Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Julius Caesar mati karena konspirasi. Ia dibunuh sekelompok petinggi di Roma pada 15 Maret 44 SM. Kelompok berjumlah 60 orang itu menganggap bahwa Caesar menjadi penghalang ambisi dan nafsu politik mereka. Caesar dibunuh di gedung Senat oleh 23 anggota komplotan. Sebanyak 27 tusukan pisau belati menembus badan pemimpin Roma itu. Setelah ditusuk berkali-kali, tubuh Caesar dibiarkan tergeletak bersimbah darah. Toganya pun robek dan memerah darah.
Mort de César – Vincenzo Camuccini, 1793
Ambisi politik yang berlebihan, sejak zaman dahulu, selalu membutakan mata dan hati. Ini membuat negara seperti dalam kondisi sakratulmaut. Siapa yang pernah menduga bahwa Marcus Junius Brutus atau Brutus adalah bagian dari konspirasi itu, bahkan ikut pula menusuk Caesar, menyingkirkan Caesar?
Padahal, Caesar sangat baik kepada Brutus. Meskipun Brutus pernah menjadi musuhnya–Brutus bergabung dengan Pompey–setelah Pompey dikalahkan, ia diampuni. Brutus (85-42 SM), yang lahir di Philippi, Macedonia, tidak hanya diampuni, tetapi juga diangkat menjadi paetor (hakim tingkat tinggi di bawah konsul; asisten konsul dan membantu konsul melaksanakan tugas-tugasnya),
Akan tetapi, karena pada dasarnya tidak ada kebaikan dalam hatinya, hatinya berbulu, bagi Brutus berkhianat adalah sesuatu yang biasa dalam politik. Brutus dan komplotannya meminjam definisi politik, menurut Harold Dwight Laswell, ilmuwan politik dari AS, mengartikan politik dalam pengertian yang sangat pragmatis: siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana. (Politics: Who Gets What, When, How: 1936)
Pengertian “mendapatkan apa (sesuatu)” bukan selalu berarti yang bersifat fisik, seperti uang atau materi lain, melainkan tentu juga yang non-material, seperti ideologi, kedudukan, harga diri, dan gengsi. Di dalam “mendapatkan sesuatu”, semua kekuatan politik saling bersaing di dalam suatu arena permainan politik dan menghalalkan segala cara, dalam bahasa Machiavelli.
Brutus bersekongkol dengan sejumlah pejabat untuk menyingkirkan Caesar, yang dianggap terlalu berkuasa dan bahkan dikhawatirkan akan menyalahgunakan kekuasaan di tangannya. Bahkan, dengan lihai, setelah membunuh Caesar, Brutus masih berusaha menarik simpati rakyat Roma. dalam sebuah pidatonya setelah pembunuhan, Brutus mengatakan, “Pembunuhan Caesar adalah peristiwa tragis, memilukan, tetapi kematian Caesar harus terjadi untuk menyelamatkan negara.”
Sejak saat itulah, Brutus menjadi “lambang” orang yang berkhianat. Orang yang tidak tahu balas budi. Brutus menjadi lambang orang yang buta hati dan buta mata karena ambisi. Inilah politikus yang berjiwa pengkhianat. Dia tidak segan-segan mengkhianati orang yang telah menyelamatkannya. Bahkan, orang yang telah mengangkatnya sehingga menduduki jabatan penting dalam panggung politik Roma pada masa itu. Kalau zaman sekarang, Brutus telah diangkat untuk menduduki pos yang penting dan “basah” mendatangkan banyak rezeki.
Benar kata Caesar Augustus (63 SM-14 M), “Hati-hatilah karena banyak perbuatan jahat dapat berasal dari permulaan yang baik.” Filsafat politik mengajarkan, ada istilah yang disebut political virtue. Di sini virtue berarti moral excellence. Dalam berpolitik, moral tidak boleh dilupakan. Sebab, urusan politik itu sejatinya adalah urusan moral. Karena itu, dalam dunia politik, muncul istilah-istilah yang berkaitan dengan moral, misalnya kesetiaan dan dedikasi atau pengkhianatan.
Memang, politik Roma penuh dengan konspirasi. Sekitar dua dasawarsa sebelum Brutus berkonspirasi, Lucius Sergius Catilina sudah melakukan hal yang sama pada 63 SM. Catilina (108-62 SM) adalah seorang aritokrat, yang kemudian menjadi demagog (KBBI: demagog adalah seorang pemimpin yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan. Menurut dictionary.com, demagog adalah seseorang, khususnya seorang orator atau pemimpin politik, yang memperoleh kekuasaan dan popularitas dengan membangkitkan emosi, nafsu, keinginan, dan purbasangka orang).
Namun, demagog juga secara sederhana diartikan sebagai orang yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Contohnya, politikus yang gemar mengaduk-aduk perasaan masyarakat dengan menggunakan isu agama untuk kepentingan politik dan tidak mengajak rakyat untuk berpikir jernih, obyektif mencari jalan keluar saat menghadapi persoalan.
Seperti itulah Lucius Sergius Catilina pada waktu itu. Ia dikenal sebagai seorang politisi, politisi revolusioner. Ia pernah menjadi gubernur di Afrika. Catilina pernah pula mencalonkan diri menjadi konsul, tetapi pencalonannya ditolak. Hal ini disebabkan ia didakwa pernah melakukan pemerasan semasa menjadi gubernur di Afrika. Selain didakwa pernah memeras, Catilina juga didakwa pernah membunuh.
Di lain waktu, Catilina mencalonkan diri menjadi senator. Namun, lagi-lagi usahanya gagal. Pemimpin senator berpihak kepada Cicero (106-43 SM). Cicero atau Marcus Tullius Cicero adalah filsuf, orator terbesar yang memiliki keterampilan andal dalam retorika, pengacara terbesar di zaman Republik Roma akhir. Gagal melalui jalan normal untuk menjadi politisi, Catilina berbelok arah. Ia memilih jalur revolusi.
Catilina mengumpulkan sejumlah tokoh anggota kelas menengah dan membentuk kelompok. Mereka bersama-sama melancarkan gerakan subversi (menurut istilah kita di negeri ini). Catilina bersama pengikut berencana merekrut tentara di Etruria lalu bergerak masuk ke Roma dan mengambil alih kontrol kekuasaan. Setelah masuk Roma dan mengambil alih kekuasaan, mereka akan membunuh Cicero dan senator terkemuka lain.
Namun, justru Cicero-lah yang membongkar rencana kudeta tersebut dalam pidato di Senat. Catilina diusir keluar dari Roma. Sejarawan Mary Beard dalam bukunya, SPQR: A History of Ancient Rome, menyebut pertarungan antara Cicero dan Catilina yang menjadi awal konspirasi adalah bentrokan antara “ideologi dan ambisi”. Catilina dan Brutus sama-sama dikuasai ambisi politik yang menggebu-gebu, yang menutup mata hatinya.
Cicero menyatakan, pada masa itu para pemegang jabatan tak beretika. Apabila etika jabatan yang menekankan nurani kejujuran dan ketulusan sudah dilanggar, kekuasaan akan menjadi monster penuh kerakusan yang mengerikan. Thomas Hobbes menggambarkan mereka sebagai leviathan, yang mendewakan kekuasaan di atas segala-galanya. Karena itu harus direbut dengan segala cara, digenggam erat-erat dengan segala daya.
Kompas, Minggu, 14 Mei 2017