Thursday, 21 June 2018

Toleransi di Meja Makan

Oleh NINA SUSILO dan ANTONY LEE
Semangkuk soto kudus dan sepiring lontong capgome punya cerita. Tidak hanya nikmat di lidah, tetapi ada juga memori kolektif soal indahnya keberagaman dan toleransi.
Semangkuk soto dengan nasi dan taburan bawang putih goreng menggoda selera. Kuahnya bening dengan rasa asin gurih dan sedikit manis. Sebagai pelengkap, ada kecambang dan taburan seledri rajang.
Ini bukan soto daging biasa. Daging yang digunakan bukan daging sapi, melainkan daging kerbau. Di lidah, kendati serat daging kerbau lebih kasar, soto tetap nikmat karena daging dimasak sampai lunak betul. Empuk sekali.
Ini soto kudus yang dinamakan satu kerbau dan nasi sop panjunan yang dijajakan Suparman di Jalan Wachid Hasyim, di pusat Kota Kudus, Jawa Tengah. Tak jauh dari warung tenda Suparman ada Kedai Soto Bu Jatmi. Selain itu, masih ada lagi Soto Pak Denuh di Jalan AKBP Agil Kusumadya. Semua warung soto itu utamanya menawarkan menu olahan daging kerbau.
Kebanyakan hidangan di Kudus memang menggunakan daging kerbau. Kebiasaan ini tumbuh dari kisah awal Sunan Kudus menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa sekitar abad ke-15.
Pengajar sejarah di Sekolah Tinggi Ilmu Budaya Islam Syekh Jangkung Pati, Edy Supratno, menjelaskan, Sunan Kudus melarang penyembelihan sapi untuk menghargai keyakinan warga Hindu pada masa itu, yang menganggap sapi sebagai binatang suci, kendaraan Dewa Wisnu. Dakwah dilakukan dengan menghargai aspek budaya masyarakat pada masa itu.
Sampai sekarang, menurut staf Humas Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, Denny Nurhakim, tak ada sapi yang disembelih di Kudus. Kalaupun ingin memasak daging sapi, warga bisa membelinya di pasar, tetapi dagingnya berasal dari luar Kudus. Karena kebiasaan warga memasak daging kerbau, seloroh Denny, di Kudus tak pernah ada kelangkaan daging sapi, harganya pun stabil.
Toleransi dalam hidangan di Indonesia juga bisa ditemukan di Kota Semarang. Lontong capgome, lunpia, ronde, bestik, dan mochi adalah perpaduan berbagai budaya yang nyata di atas meja. Budayawan Semarang, Jongki Tio, bahkan menyampaikan ada begitu banyak makanan Indonesia yang sejatinya adalah hasil perpaduan berbagai budaya.
Lontong capgome, misalnya, merefleksikan perpaduan budaya Jawa-Tionghoa. Penggunaan unsur rebung, serundeng, dan tahu menunjukkan adanya budaya Tionghoa di hidangan ini. Namun, lontong dan santan merupakan bagian dari tradisi Jawa. Jongki pun menyebut lontong capgome sebagai “saudara” ketupat.
Di perayaan Lebaran, warga kerap memberikan ketupat kepada tetangganya, termasuk warga keturunan Tionghoa. Pada akhir perayaan Imlek, yakni di hari kelima belas lunar atau Capgome, warga keturunan Tionghoa pun ingin memberikan makanan hantaran kepada tetangganya. Dikreasikanlah lontong yang berbentuk bulat memanjang dan apabila dipotong-potong tampak seperti bulan purnama. Berbagai topping ditambahkan, mulai dari sambal goreng tahu, sambal goreng ati, lodeh pepaya, sambal goreng rebung, serundeng, bubuk kedelai, hocang (parutan kelapa yang dikukus), dan abing (kelapa yang dibumbu sampai terasa manis dan agak lengket), serta telur pindang dan ayam suwir. Rasanya pun berpadu antara gurih santan yang ringan, asin, manis, dan sedikit pedas.
“Kalau (perayaan) Lebaran ditutup dengan ketupat, Imlek ditutup dengan lontong capgome,” kata Jongki.
Berbagai dongeng kisah pembauran sekaligus asal muasal makanan bisa diceritakan Jongki dengan fasih, membuat makan tak lagi sekadar mengenyangkan perut. Untuk Jongki, makanan ataupun dongeng di baliknya harus dihidupkan terus. Jongki pun membuka diri untuk berdiskusi dengan anak-anak muda. Semua demi menunjukkan persilangan budaya yang terjadi.
Warisan cerita
Kisah-kisah di balik hidangan-hidangan itu bisa dianggap sebagai folklor dalam konteks budaya tertentu. "Dongeng" setiap hidangan bukan lagi sekadar cerita, melainkan jelas bermakna untuk membentuk karakter masyarakat. Prof Robert Sibarani dalam makalahnya, Revitalisasi Folklor sebagai Sumber Kearifan Lokal (2013), menilai, folklor ataupun tradisi lisan sangat penting untuk menata kehidupan sosiokultural masyarakat. Sebab, folklor ataupun tradisi lisan ialah "bagian dari tradisi budaya yang mengandung nilai dan norma budaya sebagai warisan leluhur".
Justru ketika suatu negara membangun negaranya dengan berbasis pada budaya rakyatnya, menurut Robert, negara-negara itu sangat maju dan masyarakatnya sejahtera. Robert mencontohkan Jepang dan China.
Pengajar Sosiologi Pendidikan STAIN Kudus, Mailaha Dewi, juga menilai kisah-kisah toleransi dan multikulturalisme ini semestinya terus dikenalkan kepada generasi muda. Pengenalan baik di keluarga, sekolah, tempat-tempat ibadah, maupun di medium lain, seperti media sosial, bisa dilakukan. Tujuannya, aspek kognitif tersentuh dari pengetahuan yang diperoleh. Setelahnya, aspek afeksi juga akan membentk sikap dan perilaku.
Kisah-kisah yang terus disampaikan ini sangat efektif membentuk sikap dan perilaku. Sebab, kata Dewi, anak-anak biasanya enggan dilarang. Karena itu, dongeng atau cerita-cerita dengan nilai-nilai moral akan sangat bermanfaat untuk itu.
Kuliner Indonesia memang bukan hanya nikmat di lidah. Justru nilai-nilai yang dibawa dalam semangkuk hidangan semestinya bisa menjadi pengingat bawah toleransi dan keberagaman sudah hidup sejak sangat lama di Indonesia.
Semua keragaman budaya pun berpadu dalam harmoni di semangkuk soto kudus atau sepiring lontong capgome. Apakah ada orang yang sampai hati ingin merusak toleransi, yang jejaknya bisa ditemui di balik kenikmatan hidangan di meja makan itu?
Kompas, Sabtu, 26 Mei 2018

No comments:

Post a Comment