Saturday, 30 December 2023

Kristen Palestina yang Terlupakan

 Oleh SUMANTO AL QURTUBY

Setiap kali konflik Israel-Palestina meletus—sejak 1948—dunia selalu tertuju pada umat Islam dan Yahudi.

Mayoritas masyarakat menganggap perang Israel-Palestina sebagai kekerasan agama antara Yahudi dan Muslim, bukan konflik perebutan tanah dan teritori. Kelompok pro-Israel biasanya membela Yahudi serta menganggap Yahudi sebagai korban keganasan Hamas dan faksi militan Islam Palestina lainnya, sementara yang pro-Palestina membela umat Islam yang mereka pandang menjadi korban aneksasi serta kebrutalan Israel dan Yahudi.

Tumbuhnya kelompok anti-Semitisme di negara-negara Barat, khususnya Amerika dan sejumlah negara Eropa yang marak belakangan ini, bukti bahwa kelompok pro-Palestina tak semata-mata anti-Israel, tetapi  juga anti-Yahudi.

Begitu pula sebaliknya, kelompok pro-Israel di Barat menjadi penyumbang signifikan dalam maraknya aksi Islamofobia meski fenomena ini sebetulnya sudah berlangsung lama dan bukan dipicu oleh konflik Israel-Hamas saat ini.

Sementara itu, umat Kristen nyaris terlupakan di tengah pusaran konflik Israel-Palestina. Padahal, Palestina sudah menjadi rumah umat Kristen jauh sebelum Islam lahir di abad ketujuh Masehi.

Di Palestina pula Yesus dilahirkan. Pula, umat Kristen di Palestina turut mendapat "getah" alias ikut jadi korban kekerasan Israel-Palestina sejak Perang Arab-Israel meletus tahun 1948, bahkan jauh sebelumnya, misalnya ketika Palestina di bawah otoritas Turki Usmani.

Perang Israel-Hamas sekarang ini juga berdampak negatif pada ribuan umat Kristen Gaza. Bukan itu saja, umat Kristen Palestina juga turut andil dalam upaya perdamaian antaragama, baik di tingkat elite maupun akar rumput. Sayangnya, eksistensi, realitas, dan kiprah mereka luput dari amatan publik akademik maupun non-akademik.

Pluralitas Kristen Palestina

Sebagaimana umat Islam dan Yahudi, umat Kristen Palestina juga sangat majemuk. Yang dimaksud Kristen Palestina di sini adalah umat Kristen yang tinggal di Palestina—baik umat Kristen lokal (khususnya Arab) maupun pendatang—bukan warga Palestina yang beragama Kristen dan tinggal di mana pun, termasuk Israel dan negara lainnya atau diaspora Kristen Palestina.

Menurut Bernard Sabella, pengajar di Universitas Bethlehem, sebuah kampus Katolik di Tepi Barat, sekitar 56 persen warga Palestina yang memeluk Kristen tinggal di luar Palestina. Tak jelas berapa persisnya populasi umat Kristen Palestina karena sejumlah sumber menyajikan data yang berbeda.

Ketika PBB melakukan survei penduduk Palestina pada akhir 1946, terdapat sekitar 145.000 umat Kristen atau sekitar 12 persen dari penduduk Arab Palestina. Perang Arab-Israel pada1948 mengakibatkan sekitar 75.000 warga Kristen Palestina menjadi pengungsi di sejumlah negara tetangga di Timur Tengah, khususnya yang banyak populasi Kristennya, seperti Jordania, Lebanon, dan Suriah.

Sebagian lain mengungsi di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sedangkan sekitar 39.000 Kristen Palestina tetap tinggal di tempat semula yang kelak menjadi negara Israel. Menurut data Badan Statistik Palestina tahun 2020, populasi umat Kristen turun menjadi 8 persen dan terakhir diperkirakan tinggal 6 persen. Tentu saja faktor terbesar penyebabnya adalah konflik, kekerasan, dan perang Israel-Palestina yang sudah berlangsung beberapa dekade.

Kristen Palestina bukanlah sebuah kelompok agama tunggal dan monolitik. Mereka sangat beragam di berbagai hal: denominasi kekristenan, wacana dan praktik keagamaan, dan pandangan terhadap isu pendirian negara Israel, atau penyikapan atas konflik Israel-Palestina.

Ada sejumlah denominasi Kristen di Palestina. Mayoritas dari Gereja Ortodoks Timur, kemudian disusul Katolik, Anglikan, Lutheran, dan lain-lain. Keragaman denominasi ini turut andil dalam menciptakan keragaman wacana dan praktik ritual-keagamaan.

Kemudian, meski ada kelompok Kristen Palestina yang pro-Israel (misalnya sejumlah Kristen Evangelis yang berafiliasi dengan gereja Amerika), mayoritas dari mereka menentang aneksasi dan kekerasan yang dilakukan rezim ultranasionalisme Israel dan kelompok garis keras Yahudi. Penentangan itu disebabkan umat Kristen Palestina juga menjadi target dan korban aksi kekerasan yang dilakukan oleh sebagian faksi politik/agama Israel/Yahudi. 

Korban Kekerasan

Tahun 2021, para pemimpin gereja Jerusalem membuat pernyataan bersama. Isinya mengungkapkan bahwa meski Pemerintah Israel menggaransi keamanan dan kenyamanan umat Kristen, tetap saja sejumlah kelompok radikal, pemerintah, dan polisi lokal sering melakukan tindakan kekerasan verbal (intimidasi dan pelecehan) serta fisik (penyerangan dan perusakan) terhadap umat Kristiani, termasuk para pendeta, pastor, serta gereja dan properti mereka. Tujuannya membuat umat Kristen tak nyaman dan akhirnya pindah dari Jerusalem dan kawasan lain di Palestina.

Fenomena kekerasan atas umat Kristen juga diungkapkan oleh sejumlah tokoh Kristen Palestina, seperti Profesor Mitri Raheb (pendeta Lutheran dan pendiri Dar al-Kalima University Colege of Arts and Culture di Bethlehem) dan Omar Haramy (Direktur Sabeel Jerusalem, organisasi teologi pembebasan akar rumput Kristen Palestina).

Keduanya menyatakan otoritas Israel dan kelompok radikal Yahudi sudah lama melakukan tindakan kekerasan terhadap umat Kristen Palestina serta aksi perusakan dan penyerangan terhadap berbagai gereja dan institusi Kristen lainnya, seperti sekolah, rumah sakit, bar, dan bahkan kuburan. Menurut keduanya, ada upaya sistematis dari Pemerintah Israel dan kelompok radikal Yahudi untuk mengubah demografi Jerusalem, Gaza, dan kawasan lainnya.

Salah satu kelompok ekstremis Yahudi yang sering melakukan aksi kekerasan terhadap warga Kristen Palestina adalah Lehava (akronim dari bahasa Ibrani yang berarti "Pencegahan Asimilasi di Tanah Suci") yang dipimpin oleh Ben-Zion Gopstein.

Kelompok ini mengklaim Tanah Suci Palestina adalah "milik Yahudi" dan tindakan kekerasan itu dimaksudkan untuk "merestorasi kejayaan Yahudi". Atas nama menjaga keaslian etnis Yahudi, mereka juga melarang "perkawinan eksogami" antara Yahudi dan non-Yahudi.

Sementara itu, organisas Zionis Eteret Cohanim rajin membeli properti di Jerusalem dan kawasan lainnya untuk kemudian diisi oleh warga Yahudi. Sejak 2018, Pemerintah Israel juga menerapkan pajak tinggi untuk properti-properti yang dimiliki oleh gereja sehingga memantik aksi protes para pemimpin gereja. Otoritas Israel (dengan alasan atau dalih keamanan) juga sering melarang warga Kristen dari luar daerah (misalnya Gaza) merayakan Natal di Bethlehem (sama dengan Muslim Gaza dilarang masuk Masjid Aqsa). 

Jadi jelasnya, dalam konteks Palestina, bukan hanya Muslim, umat Kristen juga menjadi sasaran dan korban aneksasi rezim politik Israel serta kekerasan sejumlah kelompok radikal Yahudi (simak, misalnya, laporan penelitian bertajuk Faith Under Occupation: The Plight of Indigenous Christians in the Holy Land yang disponsori oleh gereja-gereja di Jerusalem bekerja sama dengan World Council of Churches dan The Middle East Council of Churches).

Pembangunan perdamaian

Meskipun menjadi korban kekerasan, banyak umat Kristen Palestina yang aktif melakukan gerakan pembangunan perdamaian dan toleransi antaragama. Sejumlah tokoh Kristen dan pemimpin gereja mejadi aktor penting dalam proses penciptaan koeksistensi dan proeksistensi damai di masyarakat.

Hal yang sama terjadi di kalangan Yahudi dna Muslim. Meskipun ada faksi radikal seperti Lehava, banyak umat Yahudi (misalnya kelompok Haredi) dan warga Israel yang antiperang, properdamaian, dan pendukung toleransi antaragama. Umat Islam pun demikian, tidak semua Muslim Palestina mendukung ideologi dan gerakan politik Hamas, Jihad Islam, dan lainnya.

Selain Pdt Mitri Raheb yang mendapat penghargaan "Bintang Bethlehem" dari Presiden Mahmoud Abbas, tokoh Kristen ternama lain yang aktif melakukan perdamaian adalah Abuna Ilyas Syakur (Elias Shacour, l. 1939) atau Romo Syakur, seorang sarjana, penulis, pendidik, aktivis dialog antaragama, pastor Gereja Katolik Melkite, dan Uskup Agung Galilee (kini sudah pensiun).

Karena kompleksitas sejarahnya, Romo Syakur yang juga penulis buku Blood Brothers: The Dramatic Story of a Palestinian Christian Working for Peace in Israel sering menggambarkan dirinya  sebagai seorang "Arab Kristen, Palestina, dan Israel". Sepanjang hidupnya ia dedikasikan untuk merajut relasi harmoni antara umat Kristen dan pemeluk agama lain, khususnya Islam, Yudaisme, dan Druze, yang memiliki pengikut signifikan di Palestina dan Israel.

Beragam aktivitas perdamaian, baik formal maupun informal, telah ia lakukan dari berbagai level: akar rumput, nasional, maupun internasional.

Upaya pembangunan perdamaian juga ia lakukan melalui dunia pendidikan untuk menyasar generasi muda.

Pada 1982, ia mendirikan Prophet Elias High School yang dibangun di atas fondasi toleransi serta respek terhadap pluralitas etnis dan agama. Ia merasa banyak anak yang telantar pendidikannya dan khawatir akan tumbuhnya sektarianisme, eksklusivisme, militanisme, dan sentimen keagamaan di kalangan generasi muda akibat konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan.

Sekolah lintas agama ini didesain sebagai tempat pembelajaran bersama siswa dari berbagai agama dengan spirit saling menghormati keunikan serta kekayaan tiap-tiap ajaran, tradisi, dan budaya. Kelak, sekolah ini berubah nama jadi Mar Elias Educational Institutions.

Di ruangan lembaga pendidikan dengan ribuan siswa dan mahasiswa dari berbagai etnis dan agama ini, terpampang simbol-simbol Kristen, Islam, Yahudi, dan Druze serta tokoh-tokoh perdamaian dari berbagai agama dan suku bangsa. Semua itu menunjukkan prinsip dan komitmen Romo Syakur dalam pembangunan perdamaian antaragam yang berbasis nilai dan ajaran fundamental agama yang ia yakini memiliki tujuan baik dan positif bagi umat manusia.

Upaya baik dan positif Romo Syakur tak selalu mendapat respons serta sambutan baik dan positif dari pemerintah ataupun masyarakat. Selalu saja ada orang dan kelompok yang mencurigai dan bahkan melakukan aksi kekerasan verbal dan fisik baik terhadap dirinya, gereja, maupun sekolah yang ia dirikan.

Tapi, ia bergeming. Meskipun usianya sudah uzur (84), ia terus bergerak tanpa kenal lelah "menyalakan lilin di tengah kegelapan": merajut kembali relasi antarkelompok agama yang terkoyak akibat konflik serta menebarkan benih-benih perdamaian di masyarakat.

Sumanto Al QurtubyPendiri Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals

Kompas, Sabtu, 30 Desember 2023

No comments:

Post a Comment