Jalan HR Mohamad Mangoendiprodjo, Sidoarjo, merupakan salah satu jalan utama yang menghubungkan Surabaya dengan Sidoarjo dan kota-kota lainnya di selatan Sidoarjo. Namun, profil tokoh yang dijadikan nama jalan ini sepertinya kurang terdengar dibandingkan dengan pemimpin perang lainnya, misalnya Mayjen Sungkono dan Jendral Urip Sumoharjo. Berikut adalah cerita singkat mengenai profil HR Mohamad Mangundiprojo (ejaan baru).
Haji Raden Mohamad Mangundiprojo lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada 5 Januari 1905. Beliau adalah cicit Setyodiwiryo atau Kiai Ngali Muntoha, salah seorang keturunan Sultan Demak. Setyodiwiryo sendiri merupakan teman seperjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda.
Mohamad, panggilan akrab HR Mohamad Mangundiprojo, saat kecilnya sudah mengenyam pendidikan yang diwarnai adat sopan santun mengingat suasana lingkungan keluarga masih diwarnai tradisi jawa. Menyadari masa depan seorang anak banyak ditentukan oleh pendidikan dan faktor keturunan, pada tahun 1913, Sastromarjono, ayah Mohamad, terdorong untuk menyekolahkan anaknya di Eurpese Lager School (ELS) di Solo. Namun, pada tahun 1915, Mohamad dipindahkan ke ELS di Sragen, dengan pertimbangan pendidikan agamanya. Di Sragen, Mohamad bisa dititipkan di rumah kakak ayahnya, yang seorang ulama.
Pada tahun 1921, Mohamad lulus dari ELS dan melanjutkan ke Sekolah Teknik di Yogyakarta. Namun, Mohamad tidak sampai lulus di sekolah ini karena tidak berbakat di bidang teknik. Mohamad melanjutkan sekolahnya di Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA) di Madiun dan lulus pada tahun 1927.
Karirnya sebagai pamong praja dimulai sebagai pelayan wedana Gorang Gareng di Madiun, Mantri Polisi Lapangan di Lamongan, Wakil Kepala Jaksa Kalisosok Surabaya, dan pada tahun 1934 menjadi Asisten Wedana Diwek di Jombang.
Pada masa pendudukan Jepang, Mohamad terpanggil untuk mengikuti pendidikan PETA dan diangkat menjadi daidancho (komandan batalyon) di Daidan III Sidoarjo.
Pada 4 September 1945, Mohamad turut membentuk BKR di Jawa Timur, yang terbagi menjadi tiga eselon, yakni BKR Jawa Timur, BKR Karesidenan Surabaya, dan BKR Kota Surabaya. BKR Jawa Timur diketuai oleh Mustopo, sementara Mohamad menjadi bendahara dan Kepala Urusan Angkatan Darat.
BKR Karesidenan Surabaya diketuai oleh Abdul Wahab. Saat penyerangan Markas Kempetai 1-2 Oktober 1945, Abdul Wahab tertembak pahanya sehingga tidak bisa melanjutkan perjuangan. Posisi Abdul Wahab setelah itu digantikan oleh wakilnya, RM Yonosewoyo. Sedangkan BKR Kota Surabaya dipimpin oleh Sungkono.
Selain menjadi salah satu pemimpin di BKR, Mohamad juga menjadi wakil ketua Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang diketuai Dul Arnowo.
Peristiwa 10 November 1945
Bagaimana keterlibatan Mohamad Mangundiprojo dalam perang besar 10 November 1945? Berikut kronologis menjelang hingga pasca perang besar 10 November 1945:
24 Oktober 1945: Armada laut Inggris tiba di perairan Surabaya, beberapa di antaranya bahkan langsung mendarat di Tanjung Perak. Pasukan Inggris itu dipimpin oleh Brigadir Jendral AWS Mallaby, yang bertugas mengangkut keluar para tawanan perang asing dari Surabaya, baik orang asing yang ditawan oleh Jepang maupun tentara Jepang yang sudah takluk. Dengan diantar dr Sugiri, Mallaby mendatangi Kantor Gubernur. Di pusat pemerintahan Surabaya itu Mallaby bertemu dengan Mustopo, M Yasin, dan Sutomo (Bung Tomo). Sebagai Ketua BKR, Mustopo kurang nyaman dengan hadirnya pasukan asing di tanah Surabaya. Karena itu, saat merundingkan bagaimana cara pasukan Mallaby bisa menunaikan tugasnya dalam menjemput tawanan, Mustopo mengusulkan pasukan Indonesia yang akan mengantar para tawanan ke pelabuhan. Mallaby menolak usulan tersebut dan bersikeras memasukkan pasukannya ke dalam kota.
drg Mustopo, Dul Arnowo, dan Sutomo (Bung Tomo)
Mohamad Yasin
Beberapa kali perundingan di hari berikutnya gagal mendapatkan titik temu. Mallaby membawa pasukannya masuk kota dan menduduki tempat-tempat strategis. Rakyat Surabaya pun marah dengan kehadiran pasukan asing itu. Mustopo mengatur siasat perang kombinasi himitsu senso sen (perang rahasia) dan senga sen (perang kota). Sebagai akibatnya, pasukan Inggris terisolasi di lokasi-lokasi tertentu akibat blokade rakyat Surabaya.
28 Oktober 1945: Melihat pasukannya dalam bahaya, Mallaby meminta bantuan untuk mendatangan tokoh kuat di luar Surabaya untuk bisa merundingkan gencatan senjata. Maka dari pusat didatangkan Sukarno, Hatta, dan Amir Syarifuddin dengan pesawat terbang. Setibanya di Lapangan Udara Morokrembangan, Surabaya, ketiganya segera dilarikan ke rumah Residen Sudirman di Van Sandicctstraat (sekarang Jalan Residen Sudirman).
29 Oktober 1945: Ketiga petinggi negara datang ke rumah dinas Gubernur (Grahadi). Sebelum Mallaby datang, ketiganya dipertemukan dengan Mustopo, yang dianggap sebagai pemicu pertempuran dengan pasukan Inggris di Surabaya. Karena dinilai bersalah, Mustopo dipecat dari jabatannya oleh Presiden Sukarno dan dipindahkan ke Jakarta menjadi penasihat Presiden. Jabatan Panglima TKR Jawa Timur secara otomatis digantikan oleh Urusan Angkatan Darat (dan Keuangan), yakni Mohamad Mangudiprojo.
[Belakangan, pengangkatan otomatis mendapatkan perlawanan dari Ketua BKR Karesidenan Surabaya, RM Yonosewoyo, yang merasa lebih cocok menggantikan posisi Mustopo sebagai Ketua BKR Jatim.]
Selanjutnya dilakukan perundingan dengan Mallaby yang intinya percepatan dilakukannya gencatan senjata. Seruan gencatan senjata disiarkan melalui Radio Pemberontakan Rakyat Surabaya di Jalan Mawar 10.
30 Oktober 1945: Perundingan lebih lanjut membahas pengangkutan tawanan dilakukan di Kantor Gubernur. Dalam perundingan itu hadir pula Mayor Jendral DC Hawthorn yang datang dari Jakarta hari itu juga. Sebagai hasilnya, pasukan Mallaby diperbolehkan mengangkut tawanan dari setiap titik tempat tawanan dengan mobil-mobil pasukan Inggris. Untuk mengawasi pelaksanaan pengangkutan itu dibentuklah kontak biro yang beranggotakan petinggi pasukan Inggris dan pemerintah Kota Surabaya. Mohamad Mangundiprojo termasuk kontak biro tersebut, bersama Residen Sudirman, Dul Arnowo, Atmaji, Sungkono, Suyono, Kusnandar, Ruslan Abdulgani, dan TD Kundan.
Setelah kesepakatan ditandatangani oleh Hawthorn dan Sukarno, maka Hawthorn dan rombongan Presiden Sukarno pun meninggalkan Surabaya siang itu juga, kembali ke Jakarta. Kontak biro mulai bekerja untuk mengamankan situasi dengan mendatangi area yang masih menjadi ajang baku tembak senja hari itu. Dengan beberapa mobil dari gedung Gubernur mereka menuju ke Jembatan Merah. Di Societeitstraat (sekarang Jalan Veteran), rombongan beberapa kali terhadang pemuda-pemuda Surabaya. Dul Arnowo dan Residen Sudirman memberikan penerangan kepada para pemuda itu.
Gedung Internatio di sebelah barat lapangan Jembatan Merah diduduki tentara Inggris, yang dikurung oleh rakyat Surabaya. Namun, pasukan Gurkha itu masih terus memberikan perlawanan. Dari kontak biro diutus Kapten Shaw, Mohamad, dan TD Kundan (warga Surabaya keturunan India) untuk masuk ke gedung dan bernegosiasi. Belum ada 15 menit, TD Kundan tiba-tiba lari keluar dan berteriak menyuruh semua orang di lapangan berlindung. Teriakan Kundan segera diikuti dengan rentetan tembakan dari dalam gedung. Baku tembak pun terjadi. Anggota kontak biro pun lari menyelamatkan diri. Mohamad disekap di dalam gedung.
Gedung Internatio
Jembatan Merah
31 Oktober 1945: Mobil Mallaby ditemukan hangus terbakar. Sang jendral ditemukan tewas di dalamnya. Mohamad dilepaskan dari penyekapan. (Brata, 2012)
Brigadir Jendral AWS Mallaby
Kondisi mobil yang ditumpangi Mallaby, setelah terbakar
9 November 1945: Mayor Jendral EC Mansergh, pengganti Mallaby, mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata tanpa syarat. Ultimatum ini ditolak mentah-mentah oleh rakyat Surabaya.
Mayor Jendral EC Mansergh
10 November 1945: Inggris membombardir Surabaya dari darat, laut, dan udara. Semula Inggris mengira perang tidak akan berkepanjangan, tetapi ternyata perang tersebut berlangsung selama 22 hari. Pada akhir November 1945, para pejuang Indonesia baru terdesak keluar dari Gunungsari dan Waru. Pada Desember 1945, masih ada beberapa perlawanan di Gedangan dan Krian. Selama pertempuran itu, 6.315 pejuang Indonesia tewas. Mohamad sendiri terluka pada bagian pelipis akibat pecahan mortir, namun tetap memimpin pertempuran melawan sekutu.
Karena perannya tersebut, Mohamad diangkat menjadi Kepala Komandemen III TKR Jawa Timur dengan pangkat Jenderal Mayor, berdasarkan Surat Keputusan Kepala Markas Tertinggi TKR No. 44/M.T tanggal 19 Desember 19451.
Mayor Sabarudin
Mohamad disebutkan memiliki andil besar dalam pengambilalihan aset pribadi orang-orang Belanda yang tersimpan di Bank Escompto senilai 100 juta gulden, yang kemudian digunakan untuk dana perjuangan. Informasi keberadaan uang tersebut diperoleh dari dr Samsi Sastrawidagda. Karena hubungan dr Samsi yang dekat dengan pemimpin pemerintahan Jepang di Surabaya, ia berhasil membujuk mereka untuk menyerahkan uang tersebut pada pemerintah Republik Indonesia. Maka disusunlah rencana pengambilan dana tersebut oleh BKR dengan “kekerasan”. Operasi “penggedoran” berjalan lancar. Berpeti-peti uang gulden dalam waktu singkat dipindahkan dari bank ke Markas BKR di gedung HVA (sekarang gedung PTP Jalan Merak). Menjelang pendaratan tentara Inggris di Surabaya, Mohamad memindahkan uang tersebut keluar kota, dititipkan pada seorang haji di Porong, Sidoarjo, kenalan baik Mohamad.
Dengan dana sebesar itu, posisi Mohamad memiliki pengaruh besar di kalangan organisasi bersenjata di Surabaya. Sebab, melalui Mohamad, tiap pasukan di Surabaya bisa memperoleh bantuan keuangan.
Mohamad pernah mengalami konflik dengan Mayor Zainal Sabarudin Nasution. Nama mayor ini cukup ditakuti di Karesidenan Surabaya pada masa perang kemerdekaan dan dijuluki Macan Sidoarjo karena sifatnya yang kejam dan bengis. Saat masih di Daidan III Buduran Sidoarjo, sebenarnya Sabarudin shodancho (komandan peleton) bawahan Mohamad.
Sabarudin paling sering mendatangi Markas BKR Jawa Timur untuk meminta dana perjuangan. Mohamad sebagai bendahara BKR menolak permintaan itu sebelum Sabarudin dapat mempertanggungjawabkan uang yang telah diterima sebelumnya. Kesal karena permintaannya ditolak, Sabarudin pun menyebar fitnah yang menyebut Mohamad korupsi dan mata-mata Belanda. Mohamad pada awalnya diam saja. Namun, begitu mendengar Bupati Sidoarjo dan Mojokerto ditawan Sabarudin, kesabarannya habis. Sebagai Ketua Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia (DPRI), Mohamad membuat surat perintah penangkapan Sabarudin. Sabarudin melaporkan masalah surat itu ke Urip Sumoharjo di MBT Yogyakarta. Urip kemudian menelepon Mohamad untuk meminta pencabutan surat perintah. Mohamad menjawab bahwa sebagai tentara, dia wajib menaati perintah Urip, tetapi sebagai ketua DPRI yang bertanggung jawab atas kondisi pertahanan dan keamanan di Surabaya, dia terpaksa menolak perintah tersebut. Urip kemudian meminta Mohamad segera datang ke MBT Yogyakarta untuk menjelaskan dan mempertanggungjawabkan tindakannya. Pada 29 Januari 1946, Mohamad menyanggupi untuk datang.
Ternyata, informasi kedatangan Mohamad ke MBT diketahui oleh Sabarudin. Pasukan Sabarudin berusaha mendahului Mohamad ke MBT. Pagi hari, sebelum Mohamad datang, pasukan Sabarudin sudah melumpuhkan pasukan kawal MBT. Sabarudin memang memiliki pasukan yang kuat. Batalyon PTKR Sabarudin bukan saja memiliki persenjataan yang lengkap untuk ukuran masa itu, tetapi juga memiliki anggota pasukan yang kompak. Mohamad yang merasa dirinya sudah terkepung tetap membulatkan tekad untuk menghadap para pemimpin TKR. Mohamad harus menunggu di ruang tunggu, karena saat itu Jenderal Sudirman dan Letjen Urip Sumoharjo sedang memimpin rapat staf. Di ruang tunggu tersebut, Mohamad didatangi tiga perwira yang merupakan anak buah Sabarudin. Terjadilah pergumulan tiga lawan satu. Melihat ketiga perwira tadi kewalahan menghadapi Mohamad, datang tiga orang anak buah Sabarudin lainnya untuk melumpuhkannya. Beberapa kali tembakan sempat dilepaskan, tetapi tidak berhasil merobohkan Mohamad. Mohamad baru jatuh tersungkur setelah sebuah hantaman popor senjata mengenai tengkuknya. Tubuh Mohamad diseret ke halaman MBT, dianiaya dengan tendangan, dan kemudian dilempar ke atas truk.
Ajudan Mohamad, Kapten Susilo, dan supir Kurdi yang menyertai Mohamad saat itu juga sudah dilucuti dan diangkut ke atas truk yang sama, dan kemudian dilarikan ke Jawa Timur.
Aksi pasukan Sabarudin di MBT, mulai dari melumpuhkan pasukan kawal hingga ke penculikan Mohamad, dilakukan dengan cepat dan rapi, sehingga para perwira yang sedang rapat tidak mengetahui. Mereka baru tahu setelah mendengar bunyi letusan senjata beberapa kali. Setelah situasi reda, baru para perwira itu meninggalkan ruang rapat untuk melihat situasi di luar. Tetapi, saat mereka keluar, pasukan Sabarudin sudah kabur membawa Mohamad.
Kabar keributan dan penculikan itu terdengar oleh Presiden, yang lantas memerintahkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Divisi VI yang dipimpin Kolonel Sudiro untuk menyelamatkan Mohamad. Sudiro kemudian memerintahkan Resimen Madiun, yang dipimpin Letkol Sumantri, dan Resimen Kediri, yang dipimpin Letkol Surachmad, untuk melakukan pencegatan terhadap konvoi Sabarudin tersebut.
Konvoi Sabarudin berhasil lolos dari pencegatan di Madiun. Akhirnya, pasukan Surachmad, yakni kompi Polisi Tentara yang dipimpin Heri Harsono berhasil mencegat konvoi tersebut di jembatan Kertosono. Mangundiprojo pun dibebaskan dan pasukan Sabarudin dibiarkan kembali ke markasnya di Pacet, Mojokerto. Mohamad kemudian dibawa ke Kediri untuk diobati. (Baiquni, 2013)
MBT, dan DPRI (Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia) yang bermarkas di Mojokerto tidak tinggal diam melihat Mohamad, selaku ketua DPRI diperlakukan seperti itu. Dua hari setelah penculikan, DPRI mengirimkan pasukan gabungan yang terdiri atas Pasukan Perjuangan Polisi, Pasukan Pesindo, Hizbullah, dan Laskar Minyak, untuk menyerang markas Sabarudin di Pacet (Rahardja, 2015).
Pasukan Sabarudin menyerah tanpa perlawanan berarti terhadap sergapan pasukan gabungan tersebut. Sedangkan Sabarudin dan salah seorang tangan kanannya, Ali Umar, yang sempat melarikan diri, dapat ditangkap di simpang empat Mojosari, antara Mojokerto dan Porong. Kapten Susilo dan Kopral Kurdi yang ditawan saat penculikan di MBT dapat dibebaskan dalam penyergapan itu (Brata, 2008).
[Versi yang lain mengaitkan dengan perseteruan antara Mohamad dan RM Yonosewoyo, yang adalah pemimpin Sabarudin di jajaran TKR Karesidenan Surabaya. Yonosewoyo pernah memerintahkan penangkapan dan pembunuhan Mustopo di akhir September 1945, dengan alasan Mustopo, selaku pemimpin TKR Jawa Timur mentalnya sudah tidak sehat lagi sehingga menyulitkan bawahan dalam melaksanakan tugasnya. Namun, Sabarudin tidak sampai membunuh Mustopo karena merasa berhutang budi. Saat Sabarudin akan dikirim ke Bogor untuk dihukum mati oleh Jepang, Mustopo pernah menolong dan membebaskannya. Sabarudin kemudian membawa Mustopo ke hadapan tiga pemimpin bangsa yang datang ke Surabaya untuk mengatur gencatan senjata (Brata, 2008).
Pengangkatan otomatis Mohamad sebagai Kepala TKR Jawa Timur ditentang oleh Yonosewoyo. Menurutnya, masalah pengganti Mustopo harus dicari melalui jalur pemilihan yang demokratis. Perseteruan ini yang kemudian ikut melatarbelakangi aksi penculikan oleh Sabarudin. Yonosewoyo mengaku bertanggung jawab atas insiden tersebut sehingga Mahkamah Tentara Agung, melalui Surat Keputusan No. 1/1947 tanggal 16 Mei 1947, menjatuhkan hukuman penjara 18 bulan dan memberhentikan Yonosewoyo dari jabatan dan pangkat militernya.]
Pasca militer
Setelah mengakhiri karir militer, Mohamad ditugaskan menjadi Bupati Ponorogo dengan masa bakti 1950-1955. Salah satu misinya adalah mengamankan daerah Madiun pasca pemberontakan PKI 1948 (Nur Jannah, 2015). Mohamad selanjutnya menjadi Residen (Gubernur) Lampung pada 1955 hingga pensiun pada 1962. Sejak 1971, Mohamad terpilih menjadi Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai utusan daerah Lampung hingga 1992.
Mohamad Mangundiprojo tutup usia pada 13 Desember 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bandar Lampung.
Pada 14 Agustus 1986, Mohamad dianugerahi Bintang Mahaputra dari Presiden Soeharto di Istana Negara, Jakarta, sebagai penghargaan tertinggi atas jasa-jasanya pada bangsa dan negara Republik Indonesia. Presiden Joko Widodo menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Mohamad di Istana Negara, Jakarta, pada 7 November 2014. Pemberian gelar pahlawan nasional itu didasarkan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/Tahun 2014 tanggal 6 November 2014 (Setneg, 2014).
Sebuah monumen didirikan di daerah Buduran, Sidoarjo, tepatnya di sebelah utara jalan layang Buduran, untuk mengenang jasa Mohamad. Monumen yang dibangun dengan biaya Rp 50 juta dari APBD II 1994/1995 ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur HM Basofi Sudirman, pada 31 Januari 1995, bertepatan dengan peringatan hari jadi ke-136 Kabupaten Sidoarjo. (Pusaka Jawatimuran, 2012)
Monumen HR Mohamad Mangundiprojo di Buduran, Sidoarjo
Indroyono Soesilo, Menko Kemaritiman di masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebelum akhirnya diganti oleh Rizal Ramli, merupakan cucu dari Mohamad Mangundiprojo.
Referensi
Baiquni A (17 Agustus 2013) Mayor Sabarudin dan noda hitam perjuangan kemerdekaan. http://www.merdeka.com/peristiwa/mayor-sabarudin-dan-noda-hitam-perjuangan-kemerdekaan.html Diakses: 16 Agustus 2015
Brata S (26 Oktober 2008) Petualangan Sabarudin. http://supartobrata.com/wp-content/download/PetualanganSabarudi1.pdf Diakses: 16 Agustus 2015
Brata S (13 November 2010) Kronologis Peristiwa di Surabaya Agustus-Desember 1945.
http://supartobrata.com/?p=692 Diakses: 16 Agustus 2015
Brata S (1 Agustus 2012) Erata Kronologis Peristiwa di Surabaya Agustus-Desember 1945.
http://supartobrata.com/?p=932 Diakses: 16 Agustus 2015
Fathurrohman MN (2014) Biografi HR Muhammad Mangundiprojo – Pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). http://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2014/11/biografi-hr-muhammad-mangundiprojo-pimpinan-tentara-keamanan-rakyat-TKR.html Diakses: 15 Agustus 2015
Moehkardi (1993) R. Mohamad dalam Revolusi 1945 Surabaya: Sebuah Biografi. Jakarta: Lima Sekawan
Nur Jannah (20 Februari 2015) Mohammad Mangundiprojo Dapat Gelar Pahlawan Nasional. Lampost.co. http://lampost.co/berita/mohammad-mangundiprojo-dapat-gelar-pahlawan-nasional Diakses: 15 Agustus 2015
Pusaka Jawatimuran (8 Juli 2012) Monumen H.R. Mangoendiprodjo, Kabupaten Sidoarjo. https://jawatimuran.wordpress.com/2012/07/08/monumen-h-r-mangoendiprojo-kabupaten-sidoarjo Diakses: 16 Agustus 2015
Rahardja B (6 Februari 2015) Kisah Mayor Sabarudin, Sosok Kelam Pejuang Kemerdekaan. http://budyrahardja.blogspot.com/2015/02/kisah-mayor-sabarudin-sosok-kelam.html Diakses: 17 Agustus 2015
Setneg RI (10 November 2014) Presiden Jokowi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional, Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia.
TNI (17 November 2014) Pangdam V/Brawijaya Terima Duplikat Piagam Gelar Pahlawan Nasional HR Mohamad Mangoendiprodjo. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=8310 Diakses: 16 Agustus 2015
Catatan tambahan
[1] Dalam daftar pimpinan Kodam V Brawijaya, disebutkan nama Jenderal Mayor HR Muchamad Mangoen Mihardjo, Kepala Komandemen III Jawa Timur tahun 1945, di urutan pertama. Apakah ini orang yang sama? http://www.kodam5-brawijaya.mil.id/static/13/sejarah-kodam-vbrawijaya.html
Detik.com juga menggunakan nama HR Muhammad Mangoen Mihardjo dalam beritanya:
No comments:
Post a Comment