Monday 26 December 2022

Dua Arus Besar Pembauran Populasi di Wallacea

Peneliti menemukan pola sejarah populasi yang dinamis di Zona Wallacea. Terjadi perubahan pola genetik yang ekstensif di kawasan ini sekitar 15.000 tahun lalu dan 3.000 tahun lalu, karena kedatangan kelompok migran baru.

JAKARTA, KOMPAS-Migrasi populasi ke Pulau Papua telah terjadi sejak 50.000 tahun lalu dengan menyeberangi pulau-pulau di zona Wallacea. Namun, penghunian setelahnya belum banyak diketahui karena minimnya tinggalan arkeologis. Kajian genetika terbaru menunjukkan, terjadi perubahan pola genetik yang ekstensif di kawasan Wallacea sekitar 15.000 tahun lalu dan 3.000 tahun lalu, karena kedatangan kelompok migran baru.

Kajian terbaru tentang penghunian di Wallacea dan Papua ini dipublikasikan peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan tim internasional di jurnal Genes pada 24 Juni 2021. Peneliti Eijkman yang juga mahasiswa doktoral di University of Adelaide, Gludhug Ario Purnomo menjadi penulis pertama artikel ini. Penulis lain di antaranya Wakil Kepala Lembaga Eijkman, Herawati Supolo Sudoyo dan peneliti Eijkman Leonard Taufik.

Kepulauan Wallacea, meliputi Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Maluku Utara, serta Nusa Tenggara Timur diketahui sebagai pulau-pulau yang tidak pernah bergabung dengan daratan besar. Zona kepulauan yang dikelilingi perairan purba ini memisahkan paparan Sunda, yaitu Sumatera, Jawa dan Kalimantan yang menyatu dengan daratan Asia, dengan Paparan Sahul meliputi Papua dan Australia yang masih menyatu saat permukaan laut mencapai titik terendah sekitar 50.000 tahun lalu.

Sejumlah bukti arkeologis di Australia telah menemukan adanya fosil manusia modern (Homo sapiens) dari Afrika berumur sekitar 50.000 tahun. Ini memicu hipotesis bahwa pada periode itu, manusia telah menyeberangi zona Wallacea hingga ke Papua, yang kala itu masih menjadi bagian dari Paparan Sahul. Namun demikian, penelitian sejarah populasi di Wallacea sangat terbatas karena bukti-bukti penghunian kebanyakan baru ada setelah kedatangan pelaut Austronesia sekitar 3000–4000 tahun yang lalu.

"Untuk menjelaskan sejarah Wallacea yang lebih dalam dan hubungannya dengan Papua (New Guinea) dan Australia, kami melakukan analisis filogenografi pada 656 mitogenom utuh dari tiga wilayah ini. Termasuk 186 sampel baru dari delapan pulau di Wallacea dan tiga populasi di Papua," tulis Gludug.

Hasilnya, Gludug dan tim menemukan adanya sejarah populasi yang dinamis di Wallacea. "Ditandai dengan dua periode perubahan demografis yang ekstensif terkonsentrasi di sekitar Maksimum Glasial Terakhir sekitar 15.000 tahun lalu dan kontak pasca-Austronesia sekitar 3.000 tahun lalu," kata dia.

Temuan ini, menurut Gludug menunjukkan adanya tiga gelombang penghunian di kawasan Wallacea. Pertama, saat migrasi 50.000 tahun lalu, yang sebagian kemudian melanjutkan perjalanan ke Papua dan Australia. Kedua, periode sekitar 15.000 tahun lalu, dan ketiga sekitar 3.000 tahun lalu. "Dari temuan ini, juga ada kemungkinan adanya migrasi balik dari Papua ke Wallacea," kata dia.

Selain itu, menurut Gludug, juga ditemukan adanya bauran Austronesia pada populasi Papua saat ini. Ini misalnya ditemukan di Sorong, Papua Barat yang memiliki bauran genetika Austronesia sekitar 40 persen dan di Keerom sekitar 6 persen. "Tetapi, di Mappi kami tidak menemukan jejak genetika Austonesia," kata dia.

Rute Migrasi

Herawati mengatakan, kajian ini merupakan awal dari studi besar untuk merekonstruksi pemahaman tentang populasi di Wallacea dan Papua. "Sampai saat ini demografi maupun sejarah evolusi populasi Papua dan migrasinya melalui daerah Wallacea masih minim diketahui. Termasuk juga bagaimana adaptasi mereka saat melalui kepulauan," kata dia.

Penelitian kali ini, tambah Herawati, merupakan kolaborasi dengan Australian Centre for Ancient DNA (ACAD). Tujuannya menentukan rute migrasi oleh penghuni pertama ke paparan Sahul, melalui rute utara dan selatan. "Sejauh ini kita masih buta tentang gambaran DNA leluhur pada rute tersebut. Inilah yang membuat kami belakangan mulai mengumpulkan DNA populasi di Sulawesi Tengah, Banggai hingga Raja Ampat di Papua," kata dia.

Penelitian berikutnya, menurut Herawati, akan melihat bauran manusia modern di kawasan ini dengan manusia purba. "Hasil kajian sebelumnya ada indikasi bahwa bauran gen Denisovan di Papua termasuk paling tinggi dibandingkan populasi lain di dunia. Dugaannya, genom manusia purba ini memiliki dampak terhadap berbagai kelaianan medik. Di sisi lain, ada dugaan gen ini berhubungan dengan respon imun. Jadi, pada akhirnya pemahaman mengenai DNA populasi ini adalah untuk tujuan medik," kata dia.

Kompas, Sabtu, 26 Juni 2021

No comments:

Post a Comment