Kisah Dua Srikandi Pilot Pertama TNI AU
Oleh NINA SUSILO dan IWAN SANTOSA
Langit gelap pekat di atas Jesselton, kini kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, tahun 1964, ketika pesawat C-130 Hercules Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara terbang malam dan menjatuhkan ribuan selebaran propaganda menentang pembentukan Malaysia. Dalam pesawat yang menjalankan misi rahasia tersebut, seorang perempuan berseragam penerbang menebar selebaran di atas wilayah koloni Inggris yang kelak menjadi Negara Bagian Sabah, Malaysia.
Lulu Lugiyati (kanan) dan Herdini (tengah) dilantik menjadi penerbang perempuan pertama di TNI AU oleh Komandan Wing saat itu. Hanya dua dari tiga calon penerbang perempuan yang lulus di masa itu dan selanjutnya bertugas sebagai penerbang solo dengan pesawat ringan Piper Cub. (Arsip Keluarga Herdini)
Perempuan manis berperawakan mungil dengan tinggi 151 sentimeter itu bernama Letnan Satu Lulu Lugiyati (23). Dia adalah satu dari dua perempuan pilot pertama TNI AU bersama Lettu Herdini Suryanto (26).
"Saya diajak Pak Leo Wattimena. Ada penerbang dan kopilot. Saya menjadi kru tambahan dalam operasi tersebut. Seusai operasi, saya membuat laporan dan bertanya kepada Pak Leo Wattimena, 'Apa sandi operasinya?' Dijawab, 'Kasih nama kamu.' Jadilah operasi itu disebut Operasi Lulu," kata Lulu Lugiyati sambil terkekeh mengenang peristiwa 52 tahun silam.
Lulu dan Herdini adalah dua dari 30 anggota Wanita Angkatan Udara (Wara) TNI AU angkatan pertama yang diterima tahun 1963. Mereka juga perempuan pilot pertama Indonesia sejak merdeka tahun 1945.
Adapun dalam pengabdian militer, TNI Angkatan Darat dan Angkatan Laut sudah lebih dulu menerima perempuan sebagai prajurit.
Pada kesempatan lain, Lulu, yang lahir di Kuningan, Jawa Barat, 25 November 1941, mengikuti misi terbang dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ke perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak untuk menyebar selebaran propaganda anti Inggris dan pembentukan Malaysia di sekitar Sri Aman, Entikong, dan wilayah selatan Kota Kuching, Sarawak. Lulu lupa mereka menggunakan pesawat pengebom B-25 Mitchell atau pesawat amfibi Grumman Albatros. Yang jelas, seusai misi, Lulu tertidur di pesawat karena kelelahan. Setelah dijemput di pangkalan udara di Pontianak, dia pun tidur sendirian di mess TNI AD di Pontianak, Kalimantan Barat.
Adapun Herdini, yang lahir di Semarang, Jawa Tengah, 19 April 1938, mengenang masa-masa mereka sering terbang dari Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, ke Bandung atau Bogor, Jawa Barat. "Pesawat yang kami bawa tidak memiliki komunikasi radio ke tower (menara pengatur lalu lintas udara). Kami pun menggunakan kompas untuk menentukan arah. Lama-kelamaan dipilih jalan pintas, yakni mengikuti jalur kereta api, jalan raya, dan tanda-tanda alam sebagai penanda (checkpoint) jika terbang ke Bandung," kata Herdini yang pernah mengikuti pendidikan intelijen militer.
Suatu ketika, Herdini pernah tidak mulus mendaratkan pesawat ringan Piper Cub sehingga melintir karena ketakutan melihat ada pesawat DC-3 Dakota yang mau mendarat di Halim. Menurut Herdini, instrukturnya ketika itu mengatakan, wajahnya seputih kertas saat keluar dari kokpit.
Pada kesempatan lain, dia harus menghindari semburan jet pesawat pengebom Tu-16. Begitulah suka dan duka perempuan penerbang TNI AU.
Lulu menikmati masa pacarannya dengan seorang perwira RPKAD, cikal bakal Komando Pasukan Khusus, yang berdinas di Irian Barat dengan saling berkirim surat via penerbang Hercules TNI AU yang berangkat dari Halim Perdanakusuma ke Papua pergi-pulang setiap pekan.
Menjadi pelopor
Apa yang mendorong mereka berdua menjadi Wara dan pilot TNI AU? Bermula pada 1963, Lulu, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, melihat potongan iklan surat kabar tentang penerimaan Wara angkatan pertama TNI AU yang ditempel di dinding kampus di Jalan Braga, Bandung. Adapun Herdini, mahasiswi tingkat akhir Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mendapat informasi dari teman-teman di kelompok terbang layang di lingkungan TNI AU tentang terbukanya kesempatan menjadi Wara angkatan pertama.
"Kalau bukan angkatan pertama, belum tentu saya berminat," kenang Lulu. "Iya kalau bukan yang pertama, saya juga tidak antusias," Herdini menimpali.
Jadilah mereka mengikuti seleksi penerimaan di Bandung dan Yogyakarta pada Februari 1963. Singkat cerita, 30 anggota Wara mengikuti pendidikan di Kaliurang, Yogyakarta, April-Agustus 1963 atau lima bulan pendidikan dasar, lalu dilantik sebagai Letnan Dua atau Letnan Satu tergantung tingkat sarjana muda atau sarjana penuh saat mereka mendaftar.
Herdini Suryanto (kiri) dan Lulu Lugiyati (kanan) adalah dua Wanita Angkatan Udara pertama yang juga menjadi perempuan penerbang pertama TNI AU. Tahun 1963, mereka digembleng sebagai Wara angkatan pertama dan tahun 1964 keduanya lulus dan mendapatkan wing penerbang. Saat itu, pesawat yang digunakan keduanya adalah pesawat ringan Piper Cub. (Kompas/Nina Susilo)
Foto perempuan penerbang pertama TNI AU, Lulu Lugiyati dan Herdini Suryanto. (Koleksi Keluarga Herdini Suryanto)
Herdini Suryanto (kiri) dan Lulu Lugiyati (kanan) adalah dua Wanita Angkatan Udara pertama yang juga menjadi perempuan penerbang pertama TNI AU. Tahun 1963, mereka digembleng sebagai Wara angkatan pertama dan tahun 1964 keduanya lulus dan mendapatkan wing penerbang. Saat itu, pesawat yang digunakan keduanya adalah pesawat ringan Piper Cub. (Kompas/Nina Susilo)
Bagi Lulu dan Herdini, pendidikan militer ketika itu kombinasi petualangan dan kegembiraan karena kehidupan mereka berkecukupan dijamin negara yang secara perekonomian sedang susah.
Setengah dipaksa, mereka diajarkan mengemudikan Jip Gaz buatan Uni Soviet hingga suatu ketika sempat nyelonong ke sawah karena gugup. Kebutuhan makan dan minum mereka tercukupi dan tinggal di asrama yang dikelola pengurus berkebangsaan Jepang.
Pakaian dalam mereka pun bermerek ternama yang merupakan barang mewah kala itu. Susu disediakan melimpah agar nutrisi terpenuhi. Kalau ingin camilan, mereka biasa membawa potongan kecil gula aren ke kelas agar tidak mengantuk dan kedinginan.
Sekolah penerbang
Seiring kelulusan pendidikan dasar militer, terbuka pula kesempatan menjadi pilot. Dari 30 anggota Wara, ada tiga orang yang mengikuti pendidikan pilot dengan dua di antaranya berhasil lulus dan menghadiri hari pelantikan (wing day), yakni Lulu dan Herdini.
"Ketika itu, kami hanya terbang 10 jam bersama instruktur. Langsung dilepas terbang solo. Pernah terbang cross country di beberapa tempat di Jawa," kata Lulu yang mesti mengganjal kursinya dengan bantal agar bisa menginjak pedal rudder saat mengendalikan pesawat ringan Piper Cub L-4J.
Herdini menambahkan, mereka juga harus berjalan zig-zag saat melaju (taxi) di landasan menuju titik lepas landas karena kokpit Piper Cub mendongak ke atas sehingga menghalangi pandangannya.
Saat mendarat pun cukup menegangkan karena pesawat latih jenis itu harus mendarat dengan dua roda depan terlebih dulu. Berbeda dengan pesawat modern yang mendarat dengan roda belakang terlebih dulu.
"Kami ini angkatan percobaan untuk membuktikan perempuan bisa menerbangkan pesawat atau tidak. Selanjutnya kami tidak konversi ke pesawat jenis lain," kata Lulu.
Berkat kiprahnya sebagai pilot itu pula, Lulu mengenal dan menikah dengan Kapten Edi Sudrajat, kelak menjabat Menhankam/Panglima ABRI dan pensiun dengan pangkat terakhir jenderal bintang empat. Adapun Herdini menikahi penerbang TNI AU Boyek Soeryanto yang pensiun dengan pangkat kolonel (Pnb).
Lulu kemudian mundur dari dinas militer tahun 1968. Sementara Herdini lebih dulu meninggalkan dinas militer tahun 1966. Adapun dari 30 Wara angkatan pertama, masih ada 18 orang yang menjalani dinas militer hingga tahun 1990-an. Mereka rutin mengadakan arisan dan reuni mengenang masa mereka muda perkasa....
"Kami bangga sekarang perempuan penerbang bisa menerbangkan berbagai pesawat militer," kata Lulu. Generasi pertama Wara adalah perintisnya....
Kompas, Minggu, 10 April 2016
salut....
ReplyDelete