Sunday 26 June 2016

Toleransi Antar-etnis di "Kota Cina Kecil" Lasem

Oleh SRI LESTARI
Percampuran budaya Cina dan Jawa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah tak hanya berhenti pada sepotong batik tulis, dalam kehidupan sehari-hari di daerah nilai-nilai toleransi antar etnis dan agama sangat kental di kota yang dijuluki "Cina kecil" atau "Kota Beijing lama kecil", dan sebutan sebagai "Kota Santri".
Lasem
Bangunan dengan arsitektur Cina banyak dijumpai di Lasem, Rembang.
Menyusuri jalan-jalan kecil di Kota Lasem seperti berada di kota Beijing lama, disisi kanan dan kiri tampak bangunan rumah-rumah dengan arsitektur khas Cina yang dikelilingi tembok dengan gerbang bertuliskan huruf kanji yang berarti kalimat-kalimat bijak.
Di beberapa rumah huruf-huruf kanji tersebut tampak samar karena tertutup cat, telah dihapus, atau ditutup dengan papan.
Tulisan kanji yang sama juga terdapat di pintu Pesantren Kauman di Karangturi, Lasem, yang berisi dua pesan yang dalam bahasa Indonesia artinya adalah "Semoga panjang umur setinggi Gunung Himalaya" dan "Semoga luwes rezekinya, sedalam Lautan Hindia".
Gus Zaim mengatakan ingin menjadikan Lasem ikon toleransi.
H.M. Zaim Ahmad Ma'shoem Pembina Pondok Pesantren Kauman mengatakan tulisan kanji tersebut telah ada ketika menempati rumah tersebut dan memilih untuk tidak menghapusnya.
"Lho artinya bagus kok, ya tinggal diamini saja toh," jelas pria yang akrab disapa dengan Gus Zaim.
Gus Zaim mengatakan hampir semua rumah milik keturunan Cina di Lasem terdapat tulisan kanji di bagian pintu atau gerbang, tetapi sebagian besar telah dihapus atau ditutup dengan papan pada masa Orde Baru lalu.
Pasca peristiwa September 1965, Orde Baru melarang semua hal yang berkaitan dengan negeri Cina, karena negara tersebut memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia PKI dan pemerintahan Sukarno.
Toleransi ajaran Islam
Di depan pondok pesantren yang terletak ditengah permukiman keturunan Cina ini, juga tampak beberapa lampion, menurut Gus Zaim itu merupakan bentuk penyesuaian pesantren dengan budaya kampung setempat.
"Ketika ada masyarakat yang membutuhkan bantuan tenaga para santri akan membantu, begitu sebaliknya, itu namanya persaudaraan," kata Gus Zaim, "Bahkan jika ada yang meninggal saya dan para santri ikut takziah (melayat) dan mendoakan jenazah, tidak ada masalah."
Lasem
Aksara Cina di sebuah pintu di Lasem, Rembang.
Gus Zaim mengatakan persaudaraan antar sesama Islam, dengan sesama manusia dan juga satu bangsa, merupakan inti dari ajaran Islam, yang wajib dijalankan secara alami, tanpa rekayasa.
"Inilah Islam, inti dari ajaran lakum dinukum waliyadin agamamu agamamu,agamaku agamaku, silakan laksanakan kegiatan agamamu sesuai dengan keyakinanmu dan kami akan melaksanakan ritual agama kami dengan keyakinan kami, yang penting tidak saling menganggu," kata dia.
Menurut Gus Zaim biasanya pemikiran radikal ataupun intoleran justru muncul jika seseorang tidak memperkuat semangat keberagamaannya dengan ilmu.
"Yang radikal-radikal itu ilmunya dangkal, dia ga paham artinya bagaimana beragama," jelas Gus Zaim.
Kristianto
Kristianto, Ketua RT di Karangturi, mengatakan saling membantu dengan para santri.
Dia menjelaskan toleransi antar etnis dan agamadi Lasem sudah terjadi sejak dulu, dan generasi sekarang ini hanya meneruskan. Interaksi sosial yang harmonis antar etnis inilah yang menyebabkan Lasem tidak terkena imbas kerusuhan rasial yang terjadi di Solo Jawa Tengah pada 1980 dan 1998 lalu.
Pernyataan Gus Zaim, diamini oleh Kristianto atau yang biasa disapa Pak Semar, ketua RT yang merupakan keturunan Cina.
"Ya tidak ada perbedaan sama sekali, kita rukun dan saling membantu, prinsip saya ya pengen bantu juga, yang punya kerja siapapun ya saya bantu, saya pun dibantu oleh mereka (para santri)," jelas Pak Semar.
Menurut berbagai catatan, para pendatang dari negeri Cina tiba ke Lasem sebagai pedagang pada abad ke 15, ketika jaman penjajahan Belanda. Mereka berbaur dengan penduduk setempat yang beretnis jawa dan bahkan melahirkan satu motif batik yang khas Lasem.
Akulturasi budaya dalam batik
Tangan-tangan milik sepuluh pengrajin batik di Pabrik Batik Sekar Kencana dengan cepat memindahkan canting wajan kecil berisi lilin panas ke selembar kain yang telah diberi pola.
Lilin panas mereka membentuk bunga-bunga dan hewan yang menjadi motif batik khas Lasem, antara lain burung phoenix, burung merak, serta binatang mitologi Cina, Naga.
Motif hewan dan bunga khas negeri tirai bambu itu telah digunakan oleh para pengrajin batik di Lasem secara turun temurun, seperti disampaikan oleh Sigit Witjaksono (Njo Tjoen Hian) pemilik pabrik batik Sekar Kencana.
Batik Lasem
Batik Lasem merupakan bentuk percampuran budaya Cina dan Jawa.
"Kita menggunakan motif-motif khas negeri Cina sudah sejak dulu, sejak jaman penjajahan Belanda, tepatnya tak ada yang mengetahuinya, memang motif tersebut diperkenalkan oleh keturunan Cina yang datang ke Lasem," jelas Sigit yang kini berusia 86 tahun.
Nenek Moyang Sigit berasal dari Provinsi Hokkian Cina, yang hijrah ke Lasem pada 1740 an. Usaha batik diteruskan dari ayahnya yang dulu memasok kain batik sampai ke Malaysia.
Sigit mengatakan motif batik Lasem merupakan bentuk dari akulturasi budaya Cina dan Jawa.
"Ada motif yang bernuansa Cina dan juga ada pengaruh dari daerah penghasil batik lain di Jawa, tetapi yang khas adalah warnanya yaitu merah darah ayam atauabang getih pitik," jelas Sigit.
Menurut Sigit, percampuran kedua budaya yang terjadi sejak dulu menyebabkan Lasem menjadi daerah yang sarat dengan nilai-nilai toleransi.
Sigit Witjaksono
Sigit Witjaksono mengatakan saling menghormati inti dari toleransi.
"Tidak ada yang membedakan Cina dan Jawa, contoh saya telah menikah lebih dari 50 tahun dengan istri saya Marpat keturunan Jawa, dan anak-anak kami pun memiliki agama yang berbeda, tetapi tidak pernah ada bentrokan, " jelas Sigit.
Toleransi antar etnis, menurut Sigit terjadi karena masyarakat Lasem saling menghormati keyakinan masing-masing.
Sebagai pengrajin batik, Sigit pernah membuat hiasan batik dengan tulisan "Allahu Akbar" dan "Muhammad" dengan proses meluruhkan lilin dengan tangan, padahal biasanya proses tersebut dilakukan dengan kaki.
Kain hiasan dinding tersebut kini dipajang di pesantren Kauman, pimpinan Gus Zaim.
Gus Zaim mengatakan nilai toleransi itu menjadi sebuah tata kehidupan dalam diri sendiri bukan suatu tugas tetapi kewajiban yang mesti dilakukan tanpa harus ada sebuah pelajaran harus praktek.

BBC Indonesia, Kamis, 19 Februari 2015

No comments:

Post a Comment