Oleh JAMES LUHULIMA
“Tunjukkan rasa hormat!”
Itu diucapkan oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama untuk menghentikan pendukung Hillary Clinton yang menunjukkan rasa permusuhan terhadap seorang veteran perang AS pendukung Donald Trump menyelinap ke pertemuan Partai Demokrat di Charlotte, North Carolina, AS, 5 November lalu.
Orang tua itu membawa poster bertuliskan “Trump”, dan dengan nekat menyuruh para pendukung Hillary Clinton untuk diam. Para pendukung Clinton langsung meneriakkan “wuuu…” kepada pendukung Trump yang muncul di acara kampanye mereka. Namun, Presiden Obama yang pidatonya sempat terpotong karena ulah pendukung Trump itu tidak marah, malah segera mencoba menghentikan teriakan “wuuu…” itu.
Seorang pendukung Donald Trump menyusup dan mengganggu pidato Presiden Amerika Serikat Barack Obama dalam acara kampanye untuk Hillary Clinton di Fayetteville State University, Fayetteville, North Carolina, Amerika Serikat, 4 November 2016. (REUTERS/Jonathan Ernst)
Ketika massa menjadi tidak terkendali, Obama dengan suara tegas meminta agar massa menahan diri. Ia dengan suara keras mengatakan, “Tenang, tenang!”, sebelum meminta mereka untuk diam. “Hei! Dengarkan! Saya meminta kalian untuk fokus, tetapi kalian tidak fokus saat ini. Dengarkan apa yang saya katakan. Tenang! Tenang! Tenang! Tenang! Semua duduk, dan diamlah untuk sesaat,” ujar Obama.
Setelah berhasil mendapatkan perhatian dari massa kembali, Obama dengan suara lantang mengatakan, “Kalian menghadapi seorang tua yang mendukung calonnya. Ia tidak berbuat apa-apa. Oleh karena itu, kalian tidak perlu mengkhawatirkan dia. Inilah yang saya maksud dengan orang-orang yang tidak fokus.”
Presiden Obama kemudian membela hak orang tua itu untuk memprotes dan mengingatkan mereka bahwa Amerika Serikat adalah negara yang menghormati kebebasan untuk berbicara. Itu yang pertama dan yang kedua, ia telah membuktikan diri sebagai militer, serta kita harus menghormatinya.
Yang ketiga, ia adalah orang tua dan kita harus menghormati orang tua. Dan, yang keempat, itu berhubungan dengan pemilihan umum, yakni berikan suara kalian, jangan hanya meneriakkan “wuuu…”.
Pensiunan tentara yang dipercaya sebagai anggota 101st Airborne itu dengan penuh hormat dikawal meninggalkan tempat pertemuan itu.
Sikap yang diperlihatkan Presiden Obama itu sangat menarik. Ia mengajarkan secara langsung bagaimana rasa hormat itu harus ditunjukkan. Pelajaran itu sangat penting bagi kita semua. Oleh karena dalam beberapa tahun terakhir ini, kita menyaksikan sendiri dalam kehidupan sehari-hari bagaimana rasa hormat itu seakan sudah hilang dari adat istiadat orang Indonesia. Tidak semua memang, kita tidak boleh menggeneralisasi, tetapi dalam keseharian kita sangat mudah kita temui orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menunjukkan rasa hormat, terutama di media sosial. Mungkin karena tidak berkomunikasi secara langsung atau tidak bertatap muka, orang cenderung melampiaskan perasaannya tanpa rasa hormat sedikit pun.
Kritik itu perlu
Di Indonesia, jangankan orang tua atau veteran tentara, seorang presiden pun, yang seharusnya dihormati, sering kali tidak mendapatkan penghormatan sebagaimana layaknya. Padahal, seorang presiden itu dipilih untuk menjadi pemimpin oleh sedikitnya 70 juta suara pemilih. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika kita diminta untuk memperlakukan presiden dengan rasa hormat. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Sejak Presiden Jokowi dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober 2014, tidak terhitung lagi banyaknya kritik yang dilontarkan kepadanya tanpa rasa hormat sama sekali.
Ungkapan ini jangan diartikan bahwa Presiden tidak boleh dikritik. Boleh, bahkan kritik harus disampaikan agar Presiden mendapatkan gambaran yang utuh tentang akibat yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Namun, tentunya kritik itu disampaikan dengan cara-cara yang pantas. Kritik itu mungkin tidak perlu konstruktif karena tidak semua bisa melakukannya, tetapi menyampaikan kritik dengan rasa hormat semua orang seharusnya dapat melakukannya.
Bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah dan penuh sopan santun. Di dalam sopan santun, tercakup sikap saling menghormati, menggunakan bahasa yang baik dan tutur kata yang halus. Kita sungguh tidak boleh kehilangan jati diri bangsa Indonesia itu.
Dalam pembukaan Musyawarah Nasional VIII Lembaga Dakwah Islam Indonesia di Balai Kartini, Jakarta, 9 November lalu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan kegundahannya terhadap percakapan yang saling menghujat, saling mengejek, saling menjelekkan, dan saling memaki di media sosial. Bahkan juga antar-umat Islam.
Menurut Presiden Jokowi, debat atau diskusi tak beretika antar-umat Islam sudah terlalu sering terjadi di media sosial. “Jika hal itu dibiarkan, tidak akan ada yang sadar ketika infiltrasii terjadi,” ujar Presiden.
Presiden Jokowi juga menekankan bahwa debat tak beretika di media sosial itu tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia, yang dikenal penuh sopan santun.
Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi juga mengungkapkan bahwa dirinya sudah meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika membuat aturan atau etika berinternet. Namun, ia juga menegaskan, “Saua kira, kalau kita bersama-sama, melakukan itu, saya yakin yang jelek-jelek di media sosial akan menjadi baik.”
Kompas, Sabtu, 12 November 2016