Oleh WISNU DEWABRATA dan SARIE FEBRIANE
Kekejaman warganet dengan segala komentarnya yang tidak beradab perlu disikapi lebih serius. Fenomena yang disebut efek beracun disinhibisi daring ini bisa mempertajam polarisasi sosial. Oleh karena itu, etika berinternet atau netiket penting untuk dikampanyekan.
Huru-hara siber baru pecah belakangan, yakni ketika seorang bocah laki-laki berusia 14 tahun menjadi selebritas dadakan di Tik Tok. Ini adalah aplikasi media sosial user-generated yang mengakomodasi penggunanya berkreasi merekam video 15 detik secara lip-sync.
Namun, kepopuleran itu berefek buruk ketika sang bocah menuai komentar kejam dan tak senonoh dari warganet. Kita dibuat tak habis pikir jika membaca rangkaian komentar tersebut, yang seolah berasal dari manusia yang tak pernah terdidik tata krama dan etiket.
Tak hanya seleb dadakan yang rentan dirundung. Selebritas konvensional apalagi. Pengalaman dirundung di media sosial (medsos) mengingatkan apa yang pernah dikatakan filsuf Jean-Paul Sartre, “neraka adalah orang lain”.
Seperti pengalaman penyanyi solo Bams (34) atau Bambang Reguna Bukit. Saat putri pertamanya lahir beberapa tahun lalu, Bams bahagia bukan kepalang. Ia mengunggah kabar gembira itu beserta foto sang buah hati di akun medsos. Dia ingin berbagi sukacita kepada para penggemar dan pengikut (followers) akunnya.
Beragam tanggapan dan ucapan selamat muncul dari warganet. Namun, alangkah kagetnya Bams saat membaca salah satu komentar dari seorang follower, yang tak cukup bernyali menampilkan identitas dan foto profil asli di akunnya.
"(Komentar) itu yang paling gue inget. Isinya sangat menyakitkan. Dia menulis, 'yah lahir deh satu lagi anak (orang) kafir,' Saat itu juga gue langsung block itu akun," ujar Bams geram.
Ketika ditanya apakah saat itu dia berniat mencari tahu siapa di balik akun tadi atau memperkarakannya lewat jalur hukum? Bams mengaku tak mau berurusan dengan orang seperti itu. Waktu, tenaga, dan pikirannya jauh lebih berharga ketimbang mengurusi hal-hal negatif.
"They don't deserve my time. Buat gue, yang namanya racun ngapain dilayani. I don't think I need to create fear juga ke mereka. Gue bisa cari tahu orang itu dan lokasinya, lalu seret dia (ke ranah hukum). Tapi buat apa?" ujar Bams datar.
Figur publik yang pernah diserang dengan komentar tak beradab sejauh ini tak hanya selebritas. Warga kebanyakan, bahkan tokoh agama, politik, dan pejabat negara, seperti presiden, pun mengalami persoalan sama. Komentar dan postingan yang kasar tak beradab tersebut pada akhirnya memancing polarisasi sosial hingga di dunia nyata. Ini tentunya bisa menuai persoalan lebih serius.
Ada juga contoh kasus lain terkait video penghinaan disertai ancaman pembunuhan yang sempat viral dan dilakukan seorang remaja beberapa waktu lalu. Tak tanggung-tanggung, remaja pria⎼yang belakangan diketahui berasal dari keluarga mampu dan terpelajar⎼itu mengunggah video berisi hinaan dan bahkan ancaman pembunuhan terhadap Presiden Joko Widodo. Dalam video berdurasi sekitar 19 detik itu, si remaja tanggung berinisial RJ (16) juga menantang polisi agar bisa segera menangkapnya.
Belakangan, dari hasil pemeriksaan polisi, diketahui motif remaja itu hanya main-main dan sekadar "lucu-lucuan" lantaran ditantang oleh lima temannya. Seperti diberitakan Kompas, 25 Mei 2018, RJ dan ayahnya akhirnya memohon maaf.
Memicu kemarahan
Komentar kejam warganet di media sosial juga menimpa ulama besar Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, yang sekaligus Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus. Seorang pelaku berinisil PW, belakangan diketahui bekerja di salah satu perusahaan BUMN, mengomentari cuitan Gus Mus tentang hukum shalat Jumat di jalan raya dengan kalimat yang berujung ungkapan cacian dalam bahasa Jawa.
Komentar kejam warganet di media sosial juga menimpa ulama besar Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, yang sekaligus Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus. Seorang pelaku berinisil PW, belakangan diketahui bekerja di salah satu perusahaan BUMN, mengomentari cuitan Gus Mus tentang hukum shalat Jumat di jalan raya dengan kalimat yang berujung ungkapan cacian dalam bahasa Jawa.
Hal tersebut sontak memicu kemarahan warga NU dan akibatnya PW dicari-cari untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan kearifannya, Gus Mus tentu menerima permintaan maaf PW dan tidak memperpanjang masalah. Gus Mus bahkan meminta agar perusahaan tempat PW bekerja tak memecat pemuda itu.
Berbicara tentang tingkah polah warganet di dunia siber memang tak akan ada habisnya. Fenomena keberadaan mereka bahkan sampai memunculkan semacama aforisme; “maha benar netizen dengan segala komentarnya”.
“Malah seringnya isi bagian komentar di laman berita online isinya justru jauh lebih seru dan menarik untuk dibaca ketimbang beritanya,” ujar Rakhman Ardi, peneliti psikologi siber dan kognisi sosial dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur.
Anonimitas visual
Rakhman menjelaskan, fenomena begitu mudahnya warganet mengomentari secara agresif pihak lain dengan pernyataan yang nyinyir, kasar, menghina, atau bentuk-bentuk perundungan lain memang memungkinkan karena adanya faktor pendukung, yaitu anonimitas visual.
Rakhman menjelaskan, fenomena begitu mudahnya warganet mengomentari secara agresif pihak lain dengan pernyataan yang nyinyir, kasar, menghina, atau bentuk-bentuk perundungan lain memang memungkinkan karena adanya faktor pendukung, yaitu anonimitas visual.
Dalam realitas komunikasi tatap muka secara langsung, orang setidaknya dibatasi tiga norma yang saling memengaruhi. Ketiga norma itu adalah pesan, gestur, dan isyarat paralinguistic. Isyarat ini semacam nada suara saat orang berbicara atau mengucapkan sesuatu. Dari ketiga faktor tadi, orang akan bisa menanggapi pesan orang lain sesuai dengan apa yang dia lihat dan alami di dunia nyata.
Sementara saat berkomunikasi di dalam realitas internet, dari ketiga norma tadi hanya tersisa satu norma, yaitu pesan. Norma gestur dan isyarat paralinguistik absen. Akibatnya, komunikasi yang terjadi kemudian berubah menjadi sebuah visual anonim, yang menurut Rakhman memberikan semacam derajat kebebasan bagi seseorang untuk kemudian bisa berperilaku sesuai dengan apa pun yang dia mau.
John Suler, profesor ilmu psikologi dari Rider University, Amerika Serikat, dalam jurnal CyberPsycology & Behavior (Volume 7, Nomor 3), Juni 2004, menjelaskan, ada fenomena khusus dari realitas internet yang menjangkiti manusia penggunanya, yakni online disinhibition effect atau efek disinhibisi daring.
“Disinhibisi daring itu ialah orang merasa tak lagi dibatasi oleh apa pun. Hal itu terutama lantaran dia secara visual memang tidak terlihat. Akibatnya, kemudian bermunculanlah aspek-aspek lain yang pastinya tak akan tampak dalam sebuah komunikasi di realitas tatap muka. Termasuk pula kemunculan sisi-sisi gelap dari seseorang,” ujar Rakhman.
Mulia dan beracun
John Suler menjelaskan, disinhibisi daring memunculkan dua kutub gejala perilaku. Yang mulia dan yang beracun. Ketika warganet menampilkan perilaku baik, dermawan, bahkan kebaikan itu mungkin tak menjadi perilakunya sehari-hari di dunia nyata, gejala itu disebut benign disinhibition (disinhibisi mulia).
John Suler menjelaskan, disinhibisi daring memunculkan dua kutub gejala perilaku. Yang mulia dan yang beracun. Ketika warganet menampilkan perilaku baik, dermawan, bahkan kebaikan itu mungkin tak menjadi perilakunya sehari-hari di dunia nyata, gejala itu disebut benign disinhibition (disinhibisi mulia).
Sementara ketika perilaku warganet yang ditampilkan adalah agresif, negatif, kasar, gejala itu disebut toxic disinhibition atau disinhibisi beracun. Pada kasus Bams tadi, berarti ia telah menyikapi dengan tepat, dengan berkata, "Yang namanya racun, ngapain dilayani?"
Jadi, sederhananya, menurut Rakhman, sisi gelap seseorang memang bisa muncul saat seseorang berada dalam realitas internet. Dalam realitas internet itu, seseorang dimungkinkan untuk tak terlihat secara visual, yang kemudian membuatnya merasa seolah menjadi tak bisa dibatasi oleh apa pun.
Dalam kondisi tersebut, orang lantas memisahkan antara tanggung jawab ketika dia tengah berada dalam realitas tatap muka dan saat dia berada dalam realitas internet. Sebab itulah lantas bisa terjadi huru-hara siber, seperti kasus bocah seleb Tik Tok dan beberapa contoh kasus tadi.
Hal itu, menurut Rakhman, masih diperparah lagi dengan kehadiran fenomena hiperpersonal saat seseorang akan cenderung melebih-lebihkan imajinasinya sendiri saat berkomunikasi dalam realitas internet. Akibatnya, saat dia menyukai atau tak menyukai seseorang, dia akan melakukannya dalam derajat yang berkali lipat.
“Penyebabnya lantaran orang itu tak benar-benar berkomunikasi secara nyata dengan orang lain tadi. Akibatnya, saya tidak tahu seperti apa latar belakang orang itu. Yang saya kemudian lakukan hanyalah sebatas berkomunikasi dengan imajinasi saya sendiri tentang orang tersebut tanpa melihat seperti apa realitasnya,” ucap Rakhman.
Tak mengherankan kemudian jika orang akan bisa dengan sangat mudah menyukai, membenci, atau bahkan jatuh cinta dalam realitas dunia maya. Mereka seolah tenggelam dalam dirinya sendiri dan bahkan berani melakukan apa saja tanpa khawatir hal itu merugikan orang lain. Padahal, walau anonim, yang namanya jejak digital tetap dapat ditelusuri.
Menyikapi semua fenomena tadi, Rakhman menyarankan pentingnya pendidikan sejak dini tentang netiket atau etika dalam berkomunikasi melalui internet. Tanggung jawab itu juga harus diambil alih negara lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terutama Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, dengan memasukkannya dalam kurikulum pendidikan.
Pada prinsipnya, etika berkomunikasi di internet, termasuk tentunya media sosial, tak bisa dipisahkan dari norma-norma yang berlaku di dunia luring (offline). Sebab kini, apa yang terjadi di daring pun berefek nyata di tanah luring.
Rakhman mengaku sangat khawatir pada masa mendatang masyarakat Indonesia akan semakin tajam terpolarisasi jika netiket diabaikan.
Orang makin gampang menghina dan menyakiti orang lain di internet. Dampaknya bisa berujung fatal secara nyata, bukan maya.
Kompas, Minggu, 8 Juli 2018
No comments:
Post a Comment