Oleh MUSTHAFA ABD RAHMAN
Setelah berunding cukup alot sekitar 10 bulan, akhirnya Amerika Serikat dan Israel, Rabu (14/9), menandatangani nota kesepahaman paket bantuan militer terbesar dalam sepanjang sejarah hubungan bilateral kedua negara itu.
Wakil Menteri Luar Negeri AS Tom Shannon (kanan) dan Pejabat Penasihat Keamanan Nasional Israel Jacob Nagel (kiri) menandatangani pakta bantuan baru AS untuk Israel di Kementerian Luar Negeri AS, Washington, Rabu (14/9). AS akan memberi bantuan pada Israel senilai 38 miliar dollar AS (Rp 500 triliun) dalam 10 tahun ke depan atau 3,8 miliar dollar AS (Rp 50 triliun) per tahun. (Reuters/Gary Cameron)
Paket bantuan tersebut senilai 38 miliar dollar AS atau sekitar Rp 500 triliun untuk jangka waktu 10 tahun. Dari paket bantuan itu, Israel akan menerima 3,8 miliar dollar AS (sekitar Rp 50,029 triliun) setiap tahun.
Dalam nota kesepahaman itu ditegaskan pula bahwa setengah miliar dari 3,8 miliar dolar AS yang diterima Israel setiap tahun khusus diperuntukkan bagi pengembangan sistem rudal antirudal yang kini dikembangkan Israel.
Bantuan itu jauh lebih besar dibandingkan dengan bantuan yang diterima Israel selama ini sejak tercapainya kesepakatan damai Israel-Mesir di Camp David tahun 1979, yakni sekitar 3,1 miliar dollar AS per tahun.
Israel sampai saat ini adalah negara yang paling banyak menerima suplai senjata tercanggih AS. Ada anekdot: senjata tercanggih yang dibuat AS hari ini, keesokan hari sudah ada di Israel.
Presiden AS Barack Obama menyebut, paket bantuan militer baru itu untuk menjamin keamanan Israel di tengah ancaman negara-negara tetangganya yang bergejolak. PM Israel Benjamin Netanyahu menyatakan, paket bantuan militer itu akan mempertahankan keunggulan kekuatan militernya dan dapat menangkal ancaman rudal.
Secara politis, paket bantuan militer baru dari AS untuk Israel tersebut menunjukkan bahwa – meski sering terjadi beda pendapat – Israel dan AS tetap bertekad mempertahankan hubungan strategis mereka.
Selama ini AS dan Israel berbeda pendapat soal isu strategis, seperti kesepakatan nuklr antara Iran dan kelompok negara 5+1 (AS, Inggris, Tiongkok, Perancis, Rusia plus Jerman) pada Juli 2015. AS dan Israel juga berbeda pendapat soal sikap Tel Aviv yang terus menghindar dari proses perdamaian dengan Palestina.
Siapa pun tidak membantah terjalinnya hubungan strategis AS-Israel. Hubungan keduanya tak tergoyahkan oleh empasan angin apa pun.
Suatu ketika pada 1960-an, PM Uni Soviet Alexei Kosygin sampai bertanya pada Presiden AS Lyndon B Johnson, mengapa AS begitu membela Israel yang hanya berpenduduk 3 juta jiwa, tetapi menyerang sejumlah negara Arab yang mempunyai penduduk 80 juta jiwa? Presiden Johnson saat itu menjawab: karena Israel dalam posisi benar.
Faktor penyebab
Mengapa AS begitu membabi buta mendukung Israel sehingga sering terlihat tidak rasional? Banyak faktor penyebab AS begitu konsisten membela Israel sejak berdirinya negara Yahudi itu tahun 1948. Selain faktor geopolitik dan ekonomi, masalah agama dan budaya mendasari hubungan strategis AS-Israel. Faktor agama dan budaya itu pula yang menjadi barometer kebijakan geopolitik AS di Timur Tengah, termasuk terkait isu Palestina.
Tokoh gerakan pembaharuan agama Kristen asal Jerman, Martin Luther (1483-1546), sangat populer dan menjadi inspirasi utama dalam kehidupan di AS. Ajaran Martin Luther itu yang membingkai hubungan khusus Yahudi-Krister Protestan.
Sejarawan Inggris keturunan Lebanon, Albert Hourani, dalam bukunya, Sharq Al Awsat Al Hadist, menguraikan peran penting ajaran kitab suci Yahudi, Taurat atau Perjanjian Lama, dalam membangun pola pikir dan budaya kaum migran Eropa pertama ke AS. Kaum migran Eropa setiba di AS segera mengadopsi doktrin dalam Perjanjian Lama bahwa kaum Yahudi harus kembali ke Palestina.
Hal itu terjadi tiga abad sebelum lahirnya gerakan zionis yang digalang Theodor Herzl. Maka, proyek zionis sesungguhnya bisa disebut proyek AS yang terinspirasi dari kitab Perjanjian Lama dan diyakini oleh sebagian besar rakyat AS, jauh sebelum lahirnya gerakan zionis secara resmi.
Semua Presiden AS sejak berdirinya negara AS pada 1776 mempercayai dan mengadopsi kebijakan politik zionis. Kebetulan semua Presiden AS menganut Kristen Protestan, kecuali Presiden John F Kennedy yang menganut Katolik.
Hal ini berbeda dengan Katolik yang sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan Yahudi. Vatikan saja baru bersedia membuka hubungan diplomatik dengan Israel setelah tercapai kesepakatan Oslo antara Israel dan Palestina tahun 1993.
Dalam konteks itu, betapa pengaruh ajaran Yahudi sangat besar terhadap para pendiri dan Presiden AS. Presiden AS kedua, John Adams (1797-1801), dikenal salah satu Presiden AS yang sangat mengagumi Yahudi. Ia pernah mengirim surat kepada penerusnya, Presiden Thomas Jefferson (1801-1809), yang isi suratnya berbunyi, “Saya sangat meyakini bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa yang paling maju peradabannya dibandingkan dengan bangsa lain.”
Presiden Woodrow Wilson (1913-1921) juga dikenal sebagai Presiden AS yang sangat mendukung perjuangan bangsa Yahudi. Ia berbuat segala hal untuk mendukung dan menyukseskan Perjanjian Balfour tahun 1917 yang membuka jalan bagi imigran Yahudi ke Palestina.
Presiden Wilson pada 3 Maret 1919 mengatakan, pemerintah dan rakyat AS mendukung peletakan batu asas bagi berdirinya Uni Federal Yahudi di Palestina.
PM Israel Benjamin Netanyahu, ketika menjadi Dubes Israel untuk PBB pada tahun 1985, pernah menghadiri acara doa rakyat AS untuk kejayaan Israel. Netanyahu saat itu memuji hubungan historis Yahudi-Kristen Protestan yang membantu terwujudnya impian gerakan zionis, yaitu berdirinya negara Israel.
Bagian dari Barat
Setelah berdirinya negara Israel pada tahun 1948, PM Israel pertama yang juga pendirinya, David Ben Gurion, menerapkan nilai-nilai budaya Barat dalam politik (demokrasi), hukum (hak asasi manusia), ekonomi, dan sosial dalam kehidupan bernegara dan berbangsa di Israel.
Hal ini membantu mengantar negara-negara Barat, terutama AS, yang menganggap bahwa Israel adalah bagian dari dunia Barat.
Karena itu, memandang hubungan strategis AS-Israel tidak bisa melihat semata faktor kepentingan geopolitik atau lobi Yahudi, tetapi yang lebih mendasar adalah ranah agama dan budaya.
Proyek permukiman Yahudi di Modiin Illit, Tepi Barat, Palestina, yang terekam dalam foto bertanggal 14 Maret 2011. Dalam pidato kepada dunia Arab, tujuh tahun silam, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengingatkan, proyek permukiman Israel merusak harapan perdamaian Palestina-Israel. Rabu (14/9), pemerintahan Obama memberi Israel bantuan 38 miliar dollar AS untuk 10 tahun. Ini bantuan terbesar AS dalam sejarah hubungannya dengan Israel. (AP Photo/Oded Balilty)
Kompas, Minggu, 18 September 2016