Oleh SUMANTO AL QURTUBY
Kesejarahan sosial Qatar penuh dengan intrik, konflik, dan kekerasan, Sangat kontras dengan gambaran Qatar kontemporer yang relatif sepi dari kekerasan komunal dan konflik terbuka.
Meski banyak mata kini tertuju ke Qatar lantaran menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, tak banyak yang mengetahui seluk-beluk Qatar.
Termasuk soal kesejarahan, struktur sosial-politik, kondisi geokultural, potret hak asasi manusia (HAM), atau sistem dan praktik keagamaan di negara ini. Sejauh ini Qatar hanya dikenal sebagai negara minyak yang kaya dan makmur. Di kawasan Arab Teluk (baca, negara-negara Arab di area Teluk Arab atau Teluk Persia), popularitas Qatar tenggelam oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).
Saudi populer karena negara monarki ini jadi tempat haji dan umrah umat Islam seluruh dunia, selain faktor ekspansi Wahabisme ke banyak negara melalui proyek dakwah, pendidikan, beasiswa, dan penerbitan. Kini, Saudi kian populer lantaran gerakan masif modernisasi budaya dan moderatisasi agama, sementara UEA karena praktik ”liberalisasi” dan modernisasi yang sudah berlangsung lama mendahului negara kawasan Teluk Arab lain.
Nasib Qatar kurang lebih sama dengan Kuwait, Bahrain, dan Oman, yang juga kurang dikenal publik luas. Perhelatan Piala Dunia ini dengan begitu bisa mendongkrak popularitas Qatar di mata publik internasional.
Struktur masyarakat
Seperti negara-negara Timteng lain dan belahan dunia mana pun, Qatar juga memiliki dinamika sejarah dan struktur sosial-masyarakatnya sendiri. Penduduk Qatar didominasi kaum migran, berkisar 85-88 persen. Dari sekitar 2,9 juta penduduk Qatar, warga ”pribumi” (Qatari) cuma 300.000-an.
Ini kurang lebih sama dengan UEA yang sekitar 88 persen penduduknya warga non-Emirati. Dari segi jumlah, warga Bahraini (di Bahrain) dan Kuwaiti (di Kuwait) juga tak dominan di negara masing-masing. Hanya warga Saudi (di Arab Saudi) dan Omani (di Oman) yang lebih banyak ketimbang ekspatriat.
Meski populasi Qatari jauh lebih sedikit daripada penduduk migran yang didominasi warga negara-negara Asia Selatan (India, Bangladesh, Nepal, Pakistan, Sri Lanka), Filipina, atau Arab non- Qatari (misalnya Mesir), kelompok Qatari-lah yang membuat dan mengontrol kebijakan, sistem politik, hukum, agama, ekonomi, pendidikan, sosial-budaya.
Mereka juga yang berhak menikmati berbagai keistimewaan dan fasilitas negara, posisi-posisi penting, dan pekerjaan-pekerjaan ”berkelas.”
Penduduk migran hanya sebatas pekerja. Itu pun di sektor, bidang, dan jenis pekerjaan tertentu. Mereka yang mengerjakan sarana-prasarana Piala Dunia, seperti tujuh stadion megah, ratusan hotel, restoran, jalan raya, guna menyongsong fans bola dari banyak negara.
Lalu, siapakah Qatari itu? Warga Qatari merupakan kumpulan berbagai klan atau kelompok suku yang dulunya mendiami kawasan Arabia timur. Mereka, antara lain, Al-Tsani, Al-Khalifa, Bani Khalid, Al-Saud, Al-Ainain, Al-Qawasim, Al-Musallam, Al-Attiyah, dan Al-Kuwari. Al-Tsani yang paling berpengaruh karena jadi penguasa sejak abad ke-19 Masehi. Sejak 1868, Qatar dikontrol keluarga Al-Tsani, yaitu keturunan Syeikh Tsani bin Muhammad al-Tsamir, seorang kepala suku di Semenanjung Qatar.
Menurut catatan sejarawan Yunani, Herodotus, yang menulis di abad kelima SM, semula penduduk yang menempati Qatar adalah suku-suku bangsa Kanaan yang juga disebutkan di Alkitab Ibrani. Apakah mereka nenek moyang Qatari? Tak ada yang tahu persis. Yang jelas berbagai suku bangsa—Sumeria, Persia, Turki, Arab Badui, dan sebagainya—silih berganti mendiami kawasan Semenanjung Qatar sejak ribuan tahun SM.
Pluralitas
Banyaknya warga migran non-Arab berdampak pada pluralitas bahasa, agama, dan budaya di masyarakat. Meski bahasa Arab (dialek Qatar) menjadi bahasa resmi negara, bahasa Inggris juga dipraktikkan secara luas di masyarakat dan bahkan menjadi lingua franca, khususnya di dunia perdagangan, media, administrasi, internet, game, dan komunikasi sehari-hari, baik dengan sesama ekspatriat maupun dengan Qatari.
Sejumlah perguruan tinggi (PT) juga menggunakan bahasa Inggris atau menerapkan ”bahasa ganda” (Arab dan Inggris). Masifnya penggunaan bahasa Inggris ini menyebabkan Pemerintah Qatar khawatir akan kepunahan bahasa Arab di kemudian hari sehingga mereka menginisiasi simposium ihwal preservasi bahasa Arab. Selain bahasa Arab dan Inggris, bahasa lain juga dipraktikkan, seperti Persi, Urdu, Hindi, dan Tagalog.
Seperti kemajemukan bahasa, agama pun majemuk. Meski Islam mayoritas agama yang dipeluk warga (sekitar 67 persen, dan agama resmi negara), agama non-Islam juga banyak dipraktikkan, seperti Kristen, Hindu, dan Buddha. Untuk Islam, warga Qatari mayoritas mengikuti mazhab Sunni-Hanbali-Wahabi, sisanya Syiah (sekitar 15 persen) dan kelompok Islam lain.
Khusus umat Kristen, pemerintah mewakafkan tanah untuk pembangunan gereja. Tak pelak, cukup banyak gereja di Qatar dari berbagai denominasi Kristen (Katolik, Baptis, Anglikan, Ortodoks, Pantekosta, Syro Malabar, Marthomite, dan sebagainya). Ada pula Krishna Temple di Doha untuk umat Hindu.
Praktik budaya juga plural, seperti seni, musik, busana, olahraga. Meski negara mengadopsi mazhab Hanbali yang dikenal ketat dan Wahabisme dipraktikkan oleh sebagian besar warga Qatari, corak, gaya, dan karakter Hanbalisme dan Wahabisme di Qatar cukup moderat dan longgar. Misalnya soal tata busana, apresiasi terhadap seni dan musik, relasi dengan non-Muslim (meskipun dalam isu tertentu sangat ketat, misalnya soal LGBT).
Perkembangan dunia pendidikan tak kalah menarik. Qatar membangun ”Kota Pendidikan” di Al-Rayyan khusus untuk menampung PT luar negeri. Sejumlah PT asing pun membuka cabang di Qatar, seperti Georgetown University, Northwestern University, Texas A&M University, dan Virginia Commonwealth University. Meski Islam agama resmi dan dominan, jurusan dan program studi Islam sangat terbatas. Yang mendominasi adalah program dan jurusan non-agama (bisnis, ekonomi, saintek, engineering, AI, dan sebagainya).
Sejarah sosial-politik
Kesejarahan sosial Qatar penuh dengan intrik, konflik, dan kekerasan, sangat kontras dengan gambaran Qatar kontemporer yang relatif sepi dari kekerasan komunal dan konflik terbuka.
Baik sebelum maupun setelah Islam lahir di abad ke-7 M, Qatar menjadi ajang konflik dan perebutan berbagai kelompok kepentingan, baik antarsuku yang tinggal di Qatar dan Arabia maupun dengan suku bangsa asing. Selama berabad-abad, sejumlah suku bangsa asing, seperti Sumeria, Yunani, Persia, Romawi, Turki, Bahrain, Portugis, Belanda, Inggris, dan Perancis, ingin mengontrol jalur niaga maritim yang melewati Teluk Arab. Pada abad ke-19 M, Belanda dan Inggris pernah membombardir Qatar dengan kanon. Qatar juga pernah terlibat ”perang laut” dengan Bahrain dan Dubai (kala itu UEA belum lahir).
Sementara itu, wilayah Qatar daratan juga jadi ajang perebutan sejumlah suku/klan Arab Baduin pastoralis yang berpola nomadik, seperti suku Al-Murrah yang sangat legendaris. Pada akhir abad ke-18 M, klan Al-Saud dari Arabia berhasil menyerbu Qatar (dan Al-Hasa) dan mengalahkan dominasi klan Bani Khalid. Ketegangan antarsuku/klan itu, antara lain, yang membuat Inggris intervensi untuk mendamaikan karena khawatir kepentingan dagangnya terusik.
Namun, perjanjian damai (general treaty of peace) itu tak berlangsung lama. Qatar kembali bergolak sampai akhirnya kelak tampil gemilang klan Al-Tsani sebagai pecahan suku Bani Tamim di Arabia di bawah komando Jassim bin Muhammad al-Tsani, yang dikenal sebagai pendiri Qatar. Ia tampil menyelesaikan problem sosial-politik, baik masalah konflik antarsuku Arab yang mendiami Qatar maupun dengan Inggris, Turki (Ottoman), Bahrain, dan Dubai.
Sejak itu pamor klan Al-Tsani semakin moncer dan kokoh. Seperti klan Al-Saud di Arab Saudi, klan Al-Tsani hingga kini juga menguasai dan mengontrol sistem sosial, politik, dan ekonomi Qatar.
Masyarakat yang terpinggirkan
Selain sisi terang, Qatar juga punya sisi gelap. Sikap diskriminatif dan ketidakadilan sosial marak. Bukan hanya terhadap pekerja migran, tapi juga terhadap sekelompok Arab Qatari sendiri.
Misalnya, sejumlah suku dan klan seperti Al Murrah, Al-Ghufran, dan Syaml al-Hawajir, sedang menghadapi problem serius karena pemerintah mencabut status kewarganegaraan dan hak-hak sipil mereka. Kini ada ribuan anggota suku-suku ini yang menyandang status "stateless" laiknya Rohingya, Kurdi, atau Darfur. Banyak dari mereka hidup terlunta-lunta di berbagai negara lain di Timteng, bahkan dipenjara dan disiksa hingga minta bantuan PBB.
Tragedi buruk yang menimpa sejumlah suku ini bermula dari ketidaksetujuan mereka terhadap Amir Qatar tahun 1995, Hamad bin Khalifa Al Tsani, yang mengkudeta ayahnya sendiri (Syeikh Khalifa bin Jassim Al Tsani) saat ia berada di Eropa. Sang ayah berusaha merebut kembali tahtanya dengan dibantu sejumlah suku/klan. Tetapi gagal.
Akibatnya, sang ayah diusir keluar dari Qatar. Baru pada 2004, ia pulang kembali ke Qatar. Amir Qatar sekarang (Tamim bin Hamad Al Tsani) dulu juga mengkudeta ayahnya tahun 2013.
Sumanto Al Qurtuby, Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals
Kompas, Sabtu, 17 Desember 2022
Salam pendatang baru
ReplyDelete