Saturday 20 April 2019

Belajar Demokrasi dari Tebuireng Jombang...

Oleh RINI KUSTIASIH
Dua rumah yang berdampingan di depan kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, tersebut kontras dengan pemasangan bendera dan banner yang "bertolak belakang". Satu rumah memasang spandung "Pejuang PAS" yang mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan satu rumah lainnya memasang banner "Barisan Gus Dur dan Santri Bersatu" yang mendukung pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Dua pemilik rumah itu pun masih bersaudara karena mereka adalah saudara sepupu satu sama lain. Keduanya sama-sama cucu dari KH Hasyim Asy'ari yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama dan juga pengasuh Ponpes Tebuireng yang pertama. Pemandangan yang demikian kontras dengan mudah disimpulkan bahwa kedua pemilik rumah berbeda pandangan politik atau setidaknya memiliki pilihan politik yang tidak sama.


Pemandangan dua rumah di depan gerbang Pondok Pesantren Tebuireng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, yang berbeda pandangan politik, Minggu (7/4/2019). Kedua pemilik rumah adalah saudara sepupu dan masih keturunan KH Hasyim Asy'hari, pendiri Ponpes Tebuireng dan Nahdlatul Ulama. Perbedaan pandangan dan demokrasi menjadi sesuatu yang dihargai dalam pendidikan pesantren tersebut.
"Saya dan Gus Irfan (KH Irfan Yusuf) memang berbeda pandangan politik. Namun, itu bukan masalah besar. Berbeda pandangan politik itu hal biasa di Tebuireng dan NU pada umumnya. Meskipun saya berbeda pandangan politik dengan Gus Irfan, tidak menjadi alasan saya memutuskan hubungan persaudaraan dengan beliau. Kemarin, saya masih tahlilan dengan keluarga Denanyar bersama beliau," ujar KH Agus Zaki Hadzik, atau Gus Zaki, pemilik rumah dengan tulisan Baguss Bersatu, yang mendukung Jokowi-Amin.
Gus Zaki yang merupakan pengurus Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) PWNU Jawa Timur pun merasa pemasangan banner yang saling bertolak belakang di depan rumah mereka adalah bagian dari praktik demokrasi dan perbedaan pendapat yang biasa saja. Santri dan ulama NU tidak terikat harus mendukung salah satu pasangan calon sebab mereka memiliki kebebasan masing-masing untuk menentukan pilihan politik.
Dalam khazanah pemikiran NU, berbeda pendapat adalah lumrah dan semua memiliki landasan atau alasan masing-masing.
"Kalau misalnya santri berbeda pendapat dengan kiai atau ulamanya, saya katakan, dia sebaiknya diam saja. Jangan dibantah atau marah-marah. Karena keberkahan dari seorang guru atau kiai itu tiada duanya. Kalau soal pilihan politik, silakan saja. Namun, soal menghormati kiai dan ulama, yakni dengan sikap tawadhu, itu harus dilakukan seorang santri, kata Gus Zaki.
Demokrasi dalam kehidupan pesantren, menurut Gus Zaki, seperti "sego jangan" atau menu makanan sehari-hari. Hubungan santri dan kiai dilandasi ikatan yang lebih kuat daripada ikatan politik. Ikatan kemanusiaan, persaudaraan, dan keilmuan lebih diutamakan daripada perbedaan politik. Perbedaan pilihan tersebut tidak menyebabkan santri dan ulama putus hubungan atau antarulama menjadi tidak akur. Namun, perbedaan tersebut bagian dari dinamika intelektualitas pesantren.
"Makanya, saya heran kenapa kok hanya karena berbeda pandangan politik,seorang ayah melarang anaknya menikah dengan orang yang pilihan politiknya tidak sama. Itu menurut saya bagian dari fanatisme politik yang melampaui batas-batas persaudaraan, apalagi kemanusiaan," kata Gus Zaki.
KH Hasyim Asy'ari dalam beberapa kitabnya juga menyampaikan tidak dibolehkannya santri bersikap ta'ashub atau fanatik buta. KH Hasyim sendiri diceritakan pernah berbeda pendapat dengan wakilnya, KH Muhammad Faqih, Maskumambang, Gresik. KH Hasyim berpendapat beduk yang dilapisi kulit sapi adalah benar menurut fiqh. Oleh karena itu, sebagai panggilan shalat, penggunaan beduk dibolehkan. Namun, ia tidak sependapat kalau kentongan dibolehkan sebagai alat panggilan shalat. Adapun wakilnya, KH M Faqih, berpandangan penggunaan selain beduk, yakni kentongan, dibolehkan sehingga banyak masjid ketika itu yang juga memasang kentongan sebagai alat untuk memanggil shalat sebelum azan dikumandangkan.
Perbedaan kedua ulama ini jelas, tetapi hal itu tidak mengurangi penghargaan di antara keduanya. Ketika KH Hasyim berkunjung ke pesantren KH Faqih di Maskumambang, demi menghargai KH Hasyim, KH Faqih meminta santrinya untuk menurunkan semua kentongan di masjid-masjid selama kunjungan KH Hasyim.Tindakan ini bukan lagi tentang pendapat mengenai boleh tidaknya kentongan di masjid, melainkan lebih bagaimana ia mempraktikkan sikap tawadhu atau menghargai KH Hasyim.
Mengajak perdamaian
Semangat menghargai perbedaan itu kembali ditunjukkan kiai dan santri Tebuireng, Minggu (7/4/2019), ketika pengasuh Ponpes Tebuireng, KH Salahuddin Wahid atau Gus Solah, mengumpulkan sekitar 100 kiai dan ulama NU, baik yang mendukung pasangan calon nomor urut 01 maupun 02. Halaqoh kebangsaan bertajuk "Peran Ulama, Habaib, Kiai, dan Cendekiawan dalam Meneguhkan Ikatan Kebangsaan Menuju Indonesia Baldatun Toyyibatun Warobbun Ghofur," itu ingin meredakan ketegangan antarulama dan umat selama tahapan Pemilihan Presiden 2019.
"Mulai dari sekarang, apa pun pilihan kita, maka kita ini 00, artinya baik 01 dan 02, tidak perlu bertentangan lagi. Siapa pun yang terpilih sebagai presiden telah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Karena percaya pada hal itu, maka tidak perlu timbul perpecahan karena nanti yang menentukan adalah rakyat," katanya.
Gus Solah pun menyerukan semua perbedaan politik agar tidak sampai menyebabkan perpecahan. Dalam sejarahnya, tokoh Islam banyak berperan dalam persatuan Indonesia. Dalam pembahasan asas negara, misalnya, tokoh-tokoh Islam sepakat untuk menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Hal itu dilakukan atas dasar kesadaran bahwa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa dan bahasa, serta kepercayaan yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, menurut Gus Solah, persatuan dan persaudaraan di antara tokoh Islam sendiri ikut menentukan persatuan Indonesia. Jika tokoh-tokoh Islam bersatu dan bersaudara apa pun pilihannya, perdamaian akan terwujud.
KH Lutfi Abdul Hadi yang juga turut dalam pertemuan itu mengatakan, ulama yang bertikai gara-gara perbedaan politik harus bisa membayangkan Indonesia bagai gelas, yang ketika pecah makan akan sulit disatukan kembali. Perpecahan harus dihindari, apalagi karena perbedaan pilihan politik. Sebab, masih ada hal penting lainnya yang harus dipikirkan oleh kiai dan ulama.
Salah satu peserta pertemuan, Muhammad Yusuf dari Pacet, Mojokerto, Jatim, menyatakan dirinya mendukung pasangan Prabowo-Sandi. Ia adalah ketua sukarelawan Prabowo-Sandi di Jatim. Ia mantap dengan pilihannya, tetapi menghargai pilihan yang berbeda dari rekan-rekannya.
"Biasa saja kalau terjadi perbedaan politik. Kita tetap berhubungan baik. Silakan saja sesuai dengan pilihan masing-masing dan tidak perlu terpecah hanya gara-gara itu," ujarnya.
Demokrasi pesantren
Gambaran kiai dan santri NU yang menyikapi perbedaan pilihan politik dengan biasa saja dan tidak menyulut perpecahan itu, menurut Ahmad Najib Burhani, peneliti kajian Islam, adalah salah satu kekuatan NU sebagai suatu jamiyah.
Sejak awal, NU bukan dibentuk berdasarkan satu garis komando yang lurus antara organisasi struktural dengan kiai-kiai yang bergerak di tataran kultural dan pendidikan pesantren. Pemilik dan pengasuh pesantren adalah masing-masing individu kiai sehingga pendapat mereka sangat diperhitungkan, termasuk oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai pengurus struktural.
Dengan memahami konteks historis dan karakter jamiyah NU, suara atau pandangan yang keluar dari NU tidak bisa dipastikan tunggal. Khazanah intelektualitas dan luasnya spektrum NU agaknya tidak cukup diwadahi dengan ketunggalan pilihan.
Demokrasi di kalangan pesantren sebagai sebuah praktik itu pun agaknya juga dirayakan dengan sukacita, dan bahkan jika kita merujuk kembali pada KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, demokrasi bisa menjadi lucu, riang, dan jauh dari kesan tegang, apalagi perang. Humor-humor Gus Dur dan lontaran pendapatnya yang jenaka ketika ditanyai mengenai hal-hal berat mengenai demokrasi sedikit banyak menjadi gambaran bagaimana demokrasi itu ditanggapi dengan wajar dan tidak harus disertai pertikaian. "Begitu saja kok repot...," demikian kata Gus Dur.
Dalam menghadapi kontestasi politik yang kini kian kompetitif, pelajaran demokrasi ala santri Tebuireng yang damai, menghargai perbedaan, dan tidak merusak hubungan persaudaraan dan kemanusiaan kiranya patut untuk menjadi bahan refleksi.
Kompas, Sabtu, 20 April 2019

No comments:

Post a Comment