Sunday 10 January 2016

Riyadh-Teheran

Oleh TRIYAS KUNCAHYONO
Sahabat Lama
Iran dan Arab Saudi, dua negara bertetangga, yang menempati posisi penting di kawasan Timur Tengah. Paling tidak ada tiga hal yang membuat kawasan mereka penting: pertama, lokasi geografis kawasan; kedua, adanya cadangan "emas hitam" atau minyak yang melimpah; dan ketiga, keberadaan atau lahirnya negara Yahudi Israel.
Ketiga hal tersebut menempatkan Timur Tengah menjadi medan persaingan kekuatan besar. Hal itu memosisikan Arab Saudi dan Iran pada posisi penting sekaligus bersaing.
Kedua negara bertetangga, tetapi tidak saling berbatasan wilayah. Iran terletak di sebelah timur kawasan Timur Tengah, sedangkan Arab Saudi berada di Semenanjung Arab di kawasan Timur Tengah. Arab Saudi dan Iran dipisahkan Teluk Parsi. Keduanya mewakili dua subregion Timur Tengah: Persia dan Semenanjung Arab.
Jejak hubungan kedua negara bisa dilacak jauh ke belakang, yakni tahun 1929. Pada tahun itu, ditandatangani Perjanjian Persahabatan Arab Saudi-Iran. Namun, sejak penandatanganan perjanjian persahabatan itu, nyaris tidak ada perkembangan penting dalam konteks hubungan keduanya, tidak ada peristiwa yang menonjol hingga awal 1960-an.
Ketika pecah perang Arab-Israel, Iran justru menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Posisi ini berseberangan dengan negara-negara Arab yang bergabung melawan Israel. Namun, setelah Perang 1967, publik Iran menolak hubungan persahabatan dengan Israel. Pada waktu itu, baik Iran maupun Arab Saudi muncul sebagai dua kekuatan yang diperhitungkan di kawasan untuk mendorong terciptanya perdamaian dan keamanan. Kerja sama keduanya pun sangat dibutuhkan.
Untuk memperkuat hubungan, Raja Faisal mengunjungi Teheran pada 1966. Lalu, pada 1968 ditandatangani kesepakatan demarkasi. Raja Faisal berjuang untuk solidaritas Islam dan membentuk Organisasi Kerja Sama Islam (didirikan dalam konferensi di Rabat, Maroko, 25 September 1969) yang didukung Shah Iran, Muhammad Reza Pahlavi.
faisal-shah.jpg
Raja Faisal dan Muhammad Reza Pahlavi
Sinergi antara para pemimpin (Arab Saudi dan Iran) jelas merupakan hasil dari kesamaan kepentingan dalam usaha mempertahankan rezim dan tujuan ekonomi bersama. Dengan demikian, ada kepentingan bersama di antara kedua belah pihak.
Henner Fürtig dari Universitas Hamburg menggambarkan "kepentingan bersama dalam memerangi pengaruh sosialis dan kaum nasionalis-radikal di kawasan Teluk untuk menstabilkan penyaluran minyak dan gas serta meningkatkan kekayaan lewat eksporlah yang mempersatukan Iran dan Arab Saudi". Kerja sama itu berlangsung hingga akhir 1970-an setelah Revolusi Islam di Iran.
Sebelum Revolusi Iran (1979), konfrontasi politik di kawasan Teluk bukan disebabkan perbedaan Sunni-Syiah ataupun Arab-Persia, melainkan oleh konservatif-radikal. Kewin Downs dari Universitas Tennessee berpendapat, salah satu faktor yang mendorong persaingan antara Arab Saudi dan Iran adalah situasi politik internasional terkait dengan dimulainya Perang Dingin antara Blok Barat yang dikomandani AS dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet.
Perang Dingin telah mendorong Arab Saudi dan Iran masuk dalam persaingan untuk menjadi pemain regional paling dominan dan kuat. Dengan tampilnya Gamal Abdul Nasser di Mesir dan ideologi pan-Arabisme-nya, monarki-monarki yang kaya minyak, seperti Iran dan Arab Saudi, bereaksi untuk mencegah gelombang revolusioner.
Akan tetapi, perubahan radikal hubungan di antara kedua negara terjadi setelah Revolusi Iran pada 1979.
Setelah Revolusi 1979
Revolusi adalah momen yang manis sekaligus pahit dalam sejarah. Momen itu mengubah masyarakat, sebagian besar lewat pertumpahan darah. Namun, ada revolusi yang tanpa darah. Sebut saja Revolusi Kekuatan Rakyat 1986 di Filipina, yang menandai tumbangnya Presiden Ferdinand Marcos, dan Revolusi Beludru di Cekoslovakia pada 1989.
Yang terjadi di Iran, pada 1979, juga bisa digolongkan sebagai revolusi tanpa darah. Revolusi ini menumbangkan pemerintahan Shah Iran Muhammad Reza Pahlevi dan menempatkan Ayatollah Khomeini sebagai pemimpin tertinggi Iran. Shah Iran meninggalkan Iran pada 16 Januari 1979 dan pada 1 Februari 1979 Khomeini kembali ke Iran.
khomeini.jpg
Ayatollah Khomeini
Revolusi inilah, menurut Ariel Jahner dari Universitas Tufts di Medford, Amerika Serikat, yang memutar balik hubungan Arab Saudi dan Iran. Hubungan baik dan kerja sama antara keluarga Al-Saud dan Shah tak diinginkan lagi. Hubungan kedua negara pun memburuk dan puncaknya terjadi pada 1988, yang ditandai dengan putusnya hubungan diplomatik.
Arab Saudi memandang Iran sebagai kekuatan destabilisasi kawasan. Negara itu dianggap ingin "mengekspor revolusi" ke negara-negara Teluk. Sebaliknya, Iran memandang Arab Saudi tidak pantas melindungi tempat-tempat suci Islam, sementara "ideologi Khomeinis Iran sangat anti monarki, memformalkan otoritas ulama dalam politik...." Semua karakteristik tersebut sangat bertentangan dengan kebijakan domestik dan struktur politik Arab Saudi (Frederic Wehrey dkk).
Hubungan kedua negara bertambah buruk "menyusul pengambilalihan Masjid Agung Mekkah 1979 meskipun tidak ada bukti langsung bahwa Teheran terlibat dalam insiden itu" (Joseph A Kechichian). Sepanjang 1980-an ketegangan kedua negara meningkat. Khomeini menyerukan pembagian kedaulatan atas Mekkah dan Medinah. Selain itu, terjadi bentrokan antara jemaah haji Iran dan aparat keamanan Arab Saudi. Pemerintah Arab Saudi menuduh Teheran berusaha mengambil alih Masjid Agung Mekkah (Ekhtiari Amiri).
Terjadinya kudeta di Bahrain (1981) oleh Front Islam untuk Pembebasan Bahrain dukungan Iran menyebabkan negara-negara Teluk memandang Iran jauh membahayakan dibandingkan dengan Saddam Hussein. Arab Saudi pun mengecap Iran sebagai "teroris Teluk". Hal itu mendorong Arab Saudi dan negara-negara Teluk mendukung Irak dalam perang melawan Iran. Namun, Arab Saudi dan negara-negara Teluk kecele ketika pasukan Irak menginvasi Kuwait.
Inilah awal retorika perang antara kedua negara: Arab Saudi dan Iran. Revolusi Iran, Perang Irak-Iran, dan invasi Irak ke Kuwait memaksa Arab Saudi mengambil langkah untuk lebih mengutamakan stabilitasnya sendiri. Revolusi Iran merupakan reaksi kebijakan pro Barat-nya Shah sehingga Khomeini menerapkan kebijakan opresif terhadap AS. Arab Saudi yang dipandang sebagai sekutu AS di kawasan menjadi sasaran dari kebijakan Iran yang anti AS.
Di tahun-tahun berikutnya, hubungan kedua negara naik turun. Setelah Perang Dingin berakhir, kebijakan Teheran lebih pragmatik, tak lagi ideologis. Perubahan terjadi setelah Ali Akbar Hashemi Rafsanjani dan Mohammad Khatami menjadi presiden. Kebijakan mereka lebih terbuka. Raja Fahd dari Arab Saudi pun berusaha mendekatkan hubungan dengan Iran.
fahd-hashemi-khatami.jpg
Raja Fahd, Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, dan Mohammad Khatami
Akan tetapi, ketegangan kembali terjadi ketika muncul isu nuklir, yakni menyangkut program nuklir yang dimiliki Iran. Bagi Arab Saudi, hal itu merupakan ancaman baru baginya. Arab Saudi sudah memikirkan jika terjadi krisis nuklir antara Barat (AS) dan Iran, pihaknyalah yang pertama akan menjadi korban. Ketegangan itulah yang terus terpelihara sampai terjadi Revolusi Musim Semi yang menyapu Dunia Arab.
Mewujudkan Mimpi
Tampilnya Mahmoud Ahmadinejad sebagai Presiden Iran (2005) mengubah sosok kebijakan luar negeri Iran. Jalan pragmatik-untuk pembangunan ekonomi dan membangun persahabatan serta meningkatkan peran di kawasan yang dijalankan oleh dua presiden pendahulunya yang berhaluan moderat, Akbar Hashemi Rafsanjani dan Mohammad Khatami-ditinggalkan. Ahmadinejad menampilkan kembali wajah Iran yang menggetarkan dan cenderung berteriak lantang.
Salah satu hasilnya, hubungan antara Riyadh dan Teheran kembali menajam. J Matthew McInnis dari American Enterprise Institute berpendapat, tahun 2006 dapat dipandang sebagai puncak kekuasaan Iran di Timur Tengah. Di Irak, Korps Garda Revolusioner Islam Iran memperkokoh landasan kekuasaan pemerintahan baru PM Nuri al-Maliki di Baghdad dengan secara dramatik memperluas pengaruhnya di dalam aparatus keamanan Irak. Mereka juga membangun pasukan proksi untuk menghadapi pasukan koalisi dan AS.
Sejak tahun 2008, Iran terus melakukan strategi soft-power di wilayah lingkungan pengaruhnya dengan menggunakan politik, ekonomi, dan militer untuk mengejar tujuannya. Kehadiran Iran di Lebanon dan Suriah juga diperkuat. Di Lebanon, Iran tetap memberi dukungan kepada kelompok Hezbollah, sementara di Suriah, menjadi penyokong utama Presiden Bashar al-Assad. Dengan demikian, posisi Teheran di Damaskus dan Beirut semakin kokoh (Frederick W Kagan dkk).
ahmadinejad-al-assad.jpg
Mahmoud Ahmadinejad dan Bashar al-Assad
Selama Assad berkuasa di Damaskus, aliansi Suriah dengan Teheran akan tetap kuat. Dominasi Hezbollah di panggung politik Lebanon pada 2011 memantapkan hubungan langsung Teheran dengan Beirut, tanpa perlu perantaraan Damaskus. Dengan demikian, kepentingan Teheran tetap terjamin. Hanya saja, hubungan Iran dengan Hamas yang merupakan mitra utamanya di Palestina merenggang karena Hamas menjauhkan diri dari Teheran dan Damaskus akibat konflik Suriah.
Sapuan revolusi Musim Semi di Dunia Arab menyodorkan kesempatan sekaligus tantangan baru pada Teheran. Jatuhnya rezim Hosni Mubarak, pemimpin Mesir, misalnya, membuka kesempatan baru bagi Iran untuk "bermain" lebih leluasa di Timur Tengah. Iran secara resmi mendukung kelompok anti Mubarak. Karena itu, tumbangnya Mubarak menawarkan kepada Teheran untuk memperbaiki hubungannya dengan Kairo.
Musim Semi Arab, oleh Iran, dilabeli sebagai "Kebangkitan Islam" dengan harapan bisa melanjutkan tujuan Revolusi Iran 1979. Namun, ternyata model Revolusi 1979 tidak dapat diterapkan di negara-negara yang disapu revolusi. Mesir, misalnya, malah kembali di bawah pimpinan militer, Tunisia memilih jalan demokrasi.
Selain itu, impian Iran menikmati buah Musim Semi tampaknya juga tak sepenuhnya terwujud. Arab Saudi dan kemungkinan Turki yang hubungannya dengan Iran memburuk karena konflik Suriah tetap menjadi penghalang akan impian Iran. Apalagi, Arab Saudi yang Sunni akan terus menempatkan diri sebagai penghadang Iran yang Syiah. Keterlibatan Arab Saudi dalam konflik Yaman, oleh Iran, dilihat sebagai bentuk baru agresivitas Riyadh. Dalam kasus Yaman, Iran bersama Hezbollah mendukung kaum pemberontak Houthi.
Gerakan Iran di Irak, Suriah, Lebanon Selatan, dan Yaman itu memicu berdentangnya bel tanda bahaya di negara-negara Teluk yang Sunni, apalagi setelah kaum Syiah di negara-negara itu mulai turun ke jalan. Gerakan ini justru memperkuat negara-negara Teluk merapat pada Arab Saudi.
Sulit dimungkiri, meskipun Teheran tidak ingin menyulut konflik sektarian, hal itu tak terelakkan. Keinginan Iran untuk memimpin Timur Tengah telah dirasakan sebagai ancaman, terutama oleh Arab Saudi dan negara Sunni lain. Itulah yang terjadi sekarang, muncul pengelompokan-pengelompokan berdasarkan garis sektarian yang sangat membahayakan perdamaian dan kedamaian kawasan, juga negara lain.
Menaruh Harapan
Hubungan antara Arab Saudi dan Iran belakangan ini dicirikan antagonisme ideologi-religius, kepentingan geostrategis dan politik yang berkompetisi, serta kompetisi untuk merebut hegemoni atas kawasan Timur Tengah dalam arti yang luas. Demikian mengutip rumusan Paul Aarts dan Joris Van Duijne, keduanya dari Universitas Amsterdam.
Dalam rumusan lain, Ariel Jahner dari Universitas Tufts, ada tiga faktor yang memengaruhi hubungan kedua negara. Pertama, pembagian sektarian antara Wahhabi di Arab Saudi dan Syiah di Iran. Kedua, faktor ekonomi, terutama berkaitan dengan minyak dan OPEC. Ketiga, aspirasi untuk meraih kekuasaan di kawasan Teluk. Ketiganya itu menjadi, katakanlah, dasar terjadinya kompetisi, persaingan, dan konflik kepentingan antara Arab Saudi dan Iran dari waktu ke waktu.
Berbagai peristiwa pasca revolusi Musim Semi Arab adalah contohnya. Setelah dan selama revolusi, permusuhan antara keduanya meningkat, terutama setelah gelombang revolusioner regional melanda Bahrain dan Suriah. Hal itu mengakibatkan konflik langsung antara kepentingan Arab Saudi dan Iran.
Benedetta Berti dan Yoel Guzansky, keduanya dari National Security Studies di Tel Aviv, menyatakan, sejak awal gelombang revolusioner Timur Tengah, Arab Saudi-yang pada umumnya dikenal sebagai bersikap pro status quo dan kekuatan regional reaksioner-bertindak sebagai kekuatan revolusioner, sementara pada saat lain memainkan peran kekuatan kontra revolusioner, tergantung pada kepentingan. Misalnya, Arab Saudi terlibat dalam krisis di Yaman dan merekayasa perjanjian yang menyebabkan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh mundur, dengan imbalan mendapat imunitas hukum.
Arab Saudi juga berperan dalam membangun dukungan politik regional bagi adanya intervensi eksternal terhadap rezim Moammar Khadafy di Libya. Peran kontra revolusionernya ditunjukkan ketika membela rezim Al-Khalifa untuk tetap berkuasa di Bahrain. Sementara itu, peran reaksionernya ditunjukkan di Mesir. Di awal revolusi, Riyadh mendukung Hosni Mubarak. Namun, kemudian memberikan bantuan keuangan kepada rezim militer, baik sebelum maupun setelah berkuasanya Mohammad Morsi dukungan Persaudaraan Muslim.
Yang dilakukan Arab Saudi di Bahrain dan Mesir bertolak belakang dengan yang dilakukan di Suriah. Di Bahrain dan Mesir, Arab Saudi memainkan peran kontra revolusioner, sementara di Suriah, berperan sebagai kekuatan antistatus quo dan mendorong lengsernya Presiden Bashar al-Assad, dukungan Iran, dengan mendukung militer dan oposisi politik.
Apa pun peran yang dimainkan Arab Saudi tersebut membuat hubungannya dengan Iran semakin buruk. Seluruh peran tersebut menunjukkan bahwa Arab Saudi selalu menganggap Iran sebagai ancaman politik dan keamanan regional. Kedua negara, sebenarnya, sama-sama ingin menjadi yang terunggul di kawasan. Namun, keduanya saling "tergantung". Iran tergantung pada Arab Saudi karena alasan-alasan ekonomi-Arab Saudi tetap merupakan kekuatan minyak terbesar di kawasan-sementara Arab Saudi cemas dan khawatir akan potensi nuklir yang dimiliki Iran. Kekuatan nulir itu yang membuat ketidakseimbangan kekuatan antara Arab Saudi dan Iran.
Oleh karena itu, persaingan antara keduanya untuk memperebutkan Arab hearts and minds Timur Tengah, menurut istilah Jahner, akan menyebabkan friksi antardua kekuatan itu pada masa depan. Namun, kepentingan demi keberlangsungan rezim akan menjamin bahwa hubungan keduanya-meski sekarang memanas karena kasus eksekusi mati terhadap ulama Syiah Sheik Nimr al-Nimr oleh Arab Saudi-tidak akan menjerumuskan mereka ke dalam jurang dendam berkepanjangan.
Pulihnya hubungan kedua negara akan berdampak positif terhadap stabilitas Timur Tengah dan dunia karena Arab Saudi menguasai minyak. Apalagi, sekarang kebersatuan mereka sangat dibutuhkan untuk memerangi milisi NIIS yang menebar kematian tanpa mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Gadis cilik asal komunitas Syiah memegang poster bergambar ulama  Nimr al-Nimr dalam sebuah  demonstrasi di Islamabad, Pakistan, Jumat (8/1). Al-Nimr  dieksekusi Pemerintah Arab Saudi, beberapa waktu lalu,  dan menimbulkan ketegangan  antara Riyadh dan Teheran. Gadis cilik asal komunitas Syiah memegang poster bergambar ulama Nimr al-Nimr dalam sebuah demonstrasi di Islamabad, Pakistan, Jumat (8/1). Al-Nimr dieksekusi Pemerintah Arab Saudi, beberapa waktu lalu, dan menimbulkan ketegangan antara Riyadh dan Teheran. (Reuters/Faisal Mahmood)
Kompas, Rabu, 6 Januari 2016 (Bagian 1: Sahabat Lama)
Kompas, Kamis, 7 Januari 2016 (Bagian 2: Setelah Revolusi 1979)
Kompas, Jumat, 8 Januari 2016 (Bagian 3: Mewujudkan Mimpi)
Kompas, Sabtu, 9 Januari 2016 (Bagian 4: Menaruh Harapan)

No comments:

Post a Comment