Saturday 23 May 2020

Klorosis pada Daun Kantong Semar

Klorosis adalah pemudaran atau hilangnya warna hijau pada daun normal. Perubahan warna ini terjadi akibat masalah pembentukan dan perusakan zat hijau daun atau klorofil. Sintesis klorofil dapat terganggu akibat kekurangan unsur tertentu. Tanaman kesulitan mendapatkan nutrisi yang diperlukan karena media kurang subur, keasaman tidak sesuai, terlalu padat, atau terlalu basah. Dua kondisi media terakhir menyebabkan akar kurang berkembang, atau bahkan mengalami kerusakan.Klorosis juga bisa terjadi karena paparan cekaman lingkungan (kelembapan. cahaya, panas, genangan, garam, polusi) dalam jangka waktu lama, infeksi jamur, bakteri, dan virus, serta serangan kutu akar dan nematoda puru-akar (Duca, 2015, p. 184; Mathew dan Mani, 2016). 

Klorosis akibat media yang selalu basah karena perendaman.

Ketersediaan dan penyerapan nutrisi

Kekurangan nutrisi sering terjadi pada kantong semar, terutama jika tidak berkantong, karena anggapan bahwa tanaman ini harus ditanam pada media yang miskin hara dan pemupukan harus dihindari. Tanaman yang dipindah ke media baru biasanya masih mendapatkan cukup nutrisi sehingga sering menampakkan pertumbuhan yang bagus.

Namun, seiring waktu, kandungan mineral dapat semakin menipis karena pengambilan oleh tanaman dan sebagian terbuang keluar pot bersama air siraman. Tanpa adanya tambahan mineral pada media, tanaman mulai menampakkan gejala kurang gizi.

Sejauh ini dikenal ada 14 unsur esensial, meskipun kebutuhan klorida (Cl) dan nikel (Ni) terbatas pada tanaman tertentu. Suatu mineral dinyatakan esensial terhadap pertumbuhan tanaman jika memenuhi tiga kriteria, yakni diperlukan tanaman untuk bisa melengkapi siklus hidupnya, tidak dapat digantikan unsur yang lain, dan secara langsung terlibat dalam metabolisme tanaman. Atas dasar kriteria ini, unsur yang berperan meringankan gejala toksisitas unsur lain, misalnya silika (Si) untuk meredakan toksisitas mangan (Mn), atau dapat tergantikan unsur yang lain, misalnya natrium (Na) dapat digantikan kalium (K), tidak dianggap sebagai unsur esensial (Kirkby, 2012).

Unsur esensial tersebut dibagi menjadi dua kelompok, berdasarkan besar kebutuhan atau jumlah ketersediaan dalam tanaman. Kelompok unsur yang dibutuhkan dalam jumlah relatif besar, ada sedikitnya 0,01% dari bobot kering tanaman, disebut nutrisi makro (macronutrient). Elemen dalam kelompok ini antara lain nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan sulfur (S).

Kelompok lain dibutuhkan dalam jumlah relatif sedikit, tersedia antara 0,01% hingga 0,001% dari bobot kering tanaman. Unsur yang termasuk nutrisi mikro (micronutrient) ini antara lain boron (B), klorida (Cl), tembaga (Cu), besi (Fe), mangan (Mn), molibdenum (Mo), nikel (Ni), dan seng (Zn) (Duca, 2015).

Berdasarkan kemampuan bergerak dalam tanaman, mineral dibedakan menjadi nutrisi bergerak (mobile nutrients) dan nutrisi diam (immobile nutrients). Nutrisi bergerak mudah berpindah dari satu bagian ke bagian yang lain dalam tanaman. Contoh nutrisi jenis ini adalah N, P, K, Cl, Mg, dan Mo. Gejala defisiensi nutrisi jenis ini biasa terjadi mulai dari daun tua dan bersifat lokal bagian tertentu atau bisa menyeluruh.

Sebaliknya, nutrisi diam seperti Ca, B, Cu, Fe, Mn, Ni, S, dan Zn, tidak dapat berpindah sehingga gejala defisiensi akan terlihat mulai dari daun termuda dan lebih bersifat lokal.Seng (Zn) bisa dikatakan memiliki karakteristik pergerakan yang setengah-setengah. Akibatnya, gejala kekurangan seng bisa terjadi mulai dari tengah, yang kemudian, saat defisiensi makin parah, menjalar ke daun tua maupun muda.

Kekurangan nitrogen (N) dan molibdenum (Mo) bisa menyebabkan klorosis mulai dari daun tua. Sedangkan klorosis karena kekurangan sulfur (S) dan tembaga (Cu) dimulai dari daun muda.

Dalam kondisi kekurangan kalium (K), daun juga mulai berubah kuning dari bagian bawah tanaman ke atas. Perubahan warna karena defisiensi K terjadi mulai dari bagian tepi. Selanjutnya, ujung dan tepi daun berubah warna cokelat. 

Dalam molekul klorofil, magnesium (Mg) ada pada posisi sebagai atom pusat. Oleh karena itu, defisiensi magnesium dapat mengganggu biosintesis klorofil. Klorosis karena kekurangan magnesium dikenali dari warna kuning yang terjadi di bagian antara tulang-tulang daun, sedangkan tulang daun masih berwarna hijau. Kondisi ini disebut klorosis antar-pembuluh (interveinal chlorosis). Pada kasus defisiensi Mg, klorosis antar-pembuluh terjadi mulai dari daun tua.

Klorosis antar-pembuluh juga terjadi karena kekurangan besi (Fe), mangan (Mn), dan seng (Zn). Perbedaannya, klorosis karena defisiensi Fe dan Mn teramati mulai dari daun muda, sedangkan defisiensi Zn dimulai dari daun menengah.

Mineral nutrisi masuk ke tanaman utamanya melalui akar. Lingkungan media, seperti kelembapan yang sesuai dan banyak berpori untuk menyediakan oksigen, diperlukan untuk membentuk sistem perakaran yang baik dan sehat, untuk mampu optimal menyerap nutrisi dari media.  

Suhu, pH, dan kelembapan media dapat mempengaruhi penyerapan nutrisi mineral oleh tanaman. Intensitas penyerapan maksimal dapat terjadi pada rentang 20 dan 35°C. Pada suhu yang lebih tinggi laju penyerapan menurun. Penyerapan bisa terhenti saat suhu media mencapai 50°C.

pH media mempengaruhi availabilitas atau ketersediaan kation dan anion untuk diserap akar. Secara umum, pH optimal untuk pertumbuhan tanaman antara 5,5 dan 6,5. Mineral Zn, Fe, Mn, Cu, dan B sulit diserap dari tanah di atas 7. Sedangkan pada tanah di bawah 5,5, pertumbuhan tanaman dibayangi bahaya toksisitas Mn, Cu, dan Al (Schutzki et al, 2017).

Salah satu media yang sering digunakan penghobi kantong semar adalah sekam bakar atau arang sekam padi. Biasanya, media ini digunakan dalam campuran, misalnya, dengan cocopeat dalam perbandingan yang sama. Namun, ada yang menggunakan sekam bakar saja. Sekam bakar memiliki pH tinggi, antara 8-10, sehingga biasa digunakan untuk meningkatkan pH tanah asam (Eberemu et al, 2014; Islabao et al, 2014; Njoku dan Mbah, 2012). Penggunaan sekam bakar tunggal sebagai media berpotensi menimbulkan masalah penyerapan nutrisi melalui akar.

Air untuk menyiram tanaman dapat mempengaruhi pH media. Abdul Ghofur menceritakan, TDS air tahan di Bojonegoro saat musim hujan di atas 200 ppm. Nilai ini meningkat tajam hingga di atas 1000 ppm saat musim kemarau. Kandungan Ca dan Mg yang tinggi menyebabkan air tanah memiliki pH sekitar 8. Bukan hanya air tanah, air hujan tangkapan langsung juga menunjukkan pH yang kurang lebih sama dengan air tanah. Kondisi air hujan alkali ini pernah dilaporkan di India karena kandungan debu tanah yang tinggi Ca (Kulshrestha et al, 2000).     

Penumpukan mineral karena penyiraman berulang juga dapat menyebabkan pH media berubah, terutama dengan air yang mengandung Ca dan Mg. Akumulasi mineral ini dapat teramati dari munculnya kerak pada pot dan media. Cepat lambatnya penumpukan tergantung pada tingkat kandungan mineral air.

Laju penyerapan air dan mineral yang tinggi biasanya terjadi pada kelembapan media antara 75-80%. Pada kelembapan yang lebih rendah, absorpsi terjadi lebih lambat. Pada media yang terlalu basah dan becek, oksigen yang tersedia menjadi sangat tipis. Kondisi kekurangan oksigen dapat mempengaruhi proses penyerapan karena tidak cukup energi yang dapat dilepas saat respirasi (Duca, 2015, p. 183). 

Gangguan pertumbuhan dengan klorosis tanaman dapat disebabkan kutu akar (root mealybugs). Infestasi hama ini seringkali sulit terdeteksi karena keberadaannya di bawah permukaan tanah dan populasinya berkembang lambat. Akar yang terserang ditandai dengan adanya massa putih seperti kapas. Massa ini berisi betina dewasa dan telurnya (Mathew dan Mani, 2016).

Pengendalian dapat dilakukan secara kimia dengan insektisida (Neem Oil, imidakloprid, klorpirifor, profenofos, diazinon, dll) atau secara biologi dengan jamur dan bakteri entomopatogen. Langkah yang dapat digunakan dalam mencegah infestasi kutu akar antara lain penggunaan granul tabur karbofuran, Diatomaceous Earth, atau kapur barus (mothball) yang mengandung paradiklorobenzen (Smitha dan Mathew, 2010; Mathew dan Mani, 2016).

Serangan nematoda puru-akar (Meloidogyne spp) ditandai dengan kondisi daun klorosis berat hingga berwarna putih kekuningan dengan nekrosis pada bagian tepi-ujung. Fian Noor Seha menggambarkan, batang semakin kurang sehat dan tanaman terlihat lemas."Kondisi loyo, mau disiram air juga sama," kata Fian.

Ciri khas serangan nematoda puru-akar dapat ditemukan setelah media dibongkar. Bagian akar yang dekat batang terlihat banyak benjolan, yang disebut puru (gall). "Benjolannya kalau dipegang kayak kayu lapuk atau keropos," tambah Fian.

Timbulnya gejala yang terlihat pada bagian di permukaan tanah merupakan tanda akar sudah rusak parah. Hadi Susilo menyarankan stek ulang dan ganti media. Untuk pencegahan, nematisida dapat digunakan untuk membunuh nematoda, terutama larva yang hidup bebas di tanah. Nematisida yang sering dipakai adalah karbofuran (Furadan).

Kontrol biologi dapat dilakukan dengan jamur dan bakteri yang bersifat patogen pada nematoda. Contoh jamur yang dapat menekan pertumbuhan nematoda antara lain dari Paecilomyces lilacinus (sinonim Purpureocillium lilacinum), spesies FusariumPochonia (sinonim Verticillium), Gliocladium, dan Trichoderma (Viaene et al, 2006; Sahebani dan Hadavi, 2008). Dari golongan bakteri, beberapa yang pernah dilaporkan dapat digunakan untuk kontrol biologi nematoda antara lain Pasteura penetrans dan spesies dari Bacillus (Sharon et al, 2011; Radwan et al, 2012; Lamovsek et al, 2013).      

Cekaman panas

Tanaman dapat, atau bahkan sering, mengalami cekaman lingkungan, yakni kondisi eksternal yang dapat menimbulkan efek buruk terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan produktivitas tanaman. Cekaman bisa biotik, karena organisme lain, atau abiotik, karena kelebihan atau kekurangan faktor fisika atau kimia tertentu dalam lingkungan. Cekaman lingkungan yang menyebabkan kerusakan tanaman antara lain genangan, kekeringan, suhu rendah atau tinggi, salinitas tinggi, kekurangan nutrisi mineral, kelebihan atau kekurangan cahaya, dan paparan zat berbahaya (Shinozaki et al, 2015).

Tanaman bisa memberikan respon beragam terhadap cekaman lingkungan yang dialaminya, mulai dari perubahan ekspresi gen, metabolisme seluler, hingga perubahan laju pertumbuhan. Bagaimana tanaman merespon tergantung pada durasi, intensitas, frekuensi, dan kompleksitas paparan cekaman.  

Cekaman yang dihadapi kantong semar di daerah dataran rendah seperti Surabaya dan berpotensi menimbulkan gejala klorosis adalah cekaman panas (heat stress). Polutan udara, terutama yang berasal dari asap kendaraan bermotor dan aktivitas industri juga menjadi ancaman tanaman yang dipelihara di kota besar. Klorosis dapat terjadi karena paparan polutan seperti timbal (Pb) dan ozon.

Secara umum, cekaman panas ini didefinisikan sebagai peningkatan 10-15°C di atas suhu pertumbuhan optimal (Wahid et al, 2007; Yu et al, 2012). Tumbuhan yang terpapar suhu tinggi menunjukkan penurunan kandungan klorofil (Efeoglu dan Terzioglu, 2009). Hal ini bisa terjadi karena gangguan proses sintesis klorofil atau peningkatan degradasi klorofil atau kombinasi keduanya (Jajoo dan Allakhverdiev, 2017).

Ada dua mekanisme respon tanaman terhadap cekaman panas, yakni menghindar dan toleransi. Mekanisme menghindar mencakup pengubahan morfologi (menggulung daun, mengubah orientasi daun, dll), maturasi dini, peningkatan transpirasi untuk pendinginan, dan menutup stomata untuk menurunkan kehilangan air. Mekanisme toleransi bisa berupa pengubahan komposisi lipid membran, ekspresi protein kejut panas (HSP, heat shock proteins), akumulasi osmoprotektan, induksi sistem antioksidan, dan gen indusibel-panas (Jajoo dan Allakhverdiev, 2017).

Peningkatan toleransi terhadap panas yang bisa dicoba penghobi adalah penyemprotan osmoprotektan seperti larutan sukrosa (gula dapur) atau antioksidan seperti asam askorbat (vitamin C), glutation (GSH), dan tiamin (vitamin B1). Penyemprotan daun dengan larutan kalsium juga dapat membantu tanaman dalam bertahan menghadapi cekaman panas.

Sukrosa merupakan produk akhir utama dalam proses fotosintesis. Bahan ini dapat berperan sebagai osmolit,yaitu pengental cairan sel. Hadi Susilo menjelaskan, osmolit diperlukan sel tanaman yang terpapar kondisi panas untuk menjaga kestabilan membran sel dan sel itu sendiri. " Yang bisa kita coba adalah penyemprotan larutan gula ke daun tanaman supaya tanaman lebih tahan panas. Pemberian larutan gula 5% lewat daun bisa meningkatkan produktivitas tanaman mawar untuk bunga potong pada kondisi panas," jelasnya.

Asam askorbat bekerja memakan spesi oksigen reaktif (ROS, reactive oxygen species), seperti radikal hidroksil, superoksida, dan hidrogen peroksida, yang terbentuk saat tanaman di bawah cekaman. ROS ini membahayakan sel tanaman sehingga perlu didetoksifikasi dengan antioksidan. Setelah memakan ROS, asam askorbat berubah bentuk menjadi asam dehidroaskorbat.  

GSH bekerja langsung sebagai antioksidan yang memakan ROS dan tidak langsung dalam perannya mengembalikan asam dehidroaskorbat ke bentuk aktifnya, asam askorbat (Kuzniak et al, 2017). GSH merupakan antioksidan tripeptida, yang terdiri dari tiga asam amino, yakni sistein, glutamat, dan glisin (North dan Kopriva, 2007). Asam amino metionin juga dapat menjadi bahan dasar GSH. Namun, prosesnya melibatkan pengubahan metionin menjadi sistein (Anderson dan McMahon, 2001, pp. 63-64). "Mungkin kita bisa meningkatkan kadar glutation pada tanaman dengan penyemprotan asam amino metionin ke daun," kata Hadi.

Tiamin dapat berfungsi secara langsung sebagai antioksidan. Selain itu, vitamin B1 ini juga memiliki peran antioksidan secara tidak langsung, dengan menyediakan NADH dan NADPH untuk melawan cekaman oksidatif. Tiamin disebutkan dapat melindungi membran sel dari peroksidasi lipid dan meningkatkan aktivitas glutation reduktase (GSR) (Asensi-Fabado dan Munne-Bosch, 2010; Rapala-Kozik, 2011).

Kalsium terlibat dalam pengaturan respon tanaman saat di bawah cekaman panas. Peningkatan kandungan kalsium sitosolik di bawah cekaman panas dapat meringankan cedera tanaman dan membuat sel tanaman lebih mampu bertahan (Naeem et al, 2019).

Memberikan naungan, misalnya dengan paranet atau plastik tertentu yang dapat menurunkan intensitas sinar, dapat digunakan untuk menghindarikan tanaman dari paparan panas. Hamdani et al, (2016) melaporkan, suhu udara di bawah naungan plastik UV dan paranet lebih rendah dibandingkan tanpa naungan, dengan penurunan rata 0,23 dan 1,22°C. Penurunan suhu ini juga dialami Wahyu Adi Mintarto di kebunnya. "Waktu musim kemarau, di bawah paranet sekitar 2°C lebih rendah dibandingkan tanpa naungan. Kalau musim hujan lebih duingin karena lembap banget," katanya.

Namun, pemberian naungan ini juga menurunkan radiasi sinar pada musim penghujan, yang secara normal sudah lebih rendah dibandingkan saat kemarau (Hoffmann dan Waainjenberg, 2002). Di area yang berventilasi banyak, penurunan suhu karena naungan dinilai kurang terasa, seperti yang dirasakan Yanuar Zulferdi dan Ronald Tan. Keduanya menggunakan atap plastik biasa, bukan plastik UV atau paranet. Udara dari luar bebas keluar masuk membuat suhu di dalam dan luar tidak terasa berbeda. "Dulu pernah cek, pas setelah nyala sprayer, suhu dalam turun 1-2 derajat aja. Setelah 15 menit kemudian, naik lagi seperti suhu luar," kata Ronald.

Dengan sistem yang lebih tertutup, suhu dan kelembapan dapat lebih terjaga. Selain dengan AC, pengaturan suhu dan kelembapan dalam rumah hijau atau rumah tanaman dapat menggunakan sistem evaporasi pad-fan (Celdek), misting/fogging, atau pendinginan atap (Sabzi et al, 2015; Li et al, 2018). 

Polusi udara

Di kota besar padat kendaraan bermotor atau dekat dengan kawasan industri, polusi udara dapat menimbulkan masalah pada tanaman. Gejala kerusakan akibat polusi udara bisa berupa nekrosis (interveinal, tepi, atau ujung daun), flek atau bintik putih atau cokelat pada permukaan daun, dan klorosis. Umumnya, gejala klorosis terjadi akibat paparan jangka panjang atau paparan singkat berulang polutan dalam konsentrasi rendah, sehingga dikatakan sebagai kerusakan kronis. Pada paparan bahan beracun konsentrasi tinggi, klorosis dapat teramati bersama dengan jaringan nekrosis (Taylor, 1973; Schutzki et al, 2017).

Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US EPA) menetapkan Baku Mutu Udara Ambien Nasional (NAAQS) untuk enam polutan utama, yang disebut sebagai polutan udara kriteria. Enam polutan tersebut adalah karbonmonoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), ozon (O3), timbal (Pb), polusi partikel (PM2,5; PM10), dan sulfur dioksida (SO2).

Ada dua macam baku mutu udara bersih yang digunakan berdasarkan Akta Udara Bersih. Baku mutu primer memberikan perlindungan kesehatan publik, termasuk melindungi kesehatan populasi yang peka, seperti penderita asma, anak-anak, dan orang tua. Sedangkan baku mutu sekunder lebih mengarah pada kesejahteraan publik, termasuk proteksi terhadap penurunan visibilitas dan kerusakan pada hewan, tanaman, maupun bangunan.

Di Indonesia, Baku Mutu Udara Ambien Nasional menggunakan 13 polutan, yang empat di antaranya hanya diberlakukan untuk daerah atau kawasan industri kimia dasar. Baku mutu yang juga mencakup enam polutan utama EPA ini ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999. 
Kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu digambarkan sebagai Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU), yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 1997. Namun, parameter indeks standar ini hanya meliputi partikulat (PM10), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan ozon (O3). Data ini yang ditampilkan pada papan ISPU, seperti yang terpasang di depan Hanamasa, Jalan Gubeng Pojok, dan di Jalan Dr Ir H Soekarno (MERR), Surabaya.

Dari antara polutan udara, ada tiga yang paling sering menimbulkan masalah pada tanaman, khususnya tanaman yang sensitif. Tiga polutan itu adalah timbal, ozon, dan sulfur dioksida. Timbal dan ozon dapat menyebabkan klorosis, sedangkan sulfur dioksida menimbulkan nekrosis akut. 
Cemaran timbal (Pb) umum terjadi di kota besar, terutama dari bahan bakar kendaraan bermotor dan aktivitas industri. Timbal dari asap pembakaran aditif bahan bakar kendaraan bermotor berupa gas, sedangkan dari aktivitas industri lebih banyak berupa partikel (Gusnita, 2012). Mukhtar et al (2013) melaporkan, kadar cemaran timbal udara ambien 24 jam kota Surabaya pada tahun 2012 berkisar antara 10,43-2664,2 ng/m3. Pengukuran dilakukan terhadap partikel dengan ukuran kurang dari 2,5 mikrometer. Nilai tertinggi hasil pengukuran tersebut melampaui batas baku mutu udara ambien nasional yang ditetapkan dalam PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yakni 2 μg/Nm3 atau 2000 ng/Nm3.

EPA menetapkan baku Pb primer dan sekunder udara ambien nasional sebesar 0,15 μg/m3 dalam partikel tersuspensi total, sebagai rata-rata 3 bulan bergerak. Pengukuran polusi Pb di udara ambien kota Surabaya berdasarkan EPA ini belum ditemukan. 

Timbal masuk ke tanaman melalui stomata daun dan terserap lewat perakaran melalui air yang tercemar. Di bawah kondisi udara yang berpolusi tinggi, kandungan Pb dalam air hujan dapat meningkat. Apalagi dalam air hujan yang pertama kali turun setelah kemarau.

Di bawah cekaman timbal (Pb), inti Mg2+ pada klorofil tergantikan oleh Pb2+, sehingga merusak struktur klorofil yang menimbulkan klorosis (Kupper et al, 1996; Ashraf et al, 2017). Sedangkan Pb di perakaran dapat menyebabkan hambatan penyerapan unsur-unsur nutrisi seperti K, Mg, Ca, Fe, dan Zn (Dikilitas et al, 2016).

Ozon adalah gas yang terdiri dari tiga atom oksigen, yang bisa berada tinggi di atmosfer dan di permukaan bumi. Ozon di angkasa disebut ozon stratosferik, berguna untuk melindungi kita dari radiasi sinar ultraviolet matahari. Sedangkan ozon permukaan, disebut juga ozon troposferik, merupakan polutan udara yang berbahaya dan menjadi komponen utama kabut asap (smog).

Ozon permukaan terbentuk dari reaksi kimia antara oksida nitrogen (NOx) dan senyawa organik mudah menguap (volatile organic compounds, VOC), di bawah paparan sinar matahari. Bahan dasar pembentukan ozon tersebut dihasilkan kendaraan bermotor dan aktivitas pabrik.

Batas baku mutu udara ambien nasional untuk ozon sebesar 235 μg/Nm3 dalam waktu pengukuran satu jam. Konsentrasi ini setara dengan batas ISPU kategori sedang, dengan pengaruh dapat menimbulkan kerusakan pada beberapa spesies tanaman. Dalam kategori baik pun, ozon disebutkan dapat menyebabkan luka pada beberapa spesies tanaman akibat kombinasi dengan sulfur dioksida selama 4 jam. Klorosis meluas dapat timbul karena paparan ozon selama dua sampai empat jam dalam konsentrasi 40-50 ppm (Taylor, 1973).

Toleransi tanaman terhadap polusi udara dapat ditingkatkan dengan penggunaan bahan antioksidan seperti asam askorbat. Namun, untuk mendapatkan proteksi yang memadai memerlukan penyemprotan selama 5 hari berturutan (Mozafar dan Oertli, 1993).

Klorosis pada kecambah

Penyemaian kantong semar biasanya menggunakan wadah dengan ventilasi terbatas, bahkan ada yang tertutup rapat. Kondisi kelembapan tinggi ini pada awalnya membantu biji berkecambah. Kelembapan tinggi menyebabkan stomata terbuka lebar sehingga makin banyak CO2 yang terisap tanaman. Namun, seiring waktu pertumbuhan cenderung melambat dan terjadi klorosis. Kelembapan tinggi menyebabkan transpirasi terhambat. Air dan nutrisi dari tanah melalui akar dapat naik ke ujung tanaman karena adanya tekanan akar dan transpirasi. Hambatan transpirasi menyebabkan laju aliran dalam xilem terganggu dan translokasi nutrisi menurun (Roriz et al, 2014).

Pada kecambah dan tanaman muda yang memiliki area permukaan daun yang  kecil, peningkatan transpirasi jarang memiliki efek terhadap akumulasi nutrisi. Penarikan air dan transportasi zat terlarut dalam xilem ke pucuk tanaman lebih disebabkan tekanan akar. Seiring bertambahnya usia, transpirasi menjadi semakin penting untuk translokasi nutrisi (White, 2012, p. 55). Menurut Hadi, jarang berarti tidak mutlak dan ada perkecualiannya. Bisa jadi kecambah kantong semar termasuk perkecualian. "Apalagi untuk nepe yang ditanam di kondisi rendah mineral, bisa jadi peran transpirasi jadi penting untuk akumulasi mineral di daun," tambahnya.

Angga Kusuma mengamati, klorosis pada kecambah dapat terjadi karena media terlalu becek dan dalam kondisi kurang cahaya. Tanaman dapat mengalami etiolasi jika merasa cahaya kurang memadai. Etiolasi ditandai dengan pemanjangan batang dan daun sebagai usaha mencari tempat tinggi untuk mendapatkan cukup cahaya. Warna daun memucat karena kurang klorofil. Namun, batang dan daun yang memanjang ini tidak kuat. "Jika berkantong, kantongnya pun lunak," kata Angga.

Rizky Try Hernanda mencoba membandingkan media yang mengandung cocopeat baru dan spaghnum moss. Hasilnya, kecambah yang ditumbuhkan pada cocopeat menunjukkan pertumbuhan yang kurang baik dan berwarna lebih kuning dibandingkan spaghhum moss. Ada dua hal yang bisa menyebabkan masalah dengan pemakaian cocopeat baru, yakni salinitas dan kandungan polifenol yang tinggi (Ma dan Nichols, 2004). Jika menggunakan cocopeat, sebaiknya dibilas air hingga air yang keluar menjadi bening, tidak berwarna cokelat atau kuning lagi.

Referensi:

Anderson JW, McMahon PJ (2001) The Role of Glutathione in the Uptake and Metabolism of Sulfur and Selenium. Dalam: Grill D, Tausz M, De Kok LJ (Editor) Significance of Glutathione to Plant Adaptation to the Environment. New York: Kluwer, pp. 57-99

Asensi-Fabado Ma, Munne-Bosch S (2010 Vitamins in plants: occurrence, biosynthesis and antioxidant function. Trends in Plant Science 15(10): 582-592

Ashraf U, Kanu AS, Deng Q, Mo Z, Pan S, Tian H, Tang X (2017) Lead (Pb) toxicity: physio-biochemical mechanisms, grain-yield, quality, and Pb distribution properties in scented rice. Front Plant Sci. 8: 259 doi: 10.3389/fpls.2017.00259

Dikilitas M, Karakas S, Ahmad P (2016) Effect of Lead on Plant and Human DNA Damages and Its Impact on the Environment. Dalam: Ahmad P (Editor) Plant Metal Interaction: Emerging Remediation Techniques. Amsterdam: Elsevier, pp. 41-67

Duca M (2015) Plant Physiology. Cham: Springer

Eberemu AO, Tukka DD, Osinubi KJ (2014) The potential use of rice husk ash in stabilization and solidification of lateritic soil contaminated with tannery effluent. Geo-Congress 2014 Techincal Papers doi: 10.1061/9780784413272.221 

Efeoglu B, Terzioglu S (2009) Photosynthetic responses of two wheat varieties to high temperature. EurAsia J. BioSci. 3(13): 97-106

Gusnita D (2012) Pencemaran logam berat timbal (Pb) di udara dan upaya penghapusan bensin bertimbal. Berita Dirgantara 13(3): 95-101

Hamdani JS, Sumadi, Suriadinata YR, Martins L (2016) Pengaruh naungan dan zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kentang kultivar Atlantik di dataran medium. J. Agron. Indonesia 44(2): 44-49

Hoffman S, Waaijenberg D (2002) Tropical and subtropical greenhouses - a challenge for new plastic films. Acta Hortic. 578(19): 163-169

Islabao GO, Vahl LC, Timm LC, Paul DL, Kath AH (2014) Rice husk ash as corrective of soil acidity. R. Bras. Ci. Solo. 38(3): 934-941

Jajoo A, Allakhverdiev SI (2017) High-temperature Stress in Plants: Consequences and Strategies for Protecting Photosynthetic Machinery. Dalam: Shabala S (Editor) Plant Stress Physiology, 2nd Edition. Boston: CABI, pp. 138-154

Kirkby E (2012) Introduction, Definition and Classification of Nutrients. Dalam: Marschner P (Editor) Marschner's Mineral Nutrition of Higher Plants, 3rd Ed. Amsterdam: Springer, pp. 3-5

Kulshrestha UC, Kulshrestha MS, Sekar R, Vairamani M, Sarkar AK, Parashar DC (2001) Investigation of Alkaline Nature of Rain Water in India. Dalam: Satake K (Editor) Acid Rain 2000. New York: Springer, pp. 1685-1690

Kupper H, Kupper F, Spiller M (1996) Environmental relevance of heavy metal-substituted chlorophylls using the example of water plants. J. Exp. Bot. 47(295): 259-266

Kuzniak E, Kopczewski T, Chojak-Kozniewska J (2017) Ascorbate-Glutathione Cycle and Biotic Stress Tolerance in Plants. Dalam: Hossain MA, Munne-Bosch S, Burritt DJ, Diaz-Vivancos P, Fujita M, Lorence A (Editor) Ascorbic Acid in Plant Growth, Development and Stress Tolerance. Cham: Springer, pp. 201-231

Lamovsek J, Urek G, Trdan S (2013) Biological control of root-knot nematodes (Meloidogynes spp.): microbes against the pest. Acta Agric. Slov. 101(2) doi: 10.2478/acas-2013-0022

Li G, Tang L, Zhang X, Dong J, Xiao M (2018) Factors affecting greenhouse microclimate and its regulating techniques: a review. IOP Conf. Ser.: Earth Environm. Sci. 167: 012019 doi: 10.1088/1755-1315/167/1/012019 

Ma YB, Nichols DG (2004) Phytotoxicity and detoxification of fresh coir dust and coconut shell. Commun. Soil Sci. Plant Anal. 35(1-2): 205-218

Mathew M, Mani M (2016) Root Mealybugs. Dalam: Mani M, Shivaraju C (Editor) Mealybugs and their Management in Agricultural and Horticultural Crops. New Delhi: Springer, pp. 629-641

Mozafar A, Oertli JJ (1993) Vitamin C (ascorbic acid): uptake and metabolism by soybean. J. Plant Physiol. 141(3): 316-321

Mukhtar R, Wahyudi H, Hamonangan E, Lahtiani S, Santoso M, Lestiani DD, Kurniawati S (2013) Kandungan logam berat dalam udara ambien pada beberapa kota di Indonesia. Ecolab. 7(2): 49-59

Naeem M, Amir M, Manzoor H, Rasul S, Athar HR (2019) Role of Calcium in Conferring Abiotic Stress Tolerance. Dalam: Hasanuzzaman M, Fujita M, Oku H, Islam MT (Editor) Plant Tolerance to Environmental Stress: Role of Phytoprotectants. Boca Raton: CRC Press, pp. 205-218 

Njoku C, Mbah CN (2012) Effect of burnt and unburnt rice husk dust on maize yield and soil physicochemical properties of an ultisol in Nigeria. Biol. Agric. Hortic. 28(1): 49-60

North KA, Kpriva S (2007) Sulfur in Resistance to Environmental Stresses. Dalam: Hawkesford MJ, De Kok LJ (Editor) Sulfur in Plants: An Ecological Perspective. Dordrecht: Springer, pp. 143-168

Radwan MA, Farrag MM, Abu-Elamayem MM, Ahmed NS (2012) Biological control of the root-knot nematode, Meloidogyne incognita on tomato using bioproducts of microbial origin. Appl. Soil Ecol. 56: 58-62

Rapala-Kozik M (2011) Vitamin B1 (Thiamine): A Cofactor for Enzymes Involved in the Main Metabolic Pathways and an Environmental Stress Protectant. Adv. Bot. Res. 58: 37-91

Roriz M, Carvalho SMP, Vasconcelos MW (2014) High relative air humidity influences mineral accumulation and growth in iron deficient soybean plants. Front. Plant Sci. 5: 726

Sabzi D, Haseli P, Jafarian M, Karimi G, Taheri M (2015) Investigation of cooling load reduction in buildings by passive cooling options applied on roof. Energy Build.109: 135-142

Sahebani N, Hadavi N (2008) Biological control of the root-knot nematode Meloidogyne javanica by Trichoderma harzianumSoil Biol. Biochem. 40(8): 2016-2020  

Schutzki RE, Cregg B, Creswell T, Ruhl G (2017) Abiotic Plant Disorders. Dalam: Ownley BH, Trigiano RN (Editor) Plant Pathology: Concepts and Laboratory Excercises, 3rd Edition. Boca Raton: CRC Press, pp. 289-302

Sharon E, Chet I,Spiegel Y (2011) Trichoderma as a Biological Control Agent. Dalam: Davies K, Spiegel Y (Editor) Biological Control of Plant-Parasitic Nematodes: Building Coherence between Microbial Ecology and Molecular Mechanisms. Dordrecht: Springer, pp. 183-201 

Shinozaki K, Uemura M, Bailey-Serres J, Bray EA, Weretilnyk E (2015) Responses to Abiotic Stress. Dalam: Buchanan BB, Gruissem W, Jones RL (Editor) Biochemistry and Molecular Biology of Plants, 2nd Edition. Chichester: John Wiley and Sons, pp. 1051-1100

Smitha MS, Mathew MP (2010) Management of root mealybugs, Geococcus spp. in banana cv. Nendran. Pest Manag. Hort. Ecosyst. 16(2): 108-119

Taylor OC (1973) Acute Responses of Plants to Aerial Pollutants. Dalam: Naegele Ja (Editor) Air Pollution Damage to Vegetation. Washington, DC: American Chemical Society, pp. 9-20 

Wahid A, Gelani S, Ashraf M, Foolad MR (2007) Heat tolerance in plants: An overview. Environ. Exp. Bot. 61(3): 199-223

White PJ (2012) Long-distance Transport in the Xylem and Phloem. Dalam: Marschner P (Editor) Marschner's Mineral Nutrition of Higher Plants, 3rd Edition. Amsterdam: Elsevier, pp. 49-70

Viaene N, coyne DL, Kerry BR (2006) Biological and Cultural Management. Dalam: Perry RN, Moens M (Editor) Plant Nematology. Wallingford: CABI, pp. 346-369

Yu HD, Yang XF, Chen ST, Wang YT, Li JK, Shen Q, Liu XL, Guo FQ (2012) Downregulation of chloroplast RPS1 negatively modulates nuclear heat-responsive expression of HsfA2 and its target genes in Arabidopsis. PLoS Genet. 8(5): e1002669x

No comments:

Post a Comment