Sunday, 26 July 2015

Kutipan Singkat: Yap Thiam Hien

“Jika Saudara hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara Anda karena kita pasti akan kalah. Tapi, jika Saudara cukup dan puas mengemukakan kebenaran Saudara, saya mau menjadi pembela Saudara.”

Demikian disampaikan Yap Thiam Hien saat diminta menjadi kuasa hukum dari Soebandrio, mantan Wakil Perdana Menteri Pertama Indonesia, yang merangkap Menteri Luar Negeri.

Yap Thiam Hien (Sumber: yapthiamhien.org)

Sejarah mencatat, Yap merupakan advokat yang menggunakan ilmu hukum untuk kemaslahatan bersama. Yap menjadi besar dengan sikapnya tersebut.

Namun, sejarah juga mencatat, jalan yang ditempuh Yap, yang adalah cucu Kapitan di Aceh, Yap Hun Han ini tidak selalu mulus.

Tahun 1968, misalnya, Yap ditahan selama seminggu karena membongkar kasus suap dan pemerasan oleh polisi. Tahun 1974, bersama Hariman Siregar, Adnan Buyung Nasution, HJC Princen, dan Mochtar Lubis, Yap juga ditahan tanpa peradilan karena membela aktivis mahasiswa saat Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974.

Dua tahun lalu, dalam peringatan 100 tahun hidup Yap Thiam Hien, advokat Frans Hendra Winata mengatakan, Yap pasti merasa sedih melihat kondisi hukum saat ini seandainya dia masih hidup. “Terjadi kemerosotan penegakan hukum. Hukum kian diperdagangkan,” ujarnya.

Operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, seorang panitera, dan seorang advokat, yang kemudian dilanjutkan dengan langkah KPK menahan advokat OC Kaligis beberapa waktu lalu, menjadi salah satu contoh dari wajah buruk hukum Indonesia.

Dikutip dari:
HARYO DAMARDONO
Dunia Advokat: Jejak Langkah Alumni Sekolah Hukum…

Kompas, Rabu, 22 Juli 2015

Bantuan Pendidikan: Siswa di Bawah Umur Kendarai Motor, Subsidi Dicabut

PURWAKARTA, KOMPAS – Pemerintah Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, berencana mencabut subsidi jaminan pendidikan dan kesehatan bagi pelajar atau anak di bawah umur yang diketahui menggunakan sepeda motor, baik saat berangkat ke sekolah maupun di luar jam sekolah. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan, tindakan ini diambil guna menekan angka kecelakaan dan penggunaan sepeda motor oleh pelajar.
Jika sudah diperingatkan tetapi tetap membandel, siswa yang bersangkutan tidak akan naik kelas atau lulus ujian akhir karena mereka sudah jelas-jelas melanggar hukum negara.
“Terpenting, langkah itu untuk membentuk karakter siswa jauh dari pola hidup konsumtif,” ujar Dedi Mulyadi, seusai bertemu Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Purwakarta Ajun Komisaris Azis Syarifudin di Bale Nagari, Kantor Pemerintah Kabupaten Purwakarta, Jumat (24/7).
Selama ini, kata Dedi, pihaknya sering mendapat informasi tentang tingkat kecelakaan premotor di bawah umur meningkat di Purwakarta. Ada yang patah tulang hingga meninggal. Korbannya merupakan anak-anak di bawah umur yang dibiarkan oleh orangtuanya mengendarai sepeda motor. Bupati Dedi berpendapat, kondisi ini harus diakhiri.
Pencabutan subsidi pendidikan dan kesehatan bagi pelajar yang mengendarai sepeda motor bisa dilakukan karena biaya pendidikan dan kesehatan sudah gratis, ditanggung pemkab.
“Subsidi pendidikan gratis dan jaminan kesehatan Purwakarta Istimewa kami cabut. Negara tak mau membiayai warga yang bandel dan melanggar hukum,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya sudah mengeluarkan peraturan bupati bagi sekolah agar tidak meluluskan siswanya yang terbukti menggunakan sepeda motor, baik pada jam sekolah maupun di luar jam sekolah. Dalam kaitan itu, pemkab meminta para orangtua siswa agar paling depan mengawasi anak-anaknya untuk melarang penggunaan sepeda motor.
“Kalau orangtua sampai hati memberikan sepeda motor untuk anaknya yang masih di bawah umur, itu namanya membunuh anak secara perlahan. Bagi anaknya sendiri, kalau berani menggunakan, itu namanya bunuh diri,” ujar Dedi.
(Foto: Edo Rusyanto)
Dirazia
Sejumlah tokoh masyarakat di Kecamatan Plered, Purwakarta, mengkhawatirkan penggunaan sepeda motor oleh anak-anak di bawah umur. Anak-anak itu banyak yang memacu sepeda dengan kecepatan tinggi tanpa helm. Pembiaran itu disebabkan banyak warga desa yang justru merasa bangga apabila anaknya bisa naik sepeda motor. Ini dipicu oleh mudahnya membeli sepeda motor dengan cara kredit.
Karena itu, Polres Purwakarta akan secepatnya mengawasi dan menindak pengendara sepeda di bawah umur. Para pengendara sepeda motor cilik yang kini merambah ke desa-desa itu akan diawasi dengan memaksimalkan peran anggota Bintara Pembinaan dan Keamanan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) dibantu Bintara Pembina Desa dari Kodim Purwakarta.
“Mereka akan melakukan pengawasan di tingkat desa. Jika perlu, para petugas itu boleh menindak dan menilang,” ujar Azis Syarifudin. Menurut dia, dalam waktu dekat, jam efektif belajar siswa di sekolah pekan depan akan dimanfaatkan pihaknya untuk merazia ke setiap sekolah terkait pelajar yang membawa sepeda motor.
Anggota Satlantas Polres Purwakarta juga akan disiagakan untuk merazia pelajar yang membawa sepeda motor ke sekolah. Polres Purwakarta sudah jauh-jauh hari membuat kesepakatan bersama dengan pihak sekolah dalam pencegahan penggunaan sepeda motor oleh pelajar. Sebagai gantinya, pelajar diarahkan agar menggunakan sepeda ke sekolah.
Seperti terlihat di Kampus 1 SMP Kahuripan Pajajaran (SMPN 1 Purwakarta), Kamis (23/7), siswan kelas VII yang berjumlah 480 anak, pada hari pertama masa bimbingan banyak yang menggunakan sepeda. Amanda, salah satu siswa, mengatakan akan terus bersepeda ke sekolah. (DMU)
Kompas, Sabtu, 25 Juli 2015

Monday, 20 July 2015

Tinjauan Uji Bioavailabilitas dan Bioekivalensi

1. Definisi
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) didefinisikan sebagai kecepatan dan jumlah (rate and extent) bahan aktif atau senyawa aktif terserap dari produk obat dan menjadi tersedia di tempat kerjanya (FDA, 2014a). Karena ketersediaan di tempat kerja (site of action) seringkali berkaitan erat dengan kadar obat dalam darah, maka Pedoman ASEAN mengembangkan definisi tersebut menjadi kecepatan dan jumlah bahan aktif atau senyawa aktif terserap dari produk obat dan menjadi tersedia dalam peredaran darah (ASEAN, 2004). BPOM memberikan definisi yang dikaitkan dengan cara pengukuran bahan aktifnya, yakni persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin (BPOM, 2005a). Definisi yang diberikan BPOM tersebut kurang sesuai untuk produk obat yang tidak ditujukan untuk diserap ke dalam sistem peredaran darah, misalnya obat yang ditujukan untuk obat yang bekerja lokal di saluran cerna.

Sunday, 12 July 2015

Kehangatan di Bulan Suci Ramadhan

Oleh REGINA RUKMORINI dan RINI KUSTIASIH
Berdandan seperti bidadari mungil, 14 anak perempuan dengan gaun dan hiasan kepala serba putih memainkan biola mengiringi empat ibu yang ada di belakang mereka. Sore itu, Jumat (26/6), mereka menebarkan aura teduh melantunkan lagu-lagu islami.
Anak-anak dan ibu-ibu itu adalah umat Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus di Kabupaten Temanggung. Dalam acara itu, mereka membawakan tiga lagu, yaitu “Ilir-ilir”, “Syi’ir Tanpa Waton”, dan “Tombo Ati”.
Lantunan merdu ketiga lagu itu dibawakan dalam bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab. Mayoritas tamu yang hadir, bapak-bapak berbaju koko dan berpeci serta ibu-ibu berkerudung , memberikan tepuk tangan meriah dan sesekali memberikan siulan pujian.

Sunday, 5 July 2015

Moralitas Politik

Oleh ASEP SALAHUDIN
Seandainya orang menyimpulkan bahwa dalam ranah politik, mempercakapkan moralitas itu adalah sesuatu yang absurd, pernyataan ini tidak berlaku bagi salah seorang manusia pergerakan bernama Hatta.
Hatta menjadi sosok menggetarkan yang menunjukkan bahwa politik dan moralitas dapat bersanding berkelindan, bisa menyatu menjadi bagian tak terpisahkan dari kepribadian dan tindakan politik hariannya. Selaras dengan keyakinannya, “Pemimpin berarti suri teladan dalam segala perbuatannya…”
Maka, menjadi sangat mudah bagi salah seorang proklamator kelahiran Kota Bukittinggi (1902) ini menanggalkan jabatan prestisius wakil presiden (1956) ketika kekuasaan dianggapnya telah jauh menyimpang dari khitahnya tatkala kawan seperjuangannya, Bung Karno, dipandang sudah semakin lupa diri terserap dalam hiruk-pikuk gelora politik revolusi belum selesai yang disulutnya sendiri.
Menanggalkan jabatan wakil presiden otomatis adalah meninggalkan semua fasilitas negara, melucuti semua kemudahan yang diberikan kekuasaan kepadanya. Orang lain dengan segala daya memburu tampuk kekuasaan, Bung Hatta dengan mudahnya melepaskan tata rias kuasa. Setelah selesai bertugas menjadi wakil presiden, ia juga menolak semua tawaran perusahaan untuk dijadikan komisaris utama karena ia sangat paham jabatan komisaris di negeri agraris yang baru terlepas dari penjajah hanya cara lain untuk dijadikan alat “pengaman” perusahaan.
Karena moralitas yang menjadi prinsip dasar perjuangan politiknya, Hatta tidak ewuh pakewuh ketika harus mengkritik Bung Karno lewat brosur “Demokrasi Kita” atau melalui senarai tulisan yang diterbitkan Panji Masyarakat (1960) yang membuat Soekarno berang dan majalah itu kemudian diberedelnya.
Jawaban Hatta, “Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri. Tetapi, setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsafan.” Juga bukan karena Hatta ahli nujum kalau ia memprediksi bahwa kekuasaan dengan sistem demokrasi terpimpin tidak akan lama bertahan. Keyakinan ilmiahnya sangat jelas, “Diktator yang bergantung pada kewibawaan seseorang tidak lama umurnya… akan roboh dengan sendirinya seperti rumah dan kartu.” Bukan mengkritik pribadi Bung Karno, tetapi mengkritis pemikiran dan langkah-langkah politiknya. Maka, menjadi sangat dimaklumi di persimpangan permaknaan terhadap politik kebangsaan, hubungan kemanusiaan keduanya tetap terjaga, harmonis, dan kental.
Ketika Hatta dirawat, Soekarno berada di sampingnya. Sebaliknya, tatkala Bung Karno kritis dua hari sebelum ajalnya tiba, Hatta-lah yang mendampinginya. Lama saling bersalaman. Saling bertatapan. Dua proklamator ini seolah sedang kembali melakukan napak tilas atas jejak silam ketika keduanya bahu-membahu lantang meneriakkan perlawanan terhadap kaum kolonial, ingatannya dipertemukan saat-saat membaca teks proklamasi yang ditunggu-tunggu seluruh rakyat Nusantara.
Tidak mustahil terlintas dalam benak Bung Karno, sosok Hatta dengan kacamata tebal yang dengan heroic membacakan pidato pembelaannya berjudul Indonesia Vrij (Indonesia Mereka) di pengadilan Belanda atas pasa telah melakukan penghasutan dan penghinaan terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Tidak menutup kemungkinan juga dalam ingatan Bung Hatta sosok Soekarno muda yang tanpa tergurat sedikit pun air muka takut ketika menyampaikan pleidoi di Pengadilan Bandung yang berjudul “Indonesia Menggugat” tahun 1930.
Moralitas inklusif
Moralitas yang dikembangkan Hatta bukanlah moralitas berwatak partisan, eksklusif, dan tertutup, tetapi moralitas yang inklusif, terbuka, dan kosmopolit. Moralitas yang telah memosisikan dirinya tidak hanya menjadi sangat berwibawa di kalangannya sendiri, tetapi juga dihargai di semua lapisan masyarakat, lintas agama, lintas budaya, lintas etnik, dan lintas negara. Sosoknya sebagai penganut agama yang saleh tidak kemudian membuat dirinya puritan, tetapi imannya malah bisa memberikan rasa aman kepada warna yang berlainan pilihan keyakinannya. Imannya telah menjadi pandu yang membuatnya amanah ketika diberi tugas mengelola kekuasaan.
Agama bagi Hatta menjadi tampak melampaui sekat-sekat yang bersifat formalistic. Agama menjadi satu tarikan napas dengan panggilan kebangsaan. Maka, dengan mudah pula Hatta menyetujui penghapusan tujuh kata tentang syariat Islam, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” atas usulan kabar dari seorang Indonesia timur yang akan melepaskan dari Indonesia apabila syariat Islam ditegakkan jika tujuh kata itu masih tetap dilekatkan.
Diterimanya usulan penghapusan ini adalah suatu ijtihad besar dari seorang Hatta untuk meneguhkan bahwa ketika berbicara tentang kebangsaan, hal-hal yang berkaitan dengan sentiment agama, etnik, dan budaya harus dicairkan. Bahwa dengan frasa bangsa inheren di dalamnya realitas sosial yang heterogen dan negara tidak boleh melakukan pemihakan kepada salah satu kelompok. Negara harus berdiri menempatkan semua kelompok itu dalam posisi yang setara. Negara sebagai “bapak” yang mengayomi semua anak-anaknya, bangsa sebagai “ibu Pertiwi” yang menyusui semua anak-anaknya dengan kasih yang tidak berbeda.
“Syariat” yang dicantumkan “Piagam Jakarta” bukan hanya dapat mengancam keutuhan berbangsa, melainkan juga tidak menutup kemungkinan bisa merontokkan semua sendi kehidupan bernegara. Warga negara akan terus bertikai memburu politik metafisis demi fantasi politik-keagamaannya sebagaimana pertikaian berdarah-darah yang berlangsung pada abad pertengahan dan berlangsung juga sampai hari ini di sebagian negara Timur Tengah.
Sekali “agama” (agama apa pun) menjadi ideology negara, sejak itu tendensi memonopoli kebenaran akan berlangsung dan kaum penguasa menjadi punya alasan religious untuk menindas lawan-lawan politiknya yang dipandang melawan negara karena sekaligus otomatis dianggap melawan Tuhan.
Defisit moralitas
Di sinilah pentingnya kembali menghidupkan ajaran Bung Hatta, justru di tengah suasana perpolitikan bangsa kita yang sedang kehilangan arah dan role model. Pemimpin sangat melimpah, minimal yang mengaku-ngaku sebagai pemimpin, tetapi yang sulit didapat itu adalah mencari pemimpin yang layak diteladani. Pemimpin yang mampu menyatukan kata dengan perbuatan.
Interupsi Hatta seolah menemukan relevansinya ketika hari ini korupsi kian merajalela, rakyat kehilangan daulatnya, ekonomi semakin tidak jelas arahnya, dan kaum politisi sibuk mengurus dirinya sendiri dan atau memainkan kartu politiknya untuk kepentingan kaumnya, oligarki diam-diam menggeser spirit demokrasi. Sementara di sisi lain agama yang semestinya menjadi obor penghayatan bagi pemeluknya justru hanya ramai dengan upacara dan sebatas dijadikan jubah kaum politisi untuk menggoda warga bahwa politik agama itu penting.
Kita simak nubuat Hatta yang dia tulis tahun 1962, “Di mana-mana orang merasa tidak puas. Pembangunan tak berjalan sebagaimana mestinya. Kemakmuran rakyat masih jauh dari cita-cita… Perkembangan ekonomi pun telantar karena percekcokan politik senantiasa. Pelaksanaan otonomi daerah terlalu lamban sehingga memicu pergolakan daerah…” Kegelisahan Hatta masih tetap kita rasakan sampai hari ini.
ASEP SALAHUDIN
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya; Dosen di FISS Unpas, Bandung
Kompas, Sabtu, 4 Juli 2015