Oleh YUNI IKAWATI dan M ZAID WAHYUDI
Pesawat N-250 barangkali tinggal sejarah. Namun, itu tak menyurutkan PT Dirgantara Indonesia – pembuatnya – berupaya mandiri memproduksi pesawat komuter generasi kedua, yaitu N-219. Langkah tersebut untuk menjawab kebutuhan masyarakat, terutama di wilayah terpencil negeri kepulauan ini.
Kemampuan anak bangsa membuat pesawat terbang sendiri memang sudah dibuktikan dengan dua prototype N-250. Salah satunya dinamai “Gatotkoco”, yang telah terbang perdana pada 10 Agustus 1995. Pesawat itu dirancang memuat 50 penumpang. Seri berikutnya adalah “Kerincingwesi” untuk menampung 70 orang.
Dua pesawat itu merupakan bukti bangsa Indonesia mampu menguasai teknologi rancang bangun dan manufaktur pesawat penumpang sipil. Tak terbantahkan lagi.
Namun, itu saja ternyata belum cukup. Masih ada sederet tahapan yang perlu dilalui untuk membangun kemandirian. Target akhirnya adalah memenuhi kebutuhan bangsa ini akan transportasi udara dengan memproduksi pesawat buatan sendiri. Tentu saja pesawat yang layak dan aman untuk digunakan, sekaligus dapat dikomersialisasikan.
Kemampuan dalam negeri itu sejalan dengan dampak pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif baik itu mendorong kenaikan jumlah penumpang angkutan udara domestik dari 7,6 juta penumpang tahun 2000 menjadi 71 juta penumpang pada tahun 2013. Pertumbuhan rata-ratanya 22 persen per tahun.
Dari sisi ekonomi, perkembangan itu jelas tanah yang subur bagi industri penerbangan. Pasarnya sangat terbuka.
Karyawan PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat, merampungkan pembuatan pesawat N-219, Rabu (4/11/2015). N-219 ialah pesawat terbaru buatan PT DI yang dikembangkan bersama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional serta didesain untuk penerbangan ke daerah terpencil dengan landasan pacu pendek dan tak beraspal. (Kompas/Rony Ariyanto Nugroho)
Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Santoso (kiri) didampingi Chief Engineering N-219 Palmana Bhanadhi (kanan) melihat pesawat N-219 buatan PTDI, Bandung, Kamis (12/11). Desain, teknologi, dan mesin dikerjakan semuanya oleh ahli dalam negeri. Pesawat dibuat PTDI dengan Lapan. (Kompas/Rony Ariyanto Nugroho)
Pesawat N-219 buatan PT Dirgantara Indonesia (DI) bersama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional diluncurkan dalam acara penampilan perdana pesawat N-219 di hanggar PT DI, Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/12/2015). Peluncuran yang dilakukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan ini merupakan karya anak bangsa secara keseluruhan.(Kompas/Rony Ariyanto Nugroho)
Generasi kedua
Pesawat N-250, 20 tahun lalu dibuat dengan tujuan untuk memenuhi transportasi pengumpan (feeder) lokal, yaitu di kota provinsi dan kabupaten. Namun, karena kepentingan bisnis dan politis, mimpi yang siap terwujud itu kandas. Bahkan, sebelum sampai tahapan sertifikasi.
Dua dasawarsa berlalu, PTDI kini menjalani babakan baru membangun kemandiriannya. N-219 kemudian menjadi pilihan setelah dua tahun melakukan studi kelayakan ke seluruh pelosok negeri, di antaranya untuk mengetahui kekhasan kondisi geografis dan infrastruktur, serta kebutuhan penduduk akan jenis sarana transportasi udara.
Hasilnya, Indonesia memiliki sekitar 700 bandara dan lapangan terbang perintis. Dari jumlah itu, 350 lebih di antaranya berukuran landasan kurang dari 600 meter. Itu dapat dan akan dipenuhi dengan pesawat jenis N-219. Sementara pesawat N-250 membutuhkan landasan sepanjang 1.600 meter.
Panjang landasarn di daerah terpencil bukan hanya relatif pendek, melainkan juga bertanah lunak, berkerikil, dan berumput. “Dan, tidak rata,” urai Palmana Banandhi, Ketua Tim Teknik N-219 PTDI.
Prototipe pesawat terbang N-219 direncanakan terbang perdana tahun 2016 untuk mendapat sertifikat kelaikan terbang. Realisasi desain, rancang bangun, sertifikasi, dan produksinya melibatkan tiga pihak, yaitu Lapan, PTDI, dan Kementerian Perhubungan.
Setelah proses itu dilewati, PTDI akan memproduksi pesawat tipe perintis tersebut.
Secara teknis, perancangan pesawat komuter itu lebih banyak mengacu kondisi operasi penerbangan di Papua. Kondisi di sana dikenal memiliki tingkat kesulitan tinggi, terutama di kawasan Nabire dan Wamena dengan kondisi bergunung-gunung.
Lapangan terbangnya terdapat di daerah dataran tinggi dengan panjang landasan rata-rata 600 meter. Itu masih ditambah permukaan landasan berumput, kerikil, atau tanah.
Alat komunikasi atau instrumen pendaratan terbatas serta lingkungan lapangan terbang dikelilingi gunung, jurang, atau sungai sehingga pendaratan dan lepas landas tergolong sangat kritis dan berbahaya.
Dari sisi meteorology, kondisi cuaca sangat cepat berubah yang direspons jam operasi lapangan yang terbatas, antara 08.00-12.00 saja. Kabut dan angin kencang sering menyelimuti daerah pegunungan.
Keunggulan N-219
Keberadaan pesawat N-219 juga tawaran jawaban program pemerintah yang mencanangkan pembangunan mulai dari daerah pinggiran dan berbasis desa. Daerah-daerah terpencil itu selama ini memang minim sarana transportasi udara. Pesawat perintis yang digunakan umumnya jenis Twin Otter buatan Viking Canada. Itu pun tergolong using.
Pesawat N-219, selain diharapkan bisa menggantikan pesawat Twin Otter, juga menjadi pesawat misi multifungsi, seperti mengangkut penumpang, kargo/barang, evakuasi medis, surveilans, dan patrol. Dari sisi struktur, pesawat N-219 diklaim lebih baik dari pesawat sekelasnya, antara lain dari ukuran penampang kabin lebih luas. “Dengan demikian, daya angkutnya jadi lebih besar,” kata Direktur Teknologi PTDI Andi Alisyahbana.
Kelebihan utama N-219 dibandingkan Twin Otter buatan Kanada dan Y12 buatan Tiongkok adalah rentang kecepatannya yang lebar, dari 109 kilometer per jam hingga 389 km per jam. Ditambah bentuk keseluruhan pesawat yang aerodinamis, maka memungkinkan pesawat N-219 bermanuver menanjak di kawasan perbukitan yang tinggi.
Kehadiran sarana transportasi pesawat berkapasitas 19 kursi di wilayah terpencil, bukan saja untuk mendorong perkembangan ekonomi. Lebih jauh lagi, sebagai sarana mempertahankan keutuhan wilayah NKRI.
N-219 juga dapat memenuhi aspek perekonomian. Saat ini, subsidi untuk penerbangan perintis setiap tahun meningkat, dari Rp 238,5 miliar tahun 2010 menjadi Rp 320 miliar tahun 2014. Kenaikan itu sejalan dengan perluasan pelayanan penerbangan perintis. Tahun 2012 masih ada 132 rute penerbangan, pada tahun 2014 bertambah menjadi 170 rute. Kenaikan yang relatif signifikan.
Secara regional, kebutuhan pesawat sekelas N-219 versi sipil di Asia Pasifik, hingga tahun 2022 diperikirakan 118 unit. “Untuk pasar penumpang sipil, Indonesia negara terbesar di kawasan Asia Pasifik yang membutuhkan pesawat kelas ini,” ujar Andi. Kebutuhannya 40 unit untuk melayani penerbangan perintis tahun 2014.
Agar tak mengalami nasib sama dengan pendahulunya, saat ini disediakan dana pembuatan prototype kedua hingga proses sertifikasinya tahun 2017. Menurut Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin, pihaknya menyediakan Rp 400 miliar.
Menurut Gunawan S Prabowo, Kepala Pustekbang Lapan, tahun ini disediakan dana Rp 310 miliar untuk pengadaan komponen. Sisanya tahun depan. Untuk memperoleh sertifikat, perlu dana Rp 20 miliar. Direncanakan diambil dari anggaran riset Lapan.
Pengadaan komponen pesawat dua baling-baling telah dilakukan sejak tahun 2014. Tahun 2015, dilakukan integrasi dan pembuatan prototype. Tahun 2016, dilakukan uji terbang.
Prediksi kebutuhan
Hingga tiga tahun mendatang, Indonesia diprediksi memerlukan 240 pesawat kelas perintis. Rencana pembelian N-219 dari maskapai penerbngan nasional, menurut Direktur Utama PTDI Budi Santoso, sekitar 30 unit.
Dengan dana yang ada saat ini, kata Andi, pemesanan suku cadang telah dilakukan, termasuk untuk prototype kedua. Saat ini, N-219 versi kedua ini tengah dalam proses penyelesaian. Ia optimis N-219 akan berlanjut hingga produksi.
Produksi N-219 berkapasitas setengah dari N-250 jug didasari keterbatasan fasilitas, terutama SDM PTDI pasca krisis moneter 1998. Ketika itu, PTDI memiliki 16.000 karyawan. Kini, tersisa sekitar 4.000 orang. Sebagian SDM ahli justru membangun industri penerbangan di negara lain.
Produksi massal N-219 akan menampung tenaga terampil dan ahli, mulai jenjang SMK hingga setingkat doktor, yang sebenarnya saat ini sudah tersedia. Produksi itu juga akan meningkatkan daya saing Indonesia menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai 31 Desember 2015. Di ASEAN, Indonesia satu-satunya negara yang memiliki industri pesawat terbang.
Jangan tambah lagi ironi dunia penerbangan Tanah Air. Saatnya menguatkan keberpihakan industri penerbangan nasional.
Kompas, Sabtu, 28 November 2015