Klorosis
adalah pemudaran atau hilangnya warna hijau pada daun normal. Perubahan warna
ini terjadi akibat masalah pembentukan dan perusakan zat hijau daun atau
klorofil. Sintesis klorofil dapat terganggu akibat kekurangan unsur
tertentu. Tanaman kesulitan mendapatkan nutrisi yang diperlukan karena media
kurang subur, keasaman tidak sesuai, terlalu padat, atau terlalu basah. Dua
kondisi media terakhir menyebabkan akar kurang berkembang, atau bahkan
mengalami kerusakan.Klorosis juga bisa terjadi karena paparan cekaman
lingkungan (kelembapan. cahaya, panas, genangan, garam, polusi) dalam jangka
waktu lama, infeksi jamur, bakteri, dan virus, serta serangan kutu akar dan
nematoda puru-akar (Duca, 2015, p. 184; Mathew dan Mani, 2016).
Ketersediaan dan penyerapan nutrisi
Kekurangan nutrisi sering terjadi
pada kantong semar, terutama jika tidak berkantong, karena anggapan bahwa
tanaman ini harus ditanam pada media yang miskin hara dan pemupukan harus
dihindari. Tanaman yang dipindah ke media baru biasanya masih mendapatkan cukup
nutrisi sehingga sering menampakkan pertumbuhan yang bagus.
Namun,
seiring waktu, kandungan mineral dapat semakin menipis karena pengambilan oleh
tanaman dan sebagian terbuang keluar pot bersama air siraman. Tanpa adanya
tambahan mineral pada media, tanaman mulai menampakkan gejala kurang gizi.
Sejauh
ini dikenal ada 14 unsur esensial, meskipun kebutuhan klorida (Cl) dan nikel
(Ni) terbatas pada tanaman tertentu. Suatu mineral dinyatakan esensial terhadap
pertumbuhan tanaman jika memenuhi tiga kriteria, yakni diperlukan tanaman untuk
bisa melengkapi siklus hidupnya, tidak dapat digantikan unsur yang lain, dan
secara langsung terlibat dalam metabolisme tanaman. Atas dasar kriteria ini,
unsur yang berperan meringankan gejala toksisitas unsur lain, misalnya silika
(Si) untuk meredakan toksisitas mangan (Mn), atau dapat tergantikan unsur yang
lain, misalnya natrium (Na) dapat digantikan kalium (K), tidak dianggap sebagai
unsur esensial (Kirkby, 2012).
Unsur
esensial tersebut dibagi menjadi dua kelompok, berdasarkan besar kebutuhan atau
jumlah ketersediaan dalam tanaman. Kelompok unsur yang dibutuhkan dalam jumlah
relatif besar, ada sedikitnya 0,01% dari bobot kering tanaman, disebut nutrisi
makro (macronutrient). Elemen dalam kelompok ini antara lain nitrogen
(N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan sulfur (S).
Kelompok
lain dibutuhkan dalam jumlah relatif sedikit, tersedia antara 0,01% hingga
0,001% dari bobot kering tanaman. Unsur yang termasuk nutrisi mikro (micronutrient)
ini antara lain boron (B), klorida (Cl), tembaga (Cu), besi (Fe), mangan (Mn),
molibdenum (Mo), nikel (Ni), dan seng (Zn) (Duca, 2015).
Berdasarkan
kemampuan bergerak dalam tanaman, mineral dibedakan menjadi nutrisi bergerak (mobile
nutrients) dan nutrisi diam (immobile nutrients). Nutrisi bergerak
mudah berpindah dari satu bagian ke bagian yang lain dalam tanaman. Contoh
nutrisi jenis ini adalah N, P, K, Cl, Mg, dan Mo. Gejala defisiensi nutrisi
jenis ini biasa terjadi mulai dari daun tua dan bersifat lokal bagian tertentu
atau bisa menyeluruh.
Sebaliknya,
nutrisi diam seperti Ca, B, Cu, Fe, Mn, Ni, S, dan Zn, tidak dapat berpindah
sehingga gejala defisiensi akan terlihat mulai dari daun termuda dan lebih
bersifat lokal.Seng (Zn) bisa dikatakan memiliki karakteristik pergerakan yang
setengah-setengah. Akibatnya, gejala kekurangan seng bisa terjadi mulai dari
tengah, yang kemudian, saat defisiensi makin parah, menjalar ke daun tua maupun
muda.
Kekurangan
nitrogen (N) dan molibdenum (Mo) bisa menyebabkan klorosis mulai dari daun tua. Sedangkan
klorosis karena kekurangan sulfur (S) dan tembaga (Cu) dimulai dari daun muda.
Dalam
kondisi kekurangan kalium (K), daun juga mulai berubah kuning dari bagian bawah
tanaman ke atas. Perubahan warna karena defisiensi K terjadi mulai dari bagian
tepi. Selanjutnya, ujung dan tepi daun berubah warna cokelat.
Dalam
molekul klorofil, magnesium (Mg) ada pada posisi sebagai atom pusat. Oleh
karena itu, defisiensi magnesium dapat mengganggu biosintesis klorofil.
Klorosis karena kekurangan magnesium dikenali dari warna kuning yang terjadi di
bagian antara tulang-tulang daun, sedangkan tulang daun masih berwarna hijau.
Kondisi ini disebut klorosis antar-pembuluh (interveinal chlorosis).
Pada kasus defisiensi Mg, klorosis antar-pembuluh terjadi mulai dari daun tua.
Klorosis
antar-pembuluh juga terjadi karena kekurangan besi (Fe), mangan (Mn), dan seng
(Zn). Perbedaannya, klorosis karena defisiensi Fe dan Mn teramati mulai dari
daun muda, sedangkan defisiensi Zn dimulai dari daun menengah.
Mineral
nutrisi masuk ke tanaman utamanya melalui akar. Lingkungan media, seperti
kelembapan yang sesuai dan banyak berpori untuk menyediakan oksigen, diperlukan
untuk membentuk sistem perakaran yang baik dan sehat, untuk mampu optimal
menyerap nutrisi dari media.
Suhu,
pH, dan kelembapan media dapat mempengaruhi penyerapan nutrisi mineral oleh
tanaman. Intensitas penyerapan maksimal dapat terjadi pada rentang 20 dan 35°C.
Pada suhu yang lebih tinggi laju penyerapan menurun. Penyerapan bisa terhenti
saat suhu media mencapai 50°C.
pH
media mempengaruhi availabilitas atau ketersediaan kation dan anion untuk
diserap akar. Secara umum, pH optimal untuk pertumbuhan tanaman antara 5,5 dan
6,5. Mineral Zn, Fe, Mn, Cu, dan B sulit diserap dari tanah di atas 7.
Sedangkan pada tanah di bawah 5,5, pertumbuhan tanaman dibayangi bahaya
toksisitas Mn, Cu, dan Al (Schutzki et al, 2017).
Salah
satu media yang sering digunakan penghobi kantong semar adalah sekam bakar atau
arang sekam padi. Biasanya, media ini digunakan dalam campuran, misalnya,
dengan cocopeat dalam perbandingan yang sama. Namun, ada yang menggunakan sekam
bakar saja. Sekam bakar memiliki pH tinggi, antara 8-10, sehingga biasa
digunakan untuk meningkatkan pH tanah asam (Eberemu et al, 2014; Islabao et al,
2014; Njoku dan Mbah, 2012). Penggunaan sekam bakar tunggal sebagai media
berpotensi menimbulkan masalah penyerapan nutrisi melalui akar.
Air
untuk menyiram tanaman dapat mempengaruhi pH media. Abdul Ghofur menceritakan,
TDS air tahan di Bojonegoro saat musim hujan di atas 200 ppm. Nilai ini
meningkat tajam hingga di atas 1000 ppm saat musim kemarau. Kandungan Ca dan Mg
yang tinggi menyebabkan air tanah memiliki pH sekitar 8. Bukan hanya air tanah,
air hujan tangkapan langsung juga menunjukkan pH yang kurang lebih sama dengan
air tanah. Kondisi air hujan alkali ini pernah dilaporkan di India karena
kandungan debu tanah yang tinggi Ca (Kulshrestha et al, 2000).
Penumpukan
mineral karena penyiraman berulang juga dapat menyebabkan pH media berubah,
terutama dengan air yang mengandung Ca dan Mg. Akumulasi mineral ini dapat
teramati dari munculnya kerak pada pot dan media. Cepat lambatnya penumpukan
tergantung pada tingkat kandungan mineral air.
Laju
penyerapan air dan mineral yang tinggi biasanya terjadi pada kelembapan media
antara 75-80%. Pada kelembapan yang lebih rendah, absorpsi terjadi lebih
lambat. Pada media yang terlalu basah dan becek, oksigen yang tersedia menjadi
sangat tipis. Kondisi kekurangan oksigen dapat mempengaruhi proses penyerapan
karena tidak cukup energi yang dapat dilepas saat respirasi (Duca, 2015, p.
183).
Gangguan
pertumbuhan dengan klorosis tanaman dapat disebabkan kutu akar (root
mealybugs). Infestasi hama ini seringkali sulit terdeteksi karena
keberadaannya di bawah permukaan tanah dan populasinya berkembang lambat. Akar
yang terserang ditandai dengan adanya massa putih seperti kapas. Massa ini
berisi betina dewasa dan telurnya (Mathew dan Mani, 2016).
Pengendalian
dapat dilakukan secara kimia dengan insektisida (Neem Oil, imidakloprid, klorpirifor,
profenofos, diazinon, dll) atau secara biologi dengan jamur dan bakteri
entomopatogen. Langkah yang dapat digunakan dalam mencegah infestasi kutu
akar antara lain penggunaan granul tabur karbofuran, Diatomaceous Earth, atau
kapur barus (mothball) yang mengandung paradiklorobenzen (Smitha dan
Mathew, 2010; Mathew dan Mani, 2016).
Serangan
nematoda puru-akar (Meloidogyne spp) ditandai dengan kondisi daun
klorosis berat hingga berwarna putih kekuningan dengan nekrosis pada bagian
tepi-ujung. Fian Noor Seha menggambarkan, batang semakin kurang sehat dan
tanaman terlihat lemas."Kondisi loyo, mau disiram air juga sama,"
kata Fian.
Ciri
khas serangan nematoda puru-akar dapat ditemukan setelah media dibongkar.
Bagian akar yang dekat batang terlihat banyak benjolan, yang disebut puru (gall).
"Benjolannya kalau dipegang kayak kayu lapuk atau keropos," tambah
Fian.
Timbulnya
gejala yang terlihat pada bagian di permukaan tanah merupakan tanda akar sudah
rusak parah. Hadi Susilo menyarankan stek ulang dan ganti media. Untuk
pencegahan, nematisida dapat digunakan untuk membunuh nematoda, terutama larva
yang hidup bebas di tanah. Nematisida yang sering dipakai adalah karbofuran
(Furadan).
Kontrol
biologi dapat dilakukan dengan jamur dan bakteri yang bersifat patogen pada
nematoda. Contoh jamur yang dapat menekan pertumbuhan nematoda antara lain
dari Paecilomyces lilacinus (sinonim Purpureocillium
lilacinum), spesies Fusarium, Pochonia (sinonim Verticillium), Gliocladium,
dan Trichoderma (Viaene et al, 2006; Sahebani dan Hadavi, 2008).
Dari golongan bakteri, beberapa yang pernah dilaporkan dapat digunakan untuk
kontrol biologi nematoda antara lain Pasteura penetrans dan
spesies dari Bacillus (Sharon et al, 2011; Radwan et al,
2012; Lamovsek et al, 2013).
Cekaman panas
Tanaman
dapat, atau bahkan sering, mengalami cekaman lingkungan, yakni kondisi
eksternal yang dapat menimbulkan efek buruk terhadap pertumbuhan, perkembangan,
dan produktivitas tanaman. Cekaman bisa biotik, karena organisme lain, atau
abiotik, karena kelebihan atau kekurangan faktor fisika atau kimia tertentu
dalam lingkungan. Cekaman lingkungan yang menyebabkan kerusakan tanaman antara
lain genangan, kekeringan, suhu rendah atau tinggi, salinitas tinggi,
kekurangan nutrisi mineral, kelebihan atau kekurangan cahaya, dan paparan zat
berbahaya (Shinozaki et al, 2015).
Tanaman
bisa memberikan respon beragam terhadap cekaman lingkungan yang dialaminya,
mulai dari perubahan ekspresi gen, metabolisme seluler, hingga perubahan laju
pertumbuhan. Bagaimana tanaman merespon tergantung pada durasi, intensitas,
frekuensi, dan kompleksitas paparan cekaman.
Cekaman
yang dihadapi kantong semar di daerah dataran rendah seperti Surabaya dan
berpotensi menimbulkan gejala klorosis adalah cekaman panas (heat stress).
Polutan udara, terutama yang berasal dari asap kendaraan bermotor dan aktivitas
industri juga menjadi ancaman tanaman yang dipelihara di kota besar. Klorosis
dapat terjadi karena paparan polutan seperti timbal (Pb) dan ozon.
Secara
umum, cekaman panas ini didefinisikan sebagai peningkatan 10-15°C di atas suhu
pertumbuhan optimal (Wahid et al, 2007; Yu et al, 2012). Tumbuhan yang terpapar
suhu tinggi menunjukkan penurunan kandungan klorofil (Efeoglu dan Terzioglu,
2009). Hal ini bisa terjadi karena gangguan proses sintesis klorofil atau
peningkatan degradasi klorofil atau kombinasi keduanya (Jajoo dan
Allakhverdiev, 2017).
Ada dua mekanisme respon tanaman terhadap cekaman panas, yakni menghindar
dan toleransi. Mekanisme menghindar mencakup pengubahan morfologi (menggulung
daun, mengubah orientasi daun, dll), maturasi dini, peningkatan transpirasi
untuk pendinginan, dan menutup stomata untuk menurunkan kehilangan air.
Mekanisme toleransi bisa berupa pengubahan komposisi lipid membran, ekspresi protein
kejut panas (HSP, heat shock proteins), akumulasi osmoprotektan,
induksi sistem antioksidan, dan gen indusibel-panas (Jajoo dan
Allakhverdiev, 2017).
Peningkatan
toleransi terhadap panas yang bisa dicoba penghobi adalah penyemprotan
osmoprotektan seperti larutan sukrosa (gula dapur) atau antioksidan seperti
asam askorbat (vitamin C), glutation (GSH), dan tiamin (vitamin B1).
Penyemprotan daun dengan larutan kalsium juga dapat membantu tanaman dalam
bertahan menghadapi cekaman panas.
Sukrosa
merupakan produk akhir utama dalam proses fotosintesis. Bahan ini dapat
berperan sebagai osmolit,yaitu pengental cairan sel. Hadi Susilo menjelaskan,
osmolit diperlukan sel tanaman yang terpapar kondisi panas untuk menjaga
kestabilan membran sel dan sel itu sendiri. " Yang bisa kita coba adalah
penyemprotan larutan gula ke daun tanaman supaya tanaman lebih tahan panas.
Pemberian larutan gula 5% lewat daun bisa meningkatkan produktivitas tanaman
mawar untuk bunga potong pada kondisi panas," jelasnya.
Asam
askorbat bekerja memakan spesi oksigen reaktif (ROS, reactive oxygen species),
seperti radikal hidroksil, superoksida, dan hidrogen peroksida, yang terbentuk
saat tanaman di bawah cekaman. ROS ini membahayakan sel tanaman sehingga perlu
didetoksifikasi dengan antioksidan. Setelah memakan ROS, asam askorbat berubah
bentuk menjadi asam dehidroaskorbat.
GSH
bekerja langsung sebagai antioksidan yang memakan ROS dan tidak langsung dalam
perannya mengembalikan asam dehidroaskorbat ke bentuk aktifnya, asam askorbat
(Kuzniak et al, 2017). GSH merupakan antioksidan tripeptida, yang terdiri dari
tiga asam amino, yakni sistein, glutamat, dan glisin (North dan Kopriva, 2007).
Asam amino metionin juga dapat menjadi bahan dasar GSH. Namun, prosesnya
melibatkan pengubahan metionin menjadi sistein (Anderson dan McMahon, 2001, pp.
63-64). "Mungkin kita bisa meningkatkan kadar glutation pada tanaman
dengan penyemprotan asam amino metionin ke daun," kata Hadi.
Tiamin
dapat berfungsi secara langsung sebagai antioksidan. Selain itu, vitamin B1 ini
juga memiliki peran antioksidan secara tidak langsung, dengan menyediakan NADH
dan NADPH untuk melawan cekaman oksidatif. Tiamin disebutkan dapat melindungi
membran sel dari peroksidasi lipid dan meningkatkan aktivitas glutation
reduktase (GSR) (Asensi-Fabado dan Munne-Bosch, 2010; Rapala-Kozik, 2011).
Kalsium
terlibat dalam pengaturan respon tanaman saat di bawah cekaman panas. Peningkatan
kandungan kalsium sitosolik di bawah cekaman panas dapat meringankan cedera
tanaman dan membuat sel tanaman lebih mampu bertahan (Naeem et al, 2019).
Memberikan
naungan, misalnya dengan paranet atau plastik tertentu yang dapat menurunkan
intensitas sinar, dapat digunakan untuk menghindarikan tanaman dari paparan
panas. Hamdani et al, (2016) melaporkan, suhu udara di bawah naungan plastik UV
dan paranet lebih rendah dibandingkan tanpa naungan, dengan penurunan rata 0,23
dan 1,22°C. Penurunan suhu ini juga dialami Wahyu Adi Mintarto di kebunnya.
"Waktu musim kemarau, di bawah paranet sekitar 2°C lebih rendah dibandingkan
tanpa naungan. Kalau musim hujan lebih duingin karena
lembap banget," katanya.
Namun,
pemberian naungan ini juga menurunkan radiasi sinar pada musim penghujan, yang
secara normal sudah lebih rendah dibandingkan saat kemarau (Hoffmann dan
Waainjenberg, 2002). Di area yang berventilasi banyak, penurunan suhu karena
naungan dinilai kurang terasa, seperti yang dirasakan Yanuar Zulferdi dan
Ronald Tan. Keduanya menggunakan atap plastik biasa, bukan plastik UV atau
paranet. Udara dari luar bebas keluar masuk membuat suhu di dalam dan luar
tidak terasa berbeda. "Dulu pernah cek, pas setelah nyala sprayer, suhu
dalam turun 1-2 derajat aja. Setelah 15 menit kemudian, naik lagi seperti suhu
luar," kata Ronald.
Dengan
sistem yang lebih tertutup, suhu dan kelembapan dapat lebih terjaga. Selain
dengan AC, pengaturan suhu dan kelembapan dalam rumah hijau atau rumah tanaman
dapat menggunakan sistem evaporasi pad-fan (Celdek), misting/fogging, atau
pendinginan atap (Sabzi et al, 2015; Li et al, 2018).
Polusi udara
Di
kota besar padat kendaraan bermotor atau dekat dengan kawasan industri, polusi
udara dapat menimbulkan masalah pada tanaman. Gejala kerusakan akibat polusi
udara bisa berupa nekrosis (interveinal, tepi, atau ujung daun), flek atau
bintik putih atau cokelat pada permukaan daun, dan klorosis. Umumnya,
gejala klorosis terjadi akibat paparan jangka panjang atau paparan singkat
berulang polutan dalam konsentrasi rendah, sehingga dikatakan sebagai kerusakan
kronis. Pada paparan bahan beracun konsentrasi tinggi, klorosis dapat teramati
bersama dengan jaringan nekrosis (Taylor, 1973; Schutzki et al, 2017).
Badan
Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US EPA) menetapkan Baku Mutu Udara
Ambien Nasional (NAAQS)
untuk enam polutan utama, yang disebut sebagai polutan udara kriteria. Enam
polutan tersebut adalah karbonmonoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2),
ozon (O3), timbal (Pb), polusi partikel (PM2,5; PM10),
dan sulfur dioksida (SO2).
Ada
dua macam baku mutu udara bersih yang digunakan berdasarkan Akta Udara Bersih.
Baku mutu primer memberikan perlindungan kesehatan publik, termasuk melindungi
kesehatan populasi yang peka, seperti penderita asma, anak-anak, dan orang tua.
Sedangkan baku mutu sekunder lebih mengarah pada kesejahteraan publik, termasuk
proteksi terhadap penurunan visibilitas dan kerusakan pada hewan, tanaman,
maupun bangunan.
Di
Indonesia, Baku Mutu Udara Ambien Nasional menggunakan 13 polutan, yang empat
di antaranya hanya diberlakukan untuk daerah atau kawasan industri kimia dasar.
Baku mutu yang juga mencakup enam polutan utama EPA ini ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999.
Kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu digambarkan sebagai
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU), yang diatur dalam Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 1997. Namun, parameter indeks standar ini
hanya meliputi partikulat (PM10),
karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen
dioksida (NO2), dan ozon (O3). Data ini yang ditampilkan
pada papan ISPU, seperti yang terpasang di depan Hanamasa, Jalan Gubeng Pojok,
dan di Jalan Dr Ir H Soekarno (MERR), Surabaya.
Dari
antara polutan udara, ada tiga yang paling sering menimbulkan masalah pada
tanaman, khususnya tanaman yang sensitif. Tiga polutan itu adalah timbal, ozon,
dan sulfur dioksida. Timbal dan ozon dapat menyebabkan klorosis, sedangkan
sulfur dioksida menimbulkan nekrosis akut.
Cemaran timbal (Pb) umum terjadi di kota besar, terutama dari bahan bakar
kendaraan bermotor dan aktivitas industri. Timbal dari asap pembakaran aditif
bahan bakar kendaraan bermotor berupa gas, sedangkan dari aktivitas industri
lebih banyak berupa partikel (Gusnita, 2012). Mukhtar et al (2013) melaporkan,
kadar cemaran timbal udara ambien 24 jam kota Surabaya pada tahun 2012 berkisar
antara 10,43-2664,2 ng/m3. Pengukuran dilakukan terhadap partikel
dengan ukuran kurang dari 2,5 mikrometer. Nilai tertinggi hasil pengukuran
tersebut melampaui batas baku mutu udara ambien nasional yang ditetapkan dalam
PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yakni 2 μg/Nm3 atau
2000 ng/Nm3.
EPA
menetapkan baku
Pb primer dan sekunder udara ambien nasional sebesar 0,15 μg/m3 dalam
partikel tersuspensi total, sebagai rata-rata 3 bulan bergerak. Pengukuran
polusi Pb di udara ambien kota Surabaya berdasarkan EPA ini belum ditemukan.
Timbal
masuk ke tanaman melalui stomata daun dan terserap lewat perakaran melalui air
yang tercemar. Di bawah kondisi udara yang berpolusi tinggi, kandungan Pb dalam
air hujan dapat meningkat. Apalagi dalam air hujan yang pertama kali turun
setelah kemarau.
Di
bawah cekaman timbal (Pb), inti Mg2+ pada klorofil tergantikan
oleh Pb2+,
sehingga merusak struktur klorofil yang menimbulkan klorosis (Kupper et al,
1996; Ashraf et al, 2017). Sedangkan Pb di perakaran dapat menyebabkan hambatan
penyerapan unsur-unsur nutrisi seperti K, Mg, Ca, Fe, dan Zn (Dikilitas et al,
2016).
Ozon
adalah gas yang terdiri dari tiga atom oksigen, yang bisa berada tinggi di
atmosfer dan di permukaan bumi. Ozon di angkasa disebut ozon stratosferik,
berguna untuk melindungi kita dari radiasi sinar ultraviolet matahari. Sedangkan
ozon permukaan, disebut juga ozon troposferik, merupakan polutan udara yang
berbahaya dan menjadi komponen utama kabut asap (smog).
Ozon
permukaan terbentuk dari reaksi kimia antara oksida nitrogen (NOx)
dan senyawa organik mudah menguap (volatile organic compounds, VOC), di
bawah paparan sinar matahari. Bahan dasar pembentukan ozon tersebut dihasilkan
kendaraan bermotor dan aktivitas pabrik.
Batas
baku mutu udara ambien nasional untuk ozon sebesar 235 μg/Nm3 dalam
waktu pengukuran satu jam. Konsentrasi ini setara dengan batas ISPU kategori
sedang, dengan pengaruh dapat menimbulkan kerusakan pada beberapa spesies
tanaman. Dalam kategori baik pun, ozon disebutkan dapat menyebabkan luka pada
beberapa spesies tanaman akibat kombinasi dengan sulfur dioksida selama 4 jam. Klorosis
meluas dapat timbul karena paparan ozon selama dua sampai empat jam dalam
konsentrasi 40-50 ppm (Taylor, 1973).
Toleransi
tanaman terhadap polusi udara dapat ditingkatkan dengan penggunaan bahan
antioksidan seperti asam askorbat. Namun, untuk mendapatkan proteksi yang
memadai memerlukan penyemprotan selama 5 hari berturutan (Mozafar dan Oertli,
1993).
Klorosis pada kecambah
Penyemaian
kantong semar biasanya menggunakan wadah dengan ventilasi terbatas, bahkan ada
yang tertutup rapat. Kondisi kelembapan tinggi ini pada awalnya membantu biji
berkecambah. Kelembapan tinggi menyebabkan stomata terbuka lebar sehingga makin
banyak CO2 yang terisap tanaman. Namun, seiring waktu
pertumbuhan cenderung melambat dan terjadi klorosis. Kelembapan tinggi
menyebabkan transpirasi terhambat. Air dan nutrisi dari tanah melalui akar
dapat naik ke ujung tanaman karena adanya tekanan akar dan transpirasi.
Hambatan transpirasi menyebabkan laju aliran dalam xilem terganggu dan
translokasi nutrisi menurun (Roriz et al, 2014).
Pada
kecambah dan tanaman muda yang memiliki area permukaan daun yang kecil,
peningkatan transpirasi jarang memiliki efek terhadap akumulasi nutrisi.
Penarikan air dan transportasi zat terlarut dalam xilem ke pucuk tanaman lebih
disebabkan tekanan akar. Seiring bertambahnya usia, transpirasi menjadi semakin
penting untuk translokasi nutrisi (White, 2012, p. 55). Menurut Hadi, jarang
berarti tidak mutlak dan ada perkecualiannya. Bisa jadi kecambah kantong semar
termasuk perkecualian. "Apalagi untuk nepe yang ditanam di kondisi rendah
mineral, bisa jadi peran transpirasi jadi penting untuk akumulasi mineral di
daun," tambahnya.
Angga Kusuma mengamati, klorosis pada kecambah dapat terjadi karena media terlalu becek dan dalam kondisi kurang cahaya. Tanaman dapat mengalami etiolasi jika merasa cahaya kurang memadai. Etiolasi ditandai dengan pemanjangan batang dan daun sebagai usaha mencari tempat tinggi untuk mendapatkan cukup cahaya. Warna daun memucat karena kurang klorofil. Namun, batang dan daun yang memanjang ini tidak kuat. "Jika berkantong, kantongnya pun lunak," kata Angga.
Rizky Try Hernanda mencoba membandingkan media yang mengandung cocopeat baru dan spaghnum moss. Hasilnya, kecambah yang ditumbuhkan pada cocopeat menunjukkan pertumbuhan yang kurang baik dan berwarna lebih kuning dibandingkan spaghhum moss. Ada dua hal yang bisa menyebabkan masalah dengan pemakaian cocopeat baru, yakni salinitas dan kandungan polifenol yang tinggi (Ma dan Nichols, 2004). Jika menggunakan cocopeat, sebaiknya dibilas air hingga air yang keluar menjadi bening, tidak berwarna cokelat atau kuning lagi.
Referensi:
Anderson
JW, McMahon PJ (2001) The Role of Glutathione in the Uptake and Metabolism of
Sulfur and Selenium. Dalam: Grill D, Tausz M, De Kok LJ (Editor) Significance
of Glutathione to Plant Adaptation to the Environment. New York:
Kluwer, pp. 57-99
Asensi-Fabado
Ma, Munne-Bosch S (2010 Vitamins in plants: occurrence, biosynthesis and
antioxidant function. Trends in Plant Science 15(10): 582-592
Ashraf
U, Kanu AS, Deng Q, Mo Z, Pan S, Tian H, Tang X (2017) Lead (Pb) toxicity:
physio-biochemical mechanisms, grain-yield, quality, and Pb distribution
properties in scented rice. Front Plant Sci. 8: 259 doi: 10.3389/fpls.2017.00259
Dikilitas
M, Karakas S, Ahmad P (2016) Effect of Lead on Plant and Human DNA Damages and
Its Impact on the Environment. Dalam: Ahmad P (Editor) Plant Metal
Interaction: Emerging Remediation Techniques. Amsterdam: Elsevier, pp.
41-67
Duca
M (2015) Plant Physiology. Cham: Springer
Eberemu
AO, Tukka DD, Osinubi KJ (2014) The potential use of rice husk ash in
stabilization and solidification of lateritic soil contaminated with tannery
effluent. Geo-Congress 2014 Techincal Papers doi:
10.1061/9780784413272.221
Efeoglu
B, Terzioglu S (2009) Photosynthetic responses of two wheat varieties to high
temperature. EurAsia J. BioSci. 3(13): 97-106
Gusnita
D (2012) Pencemaran logam berat timbal (Pb) di udara dan upaya penghapusan
bensin bertimbal. Berita Dirgantara 13(3): 95-101
Hamdani
JS, Sumadi, Suriadinata YR, Martins L (2016) Pengaruh naungan dan zat pengatur
tumbuh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kentang kultivar Atlantik di
dataran medium. J. Agron. Indonesia 44(2): 44-49
Hoffman
S, Waaijenberg D (2002) Tropical and subtropical greenhouses - a challenge for
new plastic films. Acta Hortic. 578(19): 163-169
Islabao
GO, Vahl LC, Timm LC, Paul DL, Kath AH (2014) Rice husk ash as corrective of
soil acidity. R. Bras. Ci. Solo. 38(3): 934-941
Jajoo
A, Allakhverdiev SI (2017) High-temperature Stress in Plants: Consequences and
Strategies for Protecting Photosynthetic Machinery. Dalam: Shabala S
(Editor) Plant Stress Physiology, 2nd Edition. Boston: CABI, pp.
138-154
Kirkby
E (2012) Introduction, Definition and Classification of Nutrients. Dalam:
Marschner P (Editor) Marschner's Mineral Nutrition of Higher Plants,
3rd Ed. Amsterdam: Springer, pp. 3-5
Kulshrestha
UC, Kulshrestha MS, Sekar R, Vairamani M, Sarkar AK, Parashar DC (2001)
Investigation of Alkaline Nature of Rain Water in India. Dalam: Satake K
(Editor) Acid Rain 2000. New York: Springer, pp. 1685-1690
Kupper
H, Kupper F, Spiller M (1996) Environmental relevance of heavy
metal-substituted chlorophylls using the example of water plants. J.
Exp. Bot. 47(295): 259-266
Kuzniak
E, Kopczewski T, Chojak-Kozniewska J (2017) Ascorbate-Glutathione Cycle and
Biotic Stress Tolerance in Plants. Dalam: Hossain MA, Munne-Bosch S, Burritt
DJ, Diaz-Vivancos P, Fujita M, Lorence A (Editor) Ascorbic Acid in
Plant Growth, Development and Stress Tolerance. Cham: Springer, pp.
201-231
Lamovsek
J, Urek G, Trdan S (2013) Biological control of root-knot nematodes (Meloidogynes spp.):
microbes against the pest. Acta Agric. Slov. 101(2) doi:
10.2478/acas-2013-0022
Li
G, Tang L, Zhang X, Dong J, Xiao M (2018) Factors affecting greenhouse
microclimate and its regulating techniques: a review. IOP Conf. Ser.:
Earth Environm. Sci. 167: 012019 doi: 10.1088/1755-1315/167/1/012019
Ma YB, Nichols DG (2004) Phytotoxicity and detoxification of fresh coir dust and coconut shell. Commun. Soil Sci. Plant Anal. 35(1-2): 205-218
Mathew
M, Mani M (2016) Root Mealybugs. Dalam: Mani M, Shivaraju C (Editor) Mealybugs
and their Management in Agricultural and Horticultural Crops. New Delhi:
Springer, pp. 629-641
Mozafar
A, Oertli JJ (1993) Vitamin C (ascorbic acid): uptake and metabolism by
soybean. J. Plant Physiol. 141(3): 316-321
Mukhtar
R, Wahyudi H, Hamonangan E, Lahtiani S, Santoso M, Lestiani DD, Kurniawati S
(2013) Kandungan logam berat dalam udara ambien pada beberapa kota di
Indonesia. Ecolab. 7(2): 49-59
Naeem
M, Amir M, Manzoor H, Rasul S, Athar HR (2019) Role of Calcium in Conferring
Abiotic Stress Tolerance. Dalam: Hasanuzzaman M, Fujita M, Oku H, Islam MT
(Editor) Plant Tolerance to Environmental Stress: Role of
Phytoprotectants. Boca Raton: CRC Press, pp. 205-218
Njoku
C, Mbah CN (2012) Effect of burnt and unburnt rice husk dust on maize yield and
soil physicochemical properties of an ultisol in Nigeria. Biol. Agric.
Hortic. 28(1): 49-60
North
KA, Kpriva S (2007) Sulfur in Resistance to Environmental Stresses. Dalam:
Hawkesford MJ, De Kok LJ (Editor) Sulfur in Plants: An Ecological
Perspective. Dordrecht: Springer, pp. 143-168
Radwan
MA, Farrag MM, Abu-Elamayem MM, Ahmed NS (2012) Biological control of the
root-knot nematode, Meloidogyne incognita on tomato using
bioproducts of microbial origin. Appl. Soil Ecol. 56: 58-62
Rapala-Kozik
M (2011) Vitamin B1 (Thiamine): A Cofactor for Enzymes Involved in the Main
Metabolic Pathways and an Environmental Stress Protectant. Adv. Bot.
Res. 58: 37-91
Roriz
M, Carvalho SMP, Vasconcelos MW (2014) High relative air humidity influences
mineral accumulation and growth in iron deficient soybean plants. Front.
Plant Sci. 5: 726
Sabzi
D, Haseli P, Jafarian M, Karimi G, Taheri M (2015) Investigation of cooling
load reduction in buildings by passive cooling options applied on roof. Energy
Build.109: 135-142
Sahebani
N, Hadavi N (2008) Biological control of the root-knot nematode Meloidogyne
javanica by Trichoderma harzianum. Soil Biol.
Biochem. 40(8): 2016-2020
Schutzki
RE, Cregg B, Creswell T, Ruhl G (2017) Abiotic Plant Disorders. Dalam: Ownley
BH, Trigiano RN (Editor) Plant Pathology: Concepts and Laboratory
Excercises, 3rd Edition. Boca Raton: CRC Press, pp. 289-302
Sharon
E, Chet I,Spiegel Y (2011) Trichoderma as a Biological Control
Agent. Dalam: Davies K, Spiegel Y (Editor) Biological Control of
Plant-Parasitic Nematodes: Building Coherence between Microbial Ecology and
Molecular Mechanisms. Dordrecht: Springer, pp. 183-201
Shinozaki
K, Uemura M, Bailey-Serres J, Bray EA, Weretilnyk E (2015) Responses to Abiotic
Stress. Dalam: Buchanan BB, Gruissem W, Jones RL (Editor) Biochemistry
and Molecular Biology of Plants, 2nd Edition. Chichester: John Wiley
and Sons, pp. 1051-1100
Smitha
MS, Mathew MP (2010) Management of root mealybugs, Geococcus spp.
in banana cv. Nendran. Pest Manag. Hort. Ecosyst. 16(2):
108-119
Taylor
OC (1973) Acute Responses of Plants to Aerial Pollutants. Dalam: Naegele Ja
(Editor) Air Pollution Damage to Vegetation. Washington, DC:
American Chemical Society, pp. 9-20
Wahid
A, Gelani S, Ashraf M, Foolad MR (2007) Heat tolerance in plants: An
overview. Environ. Exp. Bot. 61(3): 199-223
White
PJ (2012) Long-distance Transport in the Xylem and Phloem. Dalam: Marschner P
(Editor) Marschner's Mineral Nutrition of Higher Plants, 3rd Edition.
Amsterdam: Elsevier, pp. 49-70
Viaene
N, coyne DL, Kerry BR (2006) Biological and Cultural Management. Dalam: Perry
RN, Moens M (Editor) Plant Nematology. Wallingford: CABI, pp.
346-369
Yu
HD, Yang XF, Chen ST, Wang YT, Li JK, Shen Q, Liu XL, Guo FQ (2012)
Downregulation of chloroplast RPS1 negatively modulates nuclear heat-responsive
expression of HsfA2 and its target genes in Arabidopsis. PLoS Genet. 8(5):
e1002669x
No comments:
Post a Comment