Selasa sore, 5 April 1915, persis dua abad lalu, Gunung Tambora di Semenanjung Sanggar, Pulau Sumbawa, tiba-tiba meletus hebat. Letusan terdengar keras di Makasar sehingga serdadu Inggris di Fort Rotterdam mengira bunyi itu berasal dari meriam bajak laut yang datang menyerbu.
Kawah Gunung Tambora berdiameter lebih kurang tujuh kilometer yang dipagari tebing curam sedalam 1.200 meter di Kabupaten Bima dan Dompu, Nusa Tenggara Barat. (Kompas/Agus Susanto)
Namun, peristiwa itu ternyata hanya pembuka dari letusan dahsyat Tambora pada malam 10 April tahun yang sama. Dentuman letusan terdengar keras hingga Bengkulu dan Padang yang berjarak 2.000 kilometer.
Magnitudo letusannya, berdasarkan volcanic explosivity index (VEI) berada pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari letusan Toba (Sumatera Utara) sekitar 74.000 tahun lalu yang berskala 8. “Sebagai perbandingan, letusan Merapi tahun 2010 kekuatannya hanya sekitar 4 VEI dan Sinabung 2-3 VEI,” kata Kepala Badan Geologi Surono.
Letusan itu memangkas ketinggian Tambora dari 4.200 meter di atas permukaan laut (mdpl) menjadi hanya 2.700 mdpl. Tak hanya itu, letusannya juga menciptakan kawah sedalam 1.000 meter dan berdiameter 6,2 kilometer.
Total volume material yang dimuntahkan Tambora mencapai 150 miliar meter kubik. Bandingkan dengan letusan Merapi di Yogyakarta pada 2010 yang melontarkan 140 juta meter kubik material vulkanik. Bahkan, jika volume material letusan Merapi ini dikalikan 1.000 kali, tetap lebih kecil dibandingkan Tambora.
Kematian global
Di kaki Tambora, ngeri letusan itu dikisahkan Raja Sanggar kepada Kapten Owen Philips, utusan Letnan Gubernur Thomas Raffles, yang tiba di Sumbawa sepekan setelah letusan.
“Sekitar pukul 7 malam pada 10 April (1815), tiga kolom raksasa muncul dari puncak Gunung Tambora. Semuanya jelas terlihat berasal dari kawah. Setelah mencapai titik tertinggi secara terpisah, ketiga kolom bergabung menjadi sesuatu yang mengerikan. Dalam waktu singkat, tubuh gunung di dekat Saugur (Sanggar) menjadi semacam cairan api yang terlontar ke berbagai jurusan,” kisah Raja Sanggar, seperti tertulis dalam surat Philips kepada Raffles.
Saat ditemui Philips, Raja Sanggar tengah mengungsi di Dompu dan diliputi duka karena kehilangan nyaris seluruh rakyatnya, termasuk salah satu putrinya yang meninggal, didera kelaparan.
Geolog dari Museum Geologi, Indyo Pratomo, menuturkan, asap yang dilihat Raja Sanggar itu adalah kolom letusan supervolcano tipe plinian. Jenis letusan ini mendapatkan namanya dari surat Pliny Yunior kepada sejarawan Romawi, Tacitus. Pliny menggambarkan awan panas yang keluar dari material letusan Vesuvius, kemudian menyebar ke puncak awan dalam bentuk pohon pinus payung terbalik, sebelum mengubur Pompeii pada 79 Masehi.
Dibandingkan kolom api Vesuvius yang mencapai 35 kilometer ke udara, letusan Tambora menciptakan kolom api hingga ketinggian 43 kilometer – empat kali ketinggian jelajah pesawat terbang komersial. Adapun badai api yang menghancurkan adalah awan panas. Bayangkan, Anda melihat wedhus gembel Merapi, tetapi ini volumenya ribuan kali lipat!
Awan panas itulah yang memunahkan Kerajaan Tambora dan Pekat serta menyisakan Kerajaan Sanggar yang porak poranda. Tak hanya Semenanjung Sanggar, dua pulau di barat Sumbawa, Bali dan Lombok, juga terpapar petaka. Selain korban tewas karena tertimpa atap bangunan yang tak kuasa menyangga abu, kematian terbanyak disebabkan bencana gagal panen.
Bataviasche Courant pada 26 Oktober 1816 melaporkan suasana di Bali dengan mengerikan. “Korban yang selamat (dari letusan Tambora) terlalu lemah dan miskin untuk membayar biaya penguburan keluarga yang mati.” Bahkan, wabah penyakit telah menewaskan Raja Badung Gusti Ngurah Made Kaleran.
Perwakilan Pemerintah Belanda, Van den Broek, memperkirakan, dua pertiga dari 200.000 penduduk Lombok tewas. Sementara di Bali korban tewas mencapai 25.000 orang.
Jumlah korban ini belum termasuk kematian massal yang melanda dunia. Kehancuran merangsek hingga India, Tiongkok, Eropa, bahkan Amerika Utara. Aerosol sulfat yang disemburkan Tambora telah melapisi atmosfer Bumi dan menghalangi sinar matahari sehingga setelah setelah letusan, Eropa kehilangan musim panas. Tanaman melayu, gagal panen melanda, seiring wabah sampar yang merajalela.
Bukan yang terkuat
Selama seabad, tahun tanpa musim panas yang mematikan itu tak diketahui asalnya. Hingga pada 1920, meteorology Amerika Serikat, WJ Humphreys, menemukan hubungan cuaca buruk itu dengan Tambora sehingga gunung ini kemudian dikenal sebagai penyebab “krisis terbesar di Barat di era modern”.
Namun, Tambora bukan gunung terbesar yang pernah meletus di negeri ini. Dua tahun lalu, sejumlah ilmuwan menemukan bahwa letusan Samalas di Pulau Lombok pada 1257 ternyata lebih hebat. Seperti Tambora, letusan Samalas berdampak global. Temuan ribuan kerangka manusia di London dari tahun 1258 kemungkinan terkait erat dengan dampak letusan gunung ini (Lavigne, 2013).
Adapun letusan Gunung Toba di Sumatera Utara, yang diperkirakan terjadi 74.000 tahun lalu, nyaris menamatkan kehidupan di Bumi. Letusan yang meninggalkan danau kaldera terbesar di Bumi ini menciptakan badai vulkanik dan menggelapkan dunia hingga bertahun-tahun, menyebabkan nenek moyang manusia moder (Homo sapiens) nyaris punah. Periode gelap ini dikenal sebagai bottleneck dalam sejarah evolusi manusia.
Sebanyak 127 gunung berapi aktif terjalin melingkari Nusantara, 30 di antaranya ada di Pulau Jawa. Itu artinya, sekitar 120 juta orang hidup dalam bayang-bayang letusan gunung api. Kedekatan warga dan lokasi gunung api terbukti fatal karena lebih dari 150.000 jiwa tewas akibat letusan gunung berapi di seluruh Nusantara dalam kurun waktu 500 tahun terakhir. Angka ini merupakan rekor di dunia.
Namun, bagi masyarakat Indonesia, gunung api bukan hanya berarti bencana. Memahami gunung api pun tidak cukup dengan menyelidiki wadag-nya, menghitung tremor, dan sejarah letusannya. Tak kalah penting adalah memahami masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitarnya. Sebab, bagi masyarakat ini, gunung api juga pusat orientasi spiritual dan kebudayaan.
Apalagi, di balik kehancuran yang diakibatkannya, gunung api menyimpan berkah yang menghidupi. Abu letusannya menyuburkan tanah. Semakin aktif gunungnya, semakin padat penduduknya. Maka, dua abad letusan Tambora tak mesti membuat kita jeri. Namun, mengenali ancaman dan terus bersiaga semestinya menjadi bagian dari kebudayaan kita. (AHMAD ARIF)
Ratusan tahun terkubur*
Sekalipun menggemparkan dunia karena letusannya pada April 1815 telah mencipta tahun tanpa musim panas dan kelaparan massal di Eropa, tetapi peradaban yang terkubur di lereng Tambora tak banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia, bahkan oleh masyarakat yang hidup di kaki gunung ini hingga 10 tahun lalu.
Kisah tentang kerajaan di lereng Tambora memang telah disebutkan dalam sejumlah literatur lama, seperti dalam Bo’ Sangaji Kai. Disebutkan dalam buku diary Kerajaan Bima itu, hingga sebelum April 1815 terdapat 3 kerajaan di sana, yaitu Pekat, Sanggar, dan Tambora.
Namun, cerita tentang kehidupan yang terkubur selama hampir 200 tahun tersebut hanya dibiarkan dalam kertas, tak pernah ada penggalian untuk membuktikannya. Justru, lereng gunung yang hijau permai itu hanya menarik bagi perusahaan kayu PT Veneer Products Indonesia yang tergiur dengan hutan hujan yang kaya pohon klanggo (Duabanga moluccana).
Sejak beroperasi di Tambora pada 1972, para pekerja PT Veneer sebenarnya kerap menemukan berbagai barang pecah belah, koin lama, hingga perhiasan emas dan perak dari dalam tanah di dasar hutan. Temuan-temuan ini sebagian disimpan warga dan banyak yang diperjualbelikan. Bahkan, pada awal 1980-an, warga Desa Oi Bura ada yang menemukan kerangka manusia. Namun, temuan-temuan ini tak pernah mengusik kalangan ilmuwan maupun Pemerintah Indonesia.
Adalah Haraldur Sigurdsson, ahli gunung berapi dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat, yang terpukau dengan artefak temuan warga saat berkunjung ke Tambora pada 1986. Dia memimpikan bahwa Tambora bisa jadi adalah “Pompeii dari Timur”. Pada 2004, dia kembali ke Tambira dan mengajak peneliti Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Igan Sutawijaya, untuk memulai penggalian.
Profesor Haraldur Sigurdsson dan Igan Sutawijaya dalam ekskavasi Tambora, Agustus 2004 (NBC News/Lewis Abrams)
Hasilnya, ditemukan kayu bekas rumah yang terarangkan, tembikar, keramik, peralatan rumah tangga, gabah, dan kopi yang nyaris hangus, perhiasan dari perunggu, serta dua kerangka manusia. Satu kerangka ditemukan persis di depan rumah dalam posisi tertelungkup. “Dia seperti hendak berlari keluar. Namun, tiba-tiba awan panas menyapu,” tulis Sigurdsson dalam laporannya tahun 2007.
Tak hanya mengejutkan vulkanolog, temuan tersebut mengguncang dunia arkeologi. Jejak kehidupan yang terkubur letusan gunung terbukti ada. Pompeii of the East Discovered atau Pompeii dari Timur Telah Ditemukan menjadi judul berita di kantor berita Inggris, BBC, waktu itu. “Nyaris semua rumah telah menjadi arang,” kata Sigurdsson. “Namun, di dalamnya ada kerangka yang juga menjadi arang dan harta benda. Sisa kota (Tambora) masih di bawah sana.”
Kehadiran Sigurdsson yang bukan arkeolog, tetapi melakukan ekskavasi dan membawa sebagian artefak temuannya ke luar negeri dengan alasan untuk penelitian lebih lanjut, kemudian menimbulkan kontroversi. Akhirnya, Puslit Arkenas bekerja sama dengan Museum Geologi melakukan ekskavasi di Tambora pada Mei 2006. Dan Balai Arkeologi Bali yang berada di bawah Puslit Arkenas mulai menggali sejak 2008.
Kompas, Minggu, 5 April 2015
*) Tambahan dari: Jejak yang Terkubur di Ladang Jagung, Kompas, Sabtu, 4 April 2015
No comments:
Post a Comment