Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta; Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta; Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Pada 16 Maret 2020, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang tata kelola penyelenggaraan ibadah di tengah situasi pandemi Covid-19
Wilayah dengan sebaran virus korona sangat mengkhawatirkan boleh tidak melaksanakan shalat Jumat dan kegiatan ibadah lain secara berjemaah. Adapun orang yang sudah positif korona wajib hukumnya mengisolasi diri dan haram baginya untuk beribadah secara berjemaah atau jumatan di masjid atau mushala.
Jauh hari sebelum MUI, beberapa negara Islam di Timur Tengah dan beberapa negara lain sudah mengeluarkan fatwa penggantian shalat Jumat ke shalat dzuhur dan meniadakan ibadah massal lain. Bahkan, di Kuwait seorang muazin saat melantunkan azan menyisipkan kalimat "shallu fi rihalikum" (shalatlah di rumah kalian) sebelum mengakhiri azan. Tak terkecuali Arab Saudi benar-benar mensterilisasi dua masjid haramain dan mengeluarkan fatwa keringanan tidak melakukan shalat Jumat dan berjemaah di masjid.
Selain itu, pada 13 Maret 2020 Vatikan juga mengumumkan penutupan semua gereja Katolik di seluruh Roma untuk mencegah sebaran virus korona yang sudah menewaskan ribuan orang di Italia. Efek dari seruan tersebut, umat dibebaskan dari kewajiban melaksanakan aturan ibadah.
Menelikung fatwa agama
Di saat seruan massal yang dilakukan pemerintah di sejumlah negara untuk mengubah tata cara peribadatan yang menyesuaikan dengan kondisi darurat, dan dalam seruan itu tentu sudah diawali dengan proses ijtihad hukum yang matang, bahkan dalam prosesnya melibatkan pihak-pihak yang punya pengetahuan agama yang mumpuni, di sini muncul sekelompok orang yang justru menelikung fatwa agama dengan pandangan yang kontraproduktif.
Ada seorang gubernur yang menyerukan untuk tetap menyemarakkan shalat berjemaah di masjid. Ada pula seorang mantan jenderal yang mengatakan saat ini ada gerakan fobia Islam yang disisipkan dalam berbagai fatwa yang melarang beribadah di masjid. Maka, dia menganjurkan kepada umat Islam agar tetap shalat di masjid. Bahkan, sekelompok jemaah tablig menginisiasi ijtima ulama dunia di Gowa, Sulawesi Selatan. Meski pemerintah sudah membatalkan rencana ini di detik akhir, kerumunan orang dari sejumlah daerah dan luar negeri sudah telanjur tiba di Gowa. Dampaknya, kerumunan massa yang berpotensi besar jadi embrio sebaran dan paparan virus korona di kawasan Sulawesi Selatan itu sangat meresahkan masyarakat.
Demikian pula umat Katolik yang baru-baru ini melaksanakan misa agung penahbisan Uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat di Manggarai, NTT, yang dihadiri ratusan keuskupan di Indonesia dan ribuan umat Katolik di NTT. Padahal, beberapa hari sebelumnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah mengimbau agar misa itu ditunda. Namun, pihak Keuskupan Ruteng tetap melaksanakan dan membuat aturan misa yang ketat dan membatasi peserta bagi orang-orang yang sehat. Seakan-akan peringatan pemerintah bahwa setiap orang yang sehat sekalipun bisa terdampak korona, baik sebagai carrier (pembawa) maupun barrier (penghalang), tak digubris.
Tak terkecuali umat Hindu yang akan melaksanakan peringatan Nyepi di Candi Prambanan. Bahkan, ibadah massal ini direncanakan menyambung dengan ibadah lain, seperti upacara Melasti di Umbul Geneng, Klaten. Pihak penyelenggara yang tetap bersikukuh melaksanakan rangkaian ibadah massal seolah tak mau memahami kondisi sosiologis negara ini yang begitu tinggi tingkat kerentanan sebaran virus korona.
Sikap kepongahan sejumlah tokoh publik dan sekelompok umah beragama yang tidak menyadari makna penting diterbitkannya fatwa agama sebagai langkah pencegahan virus korona tentu akan menjadi parasit yang – gara-gara tidak taktis menjalankan ajaran agama – akan menimbulkan darurat yang lebih besar. Padahal, dalam kondisi darurat sudah dilansir dalam kaidah fikih, "ad darurotu tubihul mahdzurat" (kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang).
Dalam konteks kedaruratan global ini, apa yang difatwakan oleh sejumlah negara tentu bukan sedang menurunkan derajat kesalehan umat beragama dalam beribadah. Bukan pula sedang mendegradasi kemahakuasaan Tuhan sebagai Dzat yang paling ditakuti.
Akan tetapi, meminjam ungkapan bijak Umar bin Khattab – ketika ditanya oleh sahabatbya yang bernama Abu Ubaydah mengapa tidak melanjutkan perjalanan ke Syam yang saat itu sedang dilanda ta'un – sesungguhnya pemerintah di sejumlah negara sedang menjalankan takdir lain dengan cara menghindari sebuah kedaruratan untuk menyelamatkan rakyatnya.
Gagap teologis
Setidaknya, pemerintah di sejumlah negara yang begitu sigap mencegah sebaran virus korona dengan program social distancing, lockdown, ataupun kebijakan isolasi diri dalam berbagai bentuk rupa senapas dengan riwayat Nabi Muhammad yang berbunyi, "Jika kalian mendengar wabah tersebut menjangkiti suatu negeri, janganlah kalian menuju ke sana. Namun, jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, janganlah kalian keluar dan lari darinya" (HR Bukhari, Muslim, dan Malik Ahmad).
Lalu, ketika sejumlah negara mengeluarkan fatwa yang isinya merujuk pada sejumlah kaidah fikih, sirah Nabi, dan berbagai ajaran agama yang mengajarkan sebuah kearifan menjalankan peribadatan secara obyektif dan kesigapan menghadapi musibah, apakah kita masih mau menelikung fatwa agama itu hanya karena ingin menunjukkan diri kita berbeda?
Jangan-jangan apa yang dilakukan oleh sejumlah orang yang berwatak fatalis dalam beragama dan menganggap virus korona hanya sebuah makhluk yang tak patut ditakuti sedang dijangkiti sebuah kegagapan teologis yang selalu menempatkan dirinya paling benar (truth claim) dan berupaya menyalahkan pihak lain dengan alibi yang tak mendasar.
Kompas, Sabtu, 28 Maret 2020, halaman 7
No comments:
Post a Comment