermudah peningkatan konsumsi rokok. Para pejabat eksekutif juga banyak yang
menolak FCTC dengan alasan akan membebani buruh rokok dan petani tembakau.
Pemerintah juga belum menarik cukai maksimum dan mematok harga rokok tinggi
sesuai dengan filosofi UU cukai.
Keliru paham
Mengapa
negara yang begitu kontras bisa bersikap sama? Sudan dan Somalia masih bergelut
dengan perang saudara akibat kemiskinan dan kebodohan. Pantaslah jika mereka
belum peduli dengan komitmen dunia dan citra bangsa di dunia. Mengapa pemimpin
bangsa ini “buta warna”, tidak mampu melihat beda Indonesia dengan warna negara
menengah, negara maju, dan negara berbudaya tinggi di dunia?
Bisa jadi
para pemimpin dan penentu negeri ini tidak tahu fakta konsumsi rokok dan FCTC.
Bisa jadi para pembisik pejabat tersebut tidak tahu tentang fakta rokok dan
FCTC. Bisa jadi mereka tidak sempat membaca, mendalami, dan bertanya tentang
fakta konsumsi rokok dan FCTC. Bisa jadi mereka tidak sempat melihat fakta di
Thailand yang menandatangani FCTC 10 tahun lalu, tetapi jumlah konsumsi rokok
tetap, penerimaan cukai rokok naik empat kali lipat, dan semakin sedikit pemuda
yang memulai merokok.
Bisa jadi
juga pembisik atau yang punya otoritas pengaturan takut (tidak beralasan)
kehilangan bisnisnya dalam industri rokok dan tembakau. Bisa jadi sebagian
pejabat, termasuk anggota DPR, memiliki bisnis atau memiliki saham dalam bisnis
tembakau dan rokok. Bisa jadi sebagian mereka juga mengambil untung besar dari
impor tembakau. Bisa jadi sebagian mereka dalam “mabuk” rokok. Bisa jadi, dan
banyak lagi yang bisa jadi. Yang jelas, posisi Indonesia yang sejajar dengan
Sudan dan Somalia sangat memalukan bagi penulis.
HASBULLAH
THABRANY
Chair,
Center for Health Economics and Policy Studies UI
Kompas,
Sabtu, 26 September 2015
TIONGKOK – JUTAAN LAKI-LAKI MENINGGAL AKIBAT ROKOK
PARIS, JUMAT
– Kebiasaan merokok diperkirakan membunuh sekitar 2 juta warna Tiongkok pada
2030. Jumlah ini dua kali lipat daripada jumlah orang yang meninggal akibat
rokok pada 2010. Hal ini disampaikan para peneliti, Jumat (9/10).
Tim peneliti
dalam jurnal kesehatan The Lancet menyatakan, kecenderungan saat ini, satu dari
tiga pemuda Tiongkok tewas karena merokok. Sementara di kalangan perempuan
Tiongkok, hanya ada sedikit perokok dan jumlah kematian juga lebih sedikit.
Dalam
artikel milik Zhengming Chen dari Universitas Oxford itu disebutkan bahwa
sekitar dua pertiga pemuda Tiongkok menjadi perokok dan dimulai sebelum mereka
berusia 20 tahun. Kecuali berhenti merokok, separuh dari mereka akan meninggal
karena kebiasaan merokok.
Tiongkok
merupakan konsumen rokok terbesar ketiga di dunia (Ingat, Indonesia nomor
satu!). Angka kematian di negara itu akibat merokok berada di urutan keenam di
dunia.
“Angka
kematian tahunan di Tiongkok yang disebabkan tembakau diperkirakan meningkat
dari 1 juta orang pada 2010 menjadi 2 juta orang pada 2030, bahkan menjadi 3
juta orang pada 2050, kecuali ada upaya menghentikan kebiasaan merokok secara
luas,” tulis para peneliti.
Jumlah
kematian akibat merokok pada 2010 terdiri dari 840.000 pria dan 130.000
perempuan. Saat itu, populasi Tiongkok adalah 1,4 miliar jiwa.
Berhenti merokok
Upaya
berhenti merokok secara luas merupakan salah satu cara paling efektif bagi
warga Tiongkok untuk menghemat biaya. Dengan cara itu, mereka bisa menghindari
penyakit dan kematian dini pada beberapa dekade mendatang.
Perokok
memiliki tingkat risiko kematian dua kali lipat dibandingkan dengan mereka yang
tak pernah merokok. Mereka berisiko lebih tinggi terkena penyakit kanker paru-karu
paru, stroke, dan serangan jantung.
Proporsi
kematian pria Tiongkok berusia 40-79 tahun akibat merokok meningkat dua kali
lipat, dari sekitar 10 persen pada awal 1990-an menjadi mencapai 20 persen pada
masa sekarang. Laporan The Lancet menyebutkan, berbeda dengan kaum pria,
perempuan usia kerja di Tiongkok yang merokok saat ini justru berkurang
daripada generasi sebelumnya.
“Sekitar 10
persen dari perempuan yang lahir pada 1930-an merokok, tetapi hanya satu 1
perempuan yang lahir pada 1960-an yang merokok,” demikian The Lancet.
Peneliti
memberikan kesimpulan tersebut berdasarkan data hasil dua penelitian berskala
nasional yang respondennya meliputi 730.000 warga Tiongkok. Studi pertama
digelar pada 1990-an, sedangkan studi kedua dimulai pada 2006 dan masih
berlangsung sampai sekarang (AFP/LOK)
Kompas, Sabtu,
10 Oktober 2015
TUNDA KENAIKAN CUKAI ROKOK – PRODUKSI DAN DAYA BELI
TURUN
SURABAYA,
KOMPAS – Gubernur Jawa Timur Soekarwo meminta pemerintah menunda kenaikan cukai
rokok. Alasannya, kenaikan cukai akan berdampak pada pengurangan pekerja di
industri rokok karena produksi dan penjualan semakin merosot.
Soekarwo di
Surabaya, Jumat (9/10), menyebutkan, jika cukai rokok tetap dinaikkan sesuai
dengan usulan dari Kementerian Keuangan, produsen akan menaikkan harga rokok.
Kenaikan harga itu tidak dapat tidak bisa dihindari karena tarif cukai naik.
Biaya produksi pun meningkat.
Padahal,
hingga Agustus, inflasi Jatim mencapai 2,11 persen, dan situasi ekonomi sedang
melambat sehingga daya beli turun. “Jika cukai dipaksakan naik, pasti banyak
pabrik rokok gulung tikar dan tembakau petani pun tidak terserap,” ujar
Soekarwo.
Ketika cukai
rokok naik pada 2014, setiap industri rokok langsung melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK) buruh berkisar 8-10 orang. PHK di sector industri berbahan
baku tembakau tersebut bergulir karena pergantian sigaret keretek tangan ke
sigaret keretek mesin. Dua pabrik rokok besar di provinsi ini, hingga
September, sudah mengurangi pekerja hingga 18.000 orang.
Oleh karena
itu, kata Soekarwo, pemerintah pusat hendaknya mengeluarkan kebijakan sekaligus
solusi agar tidak ada pihak atau kelompok yang merasa dirugikan. Apalagi,
kontribusi Jatim pada penerimaan cukai secara nasional sejak 2010 hingga 2014
rata-rata di atas 50 persen.
Kementerian
Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20 Tahun 2015 yang
mengatur kenaikan tarif cukai hasil tembakau dari Rp 120,1 triliun menjadi Rp
139,7 triliun. Pada 2014, dari target penerimaan cukai nasional Rp 112,75
triliun, Jatim dengan beberapa pabrik rokok besar dan ratusan industri kecil
dapat menyumbang Rp 67,6 triliun, atau 60 persen dari total nasional. Daerah
ini merupakan penghasil tembakau terbesar secara nasional.
Menurut
Ketua Gabungan Pengusaha Roko (Gapero) Jatim Sulami Bahar, pihaknya dalam
posisi mendukung upaya pemerintah meningkatkan penerimaan negara melalui cukai.
Hanya, dalam kasus tahun ini, dengan peningkatan target cukai sebesar Rp 139
triliun itu, akan berisiko meningkatkan peredaran rokok tanpa cukai atau rokok
ilegal.
Jual rugi
Apabila
kenaikan cukai rokok tidak mampu dipikul pengusaha yang harus menerjemahkan
besaran cukai itu terhadap harga eceran
rokok, pengusaha terpaksa jual rugi. Konsumen tidak dengan mudah menerima
kenaikan harga rokok eceran. Sementara komponen harga rokok dalam bentuk nilai
cukai naik. Peredaran rokok ilegal akan terjadi jika produsen tidak mampu membeli
pita cukai yang harganya naik.
“Pada
akhirnya yang menanggung kerugian tetap konsumen. Sebab, konsumen tidak akan
mendapt jaminan atas kualitas bahan baku rokok, termasuk besaran kandungan
nikotin, besaran tar. Konsumen asal membeli rokok murah karena rokok bercukai
harganya naik akibat kenaikan harga pita cukai,” kata Sulami.
Ia
menambahkan, peredaran rokok ilegal juga akan memukul pengusaha rokok legal,
karena di pasar akan terjadi persaingan antara rokok bercukai dan tidak.
Berdasarkan
data dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, industri hasil tembakau di
provinsi itu dalam periode 2009-2013 turun, setiap tahun sekitar 27,3. Pada
2008, masih ada 4.900 industri rokok. Namun, pada 2013 tinggal sebanyak 790
industri.
Menurut
Sulami, rencana pemerintah menaikkan tarif cukai rokok di atas 10 persen pada
tahun depan benar-benar menambah beban industri rokok. Pemerintah dianggap
terlalu cepat membuat kebijakan yang justru mematikan pelaku usaha di sector
rokok, termasuk petani tembakau.
“Pelaku usaha
berusaha menolak rencana kenaikan tarif cukai rokok melalui pendekatan
musyawarah, dialog dengan pemerintah, hingga mengirim surat. Intinya, pelaku
usaha ingin pemerintah benar-benar mau mengerti kondisi industri rokok saat
ini,” ucap Sulasmi.
Apalagi,
lanjutnya, saat ini, industri rokok sedang terpuruk karena daya beli turun,
kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan adanya Peraturan Menteri Keuangan
yang mewajibkan untuk membayar dua bulan di depan untuk jatuh tempo pita cukai.
(ODY/ETA)
Kompas, Sabtu,
10 Oktober 2015