Kumpulan ‘guntingan’ artikel koran dan tulisan pribadi mengenai keberagaman, geologi, biologi, astronomi, arkeologi, kesehatan, dan politik. PERHATIAN: Artikel dalam blog tidak bisa digunakan sebagai referensi tulisan resmi, seperti skripsi, thesis, disertasi, dan jurnal. Mohon telusuri pustaka yang digunakan.
Wednesday, 25 June 2014
Tuesday, 10 June 2014
Gunung Kelud 2014
Menjelang penghujung malam 13 Februari 2014, Gunung Kelud meletus. Cendawan erupsi (eruption plume) pertama kali terdeteksi satelit pada pukul 23.09. Berdasarkan analisis citra satelit, awan abu memiliki ketinggian hampir 20 km, dengan lebar cendawan mendekati 30 km. Sebagian abu bahkan mencapai ketinggian 26 km. Berdasarkan citra satelit, abu terbawa angin ke arah barat-barat daya dan jatuh ke Samudra Hindia.
Monday, 9 June 2014
Cemaran Timbal
Saya mengamati laporan pemeriksaan cemaran logam berat Pb dari suatu prototype produk jadi dan beberapa bahan bakunya menunjukkan hasil yang kurang lebih sama, dalam rentang antara 0,137 – 0,182 ppm. Suatu hasil yang aneh menurut saya. Hal ini mengingatkan pada pengalaman seorang ilmuwan pemerhati lingkungan, Clair Cameron Patterson (1922-1995). Pat, demikian para rekannya memanggil, pada mulanya melakukan pengukuran komposisi dan kadar isotop dalam sejumlah kecil timbal pada meteorit menggunakan teknik spektrometrik massa yang dimulai pada 1948. Pengukuran untuk menetapkan usia meteorit tersebut mendapatkan kesulitan karena lingkungan yang tidak memadai.
Clair Cameron Patterson
Akhirnya, setelah mendapatkan laboratorium yang lebih ‘bersih’ dan fasilitas dengan baku cemaran timbal lingkungan yang rendah, pada 1953 Pat berhasil menentukan usia bumi berdasarkan pengukuran komposisi isotop timbal primordial dari fase troilit (sulfide) meteorit besi Canyon Diablo.
Kemajuan kemampuan pengukuran timbal ini membuka jalan ke penetapan isotop timbal pada sampel geologi, seperti granit, basalt, dan sedimen. Pat juga mulai melakukan riset terkait cemaran timbal akibat manusia terhadap lingkungan. Pada 1962, Pat bersama Mitsunobu Tatsumoto mempublikasikan laporan yang menunjukkan bahwa air dari laut dalam mengandung timbal 3-10 kali lebih rendah dibandingkan air permukaan. Artinya, pada masa-masa itu terjadi peningkatan polutan timbal yang luar biasa dibandingkan dengan masa sebelumnya. Penyebab yang dituduh Pat paling utama adalah penggunaan timbal pada bahan bakar minyak, patri, cat, dan pestisida.
Pada 1970, Pat dan rekannya menyelesaikan pengujian terhadap lapisan salju dari Greenland dan Antartika yang dengan jelas menunjukkan adanya peningkatan timbal atmosfer dari masa dimulainya revolusi industri. Salju modern Greenland mengandung lebih dari 100 kali jumlah timbal dari salju masa praindustri, dengan peningkatan paling drastis terjadi pada 100 tahun terakhir. Sayangnya, hasil penelitian ini seperti tidak dihiraukan karena banyaknya serangan dari ilmuwan industri. Meskipun demikian, pada akhir 1973 EPA akhirnya mengeluarkan program penurunan kadar timbal dari bahan bakar minyak. Timbal pada bahan bakar minyak akhirnya dihilangkan sama sekali pada 1987 (bagaimana dengan di Indonesia?).
Pat meneruskan penelitiannya dengan mengukur kadar timbal dari tulang rangka manusia Peru yang berusia sekitar 1600 tahun. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tulang manusia modern memiliki kadar timbal hingga 700-1200 kali lebih tinggi dibandingkan tulang rangka manusia Peru tersebut.
Pada akhir 1970an, Pat mengalihkan perhatian pada cemaran timbal dalam makanan. Dalam penelitian yang dipublikasikan pada 1980 bersama Dorothy M. Settle, Pat memberikan peringatan terkait jumlah timbal yang masuk ke rantai makanan karena patri timbal untuk menutup kaleng. Pat menemukan timbal sejumlah 0,3 nanogram per gram daging tuna segar dan 1400 nanogram per gram daging tuna kalengan. Baru pada 1993, patri timbal tidak diperbolehkan lagi digunakan pada wadah makanan di Amerika Serikat (bagaimana dengan di Indonesia?). Lebih lanjut, penggunakan timbal juga tidak diperkenankan untuk cat dan saluran air. Dari beberapa langkah perbaikan ini, pada 1991, peneliti melaporkan bahwa kadar timbal salju Greenland menurun dengan faktor 7,5 sejak 1971.
Dari ulasan ini, perlu dievaluasi kesesuaian laboratorium pengujian timbal apakah sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan Clair Patterson. Selain itu, separah apa lingkungan udara di Surabaya yang padat kendaraan bermotor sehingga cemaran timbal bahan bakar minyaknya kemungkinan dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Yang terakhir ini patut dicermati karena timbal dapat menimbulkan efek serius terhadap kualitas hidup masyarakat.
Anak-anak usia enam tahun atau kurang sangat rentan pengaruh timbal terhadap kesehatan. Dalam kadar yang kecil dalam darah anak, timbal dapat menyebabkan masalah perilaku dan belajar, kecerdasan rendah, hiperaktivitas, perlambatan pertumbuhan, gangguan pendengaran, dan anemia. Pada kasus yang lebih rendah, paparan timbal dapat menyebabkan kejang. koma, bahkan kematian anak.
Dalam tubuh, timbal dapat terakumulasi dari waktu ke waktu di tulang. Saat kehamilan, timbal dapat dilepas bersama kalsium dari tulang ibu untuk pembentukan tulang janin, terutama pada ibu yang kurang mendapat asupan kalsium yang memadai. Sebagai akibatnya, janin dapat mengalami penurunan pertumbuhan dan peningkatan resiko kelahiran prematur. Pada orang dewasa, paparan timbal dapat menimbulkan masalah kardiovaskuler utamanya peningkatan tekanan darah, penurunan fungsi ginjal, dan masalah reproduksi.
Referensi
Tilton GR (1998) Clair Cameron Patterson: A Biographical Memoir. Washington: National Academies Press
United States Environmental Protection Agency: Lead http://www2.epa.gov/lead
Sunday, 1 June 2014
Kaitan Kamar Tidur Terang dan Obesitas pada Perempuan
Hasil penelitian Institut Riset Kanker (ICR) London, Inggris, menunjukkan adanya kaitan antara tingkat cahaya yang tinggi di area tempat tidur malam dan kecenderungan obesitas pada perempuan. Pengujian dilakukan terhadap 113.000 perempuan dari beragam usia, yang diberi pertanyaan mengenai tingkat cahaya di ruang tidur malam. Tingkat pencahayaan tersebut dibagi menjadi empat:
- Cukup terang untuk membaca
- Cukup terang untuk melihat keseluruhan area ruang tidur, tetapi tidak dapat untuk membaca
- Cukup terang untuk melihat tangan di depan kita, tetapi tidak dapat melihat keseluruhan area ruang tidur
- Terlalu gelap untuk melihat tangan atau menggunakan masker penutup mata
Jawaban kemudian dibandingkan dengan parameter obesitas seperti indeks massa tubuh, rasio pinggang-pinggul, dan lingkar pinggang. Hasil diperoleh bahwa perempuan dengan tingkat pencahayaan tinggi memiliki nilai yang lebih tinggi pada semua parameter obesitas tersebut.
Sejauh ini masih belum ada bukti bahwa tidur dalam kamar tidur gelap dapat menurunkan berat badan dan perlu dilakukan investigasi lebih lanjut. Meskipun demikian, dengan hasil penelitian ini, tidak ada salahnya mencoba tidur di ruang gelap.
Penjelasan yang paling mungkin mengenai hal ini adalah cahaya yang mengganggu jam biologis tubuh. Cahaya dapat mempengaruhi suasana hati, kekuatan fisik, dan pengolahan makanan dalam siklus 24 jam. Selain itu, cahaya juga menghambat produksi hormon tidur, melatonin.
Referensi
Gallagher J (2014) Light Bedrooms ‘Link to Obesity’. BBC News Health, 29 Mei 2014. http://www.bbc.com/news/health-27617615 Diakses 30 Mei 2014
McFadden E, Jones ME, Schoemaker MJ, Ashworth A, Swerdlow AJ (2014) The relationship between obesity and exposure to light at night: cross-sectional analyses of over 100,000 women in the breakthrough generation study. Am. J. Epidemiol. Doi: 10.1093/aje/kwu119. Dipublikasikan online pertama kali pada 28 Mei 2014
Terapi Belatung untuk Penyembuhan Luka Terbuka
Jika mendengar kata ‘lalat’ maka yang terbersit dalam pikiran adalah serangga menjijikkan penyebar penyakit. Meskipun lalat memang terbukti dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, baik secara langsung seperti miasis, maupun tidak langsung seperti penyebaran penyakit infeksi perut dan penyakit tidur tetapi lalat juga memiliki peran penting dalam kehidupan di bumi. Lalat merupakan pengurai bangkai yang sangat efektif. Beberapa jenis lalat hover berperan penting dalam dunia pertanian karena dapat membantu penyerbukan dan belatungnya memakan kutu tanaman.
Dalam dunia kesehatan, belatung lalat Lucilia sericata digunakan untuk membantu mengatasi gangren (jaringan mati), terutama pada penderita diabetes mellitus. Dengan perawatan belatung ini disebutkan bahwa penderita diabetes mellitus dapat terhindar dari ancaman amputasi 1.
Pengaruh belatung dalam penyembuhan luka telah teramati di saat perang. Pada tahun 1917, Dr William S. Baer, seorang dokter bedah ortopedik, mendapatkan dua pasien tentara yang terluka parah selama tujuh hari tanpa perawatan, makan, dan minum, di medan perang. Cedera yang dialami mencakup patah tulang paha terbuka, serta luka lebar pada perut dan skrotum. Pada saat itu, mortalitas akibat patah tulang paha terbuka mencapai 75-80 persen. Selain itu tidak ditemukan demam atau pun bukti septisemia pada kedua pasien tersebut. Setelah membuka pakaian, tim medis menemukan ribuan belatung hidup pada luka. Dengan segera mereka membersihkan luka tersebut. Alih-alih mendapatkan luka membusuk yang dipenuhi nanah, tim dokter ini justru menemukan jaringan granulasi merah muda, tidak terlihat tulang terbuka, bahkan struktur internal tulang yang patah telah terlapisi dengan baik oleh jaringan granulasi tersebut. Hasil kultur bakteri menunjukkan hanya sedikit ditemukan staphylococci dan streptococci yang jumlahnya tidak memungkinkan pembentukan nanah.
Berdasarkan observasi tersebut, Dr Baer selanjutnya mencoba menerapkan belatung pada pasien osteomyelitis kronis dan mendapati mereka dapat sembuh lebih cepat dalam waktu dua bulan. Hasil penerapan ini dilaporkan Dr Baer pada 1931 2. Setelah itu, terapi belatung mulai berkembang meskipun mengalami kendala utama ketersediaan belatung dan biaya.
Seiring dengan ditemukannya antibiotik dan perkembangan teknik pembedahan, pada era 1940an terapi belatung mulai meredup. Terapi belatung kembali dilirik setelah pada 1980an berkembang masalah resistensi antibiotik 3. Pada Januari 2014, US FDA menyetujui pemakaian terapi belatung di Amerika Serikat. Sebulan kemudian NHS Inggris juga mengijinkan peresepan terapi belatung.
Terapi belatung pada prinsipnya adalah myasis terapetik terkendali. Pengendalian mencakup pemilihan spesies dan strain yang efektif dan aman, disinfeksi secara kimia untuk mendapatkan belatung bebas kuman, penempatan belatung di dalam perban khusus yang mencegah belatung keluar dari area luka, dan pengendalian mutu sepanjang proses pembiakan dan produksi belatung. Spesies dan strain yang terpilih menjadi ‘juru bedah’ dalam terapi belatung adalah Lucilia (Paenicia) sericata strain LB-01.
Lucilia sericata secara umum disebut lalat botol hijau. Lalat yang mudah ditemui hampir di seluruh dunia ini memiliki ukuran panjang 10-14 mm, lebih besar dari lalat rumah biasa. Sesuai namanya, lalat ini berwarna hijau metalik. Tahap perkembangan lalat memerlukan waktu antara 10-23 hari. Antara 8-12 jam, telur menetas menjadi larva. Setelah 4-8 hari, larva berkembang dan akhirnya jatuh ke tanah membentuk kepompong. Setelah 6-14 hari kemudian, kepompong mengeluarkan lalat dewasa.
Lalat betina meletakkan telurnya pada daging, ikan, bangkai binatang, luka terbuka pada manusia dan binatang, dan feses. Larva lalat botol hijau sangat jarang menginvasi jaringan hidup dan makanan. Beberapa laporan kasus myasis belatung Lucilia sericata lebih sering disebabkan ketidaksengajaan 4-9.
Terapi belatung dimulai dengan menempatkan lima hingga sepuluh belatung pada setiap satu sentimeter persegi luka dan kemudian ditutup perban. Selama 48-72 jam berikutnya, belatung melepas cairan pencerna yang melarutkan jaringan mati dan kemudian menghisap jaringan yang yang mencair dan bakteri yang ada. Selama melakukan tugasnya itu, belatung dapat tumbuh dari sekitar 2 mm hingga mencapai hampir 10 mm 10.
Mekanisme umum yang terjadi mencakup debridement, efek antibakteri, dan stimulasi penyembuhan luka. Debridement atau penghilangan jaringan mati di daerah luka berperan penting dalam penyembuhan luka. Selain menghilangkan jaringan yang rusak, debridement juga membantu menghilangkan biofilm, mengembalikan normal flora, memperbaiki faktor pertumbuhan dan aktivitas sel senesens. Lebih jauh, debridement membantu memperbaiki masalah pembentukan ulang protein matriks ekstraseluler dan mencegah kegagalan reepitelisasi.
Debridement dengan menggunakan belatung secara signifikan lebih cepat daripada penanganan konvensional, terutama pada satu minggu pertama 11. Mekanisme ini terjadi karena tiga kelas enzim proteolitik yang diidentifikasi dari eksreksi belatung. Aktivitas tertinggi ditunjukkan oleh kelas proteinase serin (pH optima 8-9) dari dua subkelas berbeda (seperti tripsin dan seperti kimotripsin), sedangkan aktivitas yang lebih lemah diberikan oleh proteinase aspartil (pH 5) dan metalloproteinase (pH 9) 12,13.
Ekskresi belatung disebutkan juga memiliki efek antibakteri, baik Gram positif maupun Gram negatif, termasuk Staphylococcus aureus, S. aureus resisten metisilin, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa 14,15. Amonia yang dihasilkan belatung ikut berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri melalui pengaturan pH 16.
Ekstrak belatung menunjukkan adanya aktivitas stimulasi kultur jaringan fibroblast, meskipun hanya sekitar 12% dari stimulasi yang diberikan faktor pertumbuhan epidermal (EGF) 17.
Permasalahan yang dihadapi dalam terapi belatung utamanya adalah rasa tidak nyaman, masalah distribusi, dan pencegahan belatung terlepas. Sekitar 5-30 persen pasien yang menerima terapi belatung dilaporkan merasakan sakit, tetapi umumnya sebelumnya rasa sakit akibat luka sudah dialami oleh semua pasien tersebut. Rasa nyeri terjadi setelah 24 jam pertama terapi, dan diperkirakan terkait dengan peningkatan ukuran belatung. Pengendalian nyeri dapat dilakukan dengan analgesik atau, jika tidak memungkinkan, pelepasan perban dan pemindahan belatung.
Belatung muda sangat rentan, membutuhkan makanan, air, dan oksigen, serta sensitif suhu. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam distribusi. Lama distribusi tidak boleh lebih dari 24 jam sebelum aplikasi, dengan suhu yang terkendali, untuk menjaga larva tetap bertahan hidup. Sistem perekat perban yang baik dan bertahan lama hingga lebih dari 48 jam diperlukan untuk mencegah belatung keluar dari area luka.
Referensi
- Marineau ML, Herrington MR, Swenor KM, Eron LJ (2011) Maggot debridement therapy in the treatment of complex diabetic wounds. Hawaii Med. J. 70(6):121-124
- Baer WS (1931) The treatment of chronic osteomyelitis with the maggot (larva of the blowfly). J. Bone Joint Surg.13:438-475Opletalová K, Blaizot X, Mourgeon B, et al (2012) Maggot therapy for wound debridement: a randomized multicenter trial. Arch. Dermatol. 148(4): 432-438
- Sherman RA (2009) Maggot therapy takes us back to the future of wound care: new and improved maggot therapy for the 21st century. J. Diabetes Sci. Technol. 3(2): 336-344
- Kiliç K, Arslan MO, Kara M (2011) A postoperative wound myasis caused by Lucilia sericata (Diptera: Calliphoridae) in a woman in Kars. Turkiye Parazitol. Derg. 35(1): 43-46
- Jang M, Ryu SM, Kwon SC, et al (2013) A case of oral myasis caused by Lucilia sericata (Diptera: Calliphoridae) in Korea. Korean J. Parasitol.51(1): 119-123
- Hira PR, Assad RM, Okhasa G, et al (2004) Myasis in Kuwait: nosocomial infections caused by Lucilia sericata and Megalia scalaris. Am. J. Trop. Med. Hyg. 70(4): 386-389
- Kaczmarczyk D, Kopczyński J, Kwiecień J, et al (2011) The human aural myasis caused by Lucilia sericata. Wiad. Parazytol. 57(1):27-30
- Cho JH, Kim HB, Cho CS, et al (1999) An aural myasis case in a 54-year-old male farmer in Korea. Korean J. Parasitol. 37: 51-53
- Talari SA, Sadr F, Doroodgar A, et al (2004) Wound myasis caused by Lucilia sericata. Arch. Iranian Med. 7(2): 128-129
- Handwerk B (2003) Medical Maggots Treat as They Eat. National Geographic News, 24 Oktober 2013. Diakses 28 Mei 2014
- Opletalová K, Blaizot X, Mourgeon B, et al (2012) Maggot therapy for wound debridement: a randomized multicenter trial. Arch. Dermatol. 148(4): 432-438
- Schmidtchen A, Wolff H, Rydengård V, Hansson C (2003) Detection of serine proteases secreted by Lucilia sericata in vitro and during treatment of a chronic leg ulcer. Acta Derm. Venereol. 83(4): 310-311
- Chamber L, Woodrow S, Brown AP, et al (2003) Degradation of extracellular matrix components by defined proteinases from the greenbottle larva Lucilia sericata used for the clinical debridement of non-healing wounds. Br. J. Dermatol. 148(1): 14-23
- Nenoff P, Herrann A, Gerlach C, et al (2010) Biosurgical debridement using Lucilia sericata-maggots – an update. Wien Med Wochenschr. 160(21-22): 578-585
- van der Plas MJ, Jukema GN, Wai SW, et al (2008) Maggot excretions/secretions are differentially effective against biofilms of Staphylococcus aureus and Pseudomonas aeruginosa. J. Antimicrob. Chemother. 61(1): 117-122
- Robinson W (1940) Ammonium bicarbonate secreted by surgical maggots stimulates healing in purulent wounds. Am. J. Surg. 47:111-115
- Prete PE (1997) Growth effects of Phaenicia sericata larval extracts on fibroblasts: mechanism for wound healing by maggot therapy. Life Sci. 60(8): 505-510
Subscribe to:
Posts (Atom)