Saturday 29 August 2020

Gosip Tak Kenal Jender

Walau tidak suka, nyatanya banyak orang menikmati gosip. Meski dibenci, gosip berperan besar sebagai kontrol sosial untuk menjaga norma kelompok. Dan, gosip bukan hanya milik perempuan.

Gosip… gosip… dan gosip…. Tak perlu menuding emak-emak sebagai biang gosip seperti dalam film pendek Tilik (2018) yang sedang viral karena kita semua suka gosip. Kebiasaan bergosip dilakukan semua orang, tak peduli jenis kelamin, kelompok sosial, tingkat ekonomi, bahkan pendidikan.

Bergosip adalah proses pertukaran informasi yang evaluatif, baik positif maupun negatif, dengan membicarakan pihak ketiga tanpa kehadiran pihak yang dibicarakan tersebut. Proses pertukaran ini akan berlangsung jika ada timbal balik atau orang lain yang menimpali hingga jadi cerita yang menyenangkan.

”Orang suka bergosip karena efeknya bisa memberi rasa senang,” kata Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak, Kamis (27/8/2020).

Secara evolutif, manusia adalah makhluk yang gemar berkisah tentang apa pun, baik hal-hal faktual yang dirasakan, dilihat, dan dihadapi atau sesuatu yang imajinatif. Tambahan mimik wajah, bahasa tubuh, dan pilihan kata khas membuat cerita yang disampaikan kian menarik hingga menyenangkan sistem limbik di otak.

Perpaduan aspek kognitif dan emosi dari bergunjing itulah yang membuat bergosip menghasilkan pola yang sama dengan rumor, hoaks, atau bercerita (story telling) di otak. Terlepas dari dampak baik dan buruknya, semua hal itu mampu menghasilkan kesenangan secara instan tanpa manusia perlu  mengeluarkan energi besar.

Namun, bukan hanya informasi atau kesenangan yang bisa diperoleh dari gosip. Eko A Meinarno dan rekan dalam Apakah Gosip Bisa MenjadiKontrol Sosial? di Jurnal Psikologi Pitutur, Juni 2011, menyebut gosip juga bisa dijadikan alat pertemanan yang merekatkan persahabatan dan ikatan kelompok.

Gosip juga bisa dijadikan sarana untuk memengaruhi masyarakat. ”Gosip menjadi alat komunikasi asertif (langsung, tapi tetap memperhatikan kondisi lawan bicara) yang efektif, tidak agresif atau merusak,” kata Eko yang merupakan dosen psikologi sosial Universitas Indonesia, Depok, Jumat (28/8/2020).

Karena itu, Frank T McAndrew, profesor psikologi di Knox College, Illinois, Amerika Serikat, dalam The Conversation, 25 September 2019, menyebut bergosip sebagai keterampilan sosial seseorang, bukan cacat karakter. Orang yang sulit bergosip cenderung sulit mempertahankan hubungan dan sering merasa dikucilkan.

Pada dasarnya, gosip adalah strategi seseorang untuk meningkatkan reputasi dan kepentingan diri dengan mengorbankan orang lain. Karena itu, gosip bisa digunakan dengan kejam untuk mewujudkan kepentingan egois seseorang.

Eko menambahkan, orang yang suka bergosip memiliki kemampuan mengolah data dan menggabungkannya dengan kata-kata yang menarik. Namun, penyatuan ide itu umumnya dilakukan secara acak dan mengabaikan faktor-faktor pendukung lainnya hingga berisiko menghasilkan kesimpulan yang salah. Pola cocoklogi itu pula yang banyak ditemukan pada hoaks.

Prasejarah

Tidak ada data pasti sejak kapan manusia mulai bergosip. Namun, gosip diyakini bertumbuh seiring dengan berkembangnya kemampuan manusia berbahasa.

Dosen antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Aris Arif Mundayat, dalam webinar Antropologi Ghibah, Rabu (26/8/2020), mengatakan, jika agama-agama melarang bergosip atau gibah, artinya perilaku ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu.

Di Indonesia, catatan pergosipan tertua ada di relief Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8 Masehi. Pahatan batu di sesi Karmawibhangga atau bagian paling bawah candi itu menggambarkan laki-laki dengan mimik wajah dan bibir sedang bergosip.

”Rasan-rasan (membicarakan orang lain dalam bahasa Jawa) adalah keluh kesah orang yang tertindas,” kata Aris mengutip pendapat Karl Marx. Karena itu, selama ada yang merasa tertindas, pergunjingan akan abadi.

Direktur Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies (Impulse) Yogyakarta Gutomo Priyatmono menambahkan, gosip juga selalu muncul dalam konteks kontestasi. ”Ada persaingan, pasti ada gibah,” katanya.

Pergunjingan terjadi karena tekanan yang muncul dalam persaingan itu tak memiliki jalan keluar atau ruang intelektual yang mampu menampung keresahan dan melawan tekanan. Karena itu, gibah menjadi upaya atau senjata perlawanan bagi kaum yang lemah.

Walau demikian, lanjut McAndrew, suka atau tidak suka, manusia adalah makhluk yang senantiasa ingin tahu urusan orang lain. Keingintahuan itu adalah produk samping otak prasejarah manusia.

Di awal peradaban manusia, manusia hidup dalam kelompok kecil yang mengenal satu sama lain. Mereka harus bekerja sama agar terhindar dari musuh dan mampu bertahan di alam yang keras. Namun, pada saat bersamaan, mereka juga bersaing satu sama lain untuk memperebutkan sumber daya yang terbatas atau mencari pasangan untuk bereproduksi.

Kondisi itu menuntut nenek moyang kita beradaptasi secara sosial, menilai siapa yang bisa diandalkan dan dipercaya, siapa yang curang, atau menyeimbangkan antara kepentingan sebagai teman, keluarga, dan sekutu. Dalam penilaian itu, perhatian terhadap hal-hal pribadi orang lain akan sangat berguna dalam proses evolusi.

”Orang yang memiliki kemampuan inteligensia sosial lebih baik dalam menilai, menerka, dan memengaruhi orang lain akan bertahan hidup lebih baik,” katanya.

Perempuan ekspresif

Kemampuan bergosip ini ada pada laki-laki dan perempuan. Namun, tambah Taufiq, perempuan memang jauh lebih ekspresif dalam bergosip dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan memiliki perbendaharaan kata dan nuansa emosi dalam bergosip yang lebih kaya dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan ini terjadi karena struktur otak perempuan dan laki-laki sedikit berbeda.

Pusat pengaturan bahasa ada di otak kiri manusia. Namun, pada perempuan, pusat bahasa itu juga tersebar di sejumlah tempat, termasuk di otak kanan. Sementara pusat bahasa laki-laki hanya di otak kiri.

”Akibatnya, perempuan memproduksi kata-kata lebih kaya,” katanya. Dalam sehari, perempuan memproduksi kata sembilan kali lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki.

Selain itu, korpus kalosum atau jaringan saraf penghubung otak kiri dan otak kanan pada perempuan lebih tebal dan padat. Karena otak kanan dominan dalam mengatur emosi, perempuan saat bergosip memiliki nuansa emosi yang lebih kuat. Sementara ketika laki-laki bergosip, nuansa emosinya seolah terpisah dari kata-kata yang digunakan.

Topik gosip laki-laki dan perempuan juga berbeda. Perbedaan itu adalah konsekuensi dari proses evolusi mereka yang juga tak sama, perempuan banyak berada di ruang domestik, sedangkan laki-laki di ruang publik.

Akibatnya, tema gosip perempuan lebih didominasi isu kehidupan pribadi dan rumah tangga, sedangkan tema gosip laki-laki adalah politik dan seks. Perempuan jarang menggosipkan soal seks, kecuali terkait hubungan suami-istri dan biasanya tema ini sulit berkembang. Namun, tema seks yang didorong oleh nafsu dan permainan bisa menjadi pemersatu laki-laki untuk bergosip meski mereka bertolak belakang dalam pandangan politik.

Meski demikian, gosip tak selamanya buruk seperti yang dipandang masyarakat selama ini. Gosiplah yang membuat kehidupan sosial manusia terus berdetak hingga kini.

”Gosip bisa menjadi sarana menegakkan norma kelompok,” kata Eko. Selain itu, gosip juga bisa menjadi media hukuman sosial bagi orang yang melanggar norma masyarakat. Penghukuman itu sekaligus menjadi pembelajaran anggota kelompok untuk tetap mematuhi norma yang berlaku.

Namun, gosip sepertinya mengalami peyorasi karena sering membicarakan keburukan orang lain. Padahal, agama pun umumnya masih menoleransi membicarakan keburukan orang lain, seperti membicarakan kezaliman pemimpin ataupun dalam proses persidangan atau hukum.

Taufiq menilai baik dan buruk gosip sangat bergantung pada tema yang dibicarakan. Pilihan tema bergosip itu pula yang membuat bergosip bisa menjadi sarana pelepas ketegangan dan stres. Namun, gosip dipastikan juga bisa membuat stres orang yang dibicarakan. Saat gosip berisi hasutan atau fitnah, di situlah gosip benar-benar menjadi perilaku manusia yang merusak.

M. Zaid Wahyudi, "Gosip Tak Kenal Jender", Kompas, Sabtu, 29 Agustus 2020, halaman 5

No comments:

Post a Comment